Abu Dzar Al Ghifari Radhiyallahu 'Anhu
Abu Dzar al Ghifari RA, yang nama aslinya Jundub bin Janadah berasal dari Bani Ghifar yang tinggal jauh dari kotaMakkah,tetapi ia merupakan kelompok sobat yang pertama memeluk Islam (as sabiqunal awwalun). Ia termasuk orang yang menentang pemujaan berhala pada jaman jahiliah, alasannya yaitu itu ia pribadi tertarik ketika mendengar kabar wacana seorang nabi yang mencela berhala dan para pemujanya.
Ia merupakan orang cukup umur ke limaatau ke enam yang memeluk Islam. Ketika ia menceritakan kepada Nabi SAW bahwa ia berasal dari Ghifar, ia tersenyum penuh kekaguman. Bani Ghifar populer sebagai perampok yang suka mencegat kafilah dagang di belantara padang pasir. Mereka sangat jago melaksanakan perjalanan di malam hari, gelap gulita bukan halangan bagi mereka, alasannya yaitu itu kabilah ini sangat ditakuti oleh kafilah dagang. Nabi SAW makin takjub ketika mengetahui bahwa Abu Dzar tiba sendirian hanya untuk mendengar dan mengikuti risalah Islam yang ia bawa, yang sebetulnya gres didakwahkan secara sembunyi-sembunyi. Beliau hanya sanggup berkata, "Sungguh Allah menawarkan hidayah kepada siapa yang dikehendakiNya…"
Setelah keislamannya, ia menyarankan supaya ia menyembunyikan keimanannya dan kembali kepada kaumnya hingga waktunya Allah menawarkan kemenangan. Karena sebagai perantau yang sendirian, akan sangat berbahaya bila diketahui ia telah memeluk agama gres yang menentang penyembahan berhala. Ia sanggup memahami saran ia tersebut, tetapi jiwa seorang Ghifar yang pantang takut dan mengalah seolah memberontak, ia berkata, "Demi Tuhan yang menguasai nyawaku, saya takkan pulang sebelum meneriakkan keislamanku di Masjid."
Ia berjalan ke Masjidil Haram, dan di sanaia meneriakkan syahadat sekeras-kerasnya. Itulah teriakan dan lantunan keras syahadat yang pertama di masjidil haram, dan mungkin juga yang pertama di bumi ini. Tak ayal lagi orang-orang musyrik merubung dan memukulinya hingga ia jatuh pingsan.
Abbas bin Abdul Muthalib, paman Nabi SAW yang mendengar kabar tersebut segeradatang ke masjid, tetapi melihat kondisinya, tidak gampang melepaskan Abu Dzar dari kemarahan massa, alasannya yaitu itu ia berkata diplomatis, "Wahai orang Quraisy, dia yaitu orang dari Kabilah Bani Ghifar. Dan kalian semua yaitu kaum pedagang yang selalu melewati kawasan mereka. Apa jadinya bila mereka tahu kalian telah menyiksa anggota keluarganya??"
Merekapun melepaskannya. Tetapi pada hari berikutnya, ketika Abu Dzar melihat dua perempuan mengelilingi berhala Usaf dan Na-ilah sambil bermohon, lagi-lagi jiwa tauhidnya terusik. Ia mencegat dua perempuan tersebut dan menghina dua berhala itu sejadi-jadinya, sehingga dua perempuan itu menjerit ketakutan. Tak pelak orang-orang musyrik berkumpul dan sekali lagi menghajarnya beramai-ramai hingga pingsan. Melihat kejadian tersebut, sekali lagi Rasulullah SAW memerintahkannya untuk segera pulang ke kabilahnya.
Kembali ke daerahnya, Abu Dzar mendakwahkan risalah Islam kepada kaumnya, sehingga bertahap mereka memeluk Islam. Ia juga mendakwahkan kepada kabilah tetangganya, Bani Aslam, sehingga cahaya hidayah menerangi kabilah ini.Beberapa tahun kemudian ketika Nabi SAW sudah tinggal di Madinah, serombongan besar insan tiba dengan bunyi gemuruh, kalau tidaklah gema takbir yang terdengar, pastilah mereka mengira sedang diserang musuh. Ternyata mereka yaitu Kabilah Bani Ghifar dan Bani Aslam, dua kabilah yang populer jadi momok perampokan kafilah dagang di belantara padang pasir, berkamuflase menjadi raksasa pembela kebenaran dan penebar kebaikan. Dan hidayah Allahtersebut tiba melalui tangan Abu Dzar.
