Masbuq Dalam Sholat Berjamaah

 Segala puji cuma milik Allah Subhanahu wa ta  MASBUQ DALAM SHOLAT BERJAMAAH


Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji cuma milik Allah Subhanahu wa ta'ala, shalawat dan salam mudah-mudahan tercurah terhadap junjungan kita nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam keluarga sobat dan para pengikutnya yang setia dan istiqamah.

Ibadah Sholat ialah rukun Islam yang kedua sehabis syahadat. Sholat memiliki kedudukan yang sungguh penting dalam Islam.  Rosulullah bersabda:

رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلاَمُ وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ

“Pokok urusan itu yakni Islam, tiangnya sholat, dan puncak ketinggiannya yakni jihad”. (HR. Tirmidzi, no: 2616; dll, dishohihkan oleh Syeikh Al-Albani)

Umar bin Khathab pernah berkata: “Perkara yang terpenting menurutku yakni sholat, Siapa saja yang menjaganya, maka ia sudah mempertahankan agamanya. Dan siapa pun yang menyia-nyiakannya maka ia akan lebih menyia-nyiakan terhadap selainnya.  Dan tidak ada bab dalam Islam utnuk orang yang meninggalkan sholat.”

Terlebih lagi jikalau sholat  itu dijalankan secara berjamaah. Rasululloh Sholallahu 'Alaihi Wassallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta’ajub pada shalat (yang dilakukan) secara berjamaah.” (Lihat shahihul Jami’, (1820).

“Shalat berjama’ah itu lebih utama 25 derajat dibandingkan dengan shalat sendirian.” (HR. al-Bukhari). Dalam riwayat lain disebutkan: “(lebih utama) 27 derajat.” (Fathul Baari’, 2/131).

Setiap muslim diusulkan untuk menjalankan sholat berjamaah di masjid tepat pada waktunya. Namun dalam  prakteknya ada diantara kaum muslimin yang masih tertinggal sholat berjamaah atau lebih di kenal dengan ungkapan Masbuq. Maka seumpama apakah permasalahan Masbuq itu?

Devinisi Masbuq

Secara etimologi Masbuq yakni isim maf’ul dari kata “  سبق”  yang bermakna “ terdahului/tertinggal”.

Adapun secara terminologi Masbuq yakni Orang yang tertinggal sebagian raka’at atau seluruhnya dari imam dalam sholat berjama’ah. Atau orang yang mendapati imam sehabis raka’at pertama atau lebih dalam sholat berjama’ah. (Kamus al-Muhith, Qawaid al-Fiqh dan Hasyiyah Ibnu ‘Abidin, 1/400)

Kapan Seorang Makmum itu Disebut Masbuq?

Dalam hal ini, terdapat perbedaan pendapat. Dimana ada dua pendapat  tentang kapan seorang makmum itu disebut masbuq.

Pendapat Pertama:

Yaitu rekomendasi Jumhur Ulama yang menyatakan bahwa seorang makmum disebut masbuq itu apabila ia tertinggal ruku’ bareng imam.  Jika seorang makmum mendapati imam sedang ruku’, kemudian ia ruku bareng imam, maka ia mendapat satu raka’at dan tidak disebut masbuq. Dan gugurlah keharusan membaca surat al-Fatihah.

Dalil-dalil Pendapat Pertama:

مَنْ أَدْرَكَ الرُّكُوْعَ فَقَدْ أَدْرَكَ الرَّكْعَةَ  { أبو داود ، الفقه الإسلامي – سليمان رشيد 116 }

Artinya: “Siapa yang mendapat ruku’, maka ia mendapat satu raka’at”. (HR. Abu Dawud, FIqh Islam-Sulaiman Rasyid : 116)

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلّى الله عليه و سلم : ” إِذَا جِئْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ وَ نَحْنُ سُجُوْدٌ فَاسْجُدُوْا وَ لاَ تَعُدُّوْهاَ شَيْئاً وَ مَنْ أَدْرَكَ الرَّكْعَةَ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ  “ { رواه أبو داود 1 : 207،عون المعبود  3 : 145}

