Materi Pai Pecahan 5 Meneladani Usaha Dakwah Rasulullah Di Mekah

Menurut beberapa riwayat yang śaĥiĥ, Nabi Muhammad pertama kali diangkat menjadi rasul pada malam hari tanggal 17 bulan mulia di saat usianya 40 tahun. 

Malaikat Jibril tiba untuk membacakan wahyu pertama yang disampaikan terhadap Nabi Muhammad  yakni Q.S. al-‘Alaq. 

Nabi Muhammad ditugaskan membacanya, tetapi Rasulullah berkata bahwa ia tidak sanggup membaca. Malaikat Jibril kemudian mengulangi permintaannya, tetapi jawabannya tetap sama. 

Kemudian, Jibril menyodorkan firman Allah Swt. yakni Q.S. al-‘Alaq/96:1-5 selaku berikut.

“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang bikin insan dari segumpal darah. Bacalah, dengan nama Tuhanmu yang Maha Pemurah, yang mengajar insan dengan perantaraan (menulis, membaca). Dia mengajarkan terhadap insan apa yang tidak diketahuinya.” (Q.S. al-‘Alaq/96:1-5) 

Itulah wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad saw. selaku permulaan diangkatnya selaku rasul. 

Kemudian, Nabi Muhammad saw. mendapatkan ayat ­ayat al-Qur’ān secara berangsur-­angsur dalam rentang waktu 23 tahun. 

Ayat­ ayat tersebut diturunkan menurut peristiwa faktual yang sedang terjadi, sehingga nyaris setiap ayat al-Qur’ān turun dibarengi oleh Asbabun Nuzûl (sebab/kejadian yang mendasari turunnya ayat). 

Ayat ­ ayat yang turun sejauh itu dikumpulkan selaku kompilasi berjulukan al-Musḥaf yang juga dinamakan al-Qur’ān.

1.Aqidah
Rasulullah saw. diutus oleh Allah Swt. untuk menenteng pemikiran tauĥid. Masyarakat Arab yang di saat ia dilahirkan bahkan jauh sebelum ia lahir, hidup dalam praktik kemusyrikan. 

Ia sampaikan terhadap kaum Quraisy bahwa Allah Swt. Maha Pencipta. 

Segala sesuatu di alam ini, langit, bumi, matahari, bintang ­bintang, laut, gunung, manusia, hewan, tumbuhan, kerikil ­batuan, air, api, dan lain sebagainya itu merupakan ciptaan Allah Swt. 

Karena itu, Allah Swt. Mahakuasa atas segala sesuatu, sedangkan insan lemah tak berdaya. Ia Mahaagung (Mulia), sedangkan insan rendah dan hina. 

Selain Maha Pencipta dan Mahakuasa, Ia pelihara seluruh makhluk­Nya dan Ia sediakan seluruh kebutuhannya, tergolong manusia. 

Selanjutnya, Nabi Muhammad saw. juga mengajarkan bahwa Allah Swt. itu Maha Mengetahui. 

Allah Swt. mengajarkan insan banyak sekali macam ilmu wawasan yang tidak diketahuinya dan cara menerima dan membuatkan ilmu wawasan tersebut. 

Ajaran keimanan merupakan pemikiran utama yang diembankan terhadap Rasulullah saw. yang bersumber terhadap wahyu ­wahyu Ilahi. 

Banyak sekali ayat al-Qur’ān yang menyuruh ia mudah-mudahan menyodorkan keimanan selaku pokok pemikiran Islam yang sempurna. Allah Swt. berfirman yang artinya: “Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah Swt., Yang Maha Esa. 

Allah Swt. daerah meminta segala sesuatu. (Allah Swt.) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.” (Q.S. al-Ikhlaś/112:1-4) 

Ajaran tauĥid ini berbekas sungguh dalam di hati Nabi dan para pengikutnya, sehingga memunculkan kepercayaan yang kuat, mapan, dan tak tergoyahkan. 

Dengan kepercayaan ini, para teman dekat sungguh percaya bahwa Allah Swt. tidak akan membiarkan mereka dalam kesusahan dan penderitaan. 

Dengan kepercayaan ini pula, mereka percaya bahwa Allah Swt. akan menyodorkan kebahagiaan hidup terhadap mereka. Dengan kepercayaan ini pula, para teman dekat terbebas dari imbas kekayaan dan kesenangan duniawi. 

Dengan kepercayaan ini pula, para teman dekat bisa bersabar dan bertahan serta tetap berpegang teguh pada agama di saat mereka mendapatkan tantangan dan siksaan yang amat keji dari pemuka-pemuka Quraisy. 

Dengan kepercayaan menyerupai ini pulalah, Nabi Muhammad saw. sanggup menyampaikan dengan mantap terhadap Abu Ţalib, “Paman, demi Allah, kalaupun mereka menaruh matahari di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku mudah-mudahan saya meninggalkan kiprah ini, sungguh tidak akan saya tinggalkan. Biarlah nanti Allah Swt. yang hendak menjelaskan apakah saya menerima kemenangan (berhasil) atau binasa karenanya”. 

Ini pula yang menjadi rahasia mengapa Bilal bin Rabbah sanggup bertahan atas siksaan yang ia terima dengan tetap mengucapkan “Allah Maha Esa” secara berulang-ulang

2. Akhlak Mulia
Dalam hal akhlak, Nabi Muhammad saw. tampil selaku teladan yang bagus (ideal). Sejak sebelum menjadi nabi, ia sudah tampil selaku sosok yang jujur sehingga diberi gelar oleh masyarakatnya selaku al-Amin (yang sanggup dipercaya). 

Selain itu, Nabi Muhammad saw. merupakan sosok yang suka membantu dan mengendorkan beban orang lain. 

