Inilah Hukum Asuransi Dalam Islam
[Baca Biar Paham!]
[Baca Biar Paham!]
Di antara bentuk transaksi riba yang telah menjamur di setiap masyarakat di belahan bumi manapun ialah asuransi. Oleh lantaran itu, berikut ini saya nukilkan fatwa-fatwa ulama seputar permasalahan asuransi dengan banyak sekali macam dan jenisnya. Hal ini saya lakukan, lantaran pada fatwa-fatwa berikut telah tercakup banyak sekali argumentasi masing-masing pendapat dalam duduk kasus ini.
Edaran Komite Tetap Untuk Riset Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia
“Segala puji hanya milik Allah Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Amma ba’du:
Sesungguhnya telah terbit dari Hai’ah Kibarul Ulama’ (Kerajaan Saudi Arabia, pen.) suatu keputusan yang menetapkan akan keharaman “Asuransi Komersial” dengan segala bentuknya. Dikarenakan asuransi mengandung kerugian, faktor untung-untungan yang amat besar, dan praktik memakan harta orang lain dengan cara yang bathil (tidak benar), dan itu ialah hal-hal yang diharamkan dan dihentikan keras oleh syariat yang suci ini. Sebagaimana telah terbit dari Hai’ah Kibarul Ulama’ wacana bolehnya asuransi gotong royong (At-Ta’min at-Ta’awuny), yaitu asuransi yang menampung banyak sekali sumbangan dari para donatur, dan dimaksudkan untuk memberi pinjaman kepada orang yang membutuhkan, atau terkena musibah, dan tidak ada laba sedikitpun yang diberikan kepada para pesertanya, baik modal atau hasil atau laba komersial yang lain apapun bentuknya. Karena, tujuan dari setiap orang yang ikut andil padanya hanyalah mengharapkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui jalan membantu orang yang sedang membutuhkan, dan tidak bertujuan mencari laba yang bersifat duniawi. Dan asuransi jenis ini tercakup oleh firman Allah Ta’ala,
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ.
“Dan tolong-menolonglah dalam kebaikan dan ketakwaan, dan jangan tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan.” (Qs. al-Maidah: 2).
Dan juga tercakup oleh sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
والله في عون العبد ما كان العبد في عون أخيه
“Dan Allah akan senantiasa menolong seorang hamba, selama hamba tersebut menolong saudaranya.”, dan hal ini amatlah jelas, tidak ada permasalahan padanya sedikitpun.
Akan tetapi, telah muncul pada akhir-akhir ini dari sebagian perseroan terbatas (PT) dan perusahaan banyak sekali upaya untuk mengelabuhi masyarakat dan memutarbalikkan fakta, di mana mereka menamakan “Asuransi Komersial” yang jelas-jelas haram dengan sebutan “Asuransi Gotong Royong”. Dan mereka menisbatkan pembolehan asuransi macam itu kepada Hai’ah Kibarul Ulama’, guna memperdaya masyarakat dan mempropagandakan perusahaan mereka. Dan Hai’ah Kibarul Ulama’ benar-benar terlepas dari tindakan tersebut, lantaran keputusan mereka jelas-jelas membedakan antara “Asuransi Komersial” dari “Asuransi Gotong Royong”. Sedangkan perubahan nama tidaklah sanggup mengubah suatu hakikat. Guna menjelaskan kepada masyarakat dan menyingkap penyamaran, serta membongkar keduataan, kami menerbitkan edaran ini.
Semoga shalawat dan salam yang berlimpah senantiasa dikaruniakan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan seluruh sahabatnya.
(Majmu’ Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah, 14/268).
Keputusan Hai’ah Kibarul Ulama’ Kerajaan Saudi Arabia Tentang Asuransi
“Segala puji hanya milik Allah semata. Shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi yang tiada nabi setelahnya, dan juga kepada keluarga dan setiap orang yang meniti jalannya sampai hari Kiamat.
