Segala puji cuma milik Allah Subhanahu wa ta'ala shalawat dan salam mudah-mudahan tercurah terhadap junjungan kita nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam keluarga sobat dan para pengikutnya yang setia dan istiqamah.
Selain menjadi suatu keharusan bagi seorang muslim, ibadah puasa memiliki banyak keistimewaan di dalamnya, yakni berupa faedah yang sanggup dinikmati secara fisik maupun kerohanian. Bahkan puasa ialah fasilitas ibadah untuk mendekatkan diri terhadap Allah.
Banyak ulama menyampaikan bahwa ibadah puasa Ramadhan ialah fasilitas yang sempurna dalam mendekatkan diri terhadap Allah.
Banyak ulama beropini ibadah puasa itu sanggup mendekatkan diri terhadap sang Pencipta, tetapi sulit untuk diterangkan secara rasional, apakah saya sudah dekat atau malah kita cuma sok dekat dengan Allah?
Hal itu sebagaimana diterangkan dalam Surat Albaqarah ayat 183 yang menyatakan bahwa ibadah yang kita kerjakan (fisik) akan mengirimkan kita ke derajat taqwa (mental).
Maka dari itu, ibadah puasa yang dijalankan secara benar sesuai tuntunan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa sallam, akan menenteng kita terhadap taqwa, dan orang yang taqwa itu dekat dengan Allah.
Dan orang yang dekat dengan sang Khalik akan senantiasa menjaga dirinya dari perbuatan yang tidak disukai/dilarang Allah. Mental taqwa yang sudah dicapainya di Ramadhan akan senantiasa direfleksikannya di bulan-bulan lainnya.
Hari pertama umat Islam melakukan ibadah puasa yang diwajibkan selama bulan Ramadan. Sejarahnya, keharusan puasa sudah dijalankan dan ditunaikan sejak lampau. Dalam suatu tafsirnya, Ibnu Katsir menyampaikan bahwa sejak Nabi Nuh hingga Nabi Isa puasa wajib dijalankan tiga hari setiap bulannya.
Bahkan Nabi Adam ditugaskan Allah untuk tidak mengkonsumsi buah khuldi, ditafsirkan selaku bentuk puasa pada masa itu. Firman Allah: “Janganlah kau mendekati pohon ini yang memunculkan kau tergolong orang-orang yang zalim”. (QS Al-Baqarah: 35)
Demikian pula dengan Nabi Musa bareng kaumnya, melaksanakan puasa selama 40 hari. Nabi Zakaria melakukan puasa tidak makan dan minum, juga tidak mengatakan (QS Maryam: 10) kecuali dengan kode saja. Maryam, ibunda nabi Isa tak ketinggalan, ia pun berpuasa sebagaimana yang tercantum dalam Surat Maryam ayat 26. Termasuk Nabi Isa sendiri, juga melaksanakan puasa.
Dalam Surat Al Baqarah ayat 249, Allah menerangkan mengenai puasanya Thaluth yang cuma diperbolehkan berbuka dengan seteguk air saja, tidak lebih. Puasanya Nabi Daud, sepanjang hidup dijalankan dengan sehari berpuasa dan sehari tidak berpuasa. Oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa sallam, puasa Nabi Daud ini disebut selaku sebaik-baik puasa.
Manusia Sebagai Makhluk Terbaik. Pada dasarnya keharusan puasa berencana untuk menjaga posisi insan selaku makhluk terbaik. Sebagai makhluk terbaik, manusia seyogianya senantiasa berada di jalan yang diridhai Allah.
Inilah yang disebut takwa, secara definitif biasanya dipahami selaku perilaku untuk senantiasa melakukan segala perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Puasa tidak sebatas ritual keagamaan yang dijalankan dalam rangka mencari “pahala”, tetapi menjadi suatu bentuk training mental dan eksaminasi bagi jiwa insan untuk senantiasa berkecenderungan baik. Dengan proses semacam ini, insan dituntut untuk bisa menertibkan hawa nafsunya.