Dari Abu Hurairah, ia menyampaikan bahwa Rasulullah Sholallahu 'Alaihi Wassallam sudah bersabda : “ Apabila kau tiba untuk shalat, padahal kami sedang sujud, maka bersujudlah, dan jangan kau hitung sesuatu (satu raka’at) dan siapa yang mendapat ruku’, bererti ia mendapat satu rak’at dalam sholat (nya)”. ( H.R Abu Dawud 1 : 207, Aunul Ma’bud – Syarah Sunan Abu Dawud  3 : 145 )

Jumhur Ulama berkata:  “Yang dimaksud dengan raka’at disni yakni ruku’, maka yang mendapati imam sedang ruku’ kemudian ia ruku’ maka ia mendapat satu raka’at. (Al-Mu’in Al-Mubin 1 : 93, Aunul Ma’bud 3 : 145)

إِنَّ أَباَ بَكْرَةَ إِنْتَهَى إِلَى النَّبِيِّ صلّى الله عليه و سلم وَ هُوَ رَاكِعٌ فَرَكَعَ قَبْلَ أَنْ يَصِلَ إِلَى الصَّفِّ فَذَكَرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صلّى الله عليه و سلم فَقاَلَ : ” زَادَكَ اللهُ حِرْصاً وَ لاَ تُعِدْ “  { رواه البخاري، فتح الباري 2 :  381}

“Sesungguhnya Abu Bakrah sudah tiba untuk solat bareng Nabi Sholallahu 'Alaihi Wassallam (sedangkan) Nabi Sholallahu 'Alaihi Wassallam dalam kondisi ruku’, kemudian ia ruku’ sebelum hingga menuju shaf. Hal itu disampaikan terhadap Nabi Sholallahu 'Alaihi Wassallam, maka Nabi Sholallahu 'Alaihi Wassallam bersabda  (kepadanya) : “ Semoga Allah menyertakan kesungguhanmu, tetapi jangan kau ulangi lagi ”.

Dari dalil-dalil diatas sanggup disimpulkan bahwa menurut jumhur ulama seorang dibilang masbuk itu apabila ia tidak sempat ruku’ bareng imam.

Pendapat Kedua:

Pendapat ini menyampaikan bahwa makmum disebut masbuk apabila ia tertinggal bacaan surat Al-Fatihah. Ini yakni rekomendasi segolongan dari ulama. Diantaranya yakni ucapan Abu Hurairah, diriwayatkan oleh Imam Bukhori wacana bacaan al-Afatihah di belakang imam dari setiap rekomendasi yang mengharuskan bacaan al-Afatihah di belakang imam. 

Demikian pula rekomendasi Ibnu Khuzaimah, Dhob’i dan selain keduanya dari Muhaddits Syafi’iyyah kemudian diperkuat oleh Syaikh Taqiyyuddin As-Subki dari Ulama Mutakhkhirin dan ditarjih oleh al-Muqbili, ia berkata: “Aku sudah mengkaji permasalahan ini dan saya menghimpunnya pada pengkajianku secara fiqih dan hadits maka saya tidak mendapat darinya selain yang sudah saya sebutkan yakni tidak terhitung raka’at dengan mendapat ruku’. (‘Aunul Ma’bud 3:146)

Sanggahan Pendapat kedua terhadap dalil-dalil jumhur ulama yang menyatakan bahwa makmum yang mendapat ruku bareng imam maka ia mendapat satu raka’at. Diantaranya:

Dalam Sunan Abu Dawud tidak ada redaksi hadits dengan lafazh matan seumpama tersebut diatas. Pendapat ini condong berpendapat salah tukil saja.

Pada hadits (no 2) terdapat rawi yang berjulukan Yahya Bin Abi Sulaiman Al-Madani. Menurut Amirul Mukminin dalam hadits (yaitu) Muhammad Bin Ismail Al-Bukhari dalam (kitab) Juz-u Al-Qiraat, Yahya (ini) munkarul hadits. ( Mizanul I’tidal 4 : 383, Aunul Ma’bud 3 : 147 ) Sedangkan yang dimaksud dengan Munkarul Hadits menurut pernyataan Imam Bukhori adalah: 

