Peranan Dayah Di Aceh


BAB II

PERANAN DAYAH DI ACEH

A.    Pengertian Dayah

Lembaga pendidikan tertua dalam sejarah pendidikan di Aceh ialah Dayah. Lembaga pendidikan semacam dayah ini di Jawa dikenal dengan nama Pesantren,di Padang disebut Surau, sementara di Patani dan Malaysia disebut Pondok.[1] Dayah diambil dari bahasa arab zawiyah, yang artinya pojok atau sudut,[2] diyakini masyarakat Aceh pertama kali digunakan untuk sudut Masjid Madinah ketika Nabi Muhammad mengajar para sahabat pada awal Islam.[3] Dayah yang penulis maksud dalam makalah ini ialah tempat tinggal tetap yang digunakan untuk mempelajari, membahas dalil-dalil naqliyah dan aqliyah yang berkaitan dengan agama Islam.
Secara etimologi kata dayah diambil dari unsur bahasa Arab yaitu dari kata zawiyah artinya buju rumah atau buju mesjid.[4]Buju rumah dimaksudkan dari pengertian ini ialah sudut atau pojok rumah. Dikatakan sudut atau pojok rumah bahwa pada zaman Rasulullah Saw. pengajaran dan penerangan wacana ilmu-ilmu agama kepada sahabat dan kaum muslimin sering dia lakukan di sudut rumah atau di sudut mesjidnya.
Setelah zaman Rasulullah Saw., kata zawiyah telah berkembang luas ke seluruh pelosok dunia Islam hingga ke Asia Tenggara. Dari perjalanan sejarah yang panjang kata zawiyah telah mengalami perubahan dialek sesuai dengan kapasitas kawasan masing-masing.
Di Aceh, kata zawiyah diucapkan dengan sebutan dayah yang berarti tempat mengajarkan ilmu-ilmu agama. Dulu, orang Aceh sering memakai sudut, pojok atau serambi rumah dan mesjid untuk mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada masyarakat. Dilihat dari persamaan makna dengan kawasan lain di Pulau Jawa, dayah sanggup disetarakankan dengan pesantren. Kendatipun demikian ada beberapa perbedaan yang penting, di antaranya ialah pesantren merupakan suatu tempat yang dipersiapkan untuk menawarkan pendidikan agama, semenjak dari tingkat rendah hingga ke tingkat berguru lebih lanjut.[5]
Di samping pengajaran dayah, Meunasah juga digunakan sebagai tempat mengajarkan ilmu-ilmu agama oleh masyarakat Aceh. Namun perbedaan antara kedua istilah ini; dayah ialah tempat berguru agama bagi orang-orang yang telah dewasa. Sementara pendidikan agama untuk bawah umur diberikan di Meunasah atau di rumah-rumah guru.[6]
Ditinjau dari sarana, pendidikan agama tingkat rendah yang diberikan kepada bawah umur ini sanggup dibagi dua bagian. Yang pertama pendidikan agama untuk anak laki-laki yang mengambil tempat di Meunasah dan pendidikan agama untuk anak perempuan di rumah-rumah guru atau tempat khusus. Meskipun demikian materi dan tujuannya sama. Setelah bawah umur tamat berguru Quran dan telah bisa melaksanakan ibadah wajib, maka kiprah terakhir dari pendidikan Meunasah atau rumah ialah mempelajari kitab agama yang ditulis dalam bahasa Arab-Jawi (Melayu) menyerupai Masailal Muhtadi. Tujuan ini memberi bekal bagi bawah umur yang akan melanjutkan studi lebih lanjut di dayah.
Pendidikan dayah populer dengan istilah meuranto atau meudagang. Bagi bawah umur Aceh yang mempunyai minat untuk mempelajari ilmu-ilmu agama lebih mendalam sanggup dilakukan dengan cara meuranto atau meudagang ke banyak sekali dayah terkenal. Hal ini dilakukan sesudah dia bisa sanggup membaca Quran dan memahami cara-cara melaksanakan ibadah ketika dia berguru di Meunasah atau di rumah-rumah teungku. Dengan demikian fungsi Meunasah dan dayah akan sangat bernilai bagi masyarakat Aceh ketika dihubungkan dengan pengajaran ilmu-ilmu agama
            Dayah merupakan sentra pendidikan Islam masyarakat Aceh semenjak dahulu hingga sekarang. Keberadaaan dayah sebagai sentra pendidikan Islam masa kemudian sudah menghasilkan sejumlah ulama dan tokoh yang kuat dimasanya. Peminpin-peminpin Aceh masa kemudian menyerupai Sultan Iskandar Muda ialah alumni dayah. Dayah masa kemudian sukses mengintegrasikan pendidikan umum dan pendidikan agama, ini semua dikarenakan pendidikan dayah dikala itu yang tidak dikotomi, sehingga output dayah bukan hanya ulama, tetapi juga politikus atau negarawan.[7]
            Institusi dayah di Aceh mengalami pasang surut yang sangat signifikan, terutaman di masa penjajahan Belanda. Penghancuran dayah dan segala khazanah keilmuannya, perpustakaan dan manuskrip yang dimiliki serta para peminpin dayah itu sendiri telah mempengaruhi kemunduran dayah semenjak Belanda memulai pendudukannya di Aceh pada tahun 1873. Dayah dan pemimpinnya dikala itu merupakan simbol dan penggagas usaha menentang kolonialisme di Aceh.
