A. Pengertian Model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan
Pengertian Model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan ialah teori berguru yang didefinisikan sebagai proses pembelajaran yang terjadi apabila materi pembelajaran tidak disajikan dengan dalam bentuk finalnya, tetapi diharapkan akseptor didik itu sendiri yang mengorganisasi sendiri. Hal ini sejalan dengan pendapat Bruner, bahwa: “Discovery Learning can be defined as the learning that takes place when the student is not presented with subject matter in the final form, but rather is required to organize it him self” (Lefancois dalam Emetembun, 1986:103).
Dasar pemikiran Bruner tersebut ialah pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan aktif dalam berguru di kelas. Bruner memakai metode yang disebutnya Discovery Learning, dimana murid mengorganisasi bahan yang dipelajari dengan suatu bentuk akhir (Dalyono, 1996:41).
Sedangkan berdasarkan Budiningsih, (2005:43) Pengertian Model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan diartikan pula sebagai cara berguru memahami konsep, arti, dan hubungan, melalui proses intuitif untuk karenanya hingga kepada suatu kesimpulan. Discovery terjadi bila individu terlibat, terutama dalam penggunaan proses mentalnya untuk menemukan beberapa konsep dan prinsip.Discovery dilakukan melalui observasi, klasifikasi, pengukuran, prediksi, penentuan daninferi. Proses tersebut oleh Robert B. Sund (Malik, 2001:219) disebut cognitive process sedangkan discovery itu sendiri ialah the mental process of assimilatig conceps and principles in the mind
Sebagai strategi belajar, Discovery Learning mempunyai prinsip yang sama dengan inkuiri (inquiry) dan Problem Solving. Tidak ada perbedaan yang prinsipil pada ketiga istilah ini, pada Discovery Learning lebih menekankan pada ditemukannya konsep atau prinsip yang sebelumnya tidak diketahui.
Perbedaannya dengan discovery learning dengan inkuiri learning ialah bahwa pada discovery problem yang dihadapi siswa atau akseptor didik ialah semacam problem yang direkayasa oleh guru, sedangkan pada inkuiri masalahnya bukan hasil rekayasa, sehingga siswa harus mengerahkan seluruh pikiran dan keterampilannya untuk mendapatkan temuan-temuan di dalam problem itu melalui proses penelitian. Sedangkan Perbedaannya dengan discovery learning dengan Problem Solving. Pada model Problem Solving lebih memberi tekanan pada kemampuan menuntaskan masalah.
Prinsip belajar yang nampak jelas dalam Discovery Learning adalah materi atau materi pelajaran yang akan disampaikan tidak disampaikan dalam bentuk final akan tetapi siswa sebagai peserta didik didorong untuk mengidentifikasi apa yang ingin diketahui dilanjutkan dengan mencari informasi sendiri kemudian mengorgansasi atau membentuk (konstruktif) apa yang mereka ketahui dan mereka pahami dalam suatu bentuk akhir.
Dengan mengaplikasikan metode Discovery Learning secara berulang-ulang sanggup meningkatkan kemampuan penemuan diri individu yang bersangkutan. Penggunaan metodeDiscovery Learning, ingin merubah kondisi belajar yang pasif menjadi aktif dan kreatif. Mengubah pembelajaran yang teacher oriented ke student oriented. Mengubah modus Ekspositori siswa hanya menerima informasi secara keseluruhan dari guru ke modus Discovery siswa menemukan informasisendiri.
Dalam Konsep Belajar, sesungguhnya metode Discovery Learning merupakan pembentukan kategori-kategori atau konsep-konsep, yang dapat memungkinkan terjadinya generalisasi. Sebagaimana teori Bruner tentang kategorisasi yang Nampak dalam Discovery, bahwa Discovery adalah pembentukan kategori-kategori, atau lebih sering disebut sistem-sistem coding. Pembentukan kategori-kategori dan sistem-sistem coding dirumuskan demikian dalam arti relasi-relasi (similaritas & difference) yang terjadi diantara obyek-obyek dan kejadian-kejadian (events).
Bruner memandang bahwa suatu konsep atau kategorisasimemiliki lima unsur, dan siswa dikatakan memahami suatu konsep apabila mengetahui semua unsur dari konsep itu, meliputi: 1) Nama; 2) Contoh-contoh baik yang positif maupun yang negatif; 3) Karakteristik, baik yang pokok maupun tidak; 4) Rentangan karakteristik; 5) Kaidah (Budiningsih, 2005:43). Bruner menjelaskan bahwa pembentukan konsep merupakan dua kegiatan mengkategori yang berbeda yang menuntut proses berpikir yang berbeda pula. Seluruh kegiatan mengkategori meliputi mengidentifikasi dan menempatkan contoh-contoh (obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa) ke dalam kelas dengan menggunakan dasar kriteria tertentu.
