K.H. Mas Mansyur (Ketua Muhammadiyah 1937 – 1942)

K.H. Mas Mansyur (Ketua Muhammadiyah 1937 – 1942)

Sebelum Muhammadiyah Cabang Surabaya didirikan, K.H. Ahmad Dahlan sudah sering mela­kukan tabligh ke kawasan ini. Tabligh-tabligh itu dilaksanakan berupa pengajian yang diseleng­garakan di Peneleh, Surabaya. Dalam pengajian-pengajian itulah Bung Karno muda dan Roeslan Abdul Gani muda, untuk pertama kalinya mende­ngarkan klarifikasi wacana pedoman Islam dari K.H. Ahmad Dahlan.

Setiap melaksanakan tabligh di Surabaya, K.H. Ahmad Dahlan biasanya bermalam di penginapan. Namun, suatu malam ia didatangi seorang tamu yang memintanya supaya setiap K.H. Ahmad Dahlan ke Surabaya bersedia untuk menginap di rumahnya. Tamu itu ialah Kiai Haji Mas Mansur. Mas Mansur selalu mengikuti pengajian yang diberikan oleh K.H. Ahmad Dahlan, dan ia sangat tertarik oleh isi kajian yang diberikannya, serta tertarik juga akan kesederhanaannya.

Mas Mansur lahir pada hari Kamis tanggal 25 Juni 1896 di Surabaya. Ibunya berjulukan Raudhah, seorang perempuan kaya yang berasal dari keluarga Pesantren Sidoresmo, Wonokromo, Surabaya. Ayahnya berjulukan K.H. Mas Ahmad Marzuqi, seorang pioneer Islam, andal agama yang populer di Jawa Timur pada masanya. Dia berasal dari keturunan darah biru Astatinggi Sumenep, Madura. Dia dikenal sebagai imam tetap dan khatib di Masjid Agung Ampel Surabaya, suatu jabatan terhormat pada ketika itu.

Masa kecilnya dilalui dengan berguru agama pada ayahnya sendiri. Di samping itu, ia juga berguru di Pesantren Sidoresmo dengan Kiai Muhammad Thaha sebagai gurunya. Pada tahun 1906, ketika Mas Mansur berusia sepuluh tahun, ia dikirim oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Demangan, Bangkalan, Madura. Di sana, ia mengkaji Al-Qur‘an dan mendalami kitab Alfiyah ibn Malik kepada Kiai Khalil. Belum usang ia berguru di sana, kurang lebih dua tahun, Kiai Khalil meninggal dunia, sehingga Mas Mansur meninggalkan pesantren itu dan pulang ke Surabaya.

Sepulang dari Pesantren Demangan pada tahun 1908, oleh orang tuanya disarankan untuk menunaikan ibadah haji dan berguru di Makkah pada Kiai Mahfudz yang berasal dari Pondok Pesantren Termas, Jawa Tengah. Setelah kurang lebih empat tahun berguru di sana, situasi politik di Saudi memaksanya pindah ke Mesir. Penguasa Arab Saudi, Sultan Syarif Hussen, mengeluarkan arahan bahwa orang gila harus meninggalkan Makkah supaya tidak terlibat sengketa itu. Pada mulanya ayah Mas Mansur tidak mengizinkannya ke Mesir, alasannya ialah gambaran Mesir (Kairo) ketika itu kurang baik di mata ayahnya, yaitu sebagai tempat bersenang-senang dan maksiat. Meskipun demi­kian, Mas Mansur tetap melaksanakan keinginannya tanpa izin orang tuanya. Kepahitan dan kesulitan hidup —karena tidak mendapatkan kiriman uang dari orang tuanya untuk biaya sekolah dan biaya hidup— harus dijalaninya. Oleh alasannya ialah itu, ia sering berpuasa Senin dan Kamis dan mendapatkan uang dan masakan dari masjid-masjid. Keadaan ini berlangsung kurang lebih satu tahun, dan sehabis itu orang tuanya kembali mengiriminya dana untuk berguru di Mesir.

Di Mesir, ia berguru di Perguruan Tinggi Al-Azhar pada Syaikh Ahmad Maskawih. Suasana Mesir pada ketika itu sedang gencar-gencarnya membangun dan menumbuhkan semangat kebangkitan nasionalisme dan pembaharuan. Banyak tokoh memupuk semangat rakyat Mesir, baik melalui media massa maupun pidato. Mas Mansur juga memanfaatkan kondisi ini dengan membaca tulisan-tulisan yang tersebar di media massa dan mendengarkan pidato-pidatonya. Ia berada di Mesir selama kurang lebih dua tahun. Sebelum pulang ke tanah air, terlebih dulu ia singgah kembali ke Makkah selama satu tahun, dan pada tahun 1915 ia pulang ke Indonesia.

