14 tahun yang lalu, Sabtu, 25 Des 2004 sekitar pukul 22.00 di rumah sewa Kelurahan Jati Rasa Kecamatan Jati Asih Bekasi Barat, kriiing...kriing... suara telpon, Maitanur Isteri tersayang mengangkatnya, kemudian dari ujong telp ia mengucapkan salam. Ternyata yang telpon itu yakni Kak Safnidar Kakak kandungnya yang dikala itu beralamat di Jalan Panglateh No.27 Kelurahan Merduati Banda Aceh.
Setelah beberapa dikala mereka meningkatkan cerita, saya mendengar, isteri bertanya; Kak Saf telpon dengan telpon biasa ya?. Kerena mau ngobrol lebih lama, Maitanur meminta terhadap Kakak biar ditutup, sesaat kemudian kami mengontak kembali, ceritapun berlanjut.
Setiap dua ahad sekali kami niscaya menelpon keluarga baik yang di Banda Aceh maupun keluarga di Bireuen. Entah kenapa pada malam itu speaker telpon sengaja dinyalakan sehingga perbincangan antara saya,Maita dan Kakak sanggup dijalankan secara bersama-sama, mulai dari perbincangan biasa seputar keadaan Kakak, keluarga di Banda Aceh dan Kondisi kami di Bekasi hingga mengalir ke beragam topik. Dari topik keamanan, kesehatan, ekonomi keluarga hingga ke problem pendidikan dan agama. Perbincangan kami tidak kurang dari 2 jam pada malam itu, topik-topik itu cuma selaku media untuk melepaskan rindu antara seorang Kakak dengan Adik. Inilah percakapan terakhir antara Kakak dengan Adik.
Keesokan harinya Minggu, 26 Desember 2004 sekitar pukul 09.00 kami mendengar kabar bahwa di Aceh sudah terjadi Gempa dengan goncangan yang sungguh dahsyat, menurut BMKG meraih 9,8 skala richter.
Berita itu kami peroleh lewat televisi, pada mulanya kami belum mendapat info mengenai adanya insiden tsunami yang meluluh lantakan Aceh.
Mendengar isu itu, kami secepatnya menekan tombol hp masing-masing untuk mengontak keluarga di Aceh, tetapi tidak tersambung. Komunikasi tidak sanggup dijalankan mulai hari H hingga beberapa hari kedepan. Kami mulai gelisah, tidak ada keluarga di Aceh yang sanggup dihubungi, keingintahuan kami kian memuncak, tetapi belum ada media komunikasi yang sanggup menghemat dorongan keingintahuan kami terhadap insiden itu.
Sekitar pukul 11.00 kami kembali mendapat kabar bahwa air maritim Aceh sudah menenggelamkan sebahagian daratan Aceh, belum dikenali secara detil di kawasan mana saja yang tenggelam.
Mendengar isu ini dari beberapa media diantaranya televisi, pesan singkat selular dan media lainnya. Kegelisahan kami kian memuncak, belum mendapat kata-kata yang sempurna mewakili perasaan kami dikala itu.
Sebagaimana dikenali bahwa dikala itu Aceh, secara de jure dalam status Darurat Sipil tetapi de facto masih darurat militer. Semua pencetus sipil menjadi Target Operasi TNI/Polri, Gerakan kemanusian, perjuagan demokrasi dan perdamaian dibungkam habis di Aceh. Kondisi ini mewajibkan kami untuk Hijrah ke Jakarta.
Selama hijrah di Jakarta setiap hari kami melakukan komunikasi ke seluruh kawasan Aceh untuk mengumpulkan data korban pertentangan baik sipil maupun para pihak yang bertikai. Data ini menjadi bahan kampanye untuk menghentikan perang di Aceh. Setiap ahad kami mengadakan konferensi dengan banyak sekali Kedutaan negara asing, forum PBB dan perwakilan lembaga-lembaga International yang lain di Jakarta. Kami berharap terhadap mereka biar meyakinkan para pihak RI-GAM biar secepatnya menghentikan perang di Aceh.
Dua insiden besar ini, perang dan bencana alam tsunami memicu bencana kemanusian yang maha dahsyat di Aceh. Kami ingin secepatnya pulang untuk berjumpa dengan keluarga, tetapi disisi lain kami masih di buru oleh negara lewat sayap militernya.
Dalam kekacauan pikiran, alhamdulillah pada hari ketiga kami sudah sanggup melakukan komunikasi dengan beberapa orang keluarga di Aceh. Melalui komunikasi tersebut dikenali bahwa beberapa orang diantara keluarga kami selamat dan sebahagian yang lain belum diketuhui keberadaannya tergolong Kak Safnidar, B’Salmin Mahdi, Mariam, Surayya, Nurul Huda, Hilian Tazkia (saat itu usianya masih 2 bulan) beserta Kakeknya dengan paggilan akrabnya Abah dan Nurjannah serta si As alias Upik.
Kami berupaya untuk mencari keberadaannya dengan menyebarkan foto lewat brosur dan sebahagian diedarkan lewat email ke keluarga, kawan dan lembaga-lembaga kemanusiaan baik yang sudah berada di Aceh maupun masih di luar Aceh. Namun kerja keras ini belum membuahkan hasil, artinya hingga dikala ini kami belum mengenali eksistensi keluarga kami yang hilang.
Tanggal 26 Desember yakni hari paling bersejarah bagi Aceh, Nasional dan bahkan dunia. Tanpa kecuali khusus bagi saya juga memiliki makna yang paling bermanfaat di mana pada tanggal tersebut saya dilahirkan ke dunia.....
Penulis: Faisal Ridha
0 Komentar untuk "Memori Tragedi Alam Tsunami Aceh"