Amma ba’du:
Setelah Majelis Hai’ah Kibarul Ulama’ mendengarkan seluruh pemaparan yang telah berlalu, kemudian dilanjutkan dengan mendiskusikan banyak sekali dalil orang-orang yang membolehkan asuransi secara mutlak, dan juga banyak sekali dalil orang-orang yang melarangnya secara mutlak, serta alasan orang-orang yang merincinya, yaitu dengan membolehkan sebagian bentuk “asuransi komersial” dan melarang yang lainnya. Dan sesudah melalui diskusi dan dengar pendapat, Majelis Hai’ah Kibarul Ulama’ menetapkan dengan bunyi terbanyak, bahwa “asuransi komersial” ialah haram hukumnya, berdasarkan dalil-dalil berikut:
Pertama: Akad “asuransi komersial” ialah salah satu bentuk kesepakatan tukar-menukar barang yang berdasarkan pada asas untung-untungan, sehingga sisi ketidakjelasannya/ gharar besar, lantaran nasabah pada dikala kesepakatan tidak sanggup mengetahui jumlah uang yang harus ia setorkan dan jumlah klaim yang akan ia terima. Bisa saja ia menyetor sekali atau dua kali setoran, kemudian terjadi kecelakaan, sehingga ia berhak mengajukan klaim yang menjadi komitmen perusahaan asuransi. Dan mungkin juga sama sekali tidak pernah terjadi kecelakaan, sehingga nasabah membayar seluruh setoran, tanpa mendapatkan apapun. Demikian juga, perusahaan asuransi tidak sanggup memilih jumlah klaim yang harus ia bayarkan dan jumlah setoran yang akan ia terima, jika dicermati dari setiap kesepakatan secara terpisah. Padahal, telah dinyatakan dalam hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam larangan dari jual beli gharar (yang tidak jelas).
Kedua: Akad “asuransi komersial” ialah salah satu bentuk perjudian, dikarenakan padanya terdapat unsur untung-untungan dalam hal tukar-menukar harta benda, dan terdapat kerugian tanpa ada kesalahan atau tindakan apapun, dan padanya juga terdapat laba tanpa ada imbal baliknya atau dengan imbal balik yang tidak seimbang. Karena nasabah adakala gres membayarkan beberapa setoran asuransinya, kemudian terjadilah kecelakaan, sehingga perusahaan asuransi menanggung seluruh biaya yang menjadi klaimnya. Dan sanggup saja tidak terjadi kecelakaan, sehingga dikala itu perusahaan berhasil mengeruk seluruh setoran nasabah tanpa ada imbalan sedikitpun. Dan jika pada suatu kesepakatan unsur ketidakjelasan benar-benar nyata, maka kesepakatan itu termasuk perjudian, dan tercakup dalam keumuman larangan dari perjudian yang disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
يَأَيُّها الَّذينَ آمَنُوا إِنَّما الخَمْرُ والمَيْسِرُ والأَنصَابُ والأزْلاَمُ رجسٌ مِنْ عَمَل الشَّيطَان فَاجْتَنِبُوه لَعَلَّكُم تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, perjudian, berkurban untuk berhala, mengundi nasib ialah perbuatan keji termasuk perbuatan setan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu biar kau menerima keberuntungan.” (Qs. Al Maidah: 90) dan juga tercakup dalam ayat sesudah ayat tersebut.
Ketiga: Akad “asuransi komersial” mengandung unsur riba fadhl (riba perniagaan) dan riba nasi’ah (penundaan), lantaran perusahaan asuransi jika ia membayar ke nasabahnya atau ke mahir warisnya atau kepada orang yang berhak memanfaatkan suatu klaim yang lebih besar dari uang setoran (iuran) yang ia terima, maka itu ialah riba fadhl, sedangkan perusahaan asuransi akan membayar klaim tersebut kepada nasabahnya sesudah berlalu batas waktu tenggang dari dikala terjadi akad, maka itu ialah riba nasi’ah. Dan jika perusahaan membayar klaim nasabah sebesar uang setoran yang pernah ia setorkan ke perusahaan, maka itu ialah riba nasi’ah saja, dan keduanya diharamkan menurt dalil dan ijma’ (kesepakatan ulama).