“ Setiap orang yang saya nyatakan Munkarul Hadits, memiliki arti tidak sanggup dijadikan hujjah ”. Bahkan dalam satu riwayat (dinyatakan) : “ dihentikan meriwayatkannya ”. ( Fathul Mughits  1 : 346 ). Imam Syaukani berkata : 

“Hadits tersebut bukan dalil atas rekomendasi mereka, kerana anda niscaya tahu, bahwa yang disebut raka’at itu (mencakup) semua aspek; bacaan, rukun-rukunnya secara hakiki syar’i, maupun ‘urf (kebiasaan). Kedua arti tersebut mesti lebih didahulukan dibandingkan dengan arti menurut bahasa. Demikian ketetapan para jago Ushul Fiqih. ( Nailul Authar, Asy-Syaukani 2 : 219 )

Ibnu Hazm dalam kitab Al-Muhalla sudah menjawab / membahas tentang hadits Abu Bakrah, (menurutnya) bahwa hadits tersebut tidak sanggup dijadikan hujjah / alasan / alasan oleh mereka dalam hal tersebut (yaitu tergolong raka’at asalkan mendapat ruku’) kerana pada hadits tersebut tidak dinyatakan cukup (terhitung) raka’at. ( Aunul Ma’bud, Syarah Sunan Abu Dawud 3  : 146 ).

Menurut Asy-Syaukani : Dalam hadits tersebut tidak ada dalil / bukan dalil yang menguatkan rekomendasi mereka, kerana sebagaimana (dimaklumi) tidak ada perintah mengulangi (raka’at), namun juga tidak menyatakan terhitung raka’at. Adapun Nabi mendoakan kepadanya mudah-mudahan lebih bersungguh-sungguh, itu tidak memiliki arti terhitung satu raka’at. ( ‘Aunul Ma’bud, 3:146 )

Adapun dalil-dalil rekomendasi kedua ini, bahwa seorang disebut masbuk apabila tertinggal bacaan al-Fatihah bukan tertinggal ruku’ adalah:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّهُ قاَلَ : إِنْ أَدْرَكْتَ الْقَوْمَ رُكُوْعاً لَمْ تَعْتَدَّ بِتِلْكَ الرَّكْعَةِ. { رواه البخاري، عون المعبود{ 3:147,

Dari Abi Hurairah ra, sesungguhnya ia berkata : “ Jika engkau mendapat sebuah kaum sedang ruku’, maka tidak terhitung raka’at ”. ( H.R Al-Bukhari, Aunul Ma’bud 3 : 147 )

Imam Syaukani berkata: “Telah dikenali sebelumnya bahwa keharusan membaca Al-Fatihah itu untuk imam dan makmum pada setiap raka’at. Dan kami sudah menerangkan bahwa dalil-dalil tersebut sah untuk dijadikan hujjah bahwa membaca Al-Fatihah itu tergolong syarat sahnya sholat. Maka siapa pun yang menerka bahwa sholat itu sah tanpa membaca al-Fatihah, ia haruslah memamerkan keterangan yang mengkhususkan dalil-dalil tersebut.”

عَنْ قَتاَدَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صلّى الله عليه و سلّم كَانَ يَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ بِفاَتِحَةِ الْكِتاَبِ. { رواه الترمذي  {

Dari Qatadah, bahwa Nabi SAW membaca Fatihatil Kitab pada setiap raka’at ”.  ( H.R  At-Tirmidzi )

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صلّى الله عليه و سلّم قاَلَ : إِذَا سَمِعْتُمُ اْلإِقاَمَةَ فَامْشُوْا إِلَى الصَّلاَةِ وَ عَلَيْكُمُ السَّكِيْنَةَ وَ الْوِقاَرَ وَ لاَ تُسْرِعُوْا فَماَ أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوْا وَ ماَ فاَتَكُمْ فَأَتِمُّوْا. { رواه الجماعة، فتح الباري{ 2: 167,  

Dari Abi Hurairah, dari Nabi Sholallahu 'Alaihi Wassallam, ia bersabda : “ Apabila kau mendengar Iqamah, pergilah untuk sholat, dan kau mesti tenang, santai serta tidak terburu-buru. Apa yang kau dapati (bersama imam) sholatlah, dan apa yang ketinggalan (dari imam), maka sempurnakanlah ”. ( H.R  Al-Jama’ah, Fathul Bari 2 : 167 )

