Pada bulan November 1899(pasca syahid nya Teuku Umar) Sultan Muhamad Daud Syah dan Panglima Polém terpaksa mengundurkan diri dari Pidie dan menuju ke Timur,ke Peusangan.
Belanda memburu mereka,dan dalam pertempuran di Buket Cot Phie pasukan Sultan dan Panglima Polém yang mempunyai persenjataan yang bagus sudah menyebabkan pihak Belanda kerugian 3 orang tewas dan 8 orang luka-luka,sedang pihak Aceh 34 orang syahid.
Panglima Polem dan Sultan mengundurkan diri ke bukit-bukit pedalaman di hulu Peusangan. Setelah Belanda mengusai bukit-bukit ini pada tanggal 21 Nopember 1899 yang dipertahankan mati-matian oleh Teuku di Biang Dalam, kesatuan-kesatuan Aceh berpencar-pencar.
Sultan menyingkir ke Buket Keureutoe,TeukuChi' Peusangan ke Buket Peutoe, sedangkan Panglima Polém menuju ke pegunungan di Selatan lembah Pidie.
Pada permulaan tahun 1900 pemimpin-pemimpin Aceh yang sungguh besar lengan berkuasa adalah: Sultan, Panglima Polém,Teungku di Mata le,dan Teungku di Barat di daerah Pase; Teungku Cot Plieng, Teungku di Alue Keutapang,Teungku di Reubee, Teungku di Lam Cut (Pidie),Teuku Bén Peukan (Meureudu), Teuku Ben Biang Pidie (Aceh Barat) dan Teungku-teungku dari Tiro, Teungku Chi' Mayét dan Teungku di Buket, serta Habib Meulaböh.
Pada permulaan tahun 1901 Van Heutsz merasa perlu pula membersihkan benteng-benteng Aceh yang masih terdapat di daerah Samalanga dan Meureudu.
Ia dibantu oleh angkatan lautnya dengan memanfaatkan kapal-kapal Tromp,Edi dan Siboga. Setelah diburu-buru Belanda di daerah Samalanga,Peudada dan Peusangan,Sultan menyingkir ke daerah Gayo.
Daerah ini akan dijadikan sentra pertahanan pihak Aceh dan tempat antisipasi untuk menyerang musuh kembali. Dengan sendirinya Belanda ingin menguasai daerah ini,terlebih lebih mengingat rakyat di daerah Gayo sudah mengambil bahagian secara aktif dalam
peperangan melawan Belanda serta menyokong usaha perang sabil dengan perbekalan makanan.
Di samping itu,keujeurun-keujeurun atau raja-raja di daerah danau bahari Tawar dan Döröt memamerkan segala pinjaman terhadap Sultan.
Dari segenap penjuru Belanda kembali mengejar Sultan dan Panglima Polém yang sudah berpindah tempat ke Gayo, daerah pedalaman yang belum pernah dimasuki Belanda.
Rakyat nyaris saban hari menembaki pasukan marsose Belanda dari lereng-lereng gunung di daerah ini. Diberangkatkanlah Mayor G.C.E. van Daalen dengan pasukannya (September Nopember 1901) dari daerah Pasè, dan Lettu W.B.J.A. Scheepens (Juni-September 1902) dari Meureudu.
Meskipun mereka sanggup mengalahkan lawannya di sana-sini, tujuan menangkap Sultan dan Panglima Polem tidak tercapai. Apakah yang ditangani Belanda? Pasukan marsose di bawah Chnstoffel menyerbu dan menangkap istri Sultan, Teungku Putroe di Glumpang Payöng pada tanggal 26 November 1902, dan sebulan kemudian, yaitu pada hari Natal, menangkap istri Sultan lainnya, Pocut Cot Muröng serta seorang putra Sultan di Lam Meulo.
Dengan hasil yang diraih ini Belanda mengeluarkan bahaya terhadap Sultan bahwa bilamana baginda tidak mengalah dalam tempo satu bulan, maka kedua istrinya akan dibuang.
Akhirnya tersarung jualah pedang perang dan
berdamailah Tuanku Muhamad Daud Syah pada tanggal 10 Januari 1903.
berdamailah Tuanku Muhamad Daud Syah pada tanggal 10 Januari 1903.
Peperangan berlangsung terus. Teungku Cot Plieng masih terus memimpin serangan serangan di daerah Pidie, dan di pantai Timur bergerak Teungku di Barat dan Teungku di Mata le,bersama-sama pemimpin pemimpin yang lain serta Teuku Chi' Tunong, Pang Nanggroe, dan Cut Meutia.
Dalam pada itu, insiden penting yang lain terjadi pula. Keadaan memaksa Panglima Polém, sehabis memamerkan perlawanan yang gigih, menyeberangi sungai dan lembah, naik turun bukit dan gunung, masuk keluar hutan belantara,lalu menyarungkan pedang perangnya dan melapor terhadap H.Colijn,pegawai Belanda di Lhö' Seumawè dengan lebih kurang 150 orang pengikutnya.
Penulis: Adi Fa
0 Komentar untuk "Akhir Usaha Sultan Aceh Dan Panglima Polem"