Mendengar kata pendidikan pastinya indera pendengaran kita sudah tak mengherankan lagi, apalagi
selaku kaum akademis yang sehari-hari hidup dilingkungan pendidikan baik di tingkat taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi pastinya kata pendidikan sudah sering kita dengar, akan tapi kita juga kadang-kadang bahkan banyak pelaku maupun objek dari pendidikan tersebut yang belum faham mengenai makna dan hakekat suatu pendidikan.
Ketika kita menyaksikan suatu pendidikan pastinya ada dua segi yang terang dan nampak untuk mendefinisikan kata pendidikan meskipun tidak semudah dengan kita mendefinisikan suatu pendidikan dengan menyaksikan supra dan infra struktur saja, yakni ada tenaga pengajar, media pendidikan tergolong kelengkapan dan bangunan ada tenaga pendidik dan ada yang dididik, terlepas dari itu semua pastinya kita mesti berfikir akan dibawa kemanakah arah pendidikan kita , pastinya tujuan dari pendidikan tidaklah sekedar proses alih budaya atau alih ilmu wawasan (transfer of knowledge), tapi juga sekaligus selaku proses alih nilai moral (transfer of value).
Dari survei tahun ini Indonesia pada peringkat 69 menurut Indeks pembangunan pendidikan (education development index/EDI) menurut data tahun 2011 merupakan 0,934. Nilai ini menempatkan Indonesia di posisi ke-69 dari 127 negara di dunia dan menurun dari tahun lalu.
EDI dibilang tinggi jikalau meraih 0,95-1. Kategori medium di atas 0,80, sedangkan klasifikasi rendah di bawah 0,80.
Pasalnya, peringkat pendidikan menjadi kriteria perkembangan suatu bangsa. Karena itu, dengan menurunnya peringkat pendidikan tersebut gampang dipahami jikalau mutu insan Indonesia kebanyakan rendah. Padahal, pemerintah sudah merumuskan ‘peningkatan daya saing’ atau competitiveness selaku salah satu pilar visi pendidikan nasional. Untuk meraih tujuan tersebut, pemerintah juga sudah memperolah alokasi budget sebesar 20% dari APBN khusus untuk pendidikan. Berbagai kebijakan untuk mendukungnya juga sudah dibuat, mulai dari perangkat yuridis, seumpama Undang-Undang Guru dan Dosen, hingga kebijakan operasional seumpama sertifikasi guru, PLPG, Program Pendidikan Guru (PPG), Duel Mode, Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), Ujian Nasional dsb. Semua kebijakan tersebut hakikatnya untuk memajukan mutu pendidikan nasional.
Survei itu menggunakan empat tolok ukur, yakni angka partisipasi pendidikan dasar, angka melek abjad pada anak usia 15 tahun ke atas, angka partisipasi menurut kesetaraan jender, dan angka bertahan siswa hingga kelas V sekolah dasar. Sekilas hasil yang diraih Indonesia itu bisa dipahami. Sebab kenyataannya memang demikian. Dengan jumlah penduduk miskin hingga meraih 40 juta orang dari 237 juta penduduk menurut sensus tahun 2010 , maka gampang dimengerti jikalau angka partisipasi masuk sekolah dasar saja begitu rendah. Angka buta abjad juga masih sungguh tinggi. Begitu juga dengan kriteria mengenai kesetaraan jender dalam praktik pendidikan masih jauh dari angka ideal. Kendati info kesetaraan jender terus dikumandangkan dan pemerintah secara khusus mengangkat menteri untuk mengatasi duduk kasus perempuan, pembangunan kesetaraan jender masih menemui banyak halangan di Indonesia. Malah ada yang menilai kesetaraan jender merupakan agenda penduduk Barat dan berlainan dengan nilai budaya bangsa, lebih-lebih nilai agama (Islam).
Untung kriteria yang dipakai forum survei tersebut mengenai pendidikan dasar. Saya percaya peringkat Indonesia akan jauh lebih rendah lagi jikalau menggunakan pendidikan tinggi selaku kawasan pengukuran. Sekadar diketahui, angka partisipasi agresif (APK) perguruan tinggi kita sungguh rendah. Tahun 2014 pemerintah menargetkan APK kita meraih 30 %. Dengan keadaan perekonomian penduduk kita seumpama di saat ini, saya tidak begitu optimis angka tersebut dapat dicapai. Lebih parah lagi jikalau komponen serapan kerja para lulusan PT juga dipakai selaku ukuran. Tentu peringkat Indonesia akan sungguh jeblok. Sebab, setiap tahun tidak kurang dari 2 juta lulusan perguruan tinggi dari aneka macam jurusan menganggur. Mereka ini menjadi beban berat pemerintah alasannya menjadi pengangguran intelektual.