Ia juga membangun dan memelihara kekerabatan kekeluargaan serta persahabatan. Nabi Muhammad saw. tampil selaku sosok yang sopan, lembut, menghormati setiap orang, dan memuliakan tamu. 

Selain itu, Nabi Muhammad saw. juga tampil selaku sosok yang berani dalam membela kebenaran, teguh pendirian, dan rajin dalam beribadah. 

Nabi Muhammad saw. mengajak mudah-mudahan sikap dan sikap yang tidak terpuji yang dijalankan penduduk Arab menyerupai berjudi, meminum minuman keras (khamr), berzina, membunuh, dan kebiasaan jelek yang lain untuk ditinggalkan. 

Selain lantaran pribadi Nabi Muhammad saw. dengan akhlaknya yang luhur, pemikiran untuk memperbaiki susila juga bersumber dari Allah Swt. dalam Firman ­ Nya, “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, lantaran itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwallah terhadap Allah Swt. mudah-mudahan kau mendapat rahmat.” (Q.S. al-Ḥujurāt/49:10) 

Keterangan di atas menyodorkan klarifikasi terhadap kita, bagaimana Rasulullah saw. menggabungkan teori dengan praktik. 

Ia mengajarkan susila mulia terhadap masyarakatnya, sekaligus juga membuktikannya dengan perilakunya yang sungguh luhur. 

Akhlak Rasulullah saw. yakni apa yang diangkut di dalam al-Qur’an itu sendiri. Ia tidak cuma mengajarkan, tetapi juga mencontohkan dengan susila terpuji. 

Hal ini diakui oleh seorang penulis Barat, Michael H. Hart dalam bukunya yang berjudul “100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia” dengan menempatkan Rasulullah saw. selaku insan tersukses merubah sikap insan yang biadab menjadi insan yang beradab.

Dalam mendakwahkan ajaran­ajaran Islam yang sungguh mendasar dan universal, Rasulullah saw. tidak sertamerta melakukannya dengan tergesa­ gesa. 

Ia mengerti benar bagaimana kondisi penduduk Arab di saat itu yang bergelimang dengan kemaksiatan dan praktik-praktik kemunkaran. 

Mengubah pola pikir dan kebiasaan ­kebiasaan atau adat-istiadat bangsa Arab khususnya kaum Quraisy bukanlah kasus mudah. 

Kebiasaan yang sudah dijalankan secara turun ­temurun sejak ratusan tahun silam, ditambah lagi dengan imbas agama Kristen dan Yahudi yang sudah dipahami usang bahkan sudah banyak penganutnya. 

Jabal Tsur, salah satu daerah Rasulullah melaksanakan taktik dakwah. 

Ada dua tahapan yang dijalankan Rasulullah saw. dalam menjalankan misi dakwah tersebut, yakni dakwah secara sembunyi-sembunyi yang cuma terbatas di kelompok keluarga dan teman dekat terdekat dan dakwah secara terang-terangan terhadap khalayak ramai.

1. Dakwah Secara Rahasia/Diam-Diam
Agar tidak memunculkan kerisauan dan kekacauan di kelompok penduduk Quraisy, Rasulullah saw. mengawali dakwahnya secara sembunyi ­sembunyi (al-Da’wah bi al-Sirr). 

Hal tersebut dijalankan mengingat kerasnya tabiat suku Quraisy dan ketabahan mereka berpegang pada kepercayaan dan penyembahan berhala. 

Pada tahap ini, Rasulullah saw. memfokuskan dakwah Islam cuma terhadap orang ­ or ang terdekat, yakni keluarga dan para sahabatnya. 

Rumah Rasulullah saw (Dārul Arqam) dijadikan selaku sentra kegiatan dakwah. Di daerah itulah, ia menyodorkan risalah ­risalah tauḥiḍ dan pemikiran Islam yang lain yang diwahyukan Allah Swt. kepadanya. 

Rasulullah saw. secara eksklusif menyodorkan dan menyodorkan klarifikasi ihwal pemikiran Islam dan mengajak pengikutnya untuk meninggalkan agama nenek moyang mereka, yakni dari menyembah berhala menuju penyembahan terhadap Allah Swt. 

Karena sifat dan pribadinya yang sungguh terpercaya dan tersadar dari hal ­hal tercela, tanpa ragu para pengikutnya, baik dari kelompok keluarga maupun para teman dekat menyatakan ketauĥīdan dan keislaman mereka di hadapan Rasulullah saw. 

Orang ­orang pertama (as-sābiqunal awwalūn) yang mengakui kerasulan Nabi Muhammad saw. dan menyatakan keislamannya yakni Siti Khadijah (istri), Ali bin Abi Ţhalib (adik sepupu), Zaid bin Ĥarișah (pembantu yang diangkat menjadi anak), dan Abu Bakar Siddik (sahabat). Selanjutnya secara perlahan tetapi pasti, pengikut Rasulullah saw. makin bertambah. 

Di antara mereka yakni Usman bin Affan, Zubair bin Awwam, Said bin Abi Waqas, Abdurrahman bin ‘Auf, Ṭaha bin Ubaidillah, Abu Ubaidillah bin Jarrah, Fatimah bin Khattab dan suaminya Said bin Zaid al ­Adawi, Arqam bin Abil Arqam, dan beberapa orang yang lain yang berasal dari suku Quraisy. 

Bagaimana pemikiran Islam sanggup diterima dan dianut oleh mereka yang sebelumnya sudah biasa dengan adat-istiadat penduduk Arab yang begitu mengakar kuat? 

Bagaimana mereka meyakini agama gres yang dibawa oleh Rasulullah saw. selaku agama yang paling benar dan tepat kemudian menjadi pemeluknya? 

Bagaimana pula reaksi orang ­orang yang mengenali bahwa mereka sudah meninggalkan agama nenek moyang, yakni menyembah berhala? 