Karena itu, puasa pada hakikatnya mengandung dimensi tauhid yang amat dalam, di mana insan dituntut untuk bisa mendekatkan ruhaninya terhadap Allah selaku makhluk yang bertaqwa. Inilah esensi aliran peng-Esaan (tauhid) Allah, yang menghindarkan insan dari unsur-unsur kemusyrikan atau orientasi hidup terhadap selain Allah; suatu dosa paling besar yang tidak terampuni oleh Allah.
Puasa di bulan Ramadhan berfungsi selaku perayaan dan pemberi jalan bagi insan untuk kembali pada kondisi promordialnya yang amat bersahabat dengan alam ke-Tuhan-an (Ilahiyah). Puasa cuma bisa dipahami dalam kerangka pencucian diri insan dari unsur-unsur kemusyrikan akhir godaan-godaan material. Melalui ibadah puasa, insan dituntut untuk mengarungi alam ruhaniahnya sehingga bisa berkomunikasi eksklusif dengan Allah, tanpa perantara.
Kalau kita lihat bentuk ritual ibadah puasa, maka hal itu disimbolkan dengan tidak diketahuinya mutu puasa seseorang kecuali oleh dirinya dengan Allah semata-mata. Ini yang membedakan puasa dengan ibadah-ibadag lainnya. Itulah sebabnya dalam suatu hadits qudsi dinyatakan bahwa Allah berfirman: “…sesungguhnya puasa itu milikKu, dan Aku sendiri yang hendak membalasanya”.
Firman Allah tersebut selain memamerkan betapa tingginya nilai ibadah puasa, juga memberi pesan bahwa puasa ialah media komunikasi eksklusif (direct communication) antara insan (person) dengan Allah. Puasa ialah media di mana person sungguh-sungguh mengorientasikan seluruh gerak-gerik kehidupannya terhadap Allah semata-mata.
Pada peluang ini dihidangkan beberapa teladan makhluk yang dekat dengan keseharian kita, menyerupai ular, ayam dan ulat.
Semua ular, di saat sudah datang saatnya, maka ia mesti berpuasa lantaran keperluan untuk kelancaran hidupnya. Kisaran waktu ular berpuasa beraneka ragam. Sebagian ular berpuasa hingga 2 bulan dan sebagian yang lain bahkan ada yang hingga 3 bulan.
Hikmah yang dapat diambil dari puasanya ular adalah; sehabis puasa, ular tetaplah ular, dengan perilaku dan huruf yang tetap sama menyerupai sebelum puasa. Tetap menjadi hewan buas yang ditakuti, licin dan berbahaya. Yang berubah hanyalah kulitnya yang baru. Nampak lebih muda, dan gagah perkasa. Lingkungan sekitarnya tidak mendapat faedah dari puasanya ular. Bahkan ia meninggalkan jejak kulit lamanya di tempatnya puasa.
Jika puasa insan menyerupai ular, tidak menenteng faedah bagi lingkungan sekitar kecuali cuma untuk diri sendiri. Lebih sehat (secara jasmani) dengan puasa yang dilakukan, tetapi tidak merubah perilaku dan huruf (kesehatan ruhani).
Berikutnya yakni puasanya ayam; di saat mengerami telurnya, maka induk ayam berpuasa hingga sekitar 6-8 minggu. Manfaatnya yakni biar telurnya menetas menjadi anak ayam. Hikmah yang dapat diambil, puasanya ayam berharga bagi diri dan keluarganya. Namun belum banyak menenteng faedah bagi lingkungan sekitarnya.
Selanjutnya yakni puasanya ulat. Ketika masih menjadi ulat, ia begitu dibenci oleh semua orang yang melihatnya lantaran tampilannya menjijikkan. Keberadaannya yakni tragedi alam bagi lingkungan sekitarnya. Ketika ia hinggap di daun, maka daun akan menjadi rusak. Ketika ia di batang/buah, maka batang/ buah pun akan menjadi rusak. Di mana-mana ia senantiasa merusak.