Ketika dua rombongan besar ini menghadap Nabi SAW, ia berkaca-kaca diliputi keharuan, suka cita dan rasa kasih berlimpah. Beliau bersabda kepada Kabilah Bani Ghifar, "Ghifaarun ghafarallahu laha…." (Suku Ghifar telah diampuni oleh Allah).
Kemudian ia berpaling kepada Kabilah Bani Aslam sambil bersabda, "Wa Aslamu Saalamahallahu…." (Suku Aslam telah diterima dengan selamat (damai) oleh Allah).
Pada perang Tabuk yang populer dengan nama Jaisyul Usrah (Pasukan di masa sulit), beberapa orang tertinggal dari rombongan besar Rasulullah SAW. Dan ketika ini dilaporkan, ia bersabda, "Biarkanlah! Andaikan ia berguna, tentu akan disusulkan oleh Allah kepada kalian. Dan bila tidak, Allah telahmembebaskan kalian dari dirinya."
Salah seorang yang tertinggal tersebut yaitu Abu Dzar. Keledai yang ditungganginya sangat lelah sehingga tidak sanggup bergerak lagi. Berbagai cara dicoba Abu Dzar supaya keledainya berjalan lagi tetapi tidak berhasil, bahkan balasannya mati.
Sementara itu rombongan Nabi SAW sedang beristirahat ketika pagi tiba. Seorang sobat melaporkan ada satu sosok terlihat berjalan sendiri di jauh di ufuk. Nabi SAW bersabda, "Mudah-mudahan orang itu Abu Dzar…!!"
Setelah bersahabat dan hingga di hadapan Nabi SAW, ternyata memang Abu Dzar-lah orangnya. Ia memanggul barang dan perbekalan di punggungnya dan meneruskan perjalanan menyusul rombongan Nabi SAW dengan berjalan kaki. Walau terang terlihat kelelahannya, tetapi wajahnya bersinar besar hati sanggup bertemu dengan Nabi SAW dan anggota pasukan lainnya. Beliau menatapnya penuh takjub, kemudian dengan senyum yang santun dan penuh kasih, ia bersabda, "Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya pada Abu Dzar, ia berjalan sendirian, ia meninggal sendirian, dan iaakan dibangkitkan sendirian…"
Sebuah bentuk pujian, atau sebuah ramalan, atau sebuah bentuk rasa kasihan, atau apapun itu, hanyalah sebuah citra wacana apa yang telah dan akan dijalani oleh Abu Dzar, bahkan pada hari kebangkitan nanti.
Dari semenjak pertama memeluk Islam, keberaniannya mengeksplorasi keimanannya di dikala dan tempat yang sanggup membahayakan dirinya, Nabi SAW pribadi mengetahui tabiat dan huruf Abu Dzar, apalagi dengan kondisi lingkungan Bani Ghifar yang mendidiknya. Suatu ketika Nabi SAW bersabda kepadanya, "Wahai Abu Dzar, bagaimana pendapatmu bila menjumpai para pembesar yang mengambil upeti untuk keperluan pribadinya."
Dengan tegas Abu Dzar menjawab, "Demi Allah yang telah mengutus engkau dengan kebenaran, saya akan luruskan mereka dengan pedangku!"
Beliau tersenyum, kemudian bersabda, "Maukah saya beri jalan yang lebih baik dari itu…"
Abu Dzar mengangguk, Nabi SAW bersabda, "Bersabarlah engkau, hingga engkau menemui aku…!!"
Inilah citra situasi yang akan dihadapi oleh Abu Dzar sepeninggal Nabi SAW. Tetapi di masa khalifahAbu Bakar dan Umar, tidak ada sesuatu yang mengusik kehidupan Abu Dzar, situasi tidak jauh berbeda ibarat masa hidupnya Nabi SAW.
Setelah wafatnya Umar bin Khaththab, yang memang digelari Nabi SAW dengan istilah "Pintunya Fitnah" atau "Gemboknya Fitnah", bertahap fitnah duniawiah menjalari umat Islam. Apalagi wilayah Islam makin luas dan harta kekayaan melimpah ruah. Gayahidup Romawi dan Persi bertahap diadopsi oleh para penguasa muslim. Jurang pemisah antara kaum fakir miskin dan penguasa atau hartawan mulai terbentuk. Pada keadaan ibarat inilah jiwa Abu Dzar terusik. Abu Dzar menerawang jauh ke belakang, teringat akan waktu bersama Nabi SAW dan apa yang ia sabdakan wacana dirinya. Beliau sudah mewasiatkan dirinya untuk bersabar dan tidak memakai pedangnya. Tetapi jiwa usaha untuk menegakkan kebenaran seakan tidak sanggup terbendung. "Nabi SAW melarang saya untuk meluruskan mereka dengan pedang, tetapi ia tidak pernah melarang untuk meluruskan dengan pengecap dan nasihat," begitu pikirnya.
