Ketika Cinta Mesti Memilih

 menatapku dalam dan ada sesal kulihat di matanya Ketika Cinta Harus Memilih


#cerpen

Aku tergugu di pangkuan ibu, menangis sampai badanku gemetar. Ayah bengong di ujung sofa, menatapku dalam dan ada sesal kulihat di matanya.

"Dira, sudah. Jangan menyerupai ini, kau sudah dewasa." Ibu mengusap kepalaku lembut. Aku masih saja sesenggukan dan sesekali mengelap ingus yang keluar.

"Kalau Dira sudah dewasa, kenapa Dira tak boleh menentukan lelaki yang Dira inginkan, Bu?" tanya saya pada Ibu, meminta klarifikasi untuk penolakan mereka kepada Firman, satu-satunya lelaki yang kuinginkan menua bersama.

Aku mengangkat kepala, mataku yang sembab dan merah memandang Ibu nanar. Ibu mencampakkan muka, kulihat ada yang mengembun di ujung manik matanya.

"Nak, kau boleh menikah dengan lelaki manapun yang kau mau, namun Ibu mohon jangan dengan Firman." Suara Ibu lembut, namun tetap terasa menyerupai ribuan kerikil menghujani jantungku, sakit.

"Tapi Dira cuma harapkan Firman, Bu!" teriakku. Aku tak sanggup mengontrol diri. Kutatap Ayah yang masih bengong di pojok sofa. Ayah mengusap matanya dengan tissu. Beliau menangis.

Selama hidupku selaku anak tunggal kesayangan di keluarga, Ayah tak pernah menjawab tidak untuk semua keinginanku, selama itu baik dan tidak berlainan dengan agama dan norma yang kami pegang. Namun tadi Ayah menggeleng besar lengan berkuasa dikala kumohon untuk menemukan Firman. Aku memohon berkali-kali, tetapi tetap gelengan yang kudapatkan selaku jawaban. Aku putus asa.

...

Aku mengenal Firman lima tahun kemudian alasannya yakni kami sama-sama melakukan pekerjaan di suatu bank syariah di ibukota provinsi. Firman, lelaki yang sudah membersamai hari-hari indahku satu tahun terakhir ini yakni lelaki baik--sangat baik malah--, mapan, shalih dan bertanggung jawab.

Tak pernah terbersit selesai hubungan kami akan setragis ini. Di permulaan kedekatan kami, saya sudah memperkenalkan Firman ke Ayah dan Ibu. Mereka mendapatkannya dengan sungguh baik. Setiap kali Firman ke rumah, senantiasa terjalin komunikasi hangat di antara seluruh keluarga. Kaprikornus saya tidak pernah mengira kalau gelengan besar lengan berkuasa Ayah dan Ibu akan menjadi selesai dari dongeng indah kami.

...

Seminggu sebelum tragedi menangis parah hari ini, Ayah dan Ibu memanggil keluarga Firman untuk makan malam di rumah selaku ajang silaturrahmi dan perkenalan dua keluarga. Keluarga Firman tidak tinggal di provinsi yang serupa dengan kami, jadi jauh-jauh hari sebelum hari H, saya sudah meminta Firman mengabarkan orang tuanya mengenai usul dari Ibu, agar orang tuanya sanggup mengajukan cuti di kawasan mereka bekerja.

Malam itu, saya yang memakai gamis warna marun dengan sedikit payet di lengan tak sanggup berhenti tersenyum. Kata Ibu, saya terlihat sungguh bahagia.

Bukan saya saja, pancaran dan rona kebahagiaan juga kulihat terang di wajah kedua orang tuaku. Aku tahu, di usia mereka yang menuju senja, Ibu dan Ayah memang sudah menginginkan saya menikah dan menimang cucu, menyerupai beberapa tetangga seusia mereka. Sebagai anak satu-satunya, impian tersebut pastilah cuma tertuju padaku dan saya paham hal itu. Hingga di saat Firman hadir, saya tak mau berlama-lama merajut kasih dan begitu cocok, saya eksklusif minta di seriusi.

Tapi itu tak berjalan lama.

Saat keluarga Firman datang, saya sempat menangkap raut keterkejutan dari wajah kedua orang tuaku dan orang renta Firman. Momen berikutnya yakni sungguh-sungguh bukan sesuatu yang kuharapkan terjadi di meja makan. Semua orang terdiam, yang terlihat cuma sekadar basa-basi yang sungguh-sungguh basi. Aku tidak tahu apakah Firman menangkap kekakuan itu. Malam yang semestinya indah rampung tak menggembirakan sama sekali. Seusai makan malam dan ngobrol yang sungguh-sungguh sebentar, Firman dan orang tuanya pamit.

...

Semenjak program makan malam yang tak hangat itu, kini saya sering mendapati Firman termenung di meja kerjanya. Rutinitas ngopi bareng dikala break kerja menjadi hal yang tak pernah lagi kami lakukan. Firman mulai mempertahankan jarak denganku dengan berpura-pura sungguh sibuk dikala jam istirahat atau dikala jam pulang kantor. Aku sempat mempertanyakan pergantian sikapnya terhadapku, tetapi beliau senantiasa mengubah topik obrolan yang bermitra dengan masa depan cinta kami. Aku letih juga pada akhirnya.

...

Aku sedang menyiram bunga aneka warna di halaman rumah dikala seorang kurir ekspedisi membuka gerbang sambil mengucap salam.

"Mba Dirasha ada?" tanyanya.

"Ada mas, saya." Jawabku dan mematikan selang air yang sedang kupakai menyiram bunga, menuju ke arahnya.

"Ini Mba, ada kiriman. Silakan tanda tangan disini."

"Makasih, Mba. Permisi."

Sepeninggal kurir tersebut, saya memikirkan bungkusan kecil yang kutaksir semacam brosur. Aku ingin tau dan membukanya. Sebuah undangan. Nama lelaki yang sempat pernah kucintai sepenuh hati bersanding dengan nama seorang wanita dalam font goresan pena indah berwarna merah jambu keemasan. Aku tersenyum meski kutahu ada perih yang tersisa di suatu sudut yang kusebut hati.

"Siapa tadi, Nak?" Ibu keluar dan menghampiriku. Kusodorkan kertas merah jambu ke Ibu. Beliau membacanya dan menatapku haru. Aku kembali mengukir senyum, memamerkan saya baik-baik saja meski kenyataannya saya sedang sepatah-patahnya hati. Ibu mengusap punggung dan kepalaku berkali-kali dan menarikku dalam pelukannya.

Enam bulan lalu, saya dan Firman menegaskan berpisah dengan baik-baik. Aku mendapatkannya alasannya yakni menyadari tak ada lagi jalan bagi kami untuk sanggup bersama. Tak pernah kutanya alasannya mengenai jalan berpisah yang mesti kami pilih. Tak pernah juga kutanya lagi pada Ayah dan Ibu mengenai argumentasi mereka tak menginginkan Firman menjadi potongan dari keluarga kami. Yang saya ingat, setelah malam menangisku yang panjang itu, Ibu dan Ayah senantiasa ada untukku, menguatkanku. Mereka kerap menghabiskan waktu bersamaku dan senantiasa mengajakku kumpul dengan keluarga besar di selesai pekan. Saat kehausan tengah malam, saya juga acapkali mendapati mereka mendoakan kebaikanku di setiap shalat-shalat malam mereka di ruang mushalla kecil sebelah kamarku.

Hatiku melunak demi menyaksikan besarnya cinta mereka buatku. Semenjak itu, tak pernah lagi saya membahas penolakan mereka kepada Firman. Biarlah itu menjadi belakang layar antara mereka alasannya yakni kuyakin tak ada orang renta yang menginginkan kejelekan buat anak-anaknya. Dan di saat pada kesannya saya mesti menentukan antara Ibu dan Firman, saya dengan nrimo menentukan cinta yang hakikatnya sudah kasatmata bahkan sebelum saya ada.

Aku mengeratkan pelukan ke Ibu. Senja hari ini terasa beda, lebih indah dan menguatkan.

Penulis: Fitriani Samidan

Related : Ketika Cinta Mesti Memilih

0 Komentar untuk "Ketika Cinta Mesti Memilih"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)
close
close