Sepulang dari berguru di Mesir dan Makkah, ia menikah dengan puteri Haji Arif yaitu Siti Zakiyah yang tinggalnya tidak jauh dari rumahnya. Dari hasil pernikahannya itu, mereka dikaruniai enam orang anak, yaitu Nafiah, Ainurrafiq, Aminah, Muhammad Nuh, Ibrahim dan Luk-luk. Disamping menikah dengan Siti Zakiyah, ia juga menikah dengan Halimah. Dia menjalani hidup dengan istri kedua ini tidak berlangsung lama, hanya dua tahun, alasannya ialah pada tahun 1939 Halimah meninggal dunia.

Langkah awal Mas Mansur sepulang dari berguru di luar negeri ialah bergabung dalam Syarikat Islam. Peristiwa yang ia saksikan dan alami baik di Makkah, yaitu terjadinya pergolakan politik, mau­pun di Mesir, yaitu munculnya gerakan nasionalisme dan pembaharuan merupakan modal baginya untuk berbagi sayapnya dalam suatu organisasi. Pada ketika itu, SI dipimpin oleh HOS. Cokroaminoto, dan populer sebagai organisasi yang radikal dan revolusioner. Ia dipercaya sebagai Penasehat Pengurus Besar SI.
Selain itu, Mas Mansur juga membentuk majelis diskusi bersama Abdul Wahab Hasbullah yang diberi nama Taswir al-Afkar (Cakrawala Pemikiran). Terbentuknya majelis ini diilhami oleh keadaan masya­rakat Surabaya yang diselimuti kabut keko­lotan. Masyarakat sulit diajak maju, bahkan mereka sulit mendapatkan pemikiran gres yang berbeda dengan tradisi yang mereka pegang. Taswir al-Afkar merupakan tempat berkumpulnya para ulama Surabaya yang sebelumnya mereka mengadakan kegiatan pengajian di rumah atau di surau masing-masing. Masalah-masalah yang dibahas berkaitan dengan masalah-masalah yang bersifat keagamaan murni hingga perkara politik usaha melawan penjajah.

Aktivitas Taswir al-Afkar itu mengilhami lahirnya aneka macam acara lain di aneka macam kota, menyerupai Nahdhah al-Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang menitikberatkan pada pendidikan. Sebagai kelanjutan Nahdhah al-Wathan, Mas Mansur dan Abdul Wahab Hasbullah mendirikan madrasah yang berjulukan Khitab al-Wathan (Mimbar Tanah Air), kemudian madrasah Ahl al-Wathan (Keluarga Tanah Air) di Wonokromo, Far’u al-Wathan (Cabang Tanah Air) di Gresik dan Hidayah al-Wathan (Petunjuk Tanah Air) di Jombang. Kalau diamati, dari nama yang dimunculkan, yaitu wathan yang berarti tanah air, maka sanggup diketahui bahwa kecintaan mereka terhadap tanah air sangat besar. Mereka berusaha mencerdaskan bangsa Indonesia dan berusaha mengajak mereka untuk membebaskan tanah air dari belenggu penjajah. Pemerintahan sendiri tanpa campur tangan bangsa lain, itulah yang mereka harapkan.
Taswir al-Afkar merupakan wadah yang diskusinya, mau tidak mau permasalahan yang mereka diskusikan, merembet pada perkara khilafiyah, ijtihad dan madzhab. Terjadinya perbedaan pendapat antara Mas Mansur dengan Abdul Wahab Hasbullah mengenai masalah-masalah tersebut yang mengakibatkan Mas Mansur keluar dari Taswir al-Afkar.