Dayah, berdasarkan catatan pakar pendidikan, merupakan forum pendidikan paling awal di Nusantara. Peran dan fungsi dayah dalam pembelajaran sosial telah memperlihatkan prestasi yang patut dibanggakan pada masa lalu. Tidak sedikit ulama lahir sebagai hasil pembelajaran dayah yang berlangsung secara berkesinambungan hingga kini. Dalam konteks Aceh, dayah tidak saja sebagai sentra pendidikan Islam tetapi juga sebagai sentra dakwah dan pemberdayaan sosial yang amat penting. Sebagai sentra pendidikan, dayah merupakan sentra transformasi dan transmisi ilmu dari generasi ke generasi. Sebagai sentra dakwah, dayah telah menjadi sentra penyiaran agama kepada publik, sehingga kehadiran dayah benar-benar menyatu dengan kehidupan masyarakat. Dalam perkembangannya, dayah juga telah menjadi sentra pemberdayaan ekonomi umat, meskipun belum maksimal.
            Dalam kehidupan modern sekalipun dayah belum kehilangan kiprah dan fungsinya sebagai wadah atau kajian ilmu meskipun banyak forum pendidikan modern bermunculan. Dayah sebagai sentra pendidikan tradisional di Aceh masih tetap bertahan tanpa harus menanggalkan karakteristiknya yang unik. Keunikan pendidikan dayah, yang tetap ada hingga dikala ini, sanggup dilihat pada sistem pendidikannya yang konsisten. Fokus kajiannya ialah teks �Kitab Kuning�, yang berbahasa Arab gundul (tanpa syakal). Metode pembelajarannya pun unik, yaitu santri menyimak syarahan guru yang berpedoman pada kitab tertentu; dan terus berlanjut dari satu kitab ke kitab yang lain. Sistem pendidikan dayah tradisional hampir tidak mengalami perubahan signifikan dibandingkan dengan sistem pendidikan sekolah atau dayah terpadu, yang cenderung mengadopsi metode dan perangkat modern.
B.    Tujuan Pendidikan Dayah
     
Dalam setiap acara yang dilaksanakan mempunyai tujuan yang hendak dicapai. Landasan tersebut merupakan tempat berpijak yang menawarkan dorongan dalam usaha peningkatan mutu dayah tersebut, sehingga sesuatu yang dilakukan dalam mencapai tujuan yang diinginkan, menyerupai yang sanggup dilihat bahwa tujuan yang hendak dicapai oleh sebuah forum pendidikan dayah ialah untuk menegakkan kebenaran dan membasmi kejahatan, dan di samping itu tujuan pendidikan dayah juga untuk mencari keluhuran dalam mengembangkan wawasan Islam universal dalam masyarakat Islam di Indonesia.[8] Dalam hal ini Allah Swt berfirman dalam surat al-Furqan ayat 63 sebagai berikut:
. ????????? ??????????? ????????? ????????? ????? ????????? ??????? ??????? ??????????? ????????????? ??????? ???????? (???????: ??)
Artinya: Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.(Qs. Al-Furqan: 63).

Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka dasar dari pendidikan dayah ialah berdasarkan Quran dan hadits, namun juga tidak terlepas dari Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 yang menjamin hak setiap warga Negara untuk mendapat pengajaran, yang kemudian dalam Undang-Undang Pendidikan dan Pengajaran No. 12 Tahun 1954 jo No. 4 Tahun 1950 serta dalam UU No. 2 Tahun 1989 diluaskan lagi mencakup hak dan kebebasan menyelenggarakan atau memajukan pendidikan.[9]
Dengan demikian, nampaklah bahwa antara pendidikan formal dengan nonformal mempunyai satu ikatan yang sangat erat. Demikian juga halnya dengan dayah yang bertujuan untuk mencetak kader-kader yang memahami ilmu pengetahuan agama yang professional dan juga menjadi ulama-ulama serta da�i-da�i  yang siap tampil dalam banyak sekali bidang.
Berdasarkan uraian di atas, maka sanggup dipahami bahwa forum pendidikan dayah didirikan atas dasar ingin membuat umat insan yang memahami anutan Islam secara benar. Di sisi lain, dayah juga didirikan bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan insan kepada Allah Swt dan membentuk pribadi muslim dan juga untuk meningkatkan kualitas umat Islam dalam mengembangkan syi�ar Islam, terutama dalam membuat kader-kader ulama.