Keempat: Akad “asuransi komersial” termasuk pertaruhan yang terlarang, lantaran masing-masing dari asuransi ini dan pertaruhan terdapat unsur ketidakjelasan, untung-untungan, dan mengundi nasib. Padahal, syariat tidak membolehkan pertaruhan selain pertaruhan yang padanya terdapat unsur pembelaan terhadap agama Islam, dan penegakkan benderanya dengan hujjah/ dalil dan pedang/ senjata. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membatasi rukhshah (keringanan) pertaruhan dengan tebusan hanya pada tiga hal:
لاَ سَبَقَ إلاَّ فِي خُفٍّ أو حَافِرٍ أو نَصْلٍ
“Tiada hadiah selain pada unta atau kuda atau senjata tajam.” Dan “asuransi” tidaklah termasuk salah satu darinya, tidak juga serupa dengannya, sehingga diharamkan.
Kelima: Akad “asuransi komersial” padanya terdapat praktik pemungutan harta orang lain tanpa imbalan, sedangkan mengambil harta orang lain tanpa ada imbalan dalam transaksi perniagaan ialah diharamkan, dikarenakan tercakup oleh keumuman firman Allah Ta’ala:
يَأَيُّها الَّذين آمَنُوا لاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةٍ عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kau memakan harta sesama kau dengan cara-cara yang bathil, kecuali dengan cara perniagan dengan asas suka sama suka di antara kamu.” (Qs. an-Nisa’: 29).
Keenam: Pada kesepakatan “asuransi komersial” terdapat pengharusan sesuatu yang tidak diwajibkan dalam syariat, lantaran perusahaan asuransi tidak pernah melaksanakan suatu tindakan yang merugikan, tidak juga menjadi penyebab terjadinya kerugian. Perusahaan asuransi hanyalah melaksanakan kesepakatan bersama nasabah untuk menjamin kerugian jika hal itu terjadi, dengan imbalan iuran/ setoran yang dibayarkan oleh nasabah kepadanya, sedangkan perusahaan asuransi tidak pernah melaksanakan pekerjaan apapun untuk nasabahnya, sehingga kesepakatan ini diharamkan.
Adapun dalil-dalil yang dijadikan pegangan oleh orang-orang yang membolehkan “asuransi komersial” secara mutlak atau pada sebagian macamnya, maka bantahannya sebagai berikut:
A. Berdalil dengan kaidah “maslahah/ kemaslahatan” tidak sanggup dibenarkan, lantaran kaidah maslahat dalam syariat Islam ada tiga bagian:
– Bagian pertama: Maslahat yang dibenarkan oleh syariat penggunaannya, dan penggalan ini sanggup menjadi dalil.
– Bagian kedua: Maslahat yang tidak diketahui statusnya, apakah syariat meninggalkannya atau menggunakannya, dan inilah yang disebut dengan maslahah mursalah, dan maslahah jenis ini merupakan permasalahan yang menjadi ajang ijtihad para ulama.
– Bagian ketiga: Masalahat yang telah terbukti bahwa syariat sengaja meninggalkannya, dan kesepakatan “asuransi komersial” padanya terdapat unsur ketidakjelasan, untung-untungan, perjudian, dan riba, sehingga termasuk maslahat yang ditinggalkan oleh syariat, dikarenakan sisi kerusakannya lebih besar dibanding sisi kemaslahatannya.
B. Hukum asal perniagaan yaitu “mubah“, tidak sanggup dijadikan dalil pada permasalahan ini, lantaran kesepakatan “asuransi komersial” telah terbukti bertentangan dengan dalil-dalil al-Qur’an dan as-Sunnah. Sedangkan, pengamalan kaidah “hukum asal perniagaan yaitu mubah” disyaratkan tidak ada dalil yang mengubah aturan tersebut, padahal dalil tersebut telah didapatkan, maka batallah pendalilan dengan kaidah dasar tersebut.
C. Kaidah:
الضَّرورات تبيح المحظورات
“Setiap keterpaksaan (darurat) membolehkan hal yang dilarang.” Tidak sanggup dijadikan dalil di sini, lantaran jalan-jalan mengais penghasilan yang halal jauh lebih banyak berlipat ganda dibanding jalan yang diharamkan atas manusia. Sehingga, tidak ada keadaan darurat yang dibenarkan secara syariat yang memaksa seseorang untuk melaksanakan hal yang telah diharamkan syariat, yaitu berupa asuransi.