Setelah berpuasa dengan menjadi kepompong dan kemudian bermetamorfosis kupu-kupu, subhanallaah, ia tidak lagi diperlakukan seperti ulat. Tampilannya yang indah menjadikannya begitu disuka oleh semua. Keberadaanya tidak lagi menjadi tragedi alam bahkan berbalik menjadi pesan yang tersirat dan faedah bagi yang lain. Ketika hinggap di daun, ia menolong proses pembuahan pada tanaman yang
dulu tragedi alam maka kini menjadi manfaat. Seyogianya, puasa yang ditunaikan insan berharga tidak saja bagi diri sendiri juga penduduk serta lingkungannya. Sebab, tujuan utama puasa yakni memunculkan pelakunya selaku orang bertakwa. Sebuah tingkatan spritual yang hendak menenteng pelakunya menjadi mulia dunia akhirat.
Sesungguhnya yang paling mulia di segi Allah yakni yang paling betakwa di antara kalian, (QS 49: 13). Di antara ciri-ciri yang menempel pada insan bertakwa adalah, melaksanakan seluruh perintah Allah menurut apa yang sudah digaris dan dipraktikkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya, selain senantiasa menjauhi segala larangan Allah, tergolong yang syubuhat.
Maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme cuma sanggup teratasi dengan pendekatan ketakwaan. Puasa ialah salah satu jalan untuk menjadi insan bertakwa. Nah, kalau hewan saja berpuasa, baik terpaksa maupun sukarela. Selaku makhluk paling mulia di bumi, insan semestinya aib kalau tidak berpuasa pada bulan Ramadhan. Manusia juga semestinya juga aib dan bersedih bila puasanya tak menenteng faedah apa-apa bagi kehidupan.
Rahasia Puasa dalam Pandangan al-Ghazali
Al-Ghazali ialah orang yang sungguh produktif. Karyanya sungguh banyak, mulai dari kitab yang tertebal hingga yang tipis. Di salah satu karyanya, ia pernah menulis kitab yang berjudul Asrar al-Siyam (Rahasia Puasa). Dalam kitab tersebut secara lazim al-Ghazali meringkas mengenai hakikat dan pesan yang tersirat puasa.
Puasa yakni seperempatnya keimanan di antara seluruh level keimanan manusia. Dalam hal ini al-Ghazali mengambil dua dari hadis Nabi mengenai “puasa itu setengah dari keteguhan dan keteguhan yakni setengah dari keimanan”, dari situlah ia menyimpulkan, berarti puasa itu seperempatnya keimanan. Kenapa demikian? Karena puasa memiliki keistimewaan, bahwa puasa itu kalau daripada barang yang ada di bumi ini, di alam semesta ini, dia menyerupai Masjidil Haram. Masjidil Haram yakni bait Allah, padahal semua bumi dan alam semesta ini adalah milik-Nya, tetapi Masjidil Haram disebut sebagai baitullah (rumah Allah) lantaran diistimewakan. Seperti itulah istimewanya puasa dibanding ibadah-ibadah yang lain.
Dalam kitab Asrar al-Siyam, al-Ghazali menyebutkan salah satu hadis yang berbunyi “Sesungguhnya setan itu berlangsung masuk ke dalam diri insan lewat aliran darah, maka sempitkanlah aliran darah insan dengan lapar”. Dari sini mempunyai arti bahwa setan akan sulit menghipnotis insan jikalau insan tersebut dalam kondisi lapar, yakni dalam kondisi berpuasa.
Dalam banyak filosofi menyebutkan bahwa insan itu sering dikuasai oleh nafsunya, dan nafsu tersebut bisa melemah kalau kondisinya dalam kondisi lapar. Maka itulah mengapa Allah melatih insan untuk melaparkan diri di bulan puasa ini, yakni dalam rangka biar insan tidak senantiasa disetir dan dikungkung oleh hawa nafsunya.
Dalam hal ini terkhusus untuk kaum muda, tidak mesti menanti nanti, lusa ataupun bau tanah untuk menjadi orang baik, untuk melatih nafsu, lantaran dalam suatu hadis meyebutkan bahwa Allah membanggakan anak muda di hadapan malaikatnya yang dapat melatih hawa nafsunya.
Al-Ghazali juga meneyebutkan dalam Asrar al-Siyam bahwa puasa itu memiliki banyak sekali dimensi dan akan sungguh bagus kalau seluruhnya terpenuhi.
Pertama, dimensi kepatuhan, bahwa puasa itu memamerkan kepatuhan kita terhadap Allah.
Kedua, dimensi riyadah, bahwa puasa itu yakni di saat yang sempurna untuk kita melatih dan melaksanakan riyadah dalam menaklukkan hawa nafsu lahir dan batin.
Ketiga, puasa yakni pengorbanan dan persembahan terhadap Allah, puasa yakni mengorbankan enaknya fisik, nyamannya ruhani demi melakukan perintah Allah.
Keempat, puasa yakni penyucian jiwa (tazkiyat an-nafs), dengan berpuasa bisa dijadikan ajang untuk melatih ruhani dari kehendak duniawi.
Kelima, puasa yakni perjuangan, jihad, mujahadah, Rasulullah menyebutkan bahwa jihad yang paling besar yakni jihad menaklukkan diri sendiri, menaklukkan hawa nafsu.
Keenam, puasa yakni keikhlasan, di mana puasa yakni ibadah yang cuma dikenali oleh diri sendiri, puasa tidak dapat dipamerkan dan ditunjuk-tunjukkan, cuma Allah yang tahu insan tersebut sungguh-sungguh berpuasa atau tidak, maka dari situ puasa memiliki dimensi keikhlasan. Dalam suatu hadis Qudsi disebutkan bahwa puasa itu untuk-Ku dan Aku yang hendak membalas, lantaran cuma Aku yang tahu apakah puasa itu lapang dada atau tidak.
Dimensi terakhir dari puasa bahwa puasa yakni pesan yang tersirat dan i’tibar. Dari puasa banyak sekali pesan yang tersirat dan i’tibar yang dapat terambil. Puasa mengajari mengenai kehabisan manusia, mengajari bahwa dimensi ruhani itu sungguh penting dalam dimensi beragama, puasa mengajarkan bagaimana hidup untuk tidak disetir oleh hawa nafsu, puasa mengajari mengenai kehabisan dan kekurangan kita selaku manusia.
Puasa juga mengajarkan kepekaan dan kepedulian sosial, dengan berpuasa kita jadi tahu ada banyak orang yang masih menderita, masih sengsara terkhusus mereka yang kesusahan menyanggupi keperluan sehari-hari dalam mencari makan dan itulah yang kita rasakan sendiri secara eksklusif di saat berpuasa.
Dengan ini, akan sungguh bagus kalau semua konteks puasa tersebut bisa diwujudkan. Sehingga puasanya kian tahun kian meningkat kualitasnya dan tidak sebagaimana yang disabdakan Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wa sallam yang diriwayatkan Abu Hurairah bahwa ada orang yang berpuasa fisiknya, jasmaninya, tetapi tidak berpuasa ruhaninya, maka sungguh faedah puasa tidak ditemukan sepenuhnya, dan Allah tidak memerlukan puasa yang menyerupai itu.
Semoga ibadah puasa kita senantiasa bermakna dan amal ibadah kita meningkat, dibulan Syawwal ini selaku permulaan dari aplikasi dari kesuksesan puasa Ramdlan kita. Aamiin
0 Komentar untuk "Puasa Fasilitas Mendekatkan Diri Terhadap Allah Subhanahu Wa Ta'ala"