Kalau Mau Naik Pangkat, Guru Mesti Kepo, Tidak Pelit, Dan Tekun Nulis Dong! Oleh Lestari Ambar Sukesti

Publikasikaryatulis, salamedukasi.com - Naik pangkat bagi sebagian guru masih dianggap selaku sesuatu yang menyibukkan dan mustahil. Ini banyak dialami oleh guru angkatan usang yakni guru di usia 50-an tahun atau jelang pensiun. Mekanisme pengajuan angka kredit di masa kemudian yang cuma dijumlah dari unsur mengajar memungkinkan guru naik pangkat per 2 tahun. Bahkan timbul pepatah yang menyebutkan kian banyak jumlah jam mengajar maka makin besar pula kesempatan naik pangkat.

Akibatnya guru-guru yang jumlah jam mengajar per minggunya lebih dari 18 akan cepat naik pangkat. Tak heran dalam kurun waktu 10 tahun guru-guru yang pengangkatan pertamanya dari pendidikan sarjana sudah meraih kalangan 4a. Hanya yang sungguh disayangkan yakni sehabis itu mereka mandeg. Tidak mengerjakan pengajuan angka kredit ke kalangan yang lebih tinggi. Mengapa demikian? Karena untuk menuju kalangan 4b guru dituntut untuk mengerjakan pengembangan profesi.

Bagi sebagian orang acara pengembangan profesi ini dianggap sulit. Ada kewajiban mengikuti acara diklat minimal sejumlah 30 jam untuk memeroleh angka kredit 1 dari unsur pengembangan diri. Sedangkan jumlah nilai pengembangan diri yang dibutuhkan yakni 4. 


Pada waktu itu acara pendidikan dan pembinaan bagi guru yang diadakan oleh dinas terkait masih sungguh jarang. Alhasil syarat nilai 4 dari unsur pengembangan diri pun tidak dapat tercukupi. Di samping itu guru juga mesti menciptakan goresan pena berupa karya ilmiah. Rendahnya kesanggupan menulis menciptakan guru tidak berhasil mengerjakan publikasi ilmiah melalui goresan pena mereka. Salah satunya memang sebab aspek ketidaktahuan ihwal teori menulis serta bagaimana mempublikasikannya.

Faktor-faktor ini menyebabkan guru-guru "tua" menjadi frustrasi. Mereka menegaskan pensiun saja dibandingkan mesti ribet ini itu untuk peningkatan pangkat. Memang urusan tata kelola yang seabreg tidak sepadan dengan nominal peningkatan honor yang akan diterima. Sekira 100 ribu saja. Tapi bagi saya 100 ribu itu besar sekali. Yang niscaya tiap bulan saya akan mendapatkannya.

Saya sendiri tergolong guru kalangan "tua". Diangkat menjadi CPNS pada kalangan 2c. Maklumlah saya cuma lulusan D3 yang dahulu dijanjikan ikatan dinas. Alih-alih diposisikan tanpa tes saya mesti berjuang di antara ribuan pelamar untuk dapat diterima selaku Calon Pegawai Negeri Sipil.

Dalam jangka 17 tahun saya meraih kalangan 4a seumpama senior-senior saya. Mungkin bila saya tidak mutasi ke daerah asal dan kiprah ke mancanegara bisa saja saya meraih kalangan 4a kurang dari 17 tahun.

Lalu apa saya meneladani pendahulu saya? Para senior saya yang duduk bagus dalam kepasrahan di kalangan 4a sampai waktu pensiun tiba. Tidak. Saya mesti berani keluar dari zona tenteram ini. Toh dikala itu usia saya juga belum begitu renta. Baru 39, ups. Masih muda kan?

Dari sini usaha dimulai. Entah mengapa waktu itu saya tertarik untuk melanjutkan jenjang pendidikan strata dua. Selama kuliah aneka macam acara ilmiah saya ikuti. Dari pelatihan nasional sampai pertemuan internasional. Berpindah dari satu kampus ke kampus lain. Dari satu kota ke kota lain. Judulnya keren. Menjadi pembicara pada sesi paralel.

Tetapi untuk lolos menjadi pembicara paralel dalam pelatihan bukan masalah mudah. Calon pembicara mesti mengirim aneh tulisannya untuk dikurasi apalagi dahulu. Layak atau tidak. Dan dikala aneh saya lolos di situlah saya menjadi satu-satunya pembicara yang berprofesi guru di antara puluhan dosen dari aneka macam perguruan tinggi tinggi ternama.

Apakah saya didanai? Tentu tidak. Saya mesti merogoh kocek sendiri untuk mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut. Mahal? Iya. Rugi? Tentu tidak.

Nah, bagaimana saya bisa mengikuti acara tersebut? Tentu saja berawal dari kepo. Kepo sendiri menurut KBBI diartikan selaku rasa ingin tahu yang berlebihan ihwal kepentingan orang lain.