Mas Mansur juga banyak menghasilkan tulisan-tulisan yang berbobot. Pikiran-pikiran pemba­haruannya dimuat di media massa. Majalah yang pertama kali diterbitkan berjulukan Suara Santri. Kata santri dipakai sebagai nama majalah, alasannya ialah pada ketika itu kata santri sangat digemari oleh masyarakat. Oleh alasannya ialah itu, majalah Suara Santri menerima sukses yang gemilang. Majalah Jinem merupakan majalah kedua yang pernah diterbitkan oleh Mas Mansur. Majalah ini terbit dua kali sebulan dengan memakai bahasa Jawa dengan aksara Arab (pegon). Kedua majalah tersebut merupakan sarana untuk menuangkan pikiran-pikirannya dan mengajak para cowok melatih mengekspresikan pikirannya dalam bentuk tulisan. Melalui majalah itu, Mas Mansur mengajak kaum muslimin untuk meninggalkan kemusyrikan dan kekolotan. Selain itu, Mas Mansur pernah menjadi redaktur majalah Kawan Kita di Surabaya.

      Tulisan-tulisan Mas Mansur pernah dimuat di majalah Siaran dan majalah Kentungan di Surabaya; Penganjur dan Islam Bergerak di Yogyakarta; Panji Islam dan Pedoman Masyarakat di Medan dan Adil di Solo. Di samping melalui majalah-majalah, Mas Mansur juga menuliskan ide dan gagasannya dalam bentuk buku, antara lain yaitu Hadis Nabawiyah; Syarat Syahnya Nikah; Risalah Tauhid dan Syirik; dan Adab al-Bahts wa al-Munadlarah.

Selain aktif dalam bidang tulis-menulis, ia juga aktif dalam organisasi, meskipun acara organisasi menyita waktunya dalam dunia jurnalistik. Pada tahun 1921, Mas Mansur masuk organisasi Muhammadiyah. Aktivitas Mas Mansur di Muhammadiyah membawa angin segar dan memperkokoh keberadaan Muhammadiyah sebagai organisasi pembaharuan. Tangga-tangga yang dilalui Mas Mansur selalu dinaiki dengan mantap. Hal ini terlihat dari jenjang yang dilewatinya, yakni sehabis Ketua Cabang Muhammadiyah Surabaya, kemudian menjadi Konsul Muhammadiyah Wilayah Jawa Timur. Puncak dari tangga tersebut ialah ketika Mas Mansur menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah pada tahun 1937-1943. Mas Mansur dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah dalam Kongres Muham­madiyah ke-26 di Yogyakarta pada bulan Oktober 1937.
     Banyak hal pantas dicatat sebelum Mas Mansur terpilih sebagai Ketua Pengurus Besar Muham­madiyah. Suasana yang berkembang ketika itu ialah ketidakpuasan angkatan muda Muhammadiyah terhadap kebijakan Pengurus Besar Muhammadiyah yang terlalu mengutamakan pendidikan, hanya meng­urusi perkara sekolah-sekolah Muham­madiyah, tetapi melupakan bidang tabligh (penyiaran agama Islam). Angkatan muda Muham-madiyah beropini bahwa Pengurus Besar Muhammadiyah hanya dikuasai oleh tiga tokoh tua, yaitu K.H. Hisyam (Ketua Pengurus Besar), K.H. Mukhtar (Wakil Ketua), dan K.H. Syuja’ sebagai Ketua Bahagian PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem).

Situasi bertambah kritis ketika dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 di Yogyakarta pada tahun 1937, Ranting-ranting Muhammadiyah lebih banyak memperlihatkan bunyi kepada tiga tokoh renta tersebut. Kelompok muda di lingkungan Muhammadiyah semakin kecewa. Namun sehabis terjadi dialog, ketiga tokoh tersebut tulus mengundurkan diri.

     Setelah mereka mundur lewat musyawarah, Ki Bagus Hadikusumo diusulkan untuk menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, namun ia yang menolak. Kiai Hadjid juga menolak ketika ia dihubungi untuk menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Perhatian pun diarahkan kepada Mas Mansur (Konsul Muhammadiyah Daerah Surabaya). Pada mulanya Mas Mansur menolak, tetapi sehabis melalui obrolan panjang ia bersedia menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah.