Dengan demikian, secara umum tujuan pendidikan dayah merupakan manisfestasi dari tujuan pendidikan nasional. Dan dayah juga ikut bertanggung jawab terhadap proses pencerdasan bangsa secara keseluruhan.[10]
Berdasarkan keterangan di atas, sanggup dipahami bahwa tujuan pendidikan dayah sanggup dikatakan semoga bisa mencetak ahli-ahli agama dan ulama-ulama yang menguasai ilmu agama serta mengamalkan dengan tekun dan bisa menghidupkan sunnah Rasul dan membuatkan anutan agama yang berubudiyah kepada Allah Swt. Walaupun tujuan pendidikan dayah tidak dijabarkan secara eksplisit, tetapi sanggup dipahami bahwa tujuan-tujuan pendidikan dayah bekerjsama tidak hanya semata-mata bersifat keagamaan, tetapi juga mempunyai relevansi dengan kehidupan konkret yang berkembang dalam masyarakat.
Sejalan dengan hal tersebut bahwa tujuan institusional dayah sebagai pencetak ulama dan jago agama, musyawarah atau lokakarya intensifikasi pesantren pada bulan Mei 1978 di Jakarta dirumuskan tujuan pesantren sebagai berikut:
1.     Tujuan Umum
Tujuan umum dari dayah ialah membina warga negara semoga berkepribadian muslim sesuai dengan ajaran-ajaran Islam dan menanamkan rasa keagamaan tersebut pada semua segi kehidupan serta menyebabkan sebagai orang yang berkhasiat bagi agama, masyarakat dan Negara.[11]




2.     Tujuan Khusus
Tujuan khusus pada pendidikan dayah sanggup dijabarkan sebagai berikut:
a.      Mendidik santri dan anggota masyarakat untuk menjadi seorang muslim yang bertaqwa kepada Allah Swt berakhlak mulia, mempunyai kecerdasan, ketrampilan dan lahir batin sebagai warga Negara yang berpancasila.
b.     Mendidik santri untuk menjadi insan muslim selaku kader-kader ulama dan mubaligh yang berjiwa ikhlash, tabah, tangguh, wiraswasta dalam menjalankan anutan Islam secara utuh dan dinamis.
c.      Mendidik santri untuk memperoleh kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan semoga sanggup menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang sanggup membangun dirinya dan bertanggung jawab kepada pembangunan bangsa dan Negara.
d.     Mendidik tenaga-tenaga penyuluh pembangunan mikro (keluarga) dan regional (pedesaan/masyarakat dan lingkungan).
e.      Mendidik santri semoga menjadi tenaga-tenaga yang cakap dalam banyak sekali bidang pembangunan khususnya dan pembangunan spiritual umumnya.[12]

Kemudian berdasarkan Kyai Abdul Halim menyampaikan bahwa tujuan pendidikan pondok pesantren ialah membentuk kepribadian murid dan memberi kesempatan mereka untuk meraih suatu jabatan ketrampilan yang terlatih.[13] Di samping itu juga membentuk manusia-manusia yang sanggup terjun dalam masyarakat nanti hingga sanggup menuntaskan sesuatu perkara dengan ajaran-ajaran Alquran.                                
C.    Kurikulum Pendidikan Dayah    

Informasi wacana kurikulum sangat langka yang bisa di sanggup dari latar belakang sejarah. A. Hasjmy agaknya hanya sanggup menerka bahwa apa yang diajarkan di dayah berdasarkan sebuah dokumen Kanun Meukuta Alam, yang ada pada masa Sultan Iskandar Muda. A. Hasjmy berkesimpulan bahwa forum tujuan pendidikan waktu itu ialah untuk menghasilkan jenis acara manajemen perkantoran dan kepemimpinan politik dan Negara. Kenyataan memperlihatkan alumni dayah waktu itu bisa menyebabkan seseorang bisa mengatur negara dalam mengatur banyak sekali kapasitas.[14]
            Namun sumber lain memperlihatkan bahwa ada beberapa subjek yang diajarkan di dayah pada waktu itu, menyerupai ketika masa Sultan Husein memerintah (1517-1579), seorang sarjana dari Mesir yang berjulukan Syekh Muhammad Azhari mengajar metafisika. Pasa masa Sultan Mansur Shah (1579-1585), seorang sarjana terkenal, Abu al-Kahar Ibn Syekh Ibnu Hajar, pengarang Shaif al-Qati� dating ke Aceh mengajar aturan Islam di dayah. Di dikala bersamaan, Syekh Yamani mengajar teologi, dan Muhammad Jailani Ibn Hasan Hamid mengajar kebijaksanaan dan ushul fiqh di Aceh. Pada masa Sultan Iskandar Muda memerintah Kerajaan Aceh Darussalam (1607-1636), terdapat 44 syekh yang mengajar banyak sekali bidang ilmu pengetahuan menyerupai filsafat, politik, sejarah, kesehatan, astronomi, pertanian, sebagai suplemen dari ilmu agama, bahkan Iskandar Muda berguru dari teungku dayah ketika muda.[15]
            Semua pejabat negara masa itu mulai dari pejabat rendahan hingga raja ialah tamatan dayah. Ini menandakan bahwa dayah di masa kesultanan telah ikut berperan sangat signifikan untuk mendidik anak bangsa dalam banyak sekali bidang keilmuan. Dayah tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama, namun dayah juga mengajarkan banyak sekali mata pelajaran yang sanggup memajukan kebudayaan umat. Seandainya Belanda tidak menjajah Aceh, mungkin kita tidak akan mengenal UNSYIAH, IAIN, UNMUHA dan lain-lain, tetapi kita akan mengenal Universitas Cot Kala, Universitas Tanoh Abee, Universitas Tgk Chik Pante Kulu dan lain-lain.