Di dalam proses belajar, Bruner mementingkan partisipasi aktif dari tiap siswa, dan mengenal dengan baik adanya perbedaan kemampuan. Untuk menunjang proses berguru perlu lingkungan memfasilitasi rasa ingin tahu siswa pada tahap eksplorasi. Lingkungan ini dinamakan Discovery Learning Environment, yaitu lingkungan dimana siswa sanggup melakukan eksplorasi, penemuan-penemuan baru yang belum dikenal atau pengertian yang mirip dengan yang sudah diketahui. Lingkungan seperti ini bertujuan agar siswa dalam proses berguru sanggup berjalan dengan baik dan lebih kreatif.
Untuk memfasilitasi proses belajar yang baik dan kreatif harus berdasarkan pada manipulasi bahan pelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa. Manipulasi bahan pelajaran bertujuan untuk memfasilitasi kemampuan siswa dalam berpikir (merepresentasikan apa yang dipahami) sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh bagaimana caralingkungan, yaitu: enactive, iconic, dan symbolic. Tahap enaktive, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya untuk memahami lingkungan sekitarnya, artinya, dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motorik, misalnya melalui gigitan, sentuhan, pegangan, dan sebagainya. Tahap iconic, seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya anak berguru melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komparasi).Tahap symbolic, seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika, dan sebagainya.
Komunikasinya dilakukan dengan menggunakan banyak simbol. Semakin matang seseorang dalam proses berpikirnya, semakin dominan sistem simbolnya. Secara sederhana teori perkembangan dalam faseenactive, iconicdansymbolicadalah anak menjelaskan sesuatu melalui perbuatan (ia bergeser ke depan atau kebelakang di papan mainan untuk menyesuaikan beratnya dengan berat temannya bermain) ini fase enactive. Kemudian pada faseiconic ia menjelaskan keseimbangan pada gambar atau bagan dan akhirnya ia menggunakan bahasa untuk menjelaskan prinsip keseimbangan ini fasesymbolic(Syaodih, 85:2001).
Dalam mengaplikasikan Model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan guru berperan sebagai pembimbing dengan memperlihatkan kesempatan kepada siswa untuk berguru secara aktif, sebagaimana pendapat guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan (Sardiman, 2005:145). Kondisi seperti ini ingin merubah kegiatan berguru mengajar yangteacher orientedmenjadistudent oriented.
Hal yang menarik dalam pendapat Bruner yang menyebutkan: hendaknya guru harus memberikan kesempatan muridnya untuk menjadi seorangproblem solver, seorang scientis, historin, atau ahli matematika. Dalam metode Discovery Learning bahan bimbing tidak disajikan dalam bentuk akhir, siswa dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan menghimpun informasi, membandingkan, mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan, mereorganisasikan materi serta membuat kesimpulan-kesimpulan. Hal tersebut memungkinkan murid-murid menemukan arti bagi diri mereka sendiri, dan memungkinkan mereka untuk mempelajari konsep-konsep di dalam bahasa yang dimengerti mereka. Dengan demikian seorang guru dalam aplikasi metode Discovery Learning harus sanggup menempatkan siswa pada kesempatan-kesempatan dalam berguru yanglebih mandiri. Bruner menyampaikan bahwa proses berguru akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya (Budiningsih, 2005:41).
Pada akhirnya yang menjadi tujuan dalam metode Discovery Learning menurut Bruner adalah hendaklah guru memberikan kesempatan kepada muridnya untuk menjadi seorang problem solver, seorang scientist, historian, atauahli matematika. Melalui kegiatan tersebut siswa akan menguasainya, menerapkan, serta menemukan hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya.
Karakteristik yang paling jelas mengenai Discovery sebagai metode mengajar ialah bahwa sesudah tingkat-tingkat inisial (pemulaan) mengajar, bimbingan guru hendaklah lebih berkurang dari pada metode-metode mengajar lainnya. Hal ini tak berarti bahwa guru menghentikan untuk memberikan suatu bimbingan setelah problema disajikan kepada pelajar. Tetapi bimbingan yang diberikan tidak hanya dikurangi direktifnya melainkan pelajar diberi responsibilitas yang lebih besar untuk berguru sendiri.