Pendidikan bukan sekadar upaya atau fasilitas orang mencari pekerjaan, melainkan suatu proses pendewasaan diri untuk dapat hidup bermartabat. Karena merupakan proses pendewasaan diri, maka pendidikan tidak akan pernah berakhir, sekalipun yang bersangkutan sudah mapan secara material dalam hidupnya (education is life long). Dengan demikian, pendidikan bukan alat (means ) melainkan tujuan (ends). Serbagian besar penduduk kita menilai pendidikan merupakan alat atau fasilitas (means ) meraih tujuan, sehingga begitu tujuan diraih, malka selsai pula acara pendidikan tersebut.
Mutu Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama.....
Selain meluruskan tujuan dan niat pendidikan, kiprah kita semua juga ntuk menyadarkan bahwa pendidikan merupakan acara kolektif yang melibatkan banyak unsur, mulai siswa itu sendiri, masyarakat, orangtua, pendidik, fasilitas dan prasarana, manajemen, beaya pendidikan, proses menuntut ilmu mengajar, hingga campur tangan pemerintah. Belajar dari negara-negara yang sudah maju, kita dapat mengambil pelajaran bermanfaat betapa pendidikan merupakan hajat semua orang. Karena itu, maju dan mundurnya pendidikan merupakan tanggung jawab semua orang.
Sebaliknya, di penduduk kita pendidikan seolah cuma merupakan tanggung jawab guru atau sekolah dan pada tingkat negara pendidikan cuma menjadi tanggung jawab Kementerian Pendidikan. Jika demikian cara pandangnya, maka hingga kapan pun pendidikan kita tidak akan pernah dapat semaju sebagaimana di negara-negara yang sudah meraih prestasi puncak dalam pendidikan.
Di tengah-tengah hingar bingar perpolitikan nasional kita di sekarang ini ..... dan sepertinya akan terus berjalan usang ..... perhatian pemerintah pun dapat tersedot pada hal-hal lain di luar tujuan pendidikan. Karena itu, masuk akal jikalau nilai atau prestasi mutu pendidikan kita menurun dan sukar sekali bangun dari peringkat 60-70.
Sebagai bangsa, kita juga ingin berdiri gagah di tengah bangsa-bangsa lain yang lebih maju, tidak lewat perang, melainkan lewat prestasi akademik lewat pendidikan. Memang sukar untuk meraih prestasi itu, tapi bukan sulit dipercayai asal semua pihak sebagaimana disebutkan di paras bergandeng tangan membangun pendidikan secara serius.
Selamat Hari Pendidikan Nasional; "Raih Prestasi, Junjung Tinggi Budi Pekerti".
selaku kaum akademis yang sehari-hari hidup dilingkungan pendidikan baik di tingkat taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi pastinya kata pendidikan sudah sering kita dengar, akan tapi kita juga kadang-kadang bahkan banyak pelaku maupun objek dari pendidikan tersebut yang belum faham mengenai makna dan hakekat suatu pendidikan.
Ketika kita menyaksikan suatu pendidikan pastinya ada dua segi yang terang dan nampak untuk mendefinisikan kata pendidikan meskipun tidak semudah dengan kita mendefinisikan suatu pendidikan dengan menyaksikan supra dan infra struktur saja, yakni ada tenaga pengajar, media pendidikan tergolong kelengkapan dan bangunan ada tenaga pendidik dan ada yang dididik, terlepas dari itu semua pastinya kita mesti berfikir akan dibawa kemanakah arah pendidikan kita , pastinya tujuan dari pendidikan tidaklah sekedar proses alih budaya atau alih ilmu wawasan (transfer of knowledge), tapi juga sekaligus selaku proses alih nilai moral (transfer of value).
Dari survei tahun ini Indonesia pada peringkat 69 menurut Indeks pembangunan pendidikan (education development index/EDI) menurut data tahun 2011 merupakan 0,934. Nilai ini menempatkan Indonesia di posisi ke-69 dari 127 negara di dunia dan menurun dari tahun lalu.
EDI dibilang tinggi jikalau meraih 0,95-1. Kategori medium di atas 0,80, sedangkan klasifikasi rendah di bawah 0,80.
Pasalnya, peringkat pendidikan menjadi kriteria perkembangan suatu bangsa. Karena itu, dengan menurunnya peringkat pendidikan tersebut gampang dipahami jikalau mutu insan Indonesia kebanyakan rendah. Padahal, pemerintah sudah merumuskan ‘peningkatan daya saing’ atau competitiveness selaku salah satu pilar visi pendidikan nasional. Untuk meraih tujuan tersebut, pemerintah juga sudah memperolah alokasi budget sebesar 20% dari APBN khusus untuk pendidikan. Berbagai kebijakan untuk mendukungnya juga sudah dibuat, mulai dari perangkat yuridis, seumpama Undang-Undang Guru dan Dosen, hingga kebijakan operasional seumpama sertifikasi guru, PLPG, Program Pendidikan Guru (PPG), Duel Mode, Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), Ujian Nasional dsb. Semua kebijakan tersebut hakikatnya untuk memajukan mutu pendidikan nasional.
