Kebanjiran.
Adalah kata yang sungguh biasa aku alami selama belasan tahun silam.
Rumah kami sebelumnya terletak di belakang sentra kecamatan, suatu kawasan dengan posisi rendah. Dulu hanya ada sedikit rumah di lorong itu. Hingga satu persatu warga pendatang mulai masuk, membangun rumah besar dan tinggi. Dan rumah kami pun terlihat terlihat mirip bonsai.
Bagi kami, hujan deras senantiasa tiba menenteng kecemasan tersendiri. Baru menyaksikan awan telah gelap, Mamak kadang telah cemas. Sungguh repot sebelum banjir datang, hingga banjir itu pulang.
Dan kecemasan ibu kami --akan hujan-- menurun hingga ke bungsunya. Saya kerap tidak dapat tenang menyaksikan air yang jatuh dari langit. Membayangkan kepanikan dikala angkat barang, mendapati rumah digenangi air, membayangkan membersihkan lumpur, memberesi rumah yang hebat kotor dan berserakan dikala banjir surut; aku telah lemas duluan.
Butuh beberapa usang untuk berdamai dengan hujan. Hingga dikala pindah kerumah gres pun, aku masih tak tenang jikalau hujan deras. Padahal, lokasi kini lebih kondusif dari banjir.
Karena anxiety akan banjir itu, dahulu aku kerap membanding-bandingkan cara Tuhan memberi cobaan terhadap hambanya.
'Tuhan, kenapa kami senantiasa yang Engkau timpakan banjir. Padahal orang lain aman-aman saja..'
Lalu .....
Tahun 2004 tsunami menimpa Aceh.
Musibah maha dahsyat ini datang, dan bisa merubah sudut pandang aku wacana banjir yang berkala kami alami.
Akhirya, aku yang pernah sedikit trauma menyaksikan air deras dari langit, disadarkan oleh mereka yang trauma menyaksikan air deras dari laut.
[ Tentang cara Tuhan "mentransfer" kejadian alam ]
Baik banjir maupun Tsunami yakni sama-sama musibah; yang dapat kita perhalus katanya menjadi "ujian" hidup.
Ternyata selama belasan tahun Tuhan kasih kami banjir, yakni suatu transferan 'ujian' yang Tuhan cicil sedikit demi sedikit.
Sementara sebagian orang lainnya, Tuhan transfer sekaligus. Bahkan mesti kehilangan nyawa orang yang dicintai.
Allah telah menegaskan terkait ujian; yang mau terus ada selama insan itu masih hidup. Dan porsinya berlainan sesuai kesanggupan manusianya masing-masing.
Dan sayangnya kita tak bisa memutuskan mau dicicil atau dirapel; mau di cicil dengan banjir sejengkal, atau dirapel dengan banjir hingga atap rumah?
Hakikatnya sama secara jumlah transferan, tetapi beda di tenggang waktu.
Contoh lain ... aku ingat dongeng hidup orang terdekat yang --menurut saya-- jalan hidupnya kok mulus banget. Ekonomi baik, pendidikan bagus, suami romantis, anak sepasang.
Sementara aku ... merasa tak seberuntung dia. Ada beberapa cicilan batu pada permulaan ijab kabul kami.
Lalu bertahun-tahun kemudian, aku menyaksikan sendiri bagaimana ijab kabul orang tersebut berada di ambang kehancuran. Sang suami menduakan kemudian menghilang.
Syukurlah keajaiban terjadi, mereka rujuk sehabis cobaan maha dahsyat.
Baiklah ... ternyata cobaan aku dicicil, cobaan ia di rapel.
Atau, selanjutnya suatu pola terakhir.
Dulu, aku dahulu kerap menyaksikan salah seorang kawan yang mesti bolak-balik melarikan anaknya ke Rumah Sakit. Bocah itu punya penyakit bawaan yang menghasilkan ia cepat sesak.
Ya Allah, andai saja itu anak aku ... entah bagaimana rasanya lihat buah hati jatuh sakit berulang kali. Syukurlah, Allah tidak menguji aku pada kepingan ini.
Lalu, dikala bawah umur aku yang jarang sakit itu, salah satunya justru meninggal ....
Siapa sangka, ternyata aku gak sanggup cicilan. Dapatnya rapelan.
[ Closing statement ]
Demikian lah takdir melakukan pekerjaan dengan begitu adilnya. Kadangkala dengan tenggang yang berlainan pun, kita akan dapatkan jumlah cobaan yang serupa
Jadi .... apakah itu dicicil atau dirapel, jangan galau jikalau merasa kita asik di uji melulu.
Justru bingunglah, jikalau gak pernah diuji dengan musibah. Jangan-jangan musibahnya dirapel sekalian nanti, di alam abadi
Adalah kata yang sungguh biasa aku alami selama belasan tahun silam.
