BERHATI-HATILAH TERHADAP ULAMA SÛ
Entahlah, apa yang menjadi keresahan para ulama pada ketika itu. Karena mereka menyatakan bahwa di antara Ulama yang kita sebut sebagai Waratstul Anbiyâ (Pewaris Para Nabi), ada yang disebut dengan Ulama Sû’.
Di antara mereka ( Ulama Sû’ ) itu, ada juga sekelompok yang mengajak kepada kebaikan, namun tidak pernah memperlihatkan keteladanan.
Dalam hal ini, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata: “ Ulama Sû’ duduk di depan pintu nirwana dan mengajak insan untuk masuk ke dalamnya dengan ucapan dan seruan-seruan mereka. Dan mengajak insan untuk masuk ke dalam neraka dengan perbuatan dan tindakannya. Ucapan mereka (berkata) kepada manusia: “Kemarilah! Kemarilah!” Sedangkan perbuatan mereka berkata: “Janganlah engkau dengarkan undangan mereka. Seandainya undangan mereka itu benar, tentu mereka ialah orang yang pertama kali memenuhi undangan itu.” (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Al-Fawâid, hal. 61).
Setelah mencermati pernyataan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah ini, saya pun (kemudian) ingat pada firman Allah:
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kau menyampaikan sesuatu yang tidak kau kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kau menyampaikan apa-apa yang tidak kau kerjakan.” (QS ash-Shaff, 61: 2-3)
Kalau di zaman dahulu para ulama menengarai ‘adanya 'Ulama Sû’ di sekitar mereka, pertanyaan selanjutanya: “adakah Ulama Sû’ di ketika ini? Siapakah mereka? Di manakah mereka berada? Jangan-jangan di seputar kita kini ini masih ada Ulama Sû’ itu!
Berbekal pada pernyataan para ulama di zaman dahulu, saya pun – pada balasannya –memberanikan diri untuk menasihati diri saya sendiri:
“Berhati-hatilah Anda. Karena siapa pun sanggup tampil dengan ‘berselimut dan berjubah’ apa pun, menyerupai serigala berbulu domba.” Ngakunya ‘sih’ Ulama, eh … ternyata ‘Sang Ruwaibidhah’.
Karena, di suatu kesempatan Rasulullah saw pernah memperlihatkan ‘warning ’ (peringatan dini) kepada umatnya biar berhati-hati terhadap Ruwaibidhah , simbolisasi seseorang yang ‘berlagak pakar, padahal tidak mempunyai otoritas untuk berfatwa. Dia, kolam “tong kosong“ (yang) — dalam terminologi ‘Aidh al-Qarni — disebut sebagai: al-Ahmaq , seorang yang udik namun tidak sadar akan kebodohannya, maka ia lebih sempurna disebut sebagai orang ‘pandir’, dan inilah yang disebut oleh para ulama sebagai “ Jâhil Murakkab” (orang yang sangat bodoh).
Seorang Ruwaibidhah akan selalu mencitrakan diri sebagai seorang pakar, memerankan dirinya sebagai ‘pengumbar fatwa’ yang berdusta atas nama kebenaran, yang sebab kepiawainnya membangun gambaran dan kehebatan retorikanya dirinya menjadi (seolah-olah) ‘Sang Maestro’ pada bidangnya. Karena di-’blow-up’ oleh aneka macam media, pendapatnya dikutip oleh para muqallid (pengikut setianya)-nya dengan satu keyakinan bahwa apa pun yang dikatakannya selalu benar, atau mininal lebih otoritatif dari siapa pun yang sesungguhnya lebih mempunyai otoritas dalam bidangnya.
Saya sendiri sering terheran-heran, kenapa orang-orang menyerupai ini (Ruwaibidah-ruwaibidah Kontemporer) semakin banyak bermunculan, dengan mengatasnamakan keahliannya yang dikatakannya sendiri dan – kemudian – di’amini’ oleh banyak orang, sebab (antara lain) permainan media cetak dan elektronik yang mendukung kemunculannya.
Bahkan oleh beberapa media massa (elektronik dan cetak) – yang entah sengaja atau tidak ketika memunculkannya — sering disebut sebagai pakar dalam bidang tertentu yang paling layak menjadi “ marja’ taqlid ” (nara sumber otoritatif yang tak perlu disangsikan keabsahan pendapat-pendapatnya).
Memang “ironis”, tetapi itulah kenyataannya!
“Ya Allah, jauhkan kami dari mereka. Dan tunjukkanlah kami jalan kebenaran dariMu”. Āmîn Yâ Mujîbas Sâilîn.
[BERHATI-HATILAH TERHADAP ULAMA SÛ oleh: Alustdz Drs.H.Muhsin Haryanto,.M.Ag]
Entahlah, apa yang menjadi keresahan para ulama pada ketika itu. Karena mereka menyatakan bahwa di antara Ulama yang kita sebut sebagai Waratstul Anbiyâ (Pewaris Para Nabi), ada yang disebut dengan Ulama Sû’.