            Dayah yang masih eksis di Aceh kini sudah mempunyai kurikulum yang memadai, baik kurikulum yang mandiri, maupun kurikulum yang dikeluarkan oleh DEPAG, sehingga antara satu dayah dengan dayah lainnya kurikulumnya  sama.
Adapun pelajaran yang harus dipelajari siang dan malam hari oleh setiap santriawan dan santriawati dalam satu tahun pengajaran (dua semester) untuk setiap kelas ialah sebagaimana yang telah tercantum dalam tabel dibawah ini:
MATA PELAJARAN UNTUK SETIAP KELAS
No
Kelas
Pelajaran
Kitab pegangan
1
2
3
4
5
6
I
Fiqih
Nahwu
Sharaf
Tauhid
Tasawuf
Tarikh
Matan Takrib
Jarumiah dan Awamel
Matan bina dan Dhammon
Aqidatul Islamiah
Pelajaran Akhlak
Khulasah
1
2
3
4
5
6
7
II
Fiqih
Nahwu
Sharaf
Tauhid
Tasawuf
Tarikh
Hadits
Al-Bajuri I & Ii
Al-Kawakib Ad-Dariah
Al-Kailany
Khamsatun Mutun
Taisir Akhlak
Khulasah I
Matan Arba'in
1
2
3
4
5
6
7
8
9
III
Fiqih
Nahwu
Sharaf
Tauhid
Tasawuf
Tarikh
Hadits
Ushul fiqh
Mantiq
I'anatut Thalibin I & II
Syahri Azhariah (Syaik Khalid)
Al-Kailany
Kifayatul Awam
Ta'lim Muta'alim
Khulasah III
Musthalahul Hadits
Al-Damyatil 'Alal Warkat
Matan Al-Sullam
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
IV
Fiqih
Nahwu
Sharaf
Tauhid
Tasawuf
Tarikh
Hadits
Ushul fiqh
Mantiq
Tafsir
I'anatut Thalibin III & IV
Al-Fiah
Salsul Mudkhal
As-Syarkawi 'Ala Hududi
Ta'lim Al- Meta'allim
Khulasah III
Majalisus Tsaniah
Lathaiful Isyarah
Idhahul Mubham
Hasyiah As-Shawi
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
V
Fiqih
Nahwu
Sharaf
Tauhid
Tasawuf
Hadist
Ushul fiqh
Mantiq
Tafsir
Bayan
Al-Mahalli I & II
Syarhi Ibnu Akil �ala Al-Fiah
Al-Matlubi Syarhil Maqshudi
As-Syarkawi �ala Al-HudHudi
Ihya �Ulumuddin
Baiquni
Ghayah Ushul
Shabhan
Hasyiah As-Shawi (Jalalain) III
Syarhi Jauhar Al-Maknun
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
VI
Fiqih
Nahwu
Sharaf
Tauhid
Tasawuf
Hadits
Ushul Fiqh
Mantiq
Tafsir
Bayan
Al-Mahalli III
Syarhi Ibnu Akil �ala Al-Fiah
Al-Matlubi syarhil Maqshudi
As-Syarkawi �ala Al-HudHudi
Ihya �Ulumuddin
Baiquni
Ghayah Ushul
Shabhan
Hasyiah As-Shawi (Jalalain) III
Syarhi Jauhar Al-Maknun
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
VII
Fiqih
Nahwu
Sharaf
Tauhid
Tasawuf
Hadits
Ushul Fiqh
Mantiq
Tafsir
Bayan
Al-Mahalli IV
Syarhi Ibnu Akil �ala Maqshudi
Al-Matlubi syarhil Maqshudi
Hud-Hudi
Ihya �Ulumuddin
Baiquni
Ghayah Ushul
Shabhan
Hasyiah As-Shawi (Jalalain) IV
Syarhi Jauhar Al-Maknun
           
           
           
D.    Perkembangan Dayah Dalam Sejarah Aceh    

Dayah ialah suatu forum pendidikan yang terdapat di Aceh, yang hamper sama dengan pesantren di Jawa, baik dari aspek fungsi maupun tujuan. Kendati ada beberapa perbedaan penting, menyerupai yang terlihat di pesantren yang ada di Jawa Timur, yaitu pesantren merupakan suatu tempat yang dipersiapkan untuk menawarkan pendidikan agama mulai dari tingkat dasar hingga ke tingkat yang lebih tinggi.[16]Sedangkan di Aceh, dayah ialah forum pendidikan lanjutan bagi bawah umur yang sudah menuntaskan pendidikan dasar di Meunasah atau rangkang atau di rumah-rumah Teungku gampong.[17]   
            Di masa Kerajaan Aceh Darussalam, terdapat beberapa forum negara yang bertugas dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan, di antaranya:[18]
1.     Balai Seutia Hukama, merupakan forum ilmu pengetahuan, tempat berkumpulnya para ulama, cendekiawan untuk membahas dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
2.     Balai Seutia Ulama, merupakan jawatan pendidikan yang bertugas mengurus masalah-masalah pendidikan dan pengajaran.