Rumah kami sebelumnya terletak di belakang sentra kecamatan, suatu kawasan dengan posisi rendah. Dulu hanya ada sedikit rumah di lorong itu. Hingga satu persatu warga pendatang mulai masuk, membangun rumah besar dan tinggi. Dan rumah kami pun terlihat terlihat mirip bonsai.
Lalu rumah yang dulunya kondusif makmur itu, mulai diteror banjir tak terhitung jumlahnya dalam setahun.
Bagi kami, hujan deras senantiasa tiba menenteng kecemasan tersendiri. Baru menyaksikan awan telah gelap, Mamak kadang telah cemas. Sungguh repot sebelum banjir datang, hingga banjir itu pulang.
Dan kecemasan ibu kami --akan hujan-- menurun hingga ke bungsunya. Saya kerap tidak dapat tenang menyaksikan air yang jatuh dari langit. Membayangkan kepanikan dikala angkat barang, mendapati rumah digenangi air, membayangkan membersihkan lumpur, memberesi rumah yang hebat kotor dan berserakan dikala banjir surut; aku telah lemas duluan.
Butuh beberapa usang untuk berdamai dengan hujan. Hingga dikala pindah kerumah gres pun, aku masih tak tenang jikalau hujan deras. Padahal, lokasi kini lebih kondusif dari banjir.
Karena anxiety akan banjir itu, dahulu aku kerap membanding-bandingkan cara Tuhan memberi cobaan terhadap hambanya.
'Tuhan, kenapa kami senantiasa yang Engkau timpakan banjir. Padahal orang lain aman-aman saja..'
Lalu .....
Tahun 2004 tsunami menimpa Aceh.
Musibah maha dahsyat ini datang, dan bisa merubah sudut pandang aku wacana banjir yang berkala kami alami.
Akhirya, aku yang pernah sedikit trauma menyaksikan air deras dari langit, disadarkan oleh mereka yang trauma menyaksikan air deras dari laut.
[ Tentang cara Tuhan "mentransfer" kejadian alam ]
Baik banjir maupun Tsunami yakni sama-sama musibah; yang dapat kita perhalus katanya menjadi "ujian" hidup.
Ternyata selama belasan tahun Tuhan kasih kami banjir, yakni suatu transferan 'ujian' yang Tuhan cicil sedikit demi sedikit.
Sementara sebagian orang lainnya, Tuhan transfer sekaligus. Bahkan mesti kehilangan nyawa orang yang dicintai.
Allah telah menegaskan terkait ujian; yang mau terus ada selama insan itu masih hidup. Dan porsinya berlainan sesuai kesanggupan manusianya masing-masing.
Dan sayangnya kita tak bisa memutuskan mau dicicil atau dirapel; mau di cicil dengan banjir sejengkal, atau dirapel dengan banjir hingga atap rumah?
Hakikatnya sama secara jumlah transferan, tetapi beda di tenggang waktu.
Contoh lain ... aku ingat dongeng hidup orang terdekat yang --menurut saya-- jalan hidupnya kok mulus banget. Ekonomi baik, pendidikan bagus, suami romantis, anak sepasang.
Sementara aku ... merasa tak seberuntung dia. Ada beberapa cicilan batu pada permulaan ijab kabul kami.
Lalu bertahun-tahun kemudian, aku menyaksikan sendiri bagaimana ijab kabul orang tersebut berada di ambang kehancuran. Sang suami menduakan kemudian menghilang.
Syukurlah keajaiban terjadi, mereka rujuk sehabis cobaan maha dahsyat.
Baiklah ... ternyata cobaan aku dicicil, cobaan ia di rapel.
Atau, selanjutnya suatu pola terakhir.
Dulu, aku dahulu kerap menyaksikan salah seorang kawan yang mesti bolak-balik melarikan anaknya ke Rumah Sakit. Bocah itu punya penyakit bawaan yang menghasilkan ia cepat sesak.
Ya Allah, andai saja itu anak aku ... entah bagaimana rasanya lihat buah hati jatuh sakit berulang kali. Syukurlah, Allah tidak menguji aku pada kepingan ini.
Lalu, dikala bawah umur aku yang jarang sakit itu, salah satunya justru meninggal ....
Siapa sangka, ternyata aku gak sanggup cicilan. Dapatnya rapelan.
[ Closing statement ]
Demikian lah takdir melakukan pekerjaan dengan begitu adilnya. Kadangkala dengan tenggang yang berlainan pun, kita akan dapatkan jumlah cobaan yang serupa
Jadi .... apakah itu dicicil atau dirapel, jangan galau jikalau merasa kita asik di uji melulu.
Justru bingunglah, jikalau gak pernah diuji dengan musibah. Jangan-jangan musibahnya dirapel sekalian nanti, di alam abadi
Sumber: Facebook Safrina Syams
Sumber https://www.juragandesa.id
0 Komentar untuk "Tentang Banjir Dan Tata Cara Transfer"