Pergeseran kepemimpinan dari kelompok renta kepada kelompok muda dalam Pengurus Besar Muham­madiyah tersebut memperlihatkan bahwa Muhammadiyah ketika itu sangat akomodatif dan demokratis terhadap aspirasi kalangan muda yang progresif demi kemajuan Muhammadiyah, bukan demi kepentingan perseorangan. Bahkan Pengurus Besar Muhammadiyah pada periode Mas Mansur juga banyak didominasi oleh angkatan muda Muham­madiyah yang cerdas, tangkas, dan progresif.
     Sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, Mas Mansur bertindak disiplin dalam berorganisasi. Sidang-sidang Pengurus Besar Muhammadiyah selalu diadakan sempurna pada waktunya. Demikian juga dengan para tamu Muhammadiyah dari daerah-daerah. Berbeda dari Pengurus Besar Muham­madiyah sebelumnya yang seringkali menuntaskan perkara Muhammadiyah di rumahnya masing-masing, Mas Mansur selalu menekankan bahwa kebiasaan menyerupai itu tidak baik bagi disiplin organisasi, alasannya ialah Pengurus Besar Muhammadiyah telah mempunyai kantor sendiri beserta segenap karyawan dan perlengkapannya. Namun ia tetap bersedia untuk mendapatkan silaturrahmi para tamu Muhammadiyah dari daerah-daerah itu di rumahnya untuk urusan yang tidak berkaitan dengan Muhammadiyah.

     Kepemimpinannya ditandai dengan kebijak­sanaan gres yang disebut Langkah Muhammadiyah 1938-1949. Ada duabelas langkah yang dicanang­kan. Mas Mansur juga banyak menciptakan gebrakan dalam aturan Islam dan politik ummat Islam ketika itu. Yang perlu juga dicatat, Mas Mansur tidak ragu mengambil kesimpulan wacana aturan bank, yakni haram, tetapi diperkenankan, dimudahkan, dan dimaafkan, selama keadaan memaksa untuk itu. Ia beropini bahwa secara aturan bunga bank ialah haram, tetapi ia melihat bahwa pereko­nomian ummat Islam dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, sedangkan ekonomi perbankan ketika itu sudah menjadi suatu sistem yang berpengaruh di masyarakat. Oleh alasannya ialah itu, kalau ummat Islam tidak memanfaatkan dunia perbankan untuk sementara waktu, maka kondisi perekonomian ummat Islam akan semakin turun secara drastis. Dengan demikian, dalam kondisi keterpaksaan tersebut dibolehkan untuk memanfaatkan perbankan guna memperbaiki kondisi perekono­mian ummat Islam.

Dalam dunia politik ummat Islam ketika itu, Mas Mansur banyak melaksanakan gebrakan. Sebelum menjadi Ketua PB Muhammadiyah, Mas Mansur gotong royong sudah banyak terlibat dalam aneka macam acara politik ummat Islam. Setelah menjadi Ketua PB Muhammadiyah, ia mulai melaksanakan gebrakan politik yang cukup berhasil bagi ummat Islam dengan memprakarsai berdirinya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) bersama K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Wahab Hasbullah yang keduanya dari Nahdlatul Ulama (NU). Ia juga memprakarsai berdirinya Partai Islam Indonesia (PII) bersama Dr. Sukiman Wiryasanjaya sebagai perimbangan atas perilaku non-kooperatif dari Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Demikian juga ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Mas Mansur termasuk salah seorang dari empat orang tokoh nasional yang sangat diperhitungkan, yang populer dengan sebutan empat serangkai, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Mas Mansur.

     Keterlibatannya dalam empat serangkai mengha­ruskannya pindah ke Jakarta, sehingga jabatan ketua PB Muhammadiyah diserahkan kepada Ki Bagus Hadikusumo. Namun, kekejaman pemerintah Jepang yang luar biasa terhadap rakyat Indonesia menyebabkannya tidak tahan dalam acara empat serangkai tersebut, sehingga ia tetapkan untuk kembali ke Surabaya, dan kedudukannya dalam empat serangkai digantikan oleh Ki Bagus Hadikusumo.

     Ketika pecah perang kemerdekaan, Mas Mansur belum sembuh benar dari sakit. Namun, ia tetap ikut berjuang memperlihatkan semangat kepada barisan cowok untuk melawan kedatangan tentara Belanda (NICA). Akhirnya, ia ditangkap oleh tentara NICA dan dipenjarakan di Surabaya. Di tengah pecahnya perang kemerdekaan yang berkecamuk itulah, Mas Mansur meninggal di tahanan pada tanggal 25 April 1946. Jenazahnya dimakamkan di Gipo Surabaya.

Atas jasa-jasanya, oleh Pemerintah Republik Indonesia ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional bersama H. Fakhruddin. [Sumber: muhammadiyah.or.id]

Related : K.H. Mas Mansyur (Ketua Muhammadiyah 1937 – 1942)

0 Komentar untuk "K.H. Mas Mansyur (Ketua Muhammadiyah 1937 – 1942)"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)
close
close