3.      Balai Jamaah Himpunan Ulama, merupakan kelompok studi tempat para ulama dan sarjana berkumpul untuk bertukar pikiran membahas persoalan-persoalan pendidikan dan ilmu pendidikan.
            Di bawah ini, penulis nukilkan beberapa Pendidikan Tingkat Tinggi atau Dayah Teungku Chik yang berada dalam Kerajaan Aceh Darussalam:
1.     Dayah Cot Kala
            Setelah berdirinya Kerajaan Islam Perlak (1 Muharram 225 H / 840 M)[19], maka pada final periode ketiga Hijriah (awal periode kesepuluh Masehi) didirikanlah Pusat Pendidikan Islam yang berjulukan �zawiyah Cot Kala� oleh seorang pangeran yang ulama. Muhammad Amin namanya, yang kemudian populer dengan Teungku Chik Cot Kala. Kata-kata �zawiyah� lambat laun berkembang menjadi �dayah�.[20]
            Setelah memimpin Dayah Cot Kala lebih dari  satu tahun, maka Teungku Chik Cot Kala Muhammad Amin dinobatkan menjadi raja Perlak keenam, dengan gelar Sulthan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah Johan Berdaulat, yang memerintah pada tahun 310-334 H (922-946 M).
2.     Dayah Seuruleu
            Syekh Sirajuddin, seorang ulama terkemuka alumni Cot Kala, oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Syah Johan Berdaulat yang memerintah kerajaan Perlak (402-450 H/1012-1059 M), mengangkat Syekh Sirajuddin mengepalai sebuah angkatan Dakwah untuk mengembangkan Islam ke Lingga (Aceh Tengah).
            Setelah berdiri Kerajaan Islam Lingga, maka Syekh Sirajuddin segera membangun sebuah sentra pendidikan yang kemudian hari populer denga nama Dayah Seureulu, dia sendiri sebagai pimpinannya populer dengan sebutan Teungku Chik Seureulu.
3.     Dayah Rumpet
            Dayah Rumpet terletak di pantai barat Aceh, yaitu di Kuala Daya. Berdiri semenjak pemerintahan Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam (1016-1045 H / 1607-1636 M). Dayah Rumpet mencapai kemajuannya di bawah Pimpinan teungku Muhammad Yusuf, yang lebih dikenal dengan Teungku Chik di Rumpet. Teungku Muhammad Yusuf merupakan seorang Qadhi di Rantau Dua Belas (bagian timur Aceh Barat).[21]
4.     Dayah Blang Peria
            Di zaman pemerintahan Maharaja Nurdin Sultan al-Kamil di Samudera Pase (550-607 H / 1155-1210 M). hidup seorang ulama besar, jago hukum, pujangga dan muballigh yang terkenal, namanya Syekh Ya�kub, yang populer dengan sebutan Teungku Chik Blang Peria sebagai pimpinan Dayah Blang Peria yang dia bangkit di Blang Peria Geudong.
            Pada tanggal 15 Muharram 630 H (1233 M) Teungku Chik Blang Peria meninggal dunia, makam dia populer dengan nama Makam Teungku Jirat Raya di Blang Peria. Dayah Blang Peria merupakan Pusat Pendidikan Islam yang terbesar dalam Kerajaan Islam Samudera Pase.[22]


5.     Dayah Lam Keuneu�eun
Pada tahun 592-622 H (1196-1225 M), Alaiddin Sultan Makhdum Abdul Jalil Syah Johan Berdaulat memerintah Kerajaan Islam Perlak, telah mengirim 300 orang ke arah barat untuk membawa Islam ke wilayah Kerajaan Hindu/Budha Indra Purba (Aceh Besar sekarang). Angkatan dakwah tersebut dipimpin oleh Syekh Abdullah Kan�an, salah seorang Gurubesar dari Dayah Cot Kala dan Meurah Johan, seorang Pangeran yang masih muda, keluaran Dayah Cot Kala.