Jawaban atas pertanyaan ­pertanyaan tersebut di antaranya yakni menyerupai berikut. 
1) Pribadi Rasulullah saw. yang begitu luhur dan agung. Tidak pernah ia melaksanakan hal ­hal yang tercela dan hina. Ia yakni pribadi yang sungguh jujur dan amanah (al-Amin), sabar, bijaksana, dan lemah­ lembut dalam menyodorkan permohonan serta pemikiran Islam. 

2) Ajaran Islam yang rasional, logis, dan universal, menghargai hak­hak asasi manusia, menyodorkan hak yang sama, keadilan, dan kepastian hidup sesudah mati. 

3) Menyempurnakan ajaran­ajaran sebelumnya, yakni ajaran­ajaran yang dibawa oleh para rasul terdahulu berupa penyembahan terhadap Allah Swt., berbuat baik terhadap sesama, menjaga kerukunan, larangan perbuatan tercela menyerupai membunuh, berzina, dan lain sebagainya. 

4) Kesadaran akan tradisi dan kebiasaan-kebiasaan usang yang begitu jauh dari nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan. Berdakwah secara belakang layar atau rahasia (al-Da’wah bi al-Sirr) ini dilaksanakan Rasulullah saw. selama lebih kurang tiga tahun. Setelah menerima pengikut dan bantuan dari keluarga dan para sahabat, selanjutnya Rasulullah saw. menertibkan taktik dan rencana mudah-mudahan pemikiran Islam sanggup diajarkan dan disebarluaskan secara terbuka

2. Dakwah Secara Terang-Terangan
Dakwah secara terang ­terangan (al-Da’wah bi al-Jahr) dimulai di saat Rasulullah saw. menyeru terhadap orang-orang Mekah. 

Ia berdiri di atas suatu bukit dan berteriak dengan bunyi lantang mengundang mereka. Beberapa keluarga Quraisy menyambut seruannya. 

Kemudian, ia berpaling terhadap sekumpulan orang sambil berkata, “Wahai orang-orang! Akankah kalian percaya bila saya katakan bahwa musuh Anda sekalian sudah bersiaga di sebelah bukit (Śafa) ini dan bertujuan menyerang nyawa dan harta kalian?” 

Mereka menjawab, “Kami tak mendengar Anda berbohong sepanjang hayat kami.” Ia kemudian berkata, “Wahai bangsa Quraisy! Selamatkanlah dirimu dari neraka. Saya tak sanggup membantu Anda di hadapan Allah Swt. Saya peringatkan Anda sekalian akan siksaan yang pedih!” 

Ia menambahkan, “Kedudukan saya menyerupai penjaga, yang mengamati musuh dari jauh dan secepatnya berlari terhadap kaumnya untuk menyelamatkan dan memperingatkan mereka ihwal ancaman yang hendak datang.” 

Seriring dengan itu, turun pula wahyu Allah Swt. mudah-mudahan Rasulullah saw. melakukannya secara terang ­terangan dan terbuka. 

Mengenai hal tersebut, Allah Swt. berfirman, yang artinya: “Maka sampaikanlah (Muhammad) secara terang-terangan segala apa yang ditugaskan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang yang musyrik.” (Q.S. al- Ḥijr/15:94). 

Baca pula firman Allah dalam Q.S. asy-Syua’ara/26:214-216. Berdasarkan ayat ­ayat di atas, Rasulullah saw. percaya bahwa sudah saatnya ia dan para pengikutnya untuk menyebarluaskan pemikiran Islam secara terbuka dan terang ­ terangan. 

Dengan bantuan istri­ nya Siti Khadijah, paman yang setia membelanya, yakni Abu Talib, serta para teman dekat dan pengikutnya yang setia ditambah pula dengan kepercayaan bahwa Allah Swt. senantiasa menyertai, dimulailah dakwah suci ini. 

Pertamatama dakwah dijalankan terhadap sanak keluarga, kemudian terhadap kaumnya, dan penduduk Kota Mekah yang di saat itu penyembahannya terhadap berhala begitu kuat. 

Kini dakwah dan pelajaran disampaiakan secara terbuka. Dari kelompok keluarga, ia mengajak paman ­pamannya tergolong Abu Lahab dan Abu Jahal yang terkenal sungguh menentang dakwah Rasul. 

Mereka menolak mentah­mentah permohonan Rasulullah saw. dengan menyampaikan bahwa agama merekalah yang paling benar. Penolakan yang dibarengi ejekan, cemoohan, hinaan bahkan ancaman tersebut tidak lantas bikin Rasulullah saw. berputus asa dan berhenti melaksanakan dakwah. 

Namun, ia makin tertantang untuk terus mengajak penduduk memeluk agama tauĥīd. Melihat kenyataan tersebut, Abu Lahab, Abu Sufyan, dan kelompok darah biru serta pemuka Quraisy yang lain meminta para penyairpenyair Quraisy untuk mengolok-olok dan mengejek Nabi Muhammad saw. 

Selain itu, mereka juga menuntut Muhammad untuk memperlihatkan mukjizatnya menyerupai apa yang sudah ditampilkan oleh Musa as. dan Isa as. 

Seperti membuat bukit Śafa dan Marwah meningkat menjadi bukit emas, menggugah orang yang sudah mati, mengusir bukit-bukit yang mengelilingi Mekah, memancarkan mata air yang lebih baik dari zam ­zam. 

Tidak hingga di situ, bahkan mereka mengolok­olok Nabi dengan menyatakan mengapa Allah Swt. tidak menurunkan wahyu ihwal harga barang­barang barang jualan mudah-mudahan mereka sanggup berspekulasi. 

Semua cemoohan, ejekan, dan ancaman yang ditujukan terhadap Rasulullah saw. dan para pengikutnya makin melecut semangat Rasulullah saw. dengan terus bertambahnya jumlah pengikutnya. 

