Oleh: M Husnaini
"Bila buku demikian bermutu, tak ada yang usang atau pun yang baru. Yang ada, Anda belum membacanya." Kalimat ini aku baca dalam halaman depan suatu buku terbitan Zaman, Jakarta.
Kutipan dari penerbit bermoto "Menemani Anda mencar ilmu Islam dengan ulasan yang mencerahkan dan menggerakkan" ini, menurut saya, sungguh inspiratif. Kita didorong untuk tekun membaca buku.
Buku gres bukan buku yang terbit ahad ini, bulan ini, atau tahun ini. Terbit bertahun-tahun yang kemudian sekalipun, kalau kita belum membacanya, bisa dibilang buku gres buat kita. Harus kita beli dan baca segera.
Pencinta buku sudah paham soal ini. Karena itu, pencinta buku sering ke lapak-lapak buku bekas dan lama, selain ke toko-toko buku modern. Buku-buku berkualitas dan monumental yang tidak lagi dijual di Gramedia atau Togamas, misalnya, sering sanggup didapatkan di kios-kios buku di pinggir jalan itu.
Ketika kuliah sarjana dulu, sering aku ke toko buku bekas di Jalan Semarang, Surabaya, yang kini berjulukan "Kampoeng Ilmu". Kendati, argumentasi saya, waktu itu, yaitu tidak memiliki cukup duit untuk berbelanja buku di toko-toko buku modern. Saya juga sering ke toko buku "Karya Anda" di Jalan Praban, Surabaya.
Buku memang sumber ilmu. Tidak ada pakar ilmu apa pun yang tidak karib dengan buku. Mulai zaman dahulu sampai selesai zaman kurang dua minggu. Semua luar biasa ilmu niscaya kutu buku. Karena itu, untuk mengonfirmasi keilmuan seseorang, sering aku amati koleksi bukunya, di saat aku sowan ke tempat tinggal atau kantornya.
Walaupun kini yaitu kurun digital yang mempermudah kita mengakses buku-buku elektronik, koleksi buku konvensional tetap berbincang seberapa bersahabat kekerabatan tokoh bersangkutan dengan buku selaku sumber ilmu.
Bagi kutu buku, membaca buku dalam bentuk cetak itu lebih menghidupkan dan menumbuhkan keinginan dibanding buku digital. Aroma lem perekat dan kertas halaman buku cetak berpeluang memunculkan daya rangsang tersendiri sampai pembaca meraih titik puncak dan orgasme dalam membaca.
Tidak heran, banyak pakar berkeyakinan, kendati teknologi makin maju sampai banyak buku dijadikan e-book, buku kertas tetap akan diburu. Saya tergolong yang beropini begitu. Jika Anda ragu, silakan tunggu berjalannya waktu.
Indonesia, sampai hari ini, memang belum menjadi penduduk pencinta buku. Buktinya, kalau kita membuka toko buku, bandingkanlah perolehan hasil kita dengan, misalnya, pemilik kedai masakan atau supermarket pakaian.
Kebanyakan orang kita bisa berbelanja paket internet bulanan atau alat kecantikan, tetapi merasa berat berbelanja buku berkala setiap bulan. Amatilah pula, mana yang lebih ramai dan digemari antara warung kopi dan perpustakaan?
Marilah berbuat dengan cara dan pendekatan sejauh kita mampu. Melalui aneka macam lembaga dan sarana, kita dorong penduduk untuk gemar membaca buku. Lebih dari itu, akan lebih baik kalau kita hidupkan pula tradisi menulis buku.
Belakangan, pelan-pelan, aku sudah mengambarkan bahwa untuk sanggup bahagia membaca, kemudian dilanjutkan dengan bisa berkarya buku, yang dibutuhkan cuma seberapa besar kita punya tekad dan mau.
0 Komentar untuk "Membangun Penduduk Buku"