D. Tidak dibenarkan berdalil dengan tradisi, lantaran tradisi bukan termasuk dalil dalam mensyariatkan hukum. Tradisi hanya sebagai dasar dalam penerapan hukum, dan memahami maksud dari teks-teks dalil dan ungkapan insan dalam persumpahan, somasi dan info masyarakat, serta setiap hal yang memerlukan kepada penentuan maksud, baik berupa perbuatan atau ucapan. Sehingga, tradisi tidak mempunyai efek dalam hal-hal yang telah nyata, dan telah terang maksudnya. Dan dalil-dalil telah memperlihatkan dengan aktual wacana larangan dari “asuransi”, sehingga tradisi tidak sanggup dijadikan pertimbangan.
E. Beralasan bahwa kesepakatan “aasuransi komersial” termasuk salah satu kesepakatan mudharabah/ bagi hasil atau yang serupa dengannya tidak sanggup dibenarkan. Karena, kepemilikan modal dalam kesepakatan mudharabah tidak pernah keluar dari pemiliknya, sedangkan iuran/ setoran nasabah dalam “asuransi” dengan kesepakatan asuransi berpindah dari kepemilikan pemiliknya kepada perusahaan asuransi, sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan asuransi. Modal dalam kesepakatan mudharabah akan menjadi hak mahir waris jika pemodal meninggal dunia, sedangkan dalam kesepakatan asuransi mahir waris -sesuai dengan peraturan perusahaan- sanggup saja mempunyai klaim walaupun orang bau tanah mereka belum sempat membayar selain satu setoran saja, dan sanggup saja mereka tidak mendapatkan apa-apa, jika orang bau tanah mereka telah memilih orang yang berhak mendapatkan klaim ialah selain penyetor dan mahir warisnya. Dan laba dalam kesepakatan mudharabah dibagi antara kedua belah pihak dengan persentase tertentu, beda halnya dengan asuransi, laba modal dan kerugiannya murni ditanggung perusahaan, sedangkan nasabah tidak barhak apa-apa diluar klaim atau klaim dalam jumlah yang tidak tertentu.
F. Menyamakan kesepakatan “asuransi” dengan kekerabatan loyalitas (al-muwalaat) berdasarkan ulama yang membenarkannya, tidak benar; lantaran penyamaan itu merupakan suatu qiyas dengan adanya perbedaan. Dan di antara perbedaan antara keduanya: bahwa kesepakatan “asuransi” bertujuan mencari laba materi yang sarat dengan untung-untungan, perjudian dan ketidakjelasan. Beda halnya dengan kekerabatan loyalitas (al-muwalaat), tujuan utamanya ialah menjalin persaudaraan dalam agama Islam, saling membela, dan bahwasanya dalam kesusahan, kesenangan dan dalam segala keadaan. Adapun laba berupa materi, maka itu merupakan tujuan sekunder.
G. Menyamakan kesepakatan “asuransi komersial” dengan janji yang mengikat berdasarkan ulama yang membenarkannya, tidak benar; lantaran penyamaan itu merupakan suatu qiyas dengan adanya perbedaan. Di antara perbedaan antara keduanya ialah: bahwa janji memberi piutang atau pinjaman, atau menanggung kerugian -misalnya- merupakan tindak sosial semata, sehingga memenuhi janji tersebut merupakan hal yang wajib atau salah satu perilaku terpuji. Beda halnya dengan kesepakatan “asuransi”, lantaran sesungguhnya asuransi ialah kesepakatan tukar-menukar komersial, yang didasari oleh keinginan mencari laba materi, maka unsur ketidak-jelasan dan untung-untungan padanya tidak sanggup ditoleransi sebagaimana dalam perbuatan sumbangan sosial.