Saya memang kepo akan keberhasilan orang. Kepo kepada kesanggupan orang lain sampai menduduki kalangan 4b. Dari sosmed-lah saya mendapatkan isu ihwal aneka macam acara pelatihan baik  nasional maupun internasional. Tidak jarang silaturahim yang terjalin selama mengikuti pelatihan berbuntut pada bertambahnya isu ihwal acara pelatihan di waktu-waktu berikutnya.

Saya sudah andal menulis? Ah tidak juga. Saya cuma bermodal nekad. Yang saya lakukan keseharian di kelas itulah yang saya tulis. Namun goresan pena saya masih jauh dari sempurna. Kalau pun goresan pena saya bisa lolos itu dapat jadi itu sebab factor “luck” saja.

Maka aneka macam pembinaan menulis pun saya ikuti. Ah lagi-lagi bukan masalah gampang. Dan sosmed menjadi solusinya. Ada saja isu pembinaan yang sanggup dibarengi dan sesuai ketentuan yang dijabarkan dalam buku pengembangan keprofesian berkelanjutan.

Kemampuan menulis ini rupanya menjadi kesempatan bagi pihak-pihak tertentu semisal organisasi profesi guru. Lebih-lebih di antara pengelola ada yang berlatar belakang  guru atau pihak yang peduli akan nasib guru. Sudah niscaya acara ini hampir tanpa hambatan. Meski tidak gratisan. Untuk memeroleh nilai pengembangan diri guru mesti merencanakan dana yang tidak sedikit. Biasanya meraih ratusan ribu untuk pembinaan selama 3 hari.

Pelatihan yang dipersiapkan yakni menulis. Dengan iming-iming menulis itu gampang. Tulis saja apa yang mau ditulis. Mau goresan pena motivasi, memoar, novel, kumpulan puisi, kumpulan cerpen, sampai goresan pena how to tergolong di dalamnya yakni resep masakan.

Euphoria pembinaan menulis ini terasa di semua lini, dari Taman Kanak-kanak sampai Sekolah Menengan Atas bahkan perguruan tinggi tinggi. Semua pegiat pendidikan seakan berlomba untuk menjadi penulis buku terbanyak. Mereka pun melalaikan kepo akan regulasi. Ujungnya sanggup ditebak.  Buku-buku yang diajukan untuk angka kredit tidak lolos penilaian.  

Guru mulai melirik penayangan postingan di koran. Pihak pengelola media tidak mau ketinggalan. Pelatihan menulis postingan di koran atau jurnal hasilnya bermunculan. Dengan mengirim sejumlah duit dan goresan pena sebulan selanjutnya postingan akan tayang di koran atau jurnal.

Lagi-lagi bila kepo tidak dipiara kefatalan pun akan menjalari. Menulis postingan di koran berkali-kali. Alih-alih memeroleh nilai ternyata ada pembatasan 3 postingan saja untuk setiap pengajuan angka kredit. Sementara postingan yang terbit di jurnal ternyata tidak lolos analisa juga. Karena ternyata jurnal tersebut tidak berhubungan dengan dinas atau forum dalam naungan kementerian pendidikan atau organisasi profesi.

Setelah 2 kali pengajuan angka kredit hasilnya saya pun lolos melaju ke kalangan 4b. Kini saya sedang menanti peningkatan pangkat di kalangan 4c sehabis PAK saya turun bulan Desember kemarin.

Ingat ya bapak ibu guru bila hendak naik pangkat ya mesti kepo namun bukan gibah lo ya. Selain itu juga tidak pelit mengeluarkan duit dan bersungguh-sungguh menulis. Regulasi modern Permenpan RB No 16 tahun 2009 ihwal jabatan fungsional guru dan angka kreditnya mengisyaratkan mulai pengangkatan pertama di kalangan 3a guru sudah mesti memiliki nilai pengembangan diri untuk naik ke kalangan 3b sedangkan pangkat dari kalangan 3b ke 3c sudah mesti memiliki 4 nilai dari publikasi ilmiah.

Gimana? Masih sungkan kepo? Pelit dan gak mau nulis?

Oleh : Lestari Ambar S, guru PNS tinggal di Ambarawa (Email : lestariambarsukesti@gmail.com)

Ingin karya tulis Anda terpublikasi di situs web di sini.


Sumber https://www.salamedukasi.com

Related : Kalau Mau Naik Pangkat, Guru Mesti Kepo, Tidak Pelit, Dan Tekun Nulis Dong! Oleh Lestari Ambar Sukesti

0 Komentar untuk "Kalau Mau Naik Pangkat, Guru Mesti Kepo, Tidak Pelit, Dan Tekun Nulis Dong! Oleh Lestari Ambar Sukesti"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)
close
close