Menurut Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari : Hadits tersebut sanggup dijadikan dalil / alasan bahwa orang yang mendapat imam sedang ruku tidak dijumlah raka’at, kerana ada perintah untuk menyempurnakan  (apa-apa) yang ketinggalan, sedangkan (dalam hal ini) terperinci makmum ketinggalan (tidak ikut berdiri dan membaca fatihah). (Fathul Bari : 2: 170)

Imam Syaukani berkata : “Dengan ini, jelaslah kehabisan alasan-alasan rekomendasi Jumhur Ulama yang menyatakan bahwa siapa yang mendapat imam dalam kondisi ruku’, tergolong raka’at bersamanya (imam) dan sanggup dijumlah satu raka’at sekalipun tidak mendapat bacaan (Al-Fatihah) sedikitpun”. ( Aunul Ma’bud, Syarah Sunan Abu Dawud 3 : 147 )

Inilah Muhammad Bin Ismail Al-Bukhari, salah seorang mujtahid serta tokoh agama, ia beropini bahwa yang mendapat ruku’ (bersama-sama dengan imam) tidak dijumlah mendapat raka’at, hingga ia membaca Fatihatul Kitab (dengan sempurna), maka ia mesti mengulangi lagi raka’at  (yang tidak sempat membaca Al-Fatihah) sehabis imam salam.  ( Aunul Ma’bud, Syarah Sunan Abu Dawud 3 : 152 )

Waktu Berdirinya Orang yang Masbuk untuk Menyempurnakan Raka’at yang terlewat.
Menurut Madzhab Hanafi :

Seorang yang masbuk berdiri untuk menyempurnakan raka’at yang tertinggal bukanlah sehabis dua salam, tetapi menanti selesainya imam, dan membisu sejenak hingga imam bangun untuk menjalankan sholat sunnah jikalau setelahnya ada sholat sunnah. Atau membelakangi mihrab jikalau setelahnya tidak ada sholat sunnah. Atau berpindah dari tempatnya.

Dan dihentikan berdiri sebelum salam sehabis tasyahud kecuali di beberapa kondisi: – apabila seorang pengukur tanah takut kehilangan masanya. – atau yang memiliki keperluan takut keluar dari waktunya. Apabila yang masbuk pada sholat jum’at kalut masuk pada waktu ashar. Atau masuk sholat zhuhur pada sholat ‘id, atau terbit matahari pada sholat shubuh. Ataupun khwatir berhadats. Maka bagi yang tersebut itu boleh untuk tidak menanti selesainya imam.

Menurut Madzhab Maliki:

Seorang yang masbuk berdiri untuk menyempurnakan raka’atnya yang terlewat sehabis imam salam. Apabila ia berdiri sebelum imam salam, maka sholatnya batal. (Ad-Dasuki 1/345)

Menurut MAdzhab Safi’i:

Disunnahkan bagi yang masbuk untuk menyempurkan raka’at yang tertinggal sehabis imam menyelesaikan kedua salamnya. Jika ia berdiri sehabis imam selesai mengucapkan: “Assalamu’alaikum”, pada salam pertama, maka boleh. Jika ia berdiri sebelum imam mengucapkan dua salam maka sholatnya batal. Sekalipun ia berdiri sehabis imam mengucapkan salam sebelum selesai membaca: “’alaikum”, maka hukumnya seumpama apabila ia berdiri sebelum imam mengucapkan dua salam. (Roudhoh at-Tholibin 1/378 dan Majmu’, 3/487)

Menurut Madzhab Hanbali:

Seorang yang masbuk berdiri untuk menyempurnakan raka’at yang luput sehabis salam kedua imamnya. Jika ia berdiri sebelum salam imam dan tidak kembali untuk berdiri sehabis salamnya. Maka sholatnya meningkat menjadi sunnah. (Syarah Muntaha Al-Iradat 1/248 dan al-Inshaf, 2/222)

Menyempurnakan Raka’at yang Tertinggal.