H. Menyamakan kesepakatan “asuransi komersial” dengan kesepakatan mengatakan jaminan/ garansi (dhamaan) terhadap sesuatu yang belum diketahui, dan menjamin sesuatu yang belum terjadi, tidak benar; lantaran itu juga termasuk qiyas dengan adanya perbedaan. Di antara perbedaannya ialah: kesepakatan jaminan (dhamaan) salah satu bentuk tindak sosial dan bertujuan untuk berbuat baik/ membantu semata. Beda halnya dengan “asuransi”, lantaran asuransi merupakan kesepakatan tukar-menukar komersial, dan tujuan utamanya ialah mendapatkan laba materi. Dan jika di kemudian hari muncul perilaku baik, maka itu merupakan hal sekunder dan tidak disengaja. Padahal hukum-hukum syariat senantiasa dikaitkan dengan tujuan utama, bukan dengan hal-hal sekunder, selama hal-hal tersebut bukan merupakan tujuan.
I. Menyamakan kesepakatan “asuransi” dengan jaminan (dhamaan) terhadap resiko perjalanan, tidaklah benar; lantaran itu juga termasuk qiyas dengan adanya perbedaan, sebagaimana halnya alasan sebelumnya.
J. Menyamakan kesepakatan “asuransi komersial” dengan peraturan pensiun, juga tidak benar, dan itu juga termasuk qiyas dengan adanya perbedaan. Karena uang pensiun ialah suatu hak yang telah menjadi komitmen pemerintah kepada rakyatnya. Dan pemerintah dalam penyalurannya mempertimbangkan jasa setiap pegawai dalam mengatakan layanan kepada masyarakat. Dan pemerintah menciptakan aturan yang mempertimbangkan orang-orang terdekat kepada setiap pegawai.
Dan lantaran para akseptor uang pensiun biasanya ialah orang-orang yang membutuhkan, maka aturan uang pensiun tidaklah termasuk dalam hal tukar-menukar harta antara pemerintah dan pegawainya. Oleh lantaran itu, tidak ada kesamaan antaranya dengan kesepakatan “asuransi komersial” yang merupakan salah satu kesepakatan tukar-menukar harta secara komersial dan perusahaan asuransi bertujuan darinya memanfaatkan keberadaan para nasabah, dan mengeruk laba dari mereka dengan cara-cara yang tidak diizinkan dalam syariat. Karena, uang pensiun yang diterima tatkala seorang pegawai telah pensiun merupakan hak yang telah menjadi komitmen pemerintah kepada rakyatnya, dan diberikan kepada setiap orang yang telah menjalankan kiprah melayani masyarakat, sebagai tanggapan atas jasanya, dan dalam rangka mengatakan pertolongan kepadanya sebagai imbalan atas pertolongan yang pernah ia berikan kepada pemerintah dalam wujud badan, pikiran, dan banyak waktu luangnya dalam rangka memajukan masyarakat.
K. Menyamakan sistem “asuransi komersial” dan akadnya dengan sistem al-‘aqilah tidak sanggup dibenarkan. Karena itu ialah suatu qiyas yang disertai dengan adanya perbedaan. Dan di antara perbedaan antara keduanya ialah: dasar kewajiban kerabat lelaki untuk ikut andil menanggunng beban diyat (denda) pembunuhan yang dilakukan dengan tidak sengaja atau sibhul ‘amdi ialah adanya jalinan tali persaudaraan dan kekerabatan yang mengharuskan mereka semua untuk saling membela, berhubungan, bahu-membahu, dan mengatakan bantuan, walau tanpa ada imbalan. Sedangkan kesepakatan “asuransi komersial” bersifat komersial dan memakai kesempatan dalam kesempitan, yang murni berasaskan pada sistem imbal balik, tanpa ada kaitan sedikitpun dengan kasih sayang dan amal kebaikan.
L. Menyamakan kesepakatan “asuransi komersial” dengan kesepakatan “security” ialah tidak benar. Karena penyamaan ini juga merupakan qiyas dengan adanya perbedaan. Di antara perbedaan antara keduanya ialah: keamanan bukanlah objek kesepakatan pada kedua permasalahan tersebut. Yang menjadi objek kesepakatan pada asuransi ialah uang setoran dan uang asuransi (klaim). Sedangkan pada kesepakatan sewa security, yang menjadi objek ialah uang sewa dan kerja petugas keamanan. Adapun keamanan itu sendiri ialah hasil dan cita-cita, alasannya ialah jika keamanan yang menjadi objek akad, pasti pekerja security tidaklah menerima upah jika ada dari barang yang ia jaga yang hilang.