Berdasarkan uraian di atas, pengertian Model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan adalah pembelajaran untuk menemukan konsep, makna, dan korelasi kausal melalui pengorganisasian pembelajaran yang dilakukan oleh akseptor didik.
B. Ciri dan Karakteristik Model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan
Tiga ciri utama berguru dengan Model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan yaitu: (1) mengeksplorasi dan memecahkan problem untuk menciptakan, menggabungkan dan menggeneralisasi pengetahuan; (2) berpusat pada akseptor didik; (3) kegiatan untuk menggabungkan pengetahuan gres dan pengetahuan yang sudah ada.
Karakteristik dari Model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan
a) Peran guru sebagai pembimbing;
b) Peserta didik berguru secara aktif sebagai seorang ilmuwan;
c) Bahan bimbing disajikan dalam bentuk informasi dan akseptor didik melaksanakan kegiatan menghimpun, membandingkan, mengkategorikan, menganalisis, serta membuat kesimpulan.
C. Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Discovery Learning
1. Kelebihan Penerapan Model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan
a. Membantu siswa untuk memperbaiki dan meningkatkan keterampilan-keterampilan dan proses-proses kognitif. Usaha penemuan merupakan kunci dalam proses ini, seseorang tergantung bagaimana cara belajarnya.
b. Pengetahuan yang diperoleh melalui metode ini sangat pribadi dan ampuh karenamenguatkan pengertian, ingatan dan transfer.
c. Menimbulkan rasa bahagia pada siswa, sebab tumbuhnya rasa mengusut danberhasil.
d. Metode ini memungkinkan siswa berkembang dengan cepat dan sesuai dengan kecepatannya sendiri.
e. Menyebabkan siswa mengarahkan kegiatan belajarnya sendiri dengan melibatkanakalnya dan motivasi sendiri.
f. Metode ini dapat membantu siswa memperkuat konsep dirinya, Karena memperoleh kepercayaan bekerja sama dengan yang lainnya.
g. Berpusat pada siswa dan guru berperan sama-sama aktif mengeluarkan gagasan-gagasan. Bahkan gurupun sanggup bertindak sebagai siswa, dan sebagai peneliti di dalam situasi diskusi.
h. Membantu siswamenghilangkanskeptisme (keragu-raguan) sebab mengarah padakebenaran yang final dan tertentuatau pasti.
i. Siswa akan mengerti konsep dasar dan ide-ide lebih baik.
j. Membantu dan menyebarkan ingatan dan transfer kepada situasi proses belajaryang baru.
k. Mendorong siswa berpikir danbekerja atas inisiatif sendiri.
l. Mendorong siswa berpikir intuisi dan merumuskan hipotesis sendiri.
m. Memberikan keputusan yang bersifat intrinsic.
n. Situasi proses berguru menjadi lebih terangsang.
o. Proses berguru mencakup sesama aspeknya siswa menuju pada pembentukan insan seutuhnya.
p. Meningkatkan tingkat penghargaanpadasiswa.
q. Kemungkinan siswa berguru dengan memanfaatkan banyak sekali jenis sumber belajar.
r. Dapat menyebarkan talenta dankecakapan individu.
2. Kelemahan Penerapan Model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan
a. Metode inimenimbulkan asumsi bahwa ada kesiapan pikiran untuk belajar. Bagi siswa yangkurang pandai, akan mengalami kesulitan aneh atauberpikiratau mengungkapkan hubunganantara konsep-konsep, yang tertulis atau lisan, sehingga pada gilirannya akan menjadikan frustasi.
b. Metode ini tidak efisien untuk mengajar jumlah siswa yang banyak, karenamembutuhkan waktu yang lama untuk membantu mereka menemukan teori atau pemecahan problem lainnya.
c. Harapan-harapan yang terkandung dalam metode ini dapat buyar berhadapandengan siswa dan guru yang telah terbiasa dengan cara-cara berguru yang lama.
d. Pengajaran discovery lebih cocok untuk mengembangkan pemahaman, sedangkan menyebarkan aspek konsep, keterampilan dan emosi secara keseluruhan kurang mendapat perhatian.
e. Pada beberapa disiplin ilmu, misalnya IPA kurang fasilitas untuk mengukur gagasan yang dikemukakan oleh para siswa
f. Tidak menyediakan kesempatan-kesempatanuntukberpikiryang akan ditemukanoleh siswa dikarenakan telah dipilih terlebih dahulu oleh guru
D.Langkah-langkah Operasional Implementasi Model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan
Berikut ini langkah-langkah dalam mengaplikasikan model discovery learning di kelas.
