Dulu, setelah gempa dan tsunami, warga dunia menghimpun duit dan mengirimkannya ke Aceh. Mereka turun tangan untuk menyelamatlan masa depan orang Aceh yang terancam lapar sebab pertentangan dan kejadian alam. Tapi, begitu datang di Aceh, duit itu dikorupsi oleh petinggi mulai dari bawah hingga ke atas. Masyarakat ribut. Gaduh di desa-desa.
"Jangan ribut, mari berdamai. Tujuan kafir menampilkan duit ini terhadap kita dengan tujuan umat Islam di Aceh berkonflik dengan sesamanya," ujar perantara kelas kecamatan yang dihadirkan untuk melerai.
Para pencuri senantiasa mencari kambing hitam. Mencari argumentasi agar ketudakjujurannya yang terbongkar, tidak dinisbatkan terhadap dirinya. Kejahatan yang ia lakukan, senantiasa dialamatkan terhadap orang lain selaku penyebabnya. Di Aceh, sikap itu sudah jamak dilakukan.
Ketika Pemerintah Indonesia menampilkan DD, juga dikorupsi oleh elit-elit kampung. Ketika penduduk protes, yang disalahkan merupakan komunis, Jokowi dan pihak-pihak lain di Jakarta.
Begitu juga saat terjadi pertentangan antar golongan di interen agama. Yang dituduh selaku penyebabnya merupakan golongan lain. "Konflik kita sebab banyak penyusup di organisasi kita. Mereka ingin merusak kita. Merusak kita." Demikianlah kalam-kalam itu disampaikan.
Tapi, hingga pertentangan terjadi berjilid-jilid, tidak seorangpun yang dituduh selaku penyusup di wilayah mereka sukses ditangkap. Dan, menyalahkan orang lain terus diulang berjilid-jilid, bertahun-tahun.
Kita ingin dipuji, bahkan saat melakukan kesalahan, masih tetap ingin dipuji.
Kita ingin suci, bahkan saat sudah melakukan perbuatan keji, masih saja ingin terlihat suci.
Dan kita akan bergembira, menyaksikan orang-orang jahil bermusuhan sebab membela saya dan kamu, yang terus memelihara sengketa atas satu tujuan: Dipuja selaku satu-satunya sumber kebenaran.
Kawan, percayalah, saat dua orang mengaku paling bersahabat dengan Tuhan, namun terus bermusuhan dan saling menyalahkan, tanpa sukses berdamai, ketahuilah bila Tuhan tidak berada di bersahabat mereka. Hati mereka dengan Tuhan teramat jauh. Mereka teutabéng dari nur Ilahi.
Penulis: Muhajir Juli
0 Komentar untuk "Kita Yang Maling, Orang Lain Disalahkan"