Maka dimulailah babak gres perjuangannya. Abu Dzar mendatangi pusat-pusat kekuasaan dan kekayaan, para penguasa dan hartawan, khususnya yangtidak lagi meneladani Nabi SAW dalam mengemban amanat harta dan jabatan. Dalam memberikan kebenaran, lidahnya tak kalah tajamnya dengan pedangnya. Ia mengutip Surah at Taubah ayat 34-35, dan merangkaikannya menjadi syair singkat yang segera saja menjadi simbol perjuangannya, "Berilah kabar besar hati para penumpuk harta, yang menumpuk emas dan perak, mereka akan diseterika dengan seterika api neraka, menyeterika kening dan pinggang mereka di hari kiamat…."
Segera saja Abu Dzar menerima sambutan hangat di seluruh penjuru negeri yang dikunjunginya. Banyak sekali orang yang bergabung dan berdiri di belakangnya untuk mendukung perjuangannya. Kalau orang Islam biasa yang mengucapkan kalimat tersebut di hadapan penguasa dan para hartawan, tentulah tidak begitu besar pengaruhnya. Tetapi seorang sobat sekaliber Abu Dzar, yang berdiri kokoh menghadapi penguasa dan hartawan, dengan tegas dan tanpa gentar sedikitpun menasehati mereka, seolah memunculkan kutub baru, kutub kaum tertindas dan teraniaya dalam negeri Islam yang begitu kaya dan melimpah.
Inilah rahasianya, kenapa Nabi SAW dalam menasehatinya pribadi pada titik tertinggi, "Bersabarlah engkau, hingga engkau menemui aku…!!"
Dan ia tidak menasehatinya untuk berjuang dengan lisannya. Kutub gres yang terjadi alasannya yaitu perjuangannya sanggup menjadikan fitnah gres yang lebih besar daripada fitnah yang telah ada, yakni perpecahan umat. Dan Abu Dzar menyadari satu hal, tidak semua orang nrimo dan murni berjuang untuk menegakkan kalimat dan agama Allah. Ada sebagian orang yang memanfaatkan perjuangannya menegakkan kebenaran, untuk memenuhi ambisi dan harapan nafsunya. Maka ketika Khalifah Utsman memanggilnya untuk kembali ke Madinah, ia segera memenuhinya.
Tiba di Madinah, Khalifah Utsman memintanya dengan halus untuk tinggal bersamanya, segala kebutuhannya akan dipenuhi. Tentu saja usulan ibarat itu ditolaknya, ia hanya meminta izin untuk mengasingkan diri di pedalaman padangpasir di Rabadzah. Ia ingin melaksanakan wasiat Nabi SAW kepadanya untuk bersabar di tempat terpencil, sehingga tidak terganggu dengan fitnah-fitnah yang mulai menyebar. Khalifah Utsman mengijinkannya.
Sebagian riwayat menyebutkan, Khalifah Utsman-lah yang menawarkan pilihan kepadanya, tinggal di Madinah dengan segela kebutuhannya dicukupi, atau ia akan diasingkan ke pedalaman Rabadzah. Tujuan jelas, supaya ia tidak lagi berkeliling wilayah Islam mendakwahi para penguasa dan hartawan. Dan Abu Dzar sebagai seorang muslim sejati tetap taat kepada Utsman sebagai Amirul Mukminin, dan mengambil pilihan ke dua.
Abu Dzar tinggal di Rabadzah bersama istri, anak dan pembantunya yang sudah tua, dan beberapa ekor unta sebagaisumber kehidupannya. Suatu ketika tiba seseorang dari Bani Sulaim menemuinya dan berkata "Saya ingin tinggal bersama engkau, supaya saya sanggup mendalami pengetahuan wacana perintah Allah, dan juga mengenal sifat-sifat yang dimiliki Rasulullah SAW. Saya bersedia membantu hambamu yang sudah bau tanah itu dalam memelihara onta-ontamu!"
"Aku tidak mau tinggal dengan orang yang tidak menuruti kehendakku," Kata Abu Dzar, "Jika kau berjanji akan melaksanakan apa yang suruh, saya akan mengijinkanmu tinggal bersamaku."
"Bagaimana cara menuruti kehendak-kehendakmu?" Tanya orang Bani Sulaim itu.