Langkah Persiapan Metode Discovery Learning
1. Menentukan tujuan pembelajaran.
2. Melakukan identifikasi karakteristik siswa akseptor didik (kemampuan awal, minat, gaya belajar, dan sebagainya).
3. Memilih materi pelajaran
4. Menentukan topik-topik yang harus dipelajarisiswapeserta didiksecara induktif (dari contoh-contoh generalisasi)
5. Mengembangkan bahan-bahan berguru yang berupa contoh-contoh, ilustrasi, kiprah dan sebagainya untuk dipelajarisiswapeserta didik
6. Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari yang kasatmata ke abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonik hingga ke simbolik.
7. Melakukan evaluasi proses dan hasil belajarsiswapeserta didik.
Prosedur Aplikasi Metode / Model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan
Menurut Syah (2004:244) dalam mengaplikasikan metode Discovery Learning di kelas, ada beberapa prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan belajar mengajar secara umum sebagai berikut:
Pemberian Stimulasi dalam model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan bisa dengan cara membaca |
1. Stimulation (Stimulasi/Pemberian Rangsangan)
Pertama-tama pada tahap ini pelajar dihadapkan pada sesuatu yang menjadikan kebingungannya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi generalisasi, agar timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. Disamping itu guru dapat memulai kegiatan PBM dengan mengajukan pertanyaan, usulan membaca buku, dan acara berguru lainnya yang mengarah pada persiapan pemecahan masalah. Stimulasi pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi interaksi belajar yang sanggup menyebarkan dan membantu siswa dalam mengeksplorasi bahan. Dalam hal ini Bruner memberikan stimulation dengan menggunakan teknik bertanya yaitu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dapat menghadapkan siswa pada kondisi internal yang mendorong eksplorasi. Dengan demikian seorang Guru harus menguasai teknik-teknik dalam memberi stimulus kepada siswa agar tujuan mengaktifkan siswa untuk mengeksplorasi sanggup tercapai.
Identifikasi Masalah dalam model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan bisa dengan cara diskusi |
2. Problem Statement (Pernyataan/ Identifikasi Masalah)
Setelah dilakukan stimulasi langkah selanjutya ialah guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas pertanyaan masalah) (Syah 2004:244), sedangkan berdasarkan permasalahan yang dipilih itu selanjutnya harus dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, atau hipotesis, yakni pernyataan (statement) sebagai jawaban sementara atas pertanyaan yang diajukan.
Memberikan kesempatan siswa untuk mengidentifikasi dan menganalisis permasasalahan yang mereka hadapi, merupakan teknik yang berguna dalam membangun siswa biar mereka terbiasa untuk menemukan suatu masalah.
Pengumpulan Data dalam model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan bisa dengan cara wawancara, Studi Pustaka, dll. |
3. Data Collection (Pengumpulan Data)
Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan kepada parasiswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis (Syah, 2004:244). Pada tahap ini berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau mengambarkan benar tidaknya hipotesis.
Dengan demikian anak didikdiberi kesempatan untuk mengumpulkan (collection) banyak sekali informasi yang relevan, membaca literatur, mengamati objek, wawancara dengan nara sumber, melaksanakan uji coba sendiri dan sebagainya. Konsekuensi dari tahap ini ialah siswa belajar secara aktif untuk menemukan sesuatu yang berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi, dengan demikian secara tidak disengaja siswa menghubungkan problem dengan pengetahuan yang telah dimiliki.
4. Data Processing (Pengolahan Data)
Menurut Syah (2004:244)pengolahan data merupakan kegiatan mengolah data dan informasi yang telah diperoleh para siswa baik melalui wawancara, observasi, dan sebagainya, lalu ditafsirkan. Semua informai hasil bacaan, wawancara, observasi, dan sebagainya, semuanya diolah, diacak, diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan bila perlu dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan tertentu (Djamarah, 2002:22).
Dataprocessing disebut juga dengan pengkodean coding/ kategorisasi yang berfungsi sebagai pembentukan konsep dan generalisasi. Dari generalisasi tersebut siswa akan mendapatkan pengetahuan baru tentang alternatif jawaban/ penyelesaian yang perlu mendapat pembuktian secara logis
Ini contoh verifikasi data dalam model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan |
5. Verification (Pembuktian)
Pada tahap ini siswa melaksanakan investigasi secara cermat untuk mengambarkan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan temuan alternatif, dihubungkan dengan hasil data processing (Syah, 2004:244).Verification berdasarkan Bruner, bertujuan biar proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya.
Berdasarkan hasil pengolahan dan tafsiran, atau informasi yang ada, pernyataan atau hipotesis yang telah dirumuskan terdahulu itu kemudian dicek, apakah terjawab atau tidak, apakah terbukti atau tidak.
Contoh Proses Menarik Simpulan dalam model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan |
6. Generalization (Menarik Kesimpulan/Generalisasi)
Tahap generalisasi/menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi (Syah, 2004:244). Berdasarkan hasil verifikasi maka dirumuskan prinsip-prinsip yang mendasari generalisasi. Setelah menarik kesimpulan siswa harus memperhatikan proses generalisasi yang menekankan pentingnya penguasaan pelajaran atas makna dan kaidah atau prinsip-prinsip yang luas yang mendasari pengalaman seseorang, serta pentingnya proses pengaturan dan generalisasi dari pengalaman-pengalaman itu.
Berdasarkan uraian di atas, Langkah-langkah Discovery Learning secara singkat ialah sebagai berikut:
Tahap | Deskripsi |
Tahap 1 Persiapan | Guru Menentukan tujuan pembelajaran, identifikasi karakteristik akseptor didik (kemampuan awal, minat, gaya belajar, dan sebagainya) |
Tahap 2 Stimulasi/pemberian rangsangan | Guru sanggup memulai kegiatan PBM dengan menga-jukan pertanyaan, usulan membaca buku, dan acara berguru lainnya yang mengarah pada persiapan pemecahan masalah. Stimulasi pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi interaksi berguru yang sanggup menyebarkan dan membantu akseptor didik dalam mengeksplorasi bahan |
Tahap 3 Identifikasi masalah | Guru Mengidentifikasi sumber belajardan memberi kesempatan kepada akseptor didik untuk mengiden-tifikasi sebanyak mungkin agenda-agenda problem yang relevan dengan materi pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas pertanyaan masalah) |
Tahap 4 Mengumpulkan data | Guru Membantu akseptor didik mengumpulan dan mengeksplorasi data. |
Tahap 5 Pengolahan data | Guru membimbing akseptor didik dalam kegiatan mengolah data dan informasi yang telah diperoleh para akseptor didik baik melalui wawancara, observasi, dan sebagainya |
Tahap 6 Pembuktian | Guru membimbing akseptor didik melaksanakan investigasi secara cermat untuk mengambarkan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan dengan temuan alternatif, dihubungkan dengan hasil |
Tahap 7 Menarik kesimpulan | Guru membimbing akseptor didik merumuskan prinsip dan generalisasi hasil penemuannya. |
D. Sistem Penilaian
Dalam Model Pembelajaran Discovery Learning, penilaian dapat dilakukan dengan menggunakan tes maupun nontes, sedangkan penilaian yang digunakan dapat berupa penilaian kognitif, proses, sikap, atau penilaian hasil kerja siswa. Jika bentuk penialainnya berupa penilaian kognitif, maka dalam model pembelajaran discovery learning sanggup menggunakan tes tertulis. Jika bentuk penilaiannya menggunakan penilaian proses, sikap, atau penilaian hasil kerja siswa, maka pelaksanaan penilaian dapat menggunakan contoh-contoh format evaluasi ibarat tersebut di bawah ini.
1. Penilaian Tertulis
Penilaian tertulis merupakan tes dimana soal dan jawaban yang diberikan kepada peserta didik dalam bentuk tulisan. Dalam menjawab soal peserta didik tidak selalu merespon dalam bentuk menulis jawaban tetapi dapat juga dalam bentuk yang lain seperti memberi tanda, mewarnai, menggambar dan lain sebagainya.Ada dua bentuk soal tes tertulis, yaitu berikut ini
1. Soal dengan menentukan jawaban.
a. pilihan ganda
b. dua pilihan (benar-salah, ya-tidak)
c. menjodohkan
2.Soal dengan mensuplai-jawaban.
a. isian atau melengkapi
b. balasan singkat
c. soal uraian
Dari banyak sekali alat evaluasi tertulis, tes menentukan balasan benar-salah, isian singkat, dan menjodohkan merupakan alat yang hanya menilai kemampuan berpikir rendah, yaitu kemampuan mengingat (pengetahuan). Tes pilihan ganda sanggup dipakai untuk menilai kemampuan mengingat dan memahami. Pilihan ganda mempunyai kelemahan, yaitu akseptor didik tidak menyebarkan sendiri jawabannya tetapi cenderunghanya menentukan balasan yang benar dan kalau akseptor didik tidak mengetahui balasan yang benar, maka akseptor didik akan menerka.