Pelan tetapi pasti, imbas Rasulullah saw. dan pemikiran Islam makin diterima oleh penduduk Mekah yang sudah muak dengan praktikpraktik kotor jahiliah. 

Kenyataan ini mendorong para pemuka Quraisy tiba kembali terhadap Abu °alib, paman yang senantiasa membela Rasul. 

Mereka menenteng seorang perjaka yang gagah yang berjulukan Umarah bin al ­Walid bin al­ Mugirah untuk ditukarkan dengan Nabi Muhammad saw. yang ditolak oleh Abu Ţalib. 

Nabi Muhammad saw. terus saja berdakwah. Untuk yang ketiga kalinya, para pembesar Quraisy tiba terhadap Abu Ţalib. 

Mereka berkata, “Wahai Abu Ţalib, Anda orang yang terhormat dan terpandang di kelompok kami. Kami sudah meminta Anda untuk menghentikan kemenakanmu, tetapi Anda tidak juga menyanggupi tuntutan kami! 

Kami tidak akan tinggal membisu menghadapi orang yang menghujat nenek moyang kami, tidak menghormati harapan-harapan kami, dan mencaci ­maki berhala-berhala kami. 

Sebaiknya, Anda sendirilah yang menghentikan kemenakan Anda, atau bila tidak, kami akan musuh hingga salah satu pihak binasa”. 

Sejak di saat itu, orang-orang Quraisy mencaci-maki dan menyiksa kaum muslimin tidak terkecuali Nabi sendiri. Peristiwa yang paling terkenal yakni penyiksaan Bilal (seorang budak dari Abisinia). 

Ia dipaksa untuk melepaskan agama, dicambuk, dicampakkan di padang pasir, dan dadanya ditindih dengan kerikil yang lebih besar dari badannya. 

Dalam siksaan semacam itu, Bilal tetap teguh dengan keyakinannya; mulutnya terus mengucapkan Ahad, Ahad, ... (Allah Maha Esa, Allah Maha Esa). Bilal terus menerus mengalami siksaan hingga ia dibeli oleh Abu Bakar Siddik. 

Sebagai orang kaya, Abu Bakar banyak sekali memerdekakan budak di antaranya yakni budak wanita Umar bin Khatab. 

Meskipun Nabi Muhammad saw. sudah mendapat proteksi dari Banu Hasyim dan Banu Muţalib, ia masih juga mengalami penyiksaan. Ummu Jamil, istri Abu Lahab, melemparkan najis ke depan rumahnya. 

Demikian juga Abu Jahal yang melemparkan isi perut kambing terhadap Nabi Muhammad saw. di saat ia sedang śalat. 

Intimidasi dan penyiksaan yang dialami oleh Nabi Muhammad saw. dan para pengikutnya berjalan dalam kurun waktu yang cukup lama. Kian hari kian keji siksaan yang mereka terima. 

Namun demikian, Nabi Muhammad saw. dan para sahabatnya tetap tabah dan terus memelihara dan mengembangkan kepercayaan dan keimanan mereka. 

Demikianlah, saban hari jumlah pengikut Nabi Muhammad saw. terus bertambah. Kenyataan ini menyesakkan dada kaum Quraisy. Oleh lantaran itu, mereka menyuruh Utbah bin Rabi’ah untuk berjumpa dengan Nabi Muhammad saw. 

Dalam pertemuannya dengan Nabi Muhammad saw. ia mengatakan, “Wahai anakku, dari sisi keturunan engkau mempunyai daerah (bermartabat) di kelompok kami. Kini engkau menenteng kasus besar yang memicu kaum Quraisy terpecah belah. 

Kini dengarkanlah, kami akan menyodorkan beberapa hal. Kalau engkau menghendaki harta, kami siap menghimpun harta kami sehingga engkau menjadi yang terkaya di antara kami. 

Jika engkau menghendaki pangkat atau jabatan, kami akan angkat engkau menjadi pemimpin kami; kami tak akan memutus satu kasus tanpa persetujuanmu. 

Kalau kedudukan raja yang engkau cari, kami akan menobatkan engkau menjadi raja. Jika engkau mengidap penyakit syaraf yang tidak sanggup engkau sembuhkan, maka akan kami usahakan penyembuhannya dengan ongkos yang kami tanggung sendiri hingga engkau sembuh”. 

Mendengar anjuran itu, Nabi Muhammad saw. membacakan surat al-Sajdah terhadap Utbah. Ia termangu dan terpana serta insaf bahwa ia berhadapan dengan seorang yang tak aneh harta, tidak berambisi pada kekuasaan, dan bukan pula orang yang gila. 

Utbah kembali terhadap Quraisy dan menceritakan pengalamannya di saat berjumpa dengan Nabi Muhammad saw. serta menyarankan mudah-mudahan mereka membiarkan Nabi Muhammad saw. berafiliasi secara bebas dengan semua orang Arab. 

Usul Utbah tentu tidak sanggup mereka terima, alasannya yakni mereka belum merasa puas bila belum mengalahkan Nabi Muhammad saw. Oleh lantaran itu, mereka mengembangkan penyiksaan baik terhadap Nabi Muhammad saw. maupun terhadap para pengikutnya. 

Dengan semangat kerasulannya serta kepercayaan akan kebenaran pemikiran Ilahi, gerakan dakwah Rasulullah saw. makin tersebar luas. 

Teman, sahabat, bahkan orang yang tidak dikenalnya, baik dari kelompok darah biru terhormat maupun dari golongan hamba sahaya banyak yang mendengar dan mengerti pemikiran Islam, kemudian memeluk agama Islam dan beriman terhadap Allah Swt. 

Rasulullah saw. makin tegas, lantang dan berani, tetapi tetap komitmen terhadap tugas, fungsi, dan wewenangnya selaku rasul delegasi Allah Swt.

Sebagaimana yang sudah disinggung pada penggalan sebelumnya, kaum kafir Quraisy terus berupaya menggalang kekuatan mudah-mudahan Rasulullah saw. dan upayanya dalam penyebaran pemikiran Islam sanggup dihentikan. 

Berbagai upaya mereka lakukan, mulai mengajak berdialog dengan mengiming­imingi banyak sekali derma hingga kekerasan yang dijalankan terhadap Rasulullah saw. dan para teman dekat serta pengikut ajarannya. 

Puncak dari kejengkelan mereka dengan cara memboikot Rasulullah saw. dan para sahabatnya serta pengikutnya dari boikot ekonomi dan politik. Apa yang memicu mereka begitu keras menolak dan geram terhadap pemikiran yang dibawa Rasulullah saw.? 

Apa yang salah dengan pemikiran ihwal kebenaran dan kasih sayang yang merupakan idaman semua insan beradab? 

Sebetulnya mereka mengenali dan mengerti betul bahwa pemikiran Ilahi yang dibawa Rasulullah saw. yakni pemikiran yang lurus, benar, dan haq. Ada beberapa argumentasi kaum kafir menolak dan menentang pemikiran yang dibawa Rasulullah saw, di antaranya yakni selaku berikut.

1.Kesombongan dan Keangkuhan
Bangsa Arab jahiliah dipahami selaku bangsa yang sungguh besar kepala dan 76 sombong. Mereka menilai bahwa semua yang sudah mereka kerjakan yakni sesuatu yang benar. Mereka menilai bahwa tidak salah dengan apa yang mereka lakukan. 

Kesombongan mereka tercermin dari sya’ir-sya’ir yang mereka buat, utamanya keangkuhan kaum Quraisy yang merasa suku mereka yang paling terhormat dan paling berpengaruh. 

Mereka menatap bahwa mereka lebih mulia dan tinggi derajatnya dari golongan bangsa Arab lainnya. Mereka tidak mendapatkan pemikiran persamaan hak dan derajat yang dibawa Islam. Oleh karenanya, mengakui dan mendapatkan pemikiran Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw. akan menurunkan dan menjatuhkan derajat dan martabat serta mengancam kedudukan mereka.

2. Fanatisme Buta terhadap Leluhur
Kebiasaan yang sudah mengakar kokoh dan turun­temurun dalam melaksanakan penyembahan berhala dan kemusyrikan lainnya, menyebab­ kan mereka sungguh sulit mendapatkan pemikiran tauĥi d dan menyembah Allah Swt. yang Ahad. 

Kebiasaan tersebut sudah mengkristal dan berakar, mereka sungguh sulit diberikan pengertian bertauĥīd. Tuhan bagi mereka diwujudkan dalam bentuk berhala-berhala yang mereka buat sendiri sejak ratusan tahun lalu. 

Fanatisme terhadap pemikiran leluhur terang ­jelas sudah menenggelamkan mereka ke dalam kesesatan yang nyata. Fakta tersebut ditegaskan oleh Allah Swt. dalam firmannya: “Dan apabila dibilang terhadap mereka, “Marilah (mengikuti) apa yang diturunkan Allah Swt. dan (mengikuti) Rasul.” 

Mereka menjawab, “Cukuplah bagi kami apa yang kami dapati nenek moyang kami (mengerjakannya).” Apakah (mereka akan mengikuti) juga nenek moyang mereka meskipun nenek moyang mereka itu tidak mengenali apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” (Q.S. al-Mā’idah/5:104)

3. Eksistensi dan Persaingan Kekuasaan
Penolakan mereka terhadap pemikiran Rasulullah saw. secara politis sanggup melemahkan keberadaan dan imbas kekuasaan mereka. Jika mereka mendapatkan Rasulullah saw. dengan pemikiran yang dibawanya, tentunya akan berakibat pada lemahnya imbas dan kekuasaan mereka. 

Kekuasaan dan imbas yang selama ini mereka temukan dengan menghalalkan banyak sekali cara, tentu sungguh bertolak belakang dengan pemikiran Rasulullah saw. Itulah sebabnya, mereka “mati-matian” menjaga keberadaan dan keberadaan mereka untuk menolak Rasulullah saw.

Berikut yakni contoh-contoh penyiksaan kafir Quraisy terhadap Rasulullah saw. dan para pengikutnya. 

1. Suatu hari, Abu Jahal menyaksikan Rasulullah saw. di Śafa, ia mencerca dan mencibir tetapi tidak ditanggapi oleh Rasulullah saw. dan ia beranjak pulang. Kemudian, Abu Jahal pun bergabung dengan kelompoknya kaum Quraisy di samping Ka’bah. Mendengar peristiwa tersebut, Hamzah, paman Rasulullah saw., murka seraya bangun mencari Abu Jahal. Ia kemudian mendapatkan Abu Jahal yang sedang duduk di samping Ka’bah dengan kelompoknya kaum Quraisy. Tanpa banyak bicara, ia eksklusif mengangkat busur dan memukulkannya ke kepala Abu Jahal hingga tengkoraknya terluka. “Engkau mencerca dia (Rasulullah saw.), padahal saya sudah memeluk agamanya. Aku menempuh jalan yang ia tempuh. Jika mampu, ayo, musuh aku!” tantang Hamzah.

2. Suatu hari, Uqbah bin Abi Mu’iţ menyaksikan Rasulullah saw. berţawaf, kemudian menyiksanya. Ia menjerat leher Rasulullah saw. dengan sorbannya dan menyeret ke luar masjid. Beberapa orang tiba membantu Rasulullah saw. lantaran takut terhadap Bani Hasyim. 

3.Penyiksaan lain dijalankan oleh pamannya sendiri, yakni Abu Lahab dan istrinya Ummu Jamil yang tiada tara kejinya. Rasulullah saw. bertetangga dengan mereka. Mereka tak pernah berhenti melemparkan barang-barang kotor kepadanya. Suatu hari mereka melemparkan kotoran domba ke kepala Nabi. Sekali lagi Hamzah membalasnya dengan menimpakan barang yang serupa ke kepala Abu Lahab.

4.Quraisy memboikot kaum muslimin Kaum Quraisy menentukan segala bentuk kekerabatan perkawinan dan jual beli dengan Bani Hasyim. Persetujuan pemboikotan ini dibentuk dalam bentuk piagam, ditandatangani bareng dan digantungkan di Ka’bah. 

Peristiwa ini terjadi pada tahun ke-7 kenabian dan berjalan selama tiga tahun. Pemboikotan ini memunculkan kelaparan, kemiskinan, dan kesengsaraan bagi kaum muslimin. Untuk mengendorkan penderitaan kaum muslimin, mereka pindah ke suatu lembah di luar Kota Mekah

Kerasnya penolakan dan perlawanan Quraisy, mendorong Nabi Muhammad saw. melancarkan dakwahnya terhadap kabilah-kabilah Arab di luar suku Quraisy. 

Dalam melaksanakan dakwah ini, Nabi Muhammad saw. tidak saja menemui mereka di Ka’bah pada di saat demam isu haji, ia juga mengunjungi perkampungan dan daerah tinggal para kepala suku. Tanpa dikenali oleh seorang pun, Nabi Muhammad saw. pergi ke Ţaif. 

Di sana ia menemui Ţaqif dengan prospek mudah-mudahan ia dan masyarakatnya mau mendapatkannya dan memeluk Islam. 

Ţaqif dan masyarakatnya menolak Nabi dengan kejam. Meski demikian, Nabi berlapang dada dan meminta Ţaqif untuk tidak menceritakan kedatangannya ke Ţaif mudah-mudahan ia tidak mendapat malu dari orang Quraisy. 

Permintaan itu tidak dihiraukan oleh Ţaqif, bahkan ia menghasut masyarakatnya untuk mengejek, menyoraki, mengusir, dan melempari Nabi. 

Selain itu, Nabi mengunjungi Bani Kindah, Bani Kalb, Bani Hanifah, dan Bani Amir bin Sa‘sa’ah ke tempat tinggal ­rumah mereka. Tak seorang pun dari mereka yang mau menyambut dan mendengar dakwah Nabi. Bahkan, Bani Hanifah menolak dengan cara yang sungguh buruk. 

Amir memperlihatkan ambisinya, ia mau mendapatkan permohonan Nabi dengan syarat bila Nabi menerima kemenangan, kekuasaan mesti berada di tangannya. 

Pengalaman tersebut mendorong Nabi Muhammad saw. berkesimpulan bahwa tidak mungkin lagi mendapat bantuan dari Quraisy dan kabilahkabilah Arab lainnya. 

Oleh lantaran itu, Nabi Muhammad saw. mengalihkan dakwahnya terhadap kabilah-kabilah lain yang ada di sekeliling Mekah yang tiba berziarah setiap tahun ke Mekah. 

Jika demam isu ziarah tiba, Nabi Muhammad saw. pun mengunjungi kabilah-kabilah itu dan mengajak mereka untuk memeluk Islam. Tak berapa usang kemudian, tanda ­tanda kemenangan tiba dari Yașrib (Madinah). 

Nabi Muhammad saw. gotong royong mempunyai kekerabatan emosional dengan Ya¡rib. Di sanalah ayahnya dimakamkan, di sana pula terdapat famili ­ familinya dari Bani Najjar yang merupakan keluarga kakeknya, Abdul Mutalib dari pihak ibu. 

Oleh lantaran itu, tak aneh apabila di daerah ini kelak Nabi Muhammad saw. mendapat kemenangan dan Islam meningkat dengan amat pesat. Ya¡rib merupakan kota yang dihuni oleh orang Yahudi dan Arab dari suku Aus dan Khazraj. 

Kedua suku ini senantiasa berperang merebut kekuasaan. Hubungan Aus dan Khazraj dengan Yahudi bikin mereka mempunyai wawasan ihwal agama samawi. Inilah salah satu aspek yang memicu kedua suku Arab tersebut lebih gampang mendapatkan kehadiran Nabi Muhammad saw. 

Ketika Yahudi mengalami kekalahan, suku Aus dan Khazraj menjadi penguasa di Yașrib. Yahudi tidak tinggal diam, mereka berupaya mengadu domba Aus dan Khazraj yang kesudahannya memunculkan perang kerabat yang dimenangkan oleh Aus. Sejak di saat itu, orang­orang Yahudi yang sebelumnya terusir sanggup kembali tinggal di Ya¡rib. 

Aus dan Khazraj menyadari derita dan kerugian yang mereka alami akhir permusuhan mereka. Oleh lantaran itu, mereka sepakat mengangkat Abdullah bin Muhammad dari suku Khazraj selaku pemimpin. Namun, hal itu tidak terlaksana. 

Hal ini disebabkan beberapa orang Khazraj pergi ke Mekah pada demam isu ziarah (haji). Kedatangan orang ­orang Khazraj ke Mekah dikenali oleh Nabi Muhammad saw., dan ia pun secepatnya menemui mereka. 

Setelah Nabi mengatakan dan mengajak mereka untuk memeluk agama Islam, mereka pun saling berpandangan dan salah seorang dari mereka berkata,“Sungguh inilah Nabi yang pernah dijanjikan oleh orang ­orang Yahudi terhadap kita, dan jangan hingga mereka (Yahudi) mendahului kita.” 

