Kultum Ramadhan: Kewajiban Memberantas Kemungkaran. Pembaca Sekolahmuonline, berikut ini kami posting untuk Anda, kultum Ramadhan dengan tema atau judul Kewajiban Memberantas Kemungkaran. Kultum ini kami ambil dari Syarah Hadits Arba'in karya Syaikh Ibnu Dqiqil 'Id. Silahkan dibaca untuk tumpuan kultum Ramadhan dan lainnya. Semoga bermanfaat.
Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh. Alhamdulillah, ash-sholaatu was-salaamu 'alaa rasuulillah, wa ba'd.
Dalam Hadits Al-Arba'in An-Nawawiyyah, hadits yang ke-34, Imam An-Nawai menyebutkan hadits riwayat imam Muslim sebagai berikut ini:
KEWAJIBAN MENGINGKARI/MEMBERANTAS KEMUNGKARAN
عن أبي سعيد الخدري – رضي الله عنه – قال : قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول - من رأى منكم منكرا فليغيره بيده ، فإن لم يستطع فبلسانه ، فإن لم يستطع فبقلبه و ذلك أضعف الإيمان - رواه مسلم
Dari Abu Sa'id Al Khudri radhiyallahu anhu, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda : “Barang siapa di antaramu melihat kemungkaran, hendaklah ia merubahnya (mencegahnya) dengan tangannya (kekuasaannya) ; jikalau ia tak sanggup, maka dengan lidahnya (menasihatinya) ; dan jikalau tak sanggup juga, maka dengan hatinya (merasa tidak bahagia dan tidak setuju) , dan demikian itu yaitu selemah-lemah iman”.[Muslim no. 49]
Imam Muslim meriwayatkan Hadits ini dari jalan Thariq bin Syihab, ia berkata : Orang yang pertama kali mendahulukan khutbah pada hari raya sebelum shalat yaitu Marwan. Lalu seorang pria tiba kepadanya, kemudian berkata : “Shalat sebelum khutbah?”. Lalu (laki-laki tersebut) berkata : “Orang itu (Marwan) telah meninggalkan yang ada di sana (Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam)”. Abu Sa’id berkata : “Adapun dalam hal semacam ini telah ada ketentuannya. Saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda : ‘Barang siapa di antaramu melihat kemungkaran hendaklah ia merubahnya (mencegahnya) dengan tangannya (kekuasaannya) ; jikalau ia tak sanggup, maka dengan lidahnya (menasihatinya); dan jikalau tak sanggup juga, maka dengan hatinya (merasa tidak bahagia dan tidak setuju), dan demikian itu yaitu selemah-lemah iman’ “. Hadits ini memberikan bahwa perbuatan semacam itu belum pernah dilakukan oleh siapa pun sebelum Marwan.
Jika ada yang bertanya : “Mengapa Abu Sa’id terlambat mencegah kemungkaran ini, hingga pria tersebut mencegahnya?” Ada yang menjawab : “Mungkin Abu Sa’id belum hadir saat Marwan berkhutbah sebelum shalat. Lelaki itu tidak menyetujui perbuatan tersebut, kemudian Abu Sa’id tiba saat kedua orang tersebut sedang berdebat. Atau mungkin Abu Sa’id sudah hadir tetapi ia merasa takut untuk mencegahnya, lantaran khawatir timbul fitnah akhir pencegahannya itu, sehingga tidak dilakukan. Atau mungkin Abu Sa’id sudah berniat mencegah, tetapi lelaki itu mendahuluinya, kemudian Abu Sa’id mendukungnya”.
Wallaahu a’lam.
Pada Hadits lain yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim dalam Bab Shalat Hari Raya, disebutkan bahwa Abu Sa’id menarik tangan Marwan saat ia hendak naik ke atas mimbar. Ketika keduanya berhadapan, Marwan menolak peringatan Abu Sa’id sebagaimana penolakannya terhadap seorang pria menyerupai yang dikisahkan pada Hadits di atas, atau mungkin masalah ini terjadinya berlainan waktu.
Kalimat “hendaklah ia merubahnya (mencegahnya)” dipahami sebagai perintah wajib oleh segenap kaum muslim. Dalam Al Qur’an dan Sunnah telah ditetapkan kewajiban amar ma’ruf dan nahi mungkar. Ini termasuk pesan yang tersirat dan merupakan urusan agama. Adapun firman Allah :
“Jagalah diri kau sekalian, tidaklah merugikan kau orang yang sesat, jikalau kau telah mendapat petunjuk”. (QS. Al Maidah : 105)
tidaklah bertentangan dengan apa yang telah kami jelaskan, lantaran paham yang benar berdasarkan para ulama jago tahqiq yaitu bahwa makna ayat tersebut ialah jikalau kau sekalian melaksanakan apa yang dibebankan kepadamu, maka kau tidak akan menjadi rugi bila orang lain menyalahi kamu.
Hal ini semakna dengan firman Allah :
“Seseorang tidaklah menanggung dosa orang lain”. (QS. 6 : 164)
Dengan demikian, amar ma’ruf dan nahi mungkar yang dibebankan kepada setiap muslim, jikalau ia telah menjalankannya, sedangkan orang yang diperingatkan tidak melaksanakannya, maka pemberi peringatan telah terlepas dari celaan, alasannya ia hanya diperintah menjalankan amar ma’ruf dan nahi mungkar, tidak harus hingga bisa diterima oleh yang diberi peringatan. Wallaahu a’lam.
Kemudian, amar ma’ruf dan nahi mungkar merupakan perbuatan wajib kifayah, sehingga jikalau telah ada yang menjalankannya, maka yang lain terbebas. Jika semua orang meninggalkannya, maka berdosalah semua orang yang bisa melaksanakannya, terkecuali yang ada udzur. Kemudian ada kalanya menjadi wajib ‘ain bagi seseorang. Misalnya, jikalau di suatu daerah yang tidak ada orang lain yang mengetahui kemungkaran itu selain dia, atau kemungkaran itu hanya bisa dicegah oleh beliau sendiri, contohnya seseorang yang melihat istri, anak, atau pembantunya melaksanakan kemungkaran atau kurang dalam melaksanakan kewajibannya.
Para ulama berkata : “Tanggung jawab amar ma’ruf dan nahi mungkar itu tidaklah terlepas dari diri seseorang hanya Karena ia beranggapan bahwa peringatannya tidak akan diterima. Dalam keadaan demikian ia tetap saja wajib menjalankannya. Allah berfirman :
“Berilah peringatan, lantaran peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang mukmin”. (QS. 51 : 55)
Telah disebutkan di atas bahwa setiap orang berkewajiban melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar, tetapi tidak diwajibkan hingga peringatannya itu diterima.
Allah berfirman :
“Tiadalah kewajiban bagi seorang Rasul melainkan hanya memberikan peringatan”. (QS. 5 : 99)
Para ulama berkata : “Orang yang memberikan amar ma’ruf nahi mungkar tidaklah diharuskan dirinya telah tepat melaksanakan semua yang menjadi perintah agama dan meninggalkan semua yang menjadi larangannya. Ia tetap wajib menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar sekalipun perbuatannya sendiri menyalahi hal itu. Hal ini Karena seseorang wajib melaksanakan dua perkara, yaitu menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar kepada diri sendiri dan kepada orang lain. Jika yang satu (amar ma’ruf nahi mungkar kepada diri sendiri) dikerjakan, tidak berarti yang satunya (amar ma’ruf nahi mungkar kepada orang lain) gugur”.
Para ulama berkata : “Tugas amar ma’ruf dan nahi mungkar tidak hanya menjadi kewajiban para penguasa, tetapi kiprah setiap muslim”. Yang diperintahkan melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar yaitu orang mengetahui perihal apa yang dinilai sebagai hal yang ma’ruf atau mungkar. Bila berkaitan dengan hal-hal yang jelas, menyerupai shalat, puasa, zina, minum khamr, dan semacamnya, maka setiap muslim wajib mencegahnya lantaran ia sudah mengetahui hal ini. Akan tetapi, dalam perbuatan atau perkataan yang rumit dan hal-hal yang berkaitan dengan ijtihad yang golongan awam tidak banyak mengetahuinya, maka mereka tidaklah punya wewenang untuk melaksanakan nahi mungkar. Hal ini menjadi wewenang ulama. Dan para ulama hanya sanggup mencegah kemungkaran yang sudah terperinci ijma’nya. Adapun dalam hal yang masih diperselisihkan, maka dalam hal semacam ini tidak sanggup dilakukan nahi mungkar, alasannya setiap orang berhak menentukan salah satu dari dua macam paham hasil ijtihad. Sedang pendapat setiap mujtahid itu dinilai benar sesuai keyakinannya masing-masing. Inilah pendapat yang dipilih oleh sebagian besar ulama tahqiq. Pendapat lain menyampaikan bahwa yang benar itu hanya satu dan yang salah bisa banyak, tetapi mujtahid yang salah itu tidak berdosa. Sekalipun demikian, dinasihatkan supaya kita menjauhi problem yang diperselisihkan. Hal ini yaitu satu perilaku yang baik. Kita dianjurkan untuk melaksanakan nahi mungkar ini dengan santun.