Hal ini menimbulkan kecenderungan peserta didik tidak belajar untuk memahami pelajaran tetapi menghafalkan soal dan jawabannya. Alat evaluasi ini kurang dianjurkan pemakaiannya dalam evaluasi kelas sebab tidak menggambarkan kemampuan akseptor didik yang sesungguhnya.
Tes tertulis bentuk uraian adalah alat penilaian yang menuntut peserta didik untuk mengingat, memahami, dan mengorganisasikan gagasannya atau hal-hal yang sudah dipelajari, dengan cara mengemukakan atau mengekspresikan gagasan tersebut dalam bentuk uraian tertulis dengan menggunakan kata-katanya sendiri. Alat ini sanggup menilai berbagai jenis kemampuan, misalnya mengemukakan pendapat, berpikir logis, dan menyimpulkan.Kelemahan alat ini antara lain cakupan materi yang ditanyakan terbatas.
Dalam menyusun instrumen evaluasi tertulis perlu dipertimbangkan hal-hal berikut:
a. materi, contohnya kesesuian soal dengan indikatorpada kurikulum;
b. konstruksi, contohnya rumusan soal atau pertanyaan harus terang dan tegas.
c. bahasa, misalnya rumusan soal tidak menggunakan kata/ kalimat yang menimbulkanpenafsiran ganda.
2. PenilaianDiri
Penilaian diri (self assessment) adalah suatu teknik penilaian, subyek yang ingin dinilai diminta untuk menilai dirinya sendiri berkaitan dengan, status, proses dan tingkat pencapaian kompetensi yang dipelajarinya dalam mata pelajaran tertentu.
Teknik penilaian diri dapat digunakan dalam berbagai aspek penilaian, yang berkaitan dengan kompetensi kognitif, afektif dan psikomotor. Dalam proses pembelajaran di kelas, berkaitan dengan kompetensi kognitif, misalnya: peserta didik dapat diminta untuk menilai penguasaan pengetahuan dan keterampilan berpikir sebagai hasil belajar dalam mata pelajaran tertentu, berdasarkan kriteria atau pola yang telah disiapkan. Berkaitan dengan kompetensi afektif, misalnya, peserta didik dapat diminta untuk membuat tulisan yang memuat curahan perasaannya terhadap suatu obyek sikap
Proses evaluasi dalam penerapan Model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan selain menggunakan jenis evaluasi tertulis dan penilian diri, sanggup juga dilakukan melalui evaluasi kinerja, evaluasi produk dan evaluasi sikap.
Daftar Pustaka
Dahar, RW., 1991.Teori-Teori Belajar.Jakarta: Penerbit Erlangga.
Holiwarni, B., dkk., 2008.Penerapan Metode Penemuan Terbimbing pada Mata Pelajaran Sains untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas IV SDN 016 Pekanbaru Kota(Laporan Penelitian).Pekanbaru:Lemlit UNRI
https://idn.paperplane-tm.site/search?q=model-pembelajaran-discovery-learning
Jurnal Geliga Sains 3 (2), 8-13, 2009Program Studi Pendidikan Fisika FKIP Universitas Riau ISSN 1978-502X.
Rizqi, 2000.Pengembangan PerangkatPembelajaran Berorientasi Pembelajaran Penemuan Terbimbing (Guide-Discovery Learning) yang Mengintegrasikan Kegiatan Laboratorium untuk Fisika SLTP Bahan Kajian Pengukuran. Tesis, UNESA (tidak dipublikasikan).
Syamsudini , 2012.Aplikasi Metode Discovery Learning dalam Meningkatkan Kemampuan Memecahkan Masalah, Motivasi Belajar dan Daya Ingat Siswa.
Syah, M., 1996.Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Baru.Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013. Materi Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum 2013, Jakarta: Kemendikbud.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2020. Materi Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum 2013, Jakarta: Kemendikbud.
0 Komentar untuk "Model Dan Metode Pembelajaran Discovery Learning Atau Penemuan"