M. Menyamakan kesepakatan “asuransi komersial” dengan kesepakatan “penitipan barang” tidak sanggup dibenarkan. Karena itu juga merupakan qiyas dengan adanya perbedaan. Karena, upah dalam penitipan barang ialah imbalan atas jasa akseptor titipan yang telah menjaga barang di tempatnya yang senantiasa ia rawat. Beda halnya dengan asuransi, uang setoran yang dibayarkan oleh nasabah, bukan sebagai imbalan atas jasa dari “perusahaan asuransi” yang pernah didapatkan oleh nasabah. Uang tersebut tidaklah lain hanya sebagai jaminan atas rasa keamanan dan ketentraman. Padahal, mensyaratkan upah pada akan jaminan tidak dibenarkan (menurut syariat), bahkan mengakibatkan kesepakatan jaminan terlarang. Dan jika uang klaim dianggap sebagai imbalan atas uang setoran, maka jelaslah bahwa ini merupakan kesepakatan tukar-menukar yang bersifat komersial, akan tetapi jumlah klaim dan masanya tidak sanggup diketahui. Dengan demikian asuransi berbeda dengan kesepakatan penitipan dengan upah.
Wabillahit taufiq, dan semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya (Majmu’ Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah, 14/277-286, pedoman no. 18047).
Dari pedoman di atas, jelaslah bagi kita alasan diharamkannya asuransi dengan banyak sekali macamnya. Dan berikut akan saya ringkaskan beberapa alasan yang telah dijelaskan pada pedoman di atas:
Asuransi bukanlah termasuk bentuk perniagaan yang dihalalkan dalam Islam, alasannya ialah perusahaan asuransi tidaklah pernah melaksanakan praktik perniagaan sedikitpun dengan nasabahnya. Hal ini akan menjadi terang jika kita kembali menerapkan banyak sekali aturan hutang-piutang yang telah dijelaskan pada kolom di atas.
Asuransi diharamkan lantaran mengandung unsur riba, yaitu jika nasabah mendapatkan uang klaim, dan ternyata jumlah uang klaim yang ia terima melebihi jumlah total setoran yang telah ia bayarkan.
Asuransi mengandung tindak kezhaliman, yaitu perusahaan asuransi memakan harta nasabah dengan cara-cara yang tidak dibenarkan dalam syariat. Hal ini sanggup terjadi pada dua kejadian:
Kejadian pertama: Apabila nasabah selama hidupnya tidak pernah mengajukan klaim, sehingga seluruh uang setorannya tidak akan pernah kembali, alias hangus.
Tatkala perekonomian dengan basis syariat sedang gencar digalakkan, maka perusahaan-perusahaan asuransi pun tidak mau ketinggalan. Mereka rame-rame memikat nasabah dengan banyak sekali produk asuransi syariah. Mereka mengklaim bahwa produk-produk mereka telah selaras dengan prinsip syariah.
Secara global, mereka memperlihatkan dua jenis pilihan:
Asuransi umum syariah.
Pada pilihan ini, mereka mengklaim bahwa mereka menerapkan metode bagi hasil/ mudharabah. Yaitu jika telah habis masa kontrak, dan tidak ada klaim, maka perusahaan asuransi akan mengembalikan sebagian dana/ premi yang telah disetorkan oleh nasabah, dengan ketentuan 60:40 atau 70:30. Adapun berkaitan dana yang tidak sanggup ditarik kembali, mereka mengklaimnya sebagai dana tabarru’ atau hibah.
Asuransi jiwa syariah.
Pada pilihan ini, jika nasabah sampai jatuh tempo tidak pernah mengajukan klaim, maka premi yang telah disetorkan, akan hangus. Perilaku ini diklaim oleh perusahaan asuransi sebagai hibah dari nasabah kepada perusahaan (Majalah MODAL edisi 36, 2006, hal. 16).