Syaikh Muhyidin berkata : “Ketahuilah bahwa semenjak usang amar ma’ruf nahi mungkar ini oleh sebagian besar orang telah diabaikan. Pada masa-masa ini hanyalah tinggal dalam goresan pena yang amat sedikit, padahal ini merupakan hal yang amat besar peranannya bagi tegaknya urusan umat dan kekuasaan. Apabila perbuatan-perbuatan jelek merajalela, maka orang-orang shalih maupun orang-orang jahat semuanya akan tertimpa adzab. Jika orang yang shalih tidak mau menahan tangan orang yang zhalim, maka nyaris adzab Allah akan menimpa mereka semua. Allah berfirman :
“Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah rasul-Nya khawatir tertimpa fitnah atau adzab yang pedih”. (QS. 24 : 63)
Oleh lantaran itu, sepatutnya para pencari alam abadi dan orang yang berusaha mendapat keridhaan Allah memperhatikan masalah ini. Hal ini lantaran kemanfaatannya amat besar, apalagi sebagian besar orang sudah tidak peduli, dan orang yanng melaksanakan pencegahan kemungkaran tidak lagi ditakuti, lantaran martabatnya yang rendah. Allah berfirman :
“Sungguh, Allah niscaya menolong orang yang menolong-Nya”. (QS. 22 :40)
Oleh lantaran itu, ketahuilah bahwa pahala itu diberikan sesuai dengan usahanya dan dilarang meninggalkan nahi mungkar ini hanya lantaran ikatan persahabatan atau kecintaan, alasannya sobat yang jujur ialah orang yang membantu saudaranya untuk memajukan kepentingan akhiratnya, sekalipun hal itu sanggup menjadikan kerugian dalam urusan dunianya. Adapun orang yang menjadi musuh ialah orang yang berusaha merugikan perjuangan untuk kepentingan akhiratnya atau menguranginya sekalipun sikapnya menyerupai sanggup membawa laba duniawinya.
Bagi orang yang melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar seyogyanya dilakukan dengan perilaku santun supaya sanggup lebih mendekatkan kepada tujuan. Imam Syafi’i berkata : “Orang yang menasihati saudaranya dengan cara tertutup, maka orang itu telah benar-benar menasihatinya dan berbuat baik kepadanya. Akan tetapi orang yang menasihatinya secara terbuka, maka sebenarnya ia telah menistakannya dan merendahkannya”.
Hal yang sering diabaikan orang dalam hal ini, yaitu saat mereka melihat seseorang menjual barang atau binatang yang mengandung cacat tetapi ia tidak mau menjelaskannya, ternyata mereka tidak mau menegur dan memberitahukan kepada pembeli atas cacat yang ada pada barang itu. Orang-orang semacam itu bertanggung jawab terhadap kemungkaran tersebut, lantaran agama itu yaitu pesan yang tersirat (kejujuran), maka barang siapa tidak mau berlaku jujur atau memberi nasihat, berarti ia telah berlaku curang.
Kalimat “hendaklah ia merubahnya (mencegahnya) dengan tangannya (kekuasaannya) ; jikalau ia tak sanggup, maka dengan lidahnya (menasihatinya) ; dan jikalau tak sanggup juga, maka dengan hatinya” , maksudnya hendaklah ia mengingkari perbuatan itu dalam hatinya. Hal semacam itu tidaklah dikatakan telah merubah atau melenyapkan, tetapi itulah yang sanggup ia kerjakan. Dan kalimat “demikian itu yaitu selemah-lemah iman” maksudnya ialah – Wallaahu a’lam – paling sedikit alhasil (pengaruhnya).
Orang yang melaksanakan amar ma’ruf dan nahi mungkar tidaklah punya hak untuk mencari-cari, mengontrol, memata-matai, dan membuatkan prasangka, tetapi jikalau ia menyaksikan orang lain berbuat mungkar, hendaklah ia mencegahnya. Al Mawardi berkata : “Orang yang melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar tidaklah punya hak untuk membuatkan praduga atau memata-matai, kecuali memberitahukan kepada orang yang bisa dipercaya”. Bila ada seseorang yang membawa orang lain ke daerah sunyi untuk dibunuh, atau membawa seorang wanita ke daerah sunyi untuk dizinai, maka dalam keadaan semacam ini, bolehlah ia memata-matai, mengawasi dan mengintai lantaran khawatir terdahului oleh kejadiannya.
Disebutkan bahwa kalimat “demikian itu yaitu selemah-lemah iman” maksudnya ialah alhasil (pengaruhnya) sangat sedikit. Tersebut dalam riwayat lain :
“Selain dari itu tidak lagi ada kepercayaan sekalipun sebesar biji sawi”.
Artinya selain dari tiga macam perilaku tersebut tidak lagi ada perilaku lain yang ada nilainya dari segi keimanan. Iman yang dimaksud dalam Hadits ini yaitu dengan makna islam.
Hadits ini menyatakan bahwa orang yang takut pembunuhan atau pemukulan, ia terbebas dari melaksanakan pencegahan kemungkaran. Inilah pendapat para ulama jago tahqiq zaman salaf maupun khalaf. Sebagian dari golongan yang ekstrim beropini bahwa sekalipun seseorang takut, tidaklah ia terbebas dari kewajiban mencegah kemungkaran.
0 Komentar untuk "Kultum Ramadhan: Kewajiban Memberantas Kemungkaran"