Setelah Kerajaan Indra Purba menjadi Kerajaan Islam dengan nama Kerajaan Darusssalam, dan Meurah Johan dinobatkan menjadi raja yang pertama pada hari Jum�at tanggal 1 Ramadhan 601 H (1205 M) dengan gelar Sultan Alaiddin Johan Syah, maka Syekh Abdullah Kan�an mendirikan sebuah Pusat pendidikan Islamyang populer dengan nama Dayah Lam Keuneu�eun, dan dia sendiri menjadi pimpinannyadenag lakab Teungku Chik Lam Keuneu�eun. Syekh Abdullah Kan�an ini, orang tuanya berasal dari Kan�an (Palestina), dia selain ulama besar juga jago lada.[23]
6.     Dayah Batu Karang
            Teungku Ampon Tuan (nama kecilnya tidak jelas), seorang ulama besar alumni Dayah Cot Kala diangkat menjadi Qadhi Negeri Batu Karang pada waktu Raja Muda Sedia memerintah Kerajaan Islam Benua atau Teuming (Tamiang) pada tahun 753 -800 H (1353-1398 M).
            Selain sebagai Qadhi, Teungku Ampon Tuan juga mendirikan sebuah sentra Pendidikan Islam yang di kemudian hari populer dengan Dayah Batu Karang, dan dia sendiri populer dengan sebutan Teungku Chik Batu Karang.[24]
7.     Dayah Tiro
            Di masa Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah memerintah Kerajaan Aceh Darussalam dalam tahun 1195-1209 H (1781-1795 M), hijrahlah seorang Ulama Besar yang berjulukan Syekh Faqih Abdul Wahab Haitamy dari Koetaraja (Banda Aceh) menuju Pidie. Syekh Faqih Abdul Wahab Haitamy merupakan spesialis hokum Islam terkenal.[25]
            Syekh Faqih Abdul Wahab Haitamy mengambil tempat tinggal di Kampung Tiro, dan di sana pula dia mendirikan sebuah Pusat Pendidikan Islam, yang populer dengan nama Dayah Tiro, dan dia dikenal dengan Teungku Chik Tiro. Setelah dia wafat, dayah dipimpin oleh putranya yang berjulukan Syekh Faqih Abdussalam yang populer dengan Teungku Chik Tiro pula.
            Dayah Tiro kemudian dilanjutkan pimpinannya oleh Teungku Muhammad Amin dan populer dengan Teungku Chik Dayah Cut, dan Teungku Syekh Abdullah, ayahnya Syekh Muhammad Samanteungku Chik di Tiro, salah seorang Pahlawan Nasional dari Aceh.
8.     Dayah Tanoh Abee
Di masa Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah memerintah Kerajaan Aceh Darussalam dalam tahun 1238-1251 H (1823-1836 M), tiba ke Aceh seorang Ulama Besar dari Baghdad yang berjulukan Syekh Idrus Bayan. Atas seruan Sultan dia mendirikan sebuah Pusat Pendidikan Islam  dengan mengambil tempat di Tanoh Abee Seulimuem, yang kemudian berkembang dan populer dengan nama Dayah Tanoh Abee, dan Syekh Idrus Bayan sebagai pimpinan populer dengan sebutan Teungku Chik Tanoh Abee.
Setelah syekh idrus Bayn wafat, pimpinan dayah dilanjutkan oleh putranya Syekh Abdul Hafidh, kemudian dilanjutkan oleh Syekh Abdul Hafidh yang berjulukan Syekh Abdurrahim, kemudian dilanjutkan oleh Syekh Abdurrahim yang berjulukan Syekh Muhammad Shalih dan kemudian oleh putranya yang berjulukan Syekh Abdul Wahab, yang hidup di zaman Sultan Alaiddin Mahmud Syah, yang memerintah pada tahun 1286-1290 H (1870-1874 M), dan zaman Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah, yang memerintah dalam tahun 1874-1903 M. Dayah Tanoh Abee, salah satu dayah pembina terbesar di Aceh.[26]
9.     Dayah Lam Nyong
            Pendiri Dayah Lam Nyong ini, berjulukan Teungku Syekh Abdussalam, yang populer dengan Teungku Chik Lam Nyong. Beliau hidup di masa pemerintahan Sultan Alaiddin Mahmud Syah 1286-1290 H (1870-1874 M).