Subhanallah, jika kita pikirkan dengan seksama, kedua jenis produk asuransi syariat di atas, pasti kita akan dapatkan bahwa yang terjadi hanyalah manipulasi istilah. Adapun prinsip-prinsip perekonomian syariat, di antaranya yang berkaitan dengan mudharabah dan hibah, sama sekali tidak terwujud. Yang demikian itu dikarenakan:
– Pada transaksi mudharabah, yang di bagi ialah hasil/ keuntungan, sedangkan pada asuransi umum syariah di atas, yang dibagi ialah modal atau jumlah premi yang telah disetorkan.
– Pada kesepakatan mudharabah, pelaku perjuangan (perusahaan asuransi) berbagi perjuangan riil dengan dana nasabah guna mendapatkan keuntungan. Sedangkan pada asuransi umum syariat, perusahaan asuransi, sama sekali tidak berbagi perjuangan guna mengelola dana nasabah.
– Pada kedua jenis asuransi syariat di atas, perusahaan asuransi telah memaksa nasabah untuk menghibahkan seluruh atau sebagian preminya. Disebut pemaksaan, lantaran perusahaan asuransi sama sekali tidak akan pernah siap jika ada nasabah yang ingin menarik seluruh dananya, tanpa menyisakan sedikitpun. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
(لا يحل مال امرئ مسلم إلا بطيب نفس منه (رواه أحمد والدارقطني والبيهقي، وصححه الحافظ والألباني
“Tidaklah halal harta seorang muslim kecuali dengan dasar kerelaan jiwa darinya.” (HR. Ahmad, ad-Daraquthny, al-Baihaqy dam dishahihkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dan al-Albany).
– Pengunaan istilah mudharabah dan tabarru’ untuk mengambil dana/ premi nasabah ini tidak sanggup mengubah hakikat yang sebenarnya, yaitu dana nasabah hangus. Dengan demikian, perusahaan asuransi telah mengambil dana nasabah dengan cara-cara yang tidak dihalalkan. Ini sama halnya dengan minum khamr yang sebelumnya telah diberi nama lain, contohnya minuman penyegar, atau suplemen.
عن عُبَادَةَ بن الصَّامِتِ رضي الله عنه قال: قال رسول اللَّهِ صلّى الله عليه وصلّم (لَيَسْتَحِلَّنَّ طَائِفَةٌ من أمتي الْخَمْرَ بِاسْمٍ يُسَمُّونَهَا إِيَّاهُ). رواه أحمد وابن ماجة وصححه الألباني
Dari sobat Ubadah bin Shamit radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sunggung-sungguh akan ada sebagian orang dari umatku yang akan menghalalkan khamr, hanya lantaran sebutan/ nama (baru) yang mereka berikan kepada khamr.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh al-Albani).
Sungguh perbuatan semacam inilah yang jauh-jauh hari dihentikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui sabdanya,
(لا ترتكبوا ما ارتكبت اليهود فتستحلوا محارم الله بأدنى الحيل (رواه ابن بطة، وحسنه ابن تيمية وتبعه ابن القيم وابن كثير
“Janganlah kalian melaksanakan apa yang pernah dilakukan oleh bangsa Yahudi, sehingga kalian menghalalkan hal-hal yang diharamkan Allah hanya dengan sedikit rekayasa.” (HR. Ibnu Baththah, dan dihasankan oleh Ibnu Taimiyyah dan diikuti oleh dua muridnya yaitu Ibnul Qayyim, Ibnu Katsir).
Kejadian kedua: Apabila nasabah mendapatkan uang klaim, dan ternyata uang klaim yang ia terima lebih sedikit dari jumlah total setoran yang telah ia bayarkan. Kedua insiden ini diharamkan, lantaran termasuk dalam keumuman firman Allah Ta’ala,
يَأَيُّها الَّذين آمَنُوا لاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kau memakan harta sesama kau dengan cara-cara yang bathil, kecuali dengan cara perniagan dengan asas suka sama suka di antara kamu.”
[Penulis: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Baderi,M.A || www.PengusahaMuslim.com]
0 Komentar untuk "Inilah Aturan Asuransi Dalam Islam [Baca Supaya Paham!]"