Pagi ini saya mencar ilmu keteladanan hidup dari seorang bapak pedagang roti keliling. Beliau berjualan dengan berlangsung kaki ratusan meter mengelilingi perumahan dari pagi hingga petang. Tak lupa membunyikan trompet selaku tanda kedatangannya. Hanya alasannya merupakan iba, saya sering membeli. Apalagi kalau kebetulan berjumpa dengannya sedang berteduh di bawah pohon di tengah terik mentari sambil mengkonsumsi sebagian roti dagangannya yang masih banyak berjejer rapi.
Seperti biasa, pagi tadi dia melalui rute yang sama. Saya sedang berada di suatu warung berbelanja lontong. Anak pedagang lontong yang kisaran usianya sekitar tiga tahun sebut saja namanya Maulana, menangis meminta roti, sedangkan ibunya sungguh sibuk melayani pelanggan. Aneh, bapak pedagang roti tahu bahwa Maulana meminta roti, tetapi ia malah mempercepat langkahnya menghindari.
Tangisnya kian histeris. Saya tidak tega menyaksikan belum dewasa menangis. Selesai mengeluarkan duit lontong, saya ajak dia naik sepeda motor saya mengejar-ngejar bapak pedagang roti.
"Paaaak....! Tunggu sebentar!" Pinta saya di saat nyaris mendekat kepadanya.
Beliau berhenti.
Maulana turun dan menegaskan dua potong roti yang ia sukai.
"Ini uangnya, Pak!" Saya menampilkan recehan dua ribu rupiah.
Namun dia tidak mau menerima. Memasukkan kembali ke dalam kantong baju Maulana. Kemudian menyertakan lima potong roti yang lain kedalam kantong plastik dan digenggamkan pada tangan Maulana.
""Kenapa Bapak tidak mau menemukan uangnya? Roti bapak masih banyak yang belum laku." Tanya saya.
"Ini anak ibu pedagang warung itu, kan?"
"Iya, benar."
"Ambil saja. Ibu itu sungguh sering menampilkan nasi pada saya cuma-cuma. Begitu melalui saya di depan warungnya, rame atau tidaknya pelanggan, ia senantiasa menampilkan sebungkus nasi terhadap saya. Makanya saya hindari tadi dikala anak ini memanggil. Karena saya takut merepotkannya lagi. Karena kami sama-sama orang tidak punya. Mencari sepiring nasi untuk hidup hari ini." Jelasnya sederhana.
"Terima kasih banyak ya... Saya mesti jalan lagi." Tutupnya.
Saya yang berterima kasih terhadap Bapak.
Benar, orang kaya dan miskin sama-sama membuatkan udara di kota ini, tetapi kebahagiaan sejati cuma akan ada dalam setiap hati yang senang memberi.
-Ismi Marnizar-
Seperti biasa, pagi tadi dia melalui rute yang sama. Saya sedang berada di suatu warung berbelanja lontong. Anak pedagang lontong yang kisaran usianya sekitar tiga tahun sebut saja namanya Maulana, menangis meminta roti, sedangkan ibunya sungguh sibuk melayani pelanggan. Aneh, bapak pedagang roti tahu bahwa Maulana meminta roti, tetapi ia malah mempercepat langkahnya menghindari.
Tangisnya kian histeris. Saya tidak tega menyaksikan belum dewasa menangis. Selesai mengeluarkan duit lontong, saya ajak dia naik sepeda motor saya mengejar-ngejar bapak pedagang roti.
"Paaaak....! Tunggu sebentar!" Pinta saya di saat nyaris mendekat kepadanya.
Beliau berhenti.
Maulana turun dan menegaskan dua potong roti yang ia sukai.
"Ini uangnya, Pak!" Saya menampilkan recehan dua ribu rupiah.
Namun dia tidak mau menerima. Memasukkan kembali ke dalam kantong baju Maulana. Kemudian menyertakan lima potong roti yang lain kedalam kantong plastik dan digenggamkan pada tangan Maulana.
""Kenapa Bapak tidak mau menemukan uangnya? Roti bapak masih banyak yang belum laku." Tanya saya.
"Ini anak ibu pedagang warung itu, kan?"
"Iya, benar."
"Ambil saja. Ibu itu sungguh sering menampilkan nasi pada saya cuma-cuma. Begitu melalui saya di depan warungnya, rame atau tidaknya pelanggan, ia senantiasa menampilkan sebungkus nasi terhadap saya. Makanya saya hindari tadi dikala anak ini memanggil. Karena saya takut merepotkannya lagi. Karena kami sama-sama orang tidak punya. Mencari sepiring nasi untuk hidup hari ini." Jelasnya sederhana.
"Terima kasih banyak ya... Saya mesti jalan lagi." Tutupnya.
Saya yang berterima kasih terhadap Bapak.
Benar, orang kaya dan miskin sama-sama membuatkan udara di kota ini, tetapi kebahagiaan sejati cuma akan ada dalam setiap hati yang senang memberi.
-Ismi Marnizar-
Lokasi foto: Mata ie, Balohan
Kota Sabang
Kota Sabang
0 Komentar untuk "Sebungkus Nasi Dan Sepotong Roti"