"Apabila saya menyuruh membelanjakan hartaku, hendaknya engkau membelanjakan yang terbaik dari hartaku itu." Kata Abu Dzar. Orang itu menyetujuinya, dan ia tinggal bersama Abu Dzar sambil menggembalakan unta-untanya.
Suatu ketika ada kabar bahwa ada sekelompok orang-orang miskin yang kehabisan bekal makanan, berkemah di bersahabat mata air. Abu Dzar memerintahkan pembantunya dari bani Sulaim untuk menyembelih satu ekor unta buat mereka. Iamemilih yang terbaik dari unta yang dimiliki Abu Dzar, dan ternyata ada dua, salah satunya tampak lebih anggun untuk ditunggangi. Karena dimaksudkan untuk bekal kuliner dan akan disembelih, ia menentukan unta yang satunya kemudian dibawa menghadap Abu Dzar. Ketika melihat unta tersebut, Abu Dzar berkata, "Engkau mengkhianati janjimu dulu?"
Orang tersebut sadar apa yang dimaksudkan Abu Dzar, ia membawa kembali unta tersebut dan menukarnya dengan unta yang lebih anggun untuk ditunggangi. Abu Dzar menyuruh dua pembantunya menyembelih unta tersebut dan membagikan dagingnya. Untuk keluarganya, sama banyaknya dengan keluarga dalam kelompok orang miskin tersebut.
Saat final kehidupannya, ketika Abu Dzar mengalami sakaratul maut, istri yang menungguinya menangis. Ia berkata,"Apa yang engkau tangisi, padahal final hidup itu niscaya datang??"
"Bukan itu," Kata istrinya, "Engkau meninggal, padahal tidak ada kain untuk mengkafani jenazahmu!!"
Abu Dzar tersenyum sambil matanya menerawang jauh, seolah mengingat sesuatu. Ia berkata, "Aku ingat, junjunganku, Rasulullah SAW berkata pada sekelompok sobat termasuk aku, 'Ada salah satu dari kalian yang meninggal di padangpasir yang liar dan terpencil, yang akan disaksikan oleh serombongan orang beriman.' Semua sobat yang hadir di majelis tersebut telah meninggal syahid atau di hadapan kaum muslimin, kecuali aku. Nah, kalau saya telah meninggal, perhatikanlah jalan (riwayat lain, letakkan saya di sisi jalan), supaya rombongan orang beriman itu melihatku. Demi Allah saya tidak bohong, dan tidak pula dibohongi (oleh Nabi SAW)…"
Ternyata benar, tidak usang sesudah kewafatannya, sebuah kafilah lewat tak jauh dari tempatnya, dan kemudian membelokkan arah menuju sosok mayat yang sedang ditangisi oleh dua orang, istri dan anak Abu Dzar, berada. Sahabat Abdullah bin Mas'ud yang memimpin rombongan tersebut pribadi mengenalinya sebagai Abu Dzar. Ia berurai air mata melihat keadaan sahabatnya tersebut, sambil berkata,"Benarlah Rasulullah SAW, anda berjalan seorang diri, anda meninggal seorang diri, dan anda akan dibangkitkan pula seorang diri…"
Sebagian riwayat menyebutkan, ketika kafilah yang dipimpin Abdullah bin Mas'ud itu hingga di tempatnya, ia masih hidup dalam keadaan sakaratul maut. Ia berkata kepada mereka, "..seandainya saya dan istriku memiliki kain, tentu saya ingin dikafani dengan kainku atau milik istriku. Tetapi saya minta dengan nama Allah, janganlah seseorang yang pernah menjabat gubernur, walikota, atau penguasa apapun yang mengafani aku!!”
Ternyata hampir semua anggota kafilah tersebut pernah memangku jabatan yang disebutkannya, kecuali satu orang sobat Anshar. Diaberkata, "Wahai pamanku, akulah yang tidak pernah menjabat ibarat yang engkau sebutkan, saya yang akan mengafani jenazahmu dengan sorbanku dan dua bajuku yang ditenun sendiri oleh ibuku!!”
"Hanya engkau yang boleh mengafani jenazahku," Kata Abu Dzar.
Setelah Abu Dzar wafat, mereka merawat jenazahnya dan sobat Anshar tadi yang mengafaninya. Setelahitu mereka pulang ke Madinah dengan gembira, terutama sobat Anshar tersebut, alasannya yaitu mereka telah masuk dalam cuilan dari realisasi sabda Nabi SAW ibarat yang disampaikan Abu Dzar. Dan kegembiraan apalagi yang lebih besar, bahwa Nabi SAW menyebut dan menjamin mereka sebagai "rombongan orang beriman."