Survei itu menggunakan empat tolok ukur, yakni angka partisipasi pendidikan dasar, angka melek abjad pada anak usia 15 tahun ke atas, angka partisipasi menurut kesetaraan jender, dan angka bertahan siswa hingga kelas V sekolah dasar. Sekilas hasil yang diraih Indonesia itu bisa dipahami. Sebab kenyataannya memang demikian. Dengan jumlah penduduk miskin hingga meraih 40 juta orang dari 237 juta penduduk menurut sensus tahun 2010 , maka gampang dimengerti jikalau angka partisipasi masuk sekolah dasar saja begitu rendah. Angka buta abjad juga masih sungguh tinggi. Begitu juga dengan kriteria mengenai kesetaraan jender dalam praktik pendidikan masih jauh dari angka ideal. Kendati info kesetaraan jender terus dikumandangkan dan pemerintah secara khusus mengangkat menteri untuk mengatasi duduk kasus perempuan, pembangunan kesetaraan jender masih menemui banyak halangan di Indonesia. Malah ada yang menilai kesetaraan jender merupakan agenda penduduk Barat dan berlainan dengan nilai budaya bangsa, lebih-lebih nilai agama (Islam).
Untung kriteria yang dipakai forum survei tersebut mengenai pendidikan dasar. Saya percaya peringkat Indonesia akan jauh lebih rendah lagi jikalau menggunakan pendidikan tinggi selaku kawasan pengukuran. Sekadar diketahui, angka partisipasi agresif (APK) perguruan tinggi kita sungguh rendah. Tahun 2014 pemerintah menargetkan APK kita meraih 30 %. Dengan keadaan perekonomian penduduk kita seumpama di saat ini, saya tidak begitu optimis angka tersebut dapat dicapai. Lebih parah lagi jikalau komponen serapan kerja para lulusan PT juga dipakai selaku ukuran. Tentu peringkat Indonesia akan sungguh jeblok. Sebab, setiap tahun tidak kurang dari 2 juta lulusan perguruan tinggi dari aneka macam jurusan menganggur. Mereka ini menjadi beban berat pemerintah alasannya menjadi pengangguran intelektual.
Pendidikan bukan sekadar upaya atau fasilitas orang mencari pekerjaan, melainkan suatu proses pendewasaan diri untuk dapat hidup bermartabat. Karena merupakan proses pendewasaan diri, maka pendidikan tidak akan pernah berakhir, sekalipun yang bersangkutan sudah mapan secara material dalam hidupnya (education is life long). Dengan demikian, pendidikan bukan alat (means ) melainkan tujuan (ends). Serbagian besar penduduk kita menilai pendidikan merupakan alat atau fasilitas (means ) meraih tujuan, sehingga begitu tujuan diraih, malka selsai pula acara pendidikan tersebut.
Mutu Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama.....
Selain meluruskan tujuan dan niat pendidikan, kiprah kita semua juga ntuk menyadarkan bahwa pendidikan merupakan acara kolektif yang melibatkan banyak unsur, mulai siswa itu sendiri, masyarakat, orangtua, pendidik, fasilitas dan prasarana, manajemen, beaya pendidikan, proses menuntut ilmu mengajar, hingga campur tangan pemerintah. Belajar dari negara-negara yang sudah maju, kita dapat mengambil pelajaran bermanfaat betapa pendidikan merupakan hajat semua orang. Karena itu, maju dan mundurnya pendidikan merupakan tanggung jawab semua orang.
Sebaliknya, di penduduk kita pendidikan seolah cuma merupakan tanggung jawab guru atau sekolah dan pada tingkat negara pendidikan cuma menjadi tanggung jawab Kementerian Pendidikan. Jika demikian cara pandangnya, maka hingga kapan pun pendidikan kita tidak akan pernah dapat semaju sebagaimana di negara-negara yang sudah meraih prestasi puncak dalam pendidikan.
Di tengah-tengah hingar bingar perpolitikan nasional kita di sekarang ini ..... dan sepertinya akan terus berjalan usang ..... perhatian pemerintah pun dapat tersedot pada hal-hal lain di luar tujuan pendidikan. Karena itu, masuk akal jikalau nilai atau prestasi mutu pendidikan kita menurun dan sukar sekali bangun dari peringkat 60-70.
Sebagai bangsa, kita juga ingin berdiri gagah di tengah bangsa-bangsa lain yang lebih maju, tidak lewat perang, melainkan lewat prestasi akademik lewat pendidikan. Memang sukar untuk meraih prestasi itu, tapi bukan sulit dipercayai asal semua pihak sebagaimana disebutkan di paras bergandeng tangan membangun pendidikan secara serius.
Selamat Hari Pendidikan Nasional; "Raih Prestasi, Junjung Tinggi Budi Pekerti".
0 Komentar untuk "Hari Pendidikan Nasional"