Di antara mereka ( Ulama Sû’ ) itu, ada juga sekelompok yang mengajak kepada kebaikan, namun tidak pernah memperlihatkan keteladanan.
KH. Muhsin Hariyanto |
Dalam hal ini, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata: “ Ulama Sû’ duduk di depan pintu nirwana dan mengajak insan untuk masuk ke dalamnya dengan ucapan dan seruan-seruan mereka. Dan mengajak insan untuk masuk ke dalam neraka dengan perbuatan dan tindakannya. Ucapan mereka (berkata) kepada manusia: “Kemarilah! Kemarilah!” Sedangkan perbuatan mereka berkata: “Janganlah engkau dengarkan undangan mereka. Seandainya undangan mereka itu benar, tentu mereka ialah orang yang pertama kali memenuhi undangan itu.” (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Al-Fawâid, hal. 61).
Setelah mencermati pernyataan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah ini, saya pun (kemudian) ingat pada firman Allah:
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﻟِﻢَ ﺗَﻘُﻮﻟُﻮﻥَ ﻣَﺎ ﻟَﺎ ﺗَﻔْﻌَﻠُﻮﻥَ ﴿٢﴾ ﻛَﺒُﺮَ ﻣَﻘْﺘًﺎ ﻋِﻨﺪَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺃَﻥ ﺗَﻘُﻮﻟُﻮﺍ ﻣَﺎ ﻟَﺎ ﺗَﻔْﻌَﻠُﻮﻥَ ﴿٣
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kau menyampaikan sesuatu yang tidak kau kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kau menyampaikan apa-apa yang tidak kau kerjakan.” (QS ash-Shaff, 61: 2-3)
Kalau di zaman dahulu para ulama menengarai ‘adanya 'Ulama Sû’ di sekitar mereka, pertanyaan selanjutanya: “adakah Ulama Sû’ di ketika ini? Siapakah mereka? Di manakah mereka berada? Jangan-jangan di seputar kita kini ini masih ada Ulama Sû’ itu!
Berbekal pada pernyataan para ulama di zaman dahulu, saya pun – pada balasannya –memberanikan diri untuk menasihati diri saya sendiri:
“Berhati-hatilah Anda. Karena siapa pun sanggup tampil dengan ‘berselimut dan berjubah’ apa pun, menyerupai serigala berbulu domba.” Ngakunya ‘sih’ Ulama, eh … ternyata ‘Sang Ruwaibidhah’.
Karena, di suatu kesempatan Rasulullah saw pernah memperlihatkan ‘warning ’ (peringatan dini) kepada umatnya biar berhati-hati terhadap Ruwaibidhah , simbolisasi seseorang yang ‘berlagak pakar, padahal tidak mempunyai otoritas untuk berfatwa. Dia, kolam “tong kosong“ (yang) — dalam terminologi ‘Aidh al-Qarni — disebut sebagai: al-Ahmaq , seorang yang udik namun tidak sadar akan kebodohannya, maka ia lebih sempurna disebut sebagai orang ‘pandir’, dan inilah yang disebut oleh para ulama sebagai “ Jâhil Murakkab” (orang yang sangat bodoh).
Seorang Ruwaibidhah akan selalu mencitrakan diri sebagai seorang pakar, memerankan dirinya sebagai ‘pengumbar fatwa’ yang berdusta atas nama kebenaran, yang sebab kepiawainnya membangun gambaran dan kehebatan retorikanya dirinya menjadi (seolah-olah) ‘Sang Maestro’ pada bidangnya. Karena di-’blow-up’ oleh aneka macam media, pendapatnya dikutip oleh para muqallid (pengikut setianya)-nya dengan satu keyakinan bahwa apa pun yang dikatakannya selalu benar, atau mininal lebih otoritatif dari siapa pun yang sesungguhnya lebih mempunyai otoritas dalam bidangnya.
Saya sendiri sering terheran-heran, kenapa orang-orang menyerupai ini (Ruwaibidah-ruwaibidah Kontemporer) semakin banyak bermunculan, dengan mengatasnamakan keahliannya yang dikatakannya sendiri dan – kemudian – di’amini’ oleh banyak orang, sebab (antara lain) permainan media cetak dan elektronik yang mendukung kemunculannya.
Bahkan oleh beberapa media massa (elektronik dan cetak) – yang entah sengaja atau tidak ketika memunculkannya — sering disebut sebagai pakar dalam bidang tertentu yang paling layak menjadi “ marja’ taqlid ” (nara sumber otoritatif yang tak perlu disangsikan keabsahan pendapat-pendapatnya).
Memang “ironis”, tetapi itulah kenyataannya!
“Ya Allah, jauhkan kami dari mereka. Dan tunjukkanlah kami jalan kebenaran dariMu”. Āmîn Yâ Mujîbas Sâilîn.
[BERHATI-HATILAH TERHADAP ULAMA SÛ oleh: Alustdz Drs.H.Muhsin Haryanto,.M.Ag]
0 Komentar untuk "Berhati-Hatilah Terhadap Ulama Sû"