Abu Dzar al Ghifari RA, yang nama aslinya Jundub bin Janadah berasal dari Bani Ghifar yang tinggal jauh dari kotaMakkah,tetapi ia merupakan kelompok sobat yang pertama memeluk Islam (as sabiqunal awwalun). Ia termasuk orang yang menentang pemujaan berhala pada jaman jahiliah, alasannya yaitu itu ia pribadi tertarik ketika mendengar kabar wacana seorang nabi yang mencela berhala dan para pemujanya.
Ia merupakan orang cukup umur ke limaatau ke enam yang memeluk Islam. Ketika ia menceritakan kepada Nabi SAW bahwa ia berasal dari Ghifar, ia tersenyum penuh kekaguman. Bani Ghifar populer sebagai perampok yang suka mencegat kafilah dagang di belantara padang pasir. Mereka sangat jago melaksanakan perjalanan di malam hari, gelap gulita bukan halangan bagi mereka, alasannya yaitu itu kabilah ini sangat ditakuti oleh kafilah dagang. Nabi SAW makin takjub ketika mengetahui bahwa Abu Dzar tiba sendirian hanya untuk mendengar dan mengikuti risalah Islam yang ia bawa, yang sebetulnya gres didakwahkan secara sembunyi-sembunyi. Beliau hanya sanggup berkata, "Sungguh Allah menawarkan hidayah kepada siapa yang dikehendakiNya…"
Setelah keislamannya, ia menyarankan supaya ia menyembunyikan keimanannya dan kembali kepada kaumnya hingga waktunya Allah menawarkan kemenangan. Karena sebagai perantau yang sendirian, akan sangat berbahaya bila diketahui ia telah memeluk agama gres yang menentang penyembahan berhala. Ia sanggup memahami saran ia tersebut, tetapi jiwa seorang Ghifar yang pantang takut dan mengalah seolah memberontak, ia berkata, "Demi Tuhan yang menguasai nyawaku, saya takkan pulang sebelum meneriakkan keislamanku di Masjid."
Ia berjalan ke Masjidil Haram, dan di sanaia meneriakkan syahadat sekeras-kerasnya. Itulah teriakan dan lantunan keras syahadat yang pertama di masjidil haram, dan mungkin juga yang pertama di bumi ini. Tak ayal lagi orang-orang musyrik merubung dan memukulinya hingga ia jatuh pingsan.
Abbas bin Abdul Muthalib, paman Nabi SAW yang mendengar kabar tersebut segeradatang ke masjid, tetapi melihat kondisinya, tidak gampang melepaskan Abu Dzar dari kemarahan massa, alasannya yaitu itu ia berkata diplomatis, "Wahai orang Quraisy, dia yaitu orang dari Kabilah Bani Ghifar. Dan kalian semua yaitu kaum pedagang yang selalu melewati kawasan mereka. Apa jadinya bila mereka tahu kalian telah menyiksa anggota keluarganya??"
Merekapun melepaskannya. Tetapi pada hari berikutnya, ketika Abu Dzar melihat dua perempuan mengelilingi berhala Usaf dan Na-ilah sambil bermohon, lagi-lagi jiwa tauhidnya terusik. Ia mencegat dua perempuan tersebut dan menghina dua berhala itu sejadi-jadinya, sehingga dua perempuan itu menjerit ketakutan. Tak pelak orang-orang musyrik berkumpul dan sekali lagi menghajarnya beramai-ramai hingga pingsan. Melihat kejadian tersebut, sekali lagi Rasulullah SAW memerintahkannya untuk segera pulang ke kabilahnya.
Kembali ke daerahnya, Abu Dzar mendakwahkan risalah Islam kepada kaumnya, sehingga bertahap mereka memeluk Islam. Ia juga mendakwahkan kepada kabilah tetangganya, Bani Aslam, sehingga cahaya hidayah menerangi kabilah ini.Beberapa tahun kemudian ketika Nabi SAW sudah tinggal di Madinah, serombongan besar insan tiba dengan bunyi gemuruh, kalau tidaklah gema takbir yang terdengar, pastilah mereka mengira sedang diserang musuh. Ternyata mereka yaitu Kabilah Bani Ghifar dan Bani Aslam, dua kabilah yang populer jadi momok perampokan kafilah dagang di belantara padang pasir, berkamuflase menjadi raksasa pembela kebenaran dan penebar kebaikan. Dan hidayah Allahtersebut tiba melalui tangan Abu Dzar.