Setelah itu, mereka kembali ke Yașrib dan menyodorkan isu kenabian Muhammad saw. Mereka menyatakan terhadap masyarakatnya bahwa mereka sudah menganut Islam. Berita dan pernyataan yang mereka sampaikan mendapat sambutan yang bagus dari masyarakat. 

Pada demam isu ziarah tahun berikutnya, datanglah 12 orang penduduk Yașrib menemui Nabi Muhammad saw. di Aqabah. Di daerah ini mereka berikrar terhadap Nabi yang kemudian dipahami dengan Perjanjian Aqabah I. 

Pada Perjanjian Aqabah I ini, orang ­orang Yașrib berjanji terhadap Nabi untuk tidak menyekutukan Tuhan, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak, tidak mengumpat dan memfitnah, baik di depan atau di belakang, jangan menolak berbuat kebaikan. 

Siapa mematuhi semua itu akan mendapat pahala nirwana dan kalau ada yang melanggar, persoalannya kembali terhadap Allah Swt. 

Selanjutnya, Nabi menugaskan Mus’ab bin Umair untuk membacakan alQur’ān, mengajarkan Islam serta seluk ­beluk agama Islam terhadap penduduk Yașrib. Sejak itu, Mus’ab tinggal di Yașrib. 

Jika demam isu ziarah tiba, ia berangkat ke Mekah dan menemui Nabi Muhammad saw. Dalam konferensi itu, Mus’ab menceritakan pertumbuhan penduduk muslim Yașrib yang handal dan kuat. 

Berita ini sungguh menggembirakan Nabi dan memunculkan prospek dalam hati Nabi untuk hijrah ke sana. 

Pada tahun 622 M, peziarah Ya¡rib yang tiba ke Mekah berjumlah 75 orang, dua orang di antaranya perempuan. 

Kesempatan ini digunakan Nabi melaksanakan konferensi rahasia dengan para pemimpin mereka. Pertemuan Nabi dengan para pemimpin Yașrib yang berziarah ke Mekah disepakati di Aqabah pada tengah malam pada hari ­hari Tasyriq (tidak sama dengan hari Tasyriq yang sekarang). 

Malam itu, Nabi Muhammad saw. ditemani oleh pamannya, Abbas bin Abdul Muṭṭalib (yang masih memeluk agama nenek moyangnya) menemui orang ­orang Yașrib. Pertemuan malam itu kemudian dipahami dalam sejarah selaku Perjanjian Aqabah II. 

Pada malam itu, mereka berikrar terhadap Nabi selaku berikut, “Kami berikrar, bahwa kami sudah mendengar dan setia di waktu suka dan duka, di waktu senang dan sengsara kami cuma akan berkata yang benar di mana saja kami berada, dan di jalan Allah Swt. ini kami tidak gentar terhadap olok-olokan dan celaan siapapun.” 

Setelah penduduk Yașrib menyatakan ikrar mereka, Nabi berkata terhadap mereka, “Pilihkan buat saya dua belas orang pemimpin dari kelompok kalian yang menjadi penanggung jawab masyarakatnya”. 

Mereka menentukan sembilan orang dari Khazraj dan tiga orang dari Aus. Kepada dua belas orang itu, Nabi mengatakan, “Kalian yakni penanggung jawab penduduk kalian menyerupai pertangungjawaban pengikut ­pengikut Isa bin Maryam. 

Terhadap penduduk saya, sayalah yang bertanggung jawab. ”Setelah ikrar selesai, tiba-tiba terdengar teriakan yang ditujukan terhadap kaum Quraisy, “Muhammad dan orang­orang murtad itu sudah berkumpul akan memerangi kamu!”. 

Semua terkejut dan terdiam. Tiba-tiba Abbas bin Ubadah, salah seorang penerima ikrar, berkata terhadap Nabi, “Demi Allah Swt. yang menyuruh Anda menurut kebenaran, bila Nabi mengizinkan, besok penduduk Mina akan kami ‘habisi’ dengan pedang kami.” 

Lalu, Nabi Muhammad saw. menjawab, “Kita tidak ditugaskan untuk itu, kembalilah ke kemah kalian!” Keesokan harinya, mereka bangun pagi ­pagi sekali dan secepatnya bergegas pulang ke Yașrib.

1. Hijrah ke Abisinia (Habsyi) 
Untuk menyingkir dari ancaman penyiksaan, Nabi Muhammad saw. menyarankan para pengikutnya untuk hijrah ke Abisinia (Habsyi). 

Para teman dekat pergi ke Abisinia dengan dua kali hijrah. Hijrah pertama sebanyak 15 orang; sebelas orang laki ­laki dan empat orang perempuan. 

Mereka berangkat secara sembunyi­sembunyi dan sesampainya di sana, mereka mendapatkan proteksi yang bagus dari Najasyi (sebutan untuk Raja Abisinia). Ketika mendengar kondisi Mekah sudah aman, mereka pun kembali lagi. 

Namun, mereka kembali mendapatkan siksaan melampaui dari sebelumnya. Karena itu, mereka kembali hijrah untuk yang kedua kalinya ke Abisinia (tahun kelima dari kenabian atau tahun 615 M). 

Kali ini mereka berangkat sebanyak 80 orang laki-laki, dipimpin oleh Ja’far bin Abi Ţalib. Mereka tinggal di sana hingga sesudah Nabi hijrah ke Yașrib (Madinah). 

Peristiwa hijrah ke Abisinia ini dipandang selaku hijrah pertama dalam Islam. Peristiwa hijrah ke Abisinia ini sungguh tidak menggembirakan kaum Quraisy dan memunculkan kegalauan yang sungguh besar. 

Ada dua hal yang dikhawatirkan oleh kaum Quraisy, yakni pertama, kaum muslimin akan sanggup menjalin kekerabatan yang luas dengan penduduk Arab kedua, kaum muslimin akan menjadi kokoh dan kembali ke Mekah untuk menuntut balas. 

Oleh lantaran itu, mereka menyuruh Amr bin ‘Aș dan Abdullah bin Rabi’ah terhadap Najasyi mudah-mudahan mau menyerahkan kaum muslimin yang berhijrah ke sana. 

Dengan mempersembahkan kado yang besar terhadap Najasyi, kedua delegasi itu berkata, “Paduka Raja, mereka yang tiba ke negeri tuan ini yakni budak-budak kami yang tidak mempunyai malu. 

Mereka meninggalkan agama nenek moyang mereka dan tidak pula menganut agama Paduka; mereka menenteng agama yang mereka ciptakan sendiri, yang tidak kami kenal dan tidak juga Paduka pahami. 

Kami diutus oleh pemimpin ­pemimpin mereka, orang­orang bau tanah mereka, paman­paman mereka, dan keluarga­keluarga mereka agar Paduka sudi mengembalikan orang ­orang itu terhadap pemimpin­pemimpin kami. 

Mereka lebih mengenali betapa orang ­orang itu mencemarkan dan mencerca agama mereka.” Najasyi kemudian mengundang kaum muslimin dan mengajukan pertanyaan terhadap mereka, “Agama apa ini hingga bikin tuan­tuan meninggalkan penduduk tuan ­tuan sendiri?” 

Kaum muslimin yang diwakili oleh Ja’far bin Abi Ţalib menjawab, “Paduka Raja, penduduk kami penduduk yang bodoh, menyembah berhala, mengkonsumsi bangkai, melaksanakan banyak sekali macam kejahatan, menentukan kekerabatan dengan kerabat, tidak baik dengan tetangga; yang kokoh menindas yang lemah. 

Demikianlah kondisi penduduk kami hingga Allah Swt. menyuruh seorang rasul dari kelompok kami sendiri yang kami kenal asal usulnya, jujur, sanggup dipercaya, dan bersih. 

Ia mengajak kami cuma menyembah terhadap Allah Swt. Yang Maha Esa, meninggalkan kerikil ­batu dan patung­patung yang selama ini kami dan nenek moyang kami sembah. 

Ia melarang kami berdusta, mengusulkan untuk berlaku jujur, menjalin kekerabatan kekerabatan, bersikap baik terhadap tetangga, dan menghentikan pertumpahan darah. 

Ia melarang kami melaksanakan segala perbuatan jahat, menggunakan kata ­kata dusta dan keji, mengkonsumsi harta anak yatim, dan mencemarkan nama baik wanita yang tak bersalah. 

Ia meminta kami menyembah Allah Swt. dan tidak mempersekutukan ­Nya. Jadi, yang kami sembah cuma Allah Swt. Yang Tunggal, tidak mempersekutukan-Nya dengan apa dan siapa pun. 

Segala yang diharamkan kami jauhi dan yang dihalalkan kami lakukan. Karena itulah kami dimusuhi, dipaksa meninggalkan agama kami. Karena mereka memaksa kami, menganiaya dan menekan kami, kami pun keluar menuju negeri Paduka ini. Padukalah yang menjadi opsi kami. 

Senang sekali kami berada di bersahabat Paduka, dengan prospek di sini tidak ada penganiayaan”. Mendengar pernyataan yang demikian fasih dan santun, kesudahannya Raja Najasyi menyodorkan proteksi terhadap kaum muslimin hingga kemudian mereka hidup untuk beberapa usang di negeri yang jauh dari tanah kelahirannya.

2. Hijrah ke Madinah
Peristiwa Ikrar Aqabah II ini dikenali oleh orang-orang Quraisy. Sejak itu tekanan, intimidasi, dan siksaan terhadap kaum muslimin makin meningkat. Kenyataaan ini mendorong Nabi secepatnya menyuruh sahabat-sahabatnya untuk hijrah ke Yașrib. 

Dalam waktu dua bulan saja nyaris semua kaum muslimin, sekitar 150 orang sudah berangkat ke Yașrib. Hanya Abu bakar dan Ali yang masih menjaga dan membela Nabi di Mekah. 

Akhirnya, Nabi pun hijrah sesudah mendengar rencana Quraisy yang ingin membunuhnya. Nabi Muhammad saw. dengan ditemani oleh Abu Bakar berhijrah ke Ya¡rib. 

Sesampai di Quba, 5 km dari Yașrib, Nabi beristirahat dan tinggal di sana selama beberapa hari. Nabi bermalam di rumah Umi Kalsum bin Hindun. 

Di halaman rumah ini Nabi membangun suatu masjid. Inilah masjid pertama yang dibangun pada masa Islam yang kemudian dipahami dengan Masjid Quba. 

Tak usang kemudian, Ali tiba menyusul sesudah mengakhiri amanah yang diserahkan Nabi kepadanya pada di saat berangkat hijrah. Ketika Nabi memasuki Yașrib, ia dielu ­elukan oleh penduduk kota itu dan menyambut kedatangannya dengan sarat kegembiraan. 

Sejak itu, nama Ya¡rib diganti dengan Madinatun Nabi (kota Nabi) atau sering pula disebut dengan Madinatun Munawwarah (kota yang bercahaya). Dikatakan demikian lantaran memang dari sanalah sinar Islam menyembur ke seluruh penjuru dunia.

Nelty Khairiyah dan Endi Suhendi Zen. 2017. Pendidikan Agama Islam. Pusat Kurikulum Kemendikbud

Related : Materi Pai Pecahan 5 Meneladani Usaha Dakwah Rasulullah Di Mekah

0 Komentar untuk "Materi Pai Pecahan 5 Meneladani Usaha Dakwah Rasulullah Di Mekah"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)
close
close