"Untuk apa ber-IPK tinggi dan lulus Cumlaude, kalau menanak nasi saja tidak bisa?" Begitulah salah satu olok-olokan yang sering terlontar terhadap perempuan. Cerdas di bidang akademik dan aktif dalam banyak sekali acara sosial seolah tidak memiliki arti apa-apa jikalau belum bisa melayani suami dan belum dewasa dengan segala pekerjaan domestik rumah tangga. Stereotip ini sudah mengakar kuat, mendarah daging dalam kultur kehidupan sehingga prestasi tertinggi bagi mereka yang memiliki anak perempuan yaitu menikah, memiliki anak, patuh pada suami. Menguburkan impian dan kehendak tinggi yang meluap-luap. Mengenyampingkan kegemaran dan bakat, patuh dalam keterpaksaan dan memberontak dalam diam.
Ketika perempuan menegaskan bekerja, beban yang dihadapi justru mengganda. Beban pekerjaan dan beban rumah tangga. Perempuan dianggap durhaka dikala prestasi kerja menjulang, sementara pekerjaan rumah keteteran. Padahal siapa yang mengharuskan segala pekerjaan rumah tangga terbeban kepadanya?
Tidak cukup hingga di situ, perempuan juga diwajibkan untuk tampil memukau di depan suami kalau tak ingin suaminya tertarik terhadap perempuan lain. Sementara suami, jangankan mandi, menyikat gigi saja terkadang malas. Seandainya pun ia tertarik pada perempuan lain, mana mungkin perempuan lain tersebut tertarik padanya?
Perempuan senantiasa dianggap makhluk kelas dua yang cuma wajib patuh dan taat. Padahal sabda suami bukanlah suatu kebenaran mutlak. Suami yaitu insan biasa yang sering salah dalam ucapan, fikiran maupun perbuatan.
Kita para istri kadang kala di suguhi bayangan-bayangan dosa bila tidak taat sehingga tidak berani membantah bahkan sekedar mengemukakan pendapat. Kita merasa berdosa di saat suami pulang melakukan pekerjaan tidak tersedia makanan, padahal sebelumnya kita sudah melakukan pahala yang lebih besar, mengirim anak tetangga ke IGD misalnya.
Ya, begitulah nasib perempuan. Maka perasaan orang bau tanah kedua mempelai sungguh berlainan dikala menikahkan anaknya. Orang bau tanah dari mempelai pria teramat senang, sudah ada yang melayani anaknya. Semantara orang bau tanah mempelai perempuan senantiasa dibayangi gelisah. Apakah anak aku bisa melayani suaminya dengan baik? Mampukah ia menyediakan keturunan? Belum lagi bayangan kekerasan dan penerimaan dari keluarga besan. Lalu bila keluarganya berantakan, pasti yang senantiasa disalahkan juga pihak perempuan.
Tulisan ini lahir dari suatu pernyataan yang terlontar dari ekspresi anak aku kemarin pagi: "Akak mau jadi Scientist, Mak. Nanti kan, akak mau bikin sesuatu yang belum pernah orang temukan."
Bagus, Nak!
Berdo'alah yang tekun dan belajarlah yang kuat. Sesungguhnya dunia begitu adil bagi pria dan perempuan.
Kota Sabang, menanti fajar
Ismi Marnizar
0 Komentar untuk "Prestasi Tertinggi Seorang Wanita Yakni Pelayan. Benarkah?"