Ketika dua rombongan besar ini menghadap Nabi SAW, ia berkaca-kaca diliputi keharuan, suka cita dan rasa kasih berlimpah. Beliau bersabda kepada Kabilah Bani Ghifar, "Ghifaarun ghafarallahu laha…." (Suku Ghifar telah diampuni oleh Allah).
Kemudian ia berpaling kepada Kabilah Bani Aslam sambil bersabda, "Wa Aslamu Saalamahallahu…." (Suku Aslam telah diterima dengan selamat (damai) oleh Allah).
Pada perang Tabuk yang populer dengan nama Jaisyul Usrah (Pasukan di masa sulit), beberapa orang tertinggal dari rombongan besar Rasulullah SAW. Dan ketika ini dilaporkan, ia bersabda, "Biarkanlah! Andaikan ia berguna, tentu akan disusulkan oleh Allah kepada kalian. Dan bila tidak, Allah telahmembebaskan kalian dari dirinya."
Salah seorang yang tertinggal tersebut yaitu Abu Dzar. Keledai yang ditungganginya sangat lelah sehingga tidak sanggup bergerak lagi. Berbagai cara dicoba Abu Dzar supaya keledainya berjalan lagi tetapi tidak berhasil, bahkan balasannya mati.
Sementara itu rombongan Nabi SAW sedang beristirahat ketika pagi tiba. Seorang sobat melaporkan ada satu sosok terlihat berjalan sendiri di jauh di ufuk. Nabi SAW bersabda, "Mudah-mudahan orang itu Abu Dzar…!!"
Setelah bersahabat dan hingga di hadapan Nabi SAW, ternyata memang Abu Dzar-lah orangnya. Ia memanggul barang dan perbekalan di punggungnya dan meneruskan perjalanan menyusul rombongan Nabi SAW dengan berjalan kaki. Walau terang terlihat kelelahannya, tetapi wajahnya bersinar besar hati sanggup bertemu dengan Nabi SAW dan anggota pasukan lainnya. Beliau menatapnya penuh takjub, kemudian dengan senyum yang santun dan penuh kasih, ia bersabda, "Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya pada Abu Dzar, ia berjalan sendirian, ia meninggal sendirian, dan iaakan dibangkitkan sendirian…"
Sebuah bentuk pujian, atau sebuah ramalan, atau sebuah bentuk rasa kasihan, atau apapun itu, hanyalah sebuah citra wacana apa yang telah dan akan dijalani oleh Abu Dzar, bahkan pada hari kebangkitan nanti.
Dari semenjak pertama memeluk Islam, keberaniannya mengeksplorasi keimanannya di dikala dan tempat yang sanggup membahayakan dirinya, Nabi SAW pribadi mengetahui tabiat dan huruf Abu Dzar, apalagi dengan kondisi lingkungan Bani Ghifar yang mendidiknya. Suatu ketika Nabi SAW bersabda kepadanya, "Wahai Abu Dzar, bagaimana pendapatmu bila menjumpai para pembesar yang mengambil upeti untuk keperluan pribadinya."
Dengan tegas Abu Dzar menjawab, "Demi Allah yang telah mengutus engkau dengan kebenaran, saya akan luruskan mereka dengan pedangku!"
Beliau tersenyum, kemudian bersabda, "Maukah saya beri jalan yang lebih baik dari itu…"
Abu Dzar mengangguk, Nabi SAW bersabda, "Bersabarlah engkau, hingga engkau menemui aku…!!"
Inilah citra situasi yang akan dihadapi oleh Abu Dzar sepeninggal Nabi SAW. Tetapi di masa khalifahAbu Bakar dan Umar, tidak ada sesuatu yang mengusik kehidupan Abu Dzar, situasi tidak jauh berbeda ibarat masa hidupnya Nabi SAW.
Setelah wafatnya Umar bin Khaththab, yang memang digelari Nabi SAW dengan istilah "Pintunya Fitnah" atau "Gemboknya Fitnah", bertahap fitnah duniawiah menjalari umat Islam. Apalagi wilayah Islam makin luas dan harta kekayaan melimpah ruah. Gayahidup Romawi dan Persi bertahap diadopsi oleh para penguasa muslim. Jurang pemisah antara kaum fakir miskin dan penguasa atau hartawan mulai terbentuk. Pada keadaan ibarat inilah jiwa Abu Dzar terusik. Abu Dzar menerawang jauh ke belakang, teringat akan waktu bersama Nabi SAW dan apa yang ia sabdakan wacana dirinya. Beliau sudah mewasiatkan dirinya untuk bersabar dan tidak memakai pedangnya. Tetapi jiwa usaha untuk menegakkan kebenaran seakan tidak sanggup terbendung. "Nabi SAW melarang saya untuk meluruskan mereka dengan pedang, tetapi ia tidak pernah melarang untuk meluruskan dengan pengecap dan nasihat," begitu pikirnya.
Maka dimulailah babak gres perjuangannya. Abu Dzar mendatangi pusat-pusat kekuasaan dan kekayaan, para penguasa dan hartawan, khususnya yangtidak lagi meneladani Nabi SAW dalam mengemban amanat harta dan jabatan. Dalam memberikan kebenaran, lidahnya tak kalah tajamnya dengan pedangnya. Ia mengutip Surah at Taubah ayat 34-35, dan merangkaikannya menjadi syair singkat yang segera saja menjadi simbol perjuangannya, "Berilah kabar besar hati para penumpuk harta, yang menumpuk emas dan perak, mereka akan diseterika dengan seterika api neraka, menyeterika kening dan pinggang mereka di hari kiamat…."
Segera saja Abu Dzar menerima sambutan hangat di seluruh penjuru negeri yang dikunjunginya. Banyak sekali orang yang bergabung dan berdiri di belakangnya untuk mendukung perjuangannya. Kalau orang Islam biasa yang mengucapkan kalimat tersebut di hadapan penguasa dan para hartawan, tentulah tidak begitu besar pengaruhnya. Tetapi seorang sobat sekaliber Abu Dzar, yang berdiri kokoh menghadapi penguasa dan hartawan, dengan tegas dan tanpa gentar sedikitpun menasehati mereka, seolah memunculkan kutub baru, kutub kaum tertindas dan teraniaya dalam negeri Islam yang begitu kaya dan melimpah.
Inilah rahasianya, kenapa Nabi SAW dalam menasehatinya pribadi pada titik tertinggi, "Bersabarlah engkau, hingga engkau menemui aku…!!"
Dan ia tidak menasehatinya untuk berjuang dengan lisannya. Kutub gres yang terjadi alasannya yaitu perjuangannya sanggup menjadikan fitnah gres yang lebih besar daripada fitnah yang telah ada, yakni perpecahan umat. Dan Abu Dzar menyadari satu hal, tidak semua orang nrimo dan murni berjuang untuk menegakkan kalimat dan agama Allah. Ada sebagian orang yang memanfaatkan perjuangannya menegakkan kebenaran, untuk memenuhi ambisi dan harapan nafsunya. Maka ketika Khalifah Utsman memanggilnya untuk kembali ke Madinah, ia segera memenuhinya.
Tiba di Madinah, Khalifah Utsman memintanya dengan halus untuk tinggal bersamanya, segala kebutuhannya akan dipenuhi. Tentu saja usulan ibarat itu ditolaknya, ia hanya meminta izin untuk mengasingkan diri di pedalaman padangpasir di Rabadzah. Ia ingin melaksanakan wasiat Nabi SAW kepadanya untuk bersabar di tempat terpencil, sehingga tidak terganggu dengan fitnah-fitnah yang mulai menyebar. Khalifah Utsman mengijinkannya.
Sebagian riwayat menyebutkan, Khalifah Utsman-lah yang menawarkan pilihan kepadanya, tinggal di Madinah dengan segela kebutuhannya dicukupi, atau ia akan diasingkan ke pedalaman Rabadzah. Tujuan jelas, supaya ia tidak lagi berkeliling wilayah Islam mendakwahi para penguasa dan hartawan. Dan Abu Dzar sebagai seorang muslim sejati tetap taat kepada Utsman sebagai Amirul Mukminin, dan mengambil pilihan ke dua.
Abu Dzar tinggal di Rabadzah bersama istri, anak dan pembantunya yang sudah tua, dan beberapa ekor unta sebagaisumber kehidupannya. Suatu ketika tiba seseorang dari Bani Sulaim menemuinya dan berkata "Saya ingin tinggal bersama engkau, supaya saya sanggup mendalami pengetahuan wacana perintah Allah, dan juga mengenal sifat-sifat yang dimiliki Rasulullah SAW. Saya bersedia membantu hambamu yang sudah bau tanah itu dalam memelihara onta-ontamu!"
"Aku tidak mau tinggal dengan orang yang tidak menuruti kehendakku," Kata Abu Dzar, "Jika kau berjanji akan melaksanakan apa yang suruh, saya akan mengijinkanmu tinggal bersamaku."
"Bagaimana cara menuruti kehendak-kehendakmu?" Tanya orang Bani Sulaim itu.
"Apabila saya menyuruh membelanjakan hartaku, hendaknya engkau membelanjakan yang terbaik dari hartaku itu." Kata Abu Dzar. Orang itu menyetujuinya, dan ia tinggal bersama Abu Dzar sambil menggembalakan unta-untanya.
Suatu ketika ada kabar bahwa ada sekelompok orang-orang miskin yang kehabisan bekal makanan, berkemah di bersahabat mata air. Abu Dzar memerintahkan pembantunya dari bani Sulaim untuk menyembelih satu ekor unta buat mereka. Iamemilih yang terbaik dari unta yang dimiliki Abu Dzar, dan ternyata ada dua, salah satunya tampak lebih anggun untuk ditunggangi. Karena dimaksudkan untuk bekal kuliner dan akan disembelih, ia menentukan unta yang satunya kemudian dibawa menghadap Abu Dzar. Ketika melihat unta tersebut, Abu Dzar berkata, "Engkau mengkhianati janjimu dulu?"
Orang tersebut sadar apa yang dimaksudkan Abu Dzar, ia membawa kembali unta tersebut dan menukarnya dengan unta yang lebih anggun untuk ditunggangi. Abu Dzar menyuruh dua pembantunya menyembelih unta tersebut dan membagikan dagingnya. Untuk keluarganya, sama banyaknya dengan keluarga dalam kelompok orang miskin tersebut.
Saat final kehidupannya, ketika Abu Dzar mengalami sakaratul maut, istri yang menungguinya menangis. Ia berkata,"Apa yang engkau tangisi, padahal final hidup itu niscaya datang??"
"Bukan itu," Kata istrinya, "Engkau meninggal, padahal tidak ada kain untuk mengkafani jenazahmu!!"
Abu Dzar tersenyum sambil matanya menerawang jauh, seolah mengingat sesuatu. Ia berkata, "Aku ingat, junjunganku, Rasulullah SAW berkata pada sekelompok sobat termasuk aku, 'Ada salah satu dari kalian yang meninggal di padangpasir yang liar dan terpencil, yang akan disaksikan oleh serombongan orang beriman.' Semua sobat yang hadir di majelis tersebut telah meninggal syahid atau di hadapan kaum muslimin, kecuali aku. Nah, kalau saya telah meninggal, perhatikanlah jalan (riwayat lain, letakkan saya di sisi jalan), supaya rombongan orang beriman itu melihatku. Demi Allah saya tidak bohong, dan tidak pula dibohongi (oleh Nabi SAW)…"
Ternyata benar, tidak usang sesudah kewafatannya, sebuah kafilah lewat tak jauh dari tempatnya, dan kemudian membelokkan arah menuju sosok mayat yang sedang ditangisi oleh dua orang, istri dan anak Abu Dzar, berada. Sahabat Abdullah bin Mas'ud yang memimpin rombongan tersebut pribadi mengenalinya sebagai Abu Dzar. Ia berurai air mata melihat keadaan sahabatnya tersebut, sambil berkata,"Benarlah Rasulullah SAW, anda berjalan seorang diri, anda meninggal seorang diri, dan anda akan dibangkitkan pula seorang diri…"
Sebagian riwayat menyebutkan, ketika kafilah yang dipimpin Abdullah bin Mas'ud itu hingga di tempatnya, ia masih hidup dalam keadaan sakaratul maut. Ia berkata kepada mereka, "..seandainya saya dan istriku memiliki kain, tentu saya ingin dikafani dengan kainku atau milik istriku. Tetapi saya minta dengan nama Allah, janganlah seseorang yang pernah menjabat gubernur, walikota, atau penguasa apapun yang mengafani aku!!”
Ternyata hampir semua anggota kafilah tersebut pernah memangku jabatan yang disebutkannya, kecuali satu orang sobat Anshar. Diaberkata, "Wahai pamanku, akulah yang tidak pernah menjabat ibarat yang engkau sebutkan, saya yang akan mengafani jenazahmu dengan sorbanku dan dua bajuku yang ditenun sendiri oleh ibuku!!”
"Hanya engkau yang boleh mengafani jenazahku," Kata Abu Dzar.
Setelah Abu Dzar wafat, mereka merawat jenazahnya dan sobat Anshar tadi yang mengafaninya. Setelahitu mereka pulang ke Madinah dengan gembira, terutama sobat Anshar tersebut, alasannya yaitu mereka telah masuk dalam cuilan dari realisasi sabda Nabi SAW ibarat yang disampaikan Abu Dzar. Dan kegembiraan apalagi yang lebih besar, bahwa Nabi SAW menyebut dan menjamin mereka sebagai "rombongan orang beriman."
0 Komentar untuk "Abu Dzar Al Ghifari Radhiyallahu 'Anhu"