10.  Dayah Pante Geulima
Salah satu Dayah yang terbesar yang terletak di kawasan Meureudu ialah dayah Pante Geulima, yang mencapai puncak kemajuan di masa Teungku Ya�kub yang lebih populer dengan Teungku Chik Pante Geulima, dia hidup dalam pemerintahan Sultan Alaiddin Mahmud Syah (1286-1290 H/1870-1874 M). berdasarkan sebuah riwayat, Teungku Chik Pante Geulimalah yang mengarang Hikayat Malem Dagang.[27]
11.  Dayah Meunasah Blang
            Dayah Meunasah Blang yang terletak di Samalanga mencapai puncak kemajuan di bawah pimpinan Teungku Sykh Abdullah, yang populer dengan sebutan Teungku Chik Meunasah Blang. Beliau hidup di zaman pemerintahan Sultan Ibrahim Alaiddin Mansur Syah (1273-1286 H/1857-1870 M) hingga zaman pemerintahan Sultan Alaiddin Mahmud Syah.salah seorang muridnya yang populer ialah Teungku Chik Tiro Muhammmad Saman.[28]
12.  Dayah Lam Birah
Dayah Lam Birah merupakan salah satu Dayah Pembina yang terbesar, didirikan oleh dua bersaudara ulama/bangsawan, yaitu Ja Meuntro dan Ja Bendahara, yang kemudian keduanya populer dengan Teungku Chik Lam Birah. Mereka hidup di zaman dengan Sultan Alaiddin Johan Syah hingga pemerintahan Sukltan Alaiddin Tuanku Raja Mahmud Syah. Setelah keduanya wafat, Dayah Lam Birah dilanjutkan pimpinannya oleh putra-putra mereka: Teungku Chik Cot Keupeung, Teungku Chik Bare, dan kemudian dilanjutkan oleh Teungku haji Abbas, yang populer dengan Teungku Chik Lam Birah, kemudian dipimpin oleh Teungku Haji Ja�far yang populer dengan sebutan Teungku Chik Lamjabat.[29]

13.  Dayah Lam Diran
            Inilah salah satunya sentra Pendidikan Islam yang didirikan oleh perempuan, yaitu Teungku Fakinah, keturunan ningrat dan ulama. Ayahnya Datu Muhmud seorang pejabat tinggi dalam pemerintahan Sultan Alaiddin Iskandar Syah (1251-1273 H / 1836-1857 M) yang turut membengun Dayah Lam Krak. Ibunya yang berjulukan Teungku Fathimah ialah putri dari seorang ulama besar, teungku Muhammad Sa�ad, yang populer dengan Teungku Chik Lam Pucok, pendiri Dayah Lam Pucok. Selain pelajar-pelajar wanita, Dayah lam Diran (daerah Sibreh) juga berguru pelajar laki-laki. Kepada pelajar perempuan juga diajarkan kerajinan tangan. Di masa perang melawan penjajah, Teungku Fakinah populer sebagai salah seorang Panglima Perang.[30]
14.  Dayah Ulee Susu
            Dayah ini didirikan pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Ibrahim Mansur Syah (1273-1286 H/1857-1870 M). di bawah pimpinan Syekh Abbas (Teungku Chik Kuta Karang), Dayah Ulee Susu mencapai kemajuan yang cukup pesat. Selain menjadi pimpinan Dayah Ulee Susu, Tengku Chik Kuta Karang juga seorang Qadhi Malikul Adil dalam pemerintahan Sultan Alaiddin Ibrahim Mansur Syah.[31]
            Dari semua dayah-dayah tersebut di atas sebahagian kecil saja yang masih berkembang hingga sekarang. Kebanyakan dari dayah-dayah tersebut tidak berkelanjutan. Hal ini diakibatkan tidak adanya penerus sesudah pimpinan wafat, terpaksa ditutup akhir peperangan melawan kolonialisme Belanda.
15. Jami�ah Baiturrahman
Setelah berdiri Dayah-dayah Teungku Chik di banyak sekali tempat dalam Kerajaan Aceh Darusslam, maka di ibukota (Kutaraja) didirikan pula Jami�ah Baiturrahman yang menjadi satu kesatuan dengan Masjid Jami� Baiturrahman.[32]           
E.    Kedudukan Dayah Dalam Pengembangan Pendidikan Agama Islam                                                                                     
Dayah merupakan sentra pendidikan Islam masyarakat Aceh semenjak dahulu hingga sekarang. Keberadaaan dayah sebagai sentra pendidikan Islam masa kemudian sudah menghasilkan sejumlah ulama dan tokoh yang kuat di masanya. Peminpin-peminpin Aceh masa kemudian menyerupai Sultan Iskandar Muda ialah alumni dayah. Dayah masa kemudian sukses mengintegrasikan pendidikan umum dan pendidikan agama, ini semua dikarenakan pendidikan dayah dikala itu yang tidak dikotomi, sehingga output dayah bukan hanya ulama, tetapi juga politikus atau negarawan.[33]
            Institusi dayah di Aceh mengalami pasang surut yang sangat signifikan, terutaman di masa penjajahan Belanda. Penghancuran dayah dan segala khazanah keilmuannya, perpustakaan dan manuskrip yang dimiliki serta para peminpin dayah itu sendiri telah mempengaruhi kemunduran dayah semenjak Belanda memulai pendudukannya di Aceh pada tahun 1873. Dayah dan peminpinnya dikala itu merupakan simbol dan penggagas usaha menentang kolonialisme di Aceh.