Jumhur Ulama (Hanafiyyah, Malikiyyah dan Hanabilah) beropini bahwa apa yang didapati seorang masbuk dari sholatnya bareng imam maka itu yakni final sholatnya. Dan apa yang disempurnakan oleh seorang masbuk yakni raka’at permulaan sholatnya. (Al-Bahru Raiq, 1/313, Asy-Syarh Ash-Shagir 1/458, dan Al-Inshaf 4/225)

Menurut Madzhab Syafi’i; Apa yang didapati masbuk dari sholat bareng imam maka itu yakni permulaan sholatnya. Dan apa yang disempurnakannya sehabis imam salam yakni akhirnya. Berdasarkan sabda Rosulullah: “Maka apa yang kau dapati (bersama imam) sholatlah, dan apa yang kau luput (bersama imam) maka sempurnakanlah”. 

Dan penyempurnaan sesuatu itu tidaklah ada kecuali sehabis permulaannya. Berdasarkan ini, apabila ia sholat shubuh bareng imam pada raka’at yang kedua kemudian qunut bareng imam, maka ia mesti mengulang qunut. 

Kalau ia mendapati satu raka’at sholat magrib bareng imam, maka tasyahud yang keduanya itu sunnah, alasannya yakni ia menempati tasyahudnya yang pertama. Dan tasyahudnya bareng imam lil mutaba’ah (mengikuti) hal itu yakni hujjah bahwa apa yang ia dapati bareng imam yakni permulaan sholatnya. (Mugni Al-Muhtaj 1/206)

Mengangkat Imam Pada Sholat Masbuq?

Pada dasarnya tidak apa-apa seorang yang masbuk menjadi imam. Apabila seseorang tiba untuk sholat berjama’ah, sedangkan imam dan jama’ahnya sudah selesai menjalankan shalat. Kemudia ia mendapat seorang masbuk yang sedang menyempurnakan raka’at yang tertinggal, maka ia berdiri disamping kanannya dan mengakibatkan orang yang masbuk itu imam untuknya agar mendapat pahala berjamaah. Maka insya Allah hal tersebut sah.

Pada pola seumpama ini, Syaikh Bin Baz berkata : “Tidak apa-apa akan hal tersebut insya Allah menurut yang shohih”. Dan ia berkata: “Dianjurkan baginya sholat bareng yang masbuk dimana ia berdiri disamping kanannya. Dengan semangat untuk mendapat fadhilah sholat berjama’ah. Dan orang yang masbuk mengganti niatnya menjadi imam, maka tidaklah mengapa pada hal tersebut menurut ucapan para ulama yang paling shohih”. (Kitab Ad-Da’wah 2/117)

Tapi bagaimana jikalau mengangkat yang masbuk menjadi imam untuk yang masbuk. Misalkan ada tiga orang masbuk. Setelah imam salam, kemudian mereka berdiri untuk menyempurnakan raka’at yang tertinggal dan mengangkat imam dari salah seorang diantara mereka. Maka dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat.

Pendapat Pertama:

Menurut rekomendasi ini, mengangkat yang masbuk menjadi imam pada sholat masbuk itu tidak boleh, bahkan sebagian dari mereka mengkategorikannya terhadap perbuatan bid’ah. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya satu pun dalil yang menerangkan secara shorih bahwa Rosulullah mendelegasikan atau mencontohkannya.

Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir ‘Abdat, di dalam Buku Risalah Bid’ah, hal. 190, menyatakan: Bid’ah ini tegas-tegas sudah menyalahi Sunnah: Nabi shallahu’alaihi wa sallam bareng Mughirah bin Syu’bah pernah menjadi masbuq di dalam pertempuran Tabuk. Ketika Abdurrahman bin ‘Auf yang menjadi imam shalat memberi salam (selesai shalat), kemudian Nabi shallahu’alaihi wa sallam dan Mughirah menyempurnakan satu raka’at yang tertinggal sendiri-sendiri tidak menghasilkan jama’ah. (Hadits riwayat Muslim dan lain-lain.)

Pendapat Kedua:

Pendapat ini membantah pernyataan rekomendasi pertama, bahwa dihentikan mengangkat imam pada sholat masbuk. Pendapat ini merujuk pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Mugirah bin Syu’bah diamana hadits ini menerangkan bahwa Mugirah bareng Rosulullah pernah masbuq. Adapun hadits tersebut selaku berikut:

عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ تَخَلَّفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَخَلَّفْتُ مَعَهُ فَلَمَّا قَضَى حَاجَتَهُ قَالَ أَمَعَكَ مَاءٌ فَأَتَيْتُهُ بِمِطْهَرَةٍ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ وَوَجْهَهُ ثُمَّ ذَهَبَ يَحْسِرُ عَنْ ذِرَاعَيْهِ فَضَاقَ كُمُّ الْجُبَّةِ فَأَخْرَجَ يَدَهُ مِنْ تَحْتِ الْجُبَّةِ وَأَلْقَى الْجُبَّةَ عَلَى مَنْكِبَيْهِ وَغَسَلَ ذِرَاعَيْهِ وَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَعَلَى الْعِمَامَةِ وَعَلَى خُفَّيْهِ ثُمَّ رَكِبَ وَرَكِبْتُ فَانْتَهَيْنَا إِلَى الْقَوْمِ وَقَدْ قَامُوا فِي الصَّلَاةِ يُصَلِّي بِهِمْ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ وَقَدْ رَكَعَ بِهِمْ رَكْعَةً فَلَمَّا أَحَسَّ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَهَبَ يَتَأَخَّرُ فَأَوْمَأَ إِلَيْهِ فَصَلَّى بِهِمْ فَلَمَّا سَلَّمَ قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقُمْتُ فَرَكَعْنَا الرَّكْعَةَ الَّتِي سَبَقَتْنَا.

Artinya: Dari muqhirah bin syu’bah dari ayahnya dia berkata: Rasulullah tertinggal (dari rombongan pasukan) dan saya tertinggal bareng beliau, dikala ia selesai dari hajatnya, ia mengajukan pertanyaan apakah kau ada air? Maka saya bawakan bejana (tempat bersuci), kemudian membasuh kedua telapak tanganya, parasnya dan menyelisik lengannya, tetapi lengan jubahnya terlalu sempit, maka ia mengeluarkan tangannya dari bahwa jubah, dan menaruh jubahnya di atas bahunya, kemudian ia membasuh kedua lengannya dan mengusap ubun-ubunnya, dan bab atas surbannya serta kedua khufnya (semacam kaos kaki dari kulit), kemudian ia naik (kendaraan) dan akupun naik, dikala kami hingga pada rombongan kaum (para sahabat), mereka sedang shalat yang diimami oleh Abdurrahman bin Auf, dan sudah selesai satu rakaat, dikala (Abdurrahman bin Auf) menyadari kedatangan Rasulullah, dia mundur, maka Rasulullah memberi kode kepadanya, maka (Abdurrahman bin Auf) meneruskan tetap mengimami shalat mereka, maka dikala Abdurrahman bin Auf salam (selesai shalat), Rasulullah berdiri, dan saya berdiri, kami ruku’ (menyempurnakan) rakaat yang tertinggal. (HR. Imam Muslim, 2/123 Bab Al-Mashu ‘ala An-Nashiyah wa al-‘Imamah no: 81)

أَنَّ الْمُغِيرَةَ بْنَ شُعْبَةَ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ غَزَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَبُوكَ قَالَ الْمُغِيرَةُ فَتَبَرَّزَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِبَلَ الْغَائِطِ فَحَمَلْتُ مَعَهُ إِدَاوَةً قَبْلَ صَلَاةِ الْفَجْرِ فَلَمَّا رَجَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيَّ أَخَذْتُ أُهَرِيقُ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ الْإِدَاوَةِ وَغَسَلَ يَدَيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثُمَّ ذَهَبَ يُخْرِجُ جُبَّتَهُ عَنْ ذِرَاعَيْهِ فَضَاقَ كُمَّا جُبَّتِهِ فَأَدْخَلَ يَدَيْهِ فِي الْجُبَّةِ حَتَّى أَخْرَجَ ذِرَاعَيْهِ مِنْ أَسْفَلِ الْجُبَّةِ وَغَسَلَ ذِرَاعَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ ثُمَّ تَوَضَّأَ عَلَى خُفَّيْهِ ثُمَّ أَقْبَلَ قَالَ الْمُغِيرَةُ فَأَقْبَلْتُ مَعَهُ حَتَّى نَجِدُ النَّاسَ قَدْ قَدَّمُوا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ فَصَلَّى لَهُمْ فَأَدْرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِحْدَى الرَّكْعَتَيْنِ فَصَلَّى مَعَ النَّاسِ الرَّكْعَةَ الْآخِرَةَ فَلَمَّا سَلَّمَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُتِمُّ صَلَاتَهُ فَأَفْزَعَ ذَلِكَ الْمُسْلِمِينَ فَأَكْثَرُوا التَّسْبِيحَ فَلَمَّا قَضَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاتَهُ أَقْبَلَ عَلَيْهِمْ ثُمَّ قَالَ أَحْسَنْتُمْ أَوْ قَالَ قَدْ أَصَبْتُمْ يَغْبِطُهُمْ أَنْ صَلَّوْا الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا

Artinya: “Bahwasannya Muqhirah bin Syu’bah menceritakan, bahwa dia berperang bareng Rasulullah Saw diperang Tabuk. Mughirah berkata; Rasulullah hendak mencampakkan hajat, kemudia mencari daerah yang tertutup, maka saya bawakan satu bejana air sebelum shalat subuh, dikala ia kembali, saya tuangkan air dari bejana itu ketangannya, ia membasuh tiga kali, kemudian membasuh wajahnya, kemudian menyingsingkan jubahnya untuk mengeluarkan lengannya, akan tetapi lengan jubah itu sempet, maka Rasulullah memasukan tangannya kedalam jubahnya dan mengeluarkannya dari bawah jubah, maka ia membasuh kedua tangannya hingga kedua sikunya, kemudian ia berwudlu di atas khuf (maksudnya tidak membasuh kaki, namun ia cukup mengusap bab atas khuf (semacam kaos kaki yang yang dibikin dari kulit), kemudian ia bergegas (menyusul rombongan), Mughirah berkata: akupun bergegas bareng beliau, maka kami mendapati romobongan (para sahabat) sedang shalat shalat, dan Abdurrahman bin Auf yang menjadi imam mereka, dan sudah masuk rakaat terakhir. Maka dikala Abdurrahman bin Auf salam dan selesai shalat, Rasulullah menyempurnakan shalatnya, maka hal itu menghasilkan kaum muslimin keheranan (Rasulullah menjadi ma’mum), merekapun memperbanyak tasbih, maka dikala Rasulullah selesai shalat, ia menghadap terhadap para sobat dan berkata: ahsantum (kalian sudah berbuat benar), Mughirah berkata: atau ia waktu itu mengatakan: kalian benar, dimana mengajak insan untuk shalat tepat pada waktunya”. (HR. Imam Muslim 2/107 no: 105)

Itulah diantara dalil rekomendasi kedua ini yang menerangkan bahwa Rosulullah dan Mugirah masbuk kemudian mereka menyempurnakan raka’at yang tertinggal secara berjama’ah. Hal teresebut seumpama yang disebutkan dalam hadits : “قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقُمْتُ فَرَكَعْنَا الرَّكْعَةَ الَّتِي سَبَقَتْنَا “ yang artinya : Rasulullah berdiri, dan saya berdiri, kami ruku’ (menyempurnakan) rakaat yang tertinggal.

Penggunaan dhamir nahnu secara makna asal (hakiki) memamerkan bahwa orang pertama dan ketiga (yang dibicarakan) menjalankan sebuah perbuatan secara bersama-sama. Berarti menjalankan rakaat shalat yang ketinggalan itu dengan berjamaah. Apabila tidak diartikan demikian mesti memamerkan qarinah (keterangan pendukung). Sebagai perbandingan kita lihat penggunaan dhamir yang serupa pada kalimat sebelumnya dalam riwayat Muslim.

Oleh alasannya yakni iltu lah rekomendasi ini berpegang pada hadits tersebut, bahwa seorang masbuk boleh mengangkat imam pada sholat masbuk. Kemudian juga disokong dengan hadits yang menerangkan wacana kelebihan sholat berjamaah.

Related : Masbuq Dalam Sholat Berjamaah

0 Komentar untuk "Masbuq Dalam Sholat Berjamaah"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)
close
close