Dalam kehidupan masyarakat Aceh, sebagai salah satu landasan budaya terdapat satu forum yang dinamakan dengan Meunasah. Sebagai simbol masyarakat Aceh, pada setiap gampong terdapat Meunasah, sebagai sentra pengendalian tata kehidupan masyarakat. Meunasah dibentuk terbentuk empat segi tanpa dilengkapi dengan jendela, lorong atau sekatan-sekatan. Beda antara rumah dengan Meunasah hanya sedikit saja bagi orang yang tidak memperhatikan dengan sengaja akan sanggup dilihat kesamaannya dari pada perbedaannya. Persamaan terdapat pada bentuknya menyerupai rumah Aceh. Sedangkan perbedaannya kelihatan pada posisinya yaitu rumah tampak membujur kearah kiblat dan Meunasah tampak kearah utara selatan. Perbedaan selanjutnya terletak pada lantai Meunasah yang kelihatan rata,  sedangkan lantai rumah tampak tinggi bab tengahnya.[34]
Bentuk dan kondisi Meunasah semacam itu pada kurung waktu kini ini mungkin sudah minim alasannya Meunasah kini mengikuti arus kemajuan zaman yang modern. Meunasah sudah berjendela mempunyai Kulah, kolam wudhuk pada sudah mempunyai penerangan lampu listrik serta banyak sekali variasi lainnya.
Ada yang menyebut Meunasah dan meulasah atau beulasah. Namun yang penting ialah bahwa istilah Meunasah berasal dari kata madrasah dalam bahasa Arab yang mengandung pengertian forum pendidikan. Meunasah merupakan tempat berguru dasar bagi bawah umur yang mempelajari dasar ilmu agama dan cara membaca Alquran. Anthony Reid dalam bukunya asal mula konflik Aceh dan perebutan Pantai Timur Sumatra hingga final kerajaan Aceh periode ke -19 menyebutkan bahwa �Meunasah ialah suatu tempat umum yang dipergunakan sebagai sarana penginapan bagi kaum laki-laki cukup umur yang singgah dalam suatu gampong�.[35] 
Terlepas dari sejarah dan latar belakang wacana asal muasal lahir Meunasah, yang niscaya antara Aceh dengan Meunasah merupakan integritas dua sisi yaitu sisi Meunasah dan sisi binnya yaitu masyarakat Aceh, sehingga dimana ada masyarakat Aceh disitulah ada Meunasah, sebaliknya dimana ada Meunasah disitu niscaya ada masyarakat Aceh, meskipun berada diluar daerah. Meunasah sudah merupakan bab budaya, identitas dan ciri-ciri kehidupan masyarakat Aceh. Tidak berfungsinya Meunasah dari aspek budaya berarti lanyap pula identitas dan ciri-ciri kehidupan masyarakat Aceh. Dengan demikian Meunasah bukan hanya suatu bangunan, tetapi lebih menggambarkan kondisi dan situasi suatu lingkungan masyarakat, khususnya masyarakat Aceh terutama pada tingkat gampong. Makara Meunasah bukanlah hanya sebagai sebuah simbol wilayah saja, tetapi juga merupakan sebuah bangunan yang mempunyai fungsi serba guna.
Masyarakat Aceh yang bersahabat sekali dengan adat yang bernafaskan agama (Islam) menyerupai adat dan hukom lagee zat ngon sifeut.  Lembaga-lembaga adat menyerupai meunasah, dan prosesi-prosesi adat menyerupai adat meugoe, khanduri blang, khanduri udep dan khanduri matee, teungku memegang peranan penting, baik sebagai pimpinan pada forum tersebut atau juga sebagai pimpinan pada prosesi adat yang dilakukan.[36]
Meunasah bagi masyarakat Aceh sudah ada semenjak periode ke-8 dikala kerajaan Perlak membangun  pusat-pusat pendidikan untuk masyarakat di tingkat gampong.  Dalam Khazanah Pendidikan Tradisional di Aceh, sebagaimana dikutip dari perkataan Sulaiman Tripa menyebutkan bahwa �lembaga meunasah, yang berasal dari kata madrasah dalam bahasa Arab ini berarti forum pendidikan, meunash ini ada di setiap gampong yang ada di Aceh�.[37]
Sejarah perkembangan pendidikan di Aceh, menandakan bahwa meunasah merupakan salah satu forum awal pendidikan yang tujuannya ialah mempersiapkan generasi penerus yang mengetahui dan mengamalkan segala anutan agama Islam secara benar dan baik. Sebagai forum pendidikan, meunasah memang mengadakan pengajian rutin pada malan hari, maupun siangnya merupakan forum pendidikan yang paling bau tanah dalam masyarakat Aceh.[38]
Meunasah ini dikenal oleh masyarakat Aceh semenjak masuknya Islam ke Aceh. Hal ini sesuai dengan pendapat A. Hasjmi sebagai berikut:
Para jago sejarah muslim Indonesia telah setuju bahwa agama Islam masuk ke Indonesia melalui Negeri Peureulak Kabupaten Aceh Timur. Kerajaan Peureulak diresmikan sebagai kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara pada tanggal 1 Muharram 225 H. sekitar tahun 854 M, dengan sultan Said Abdul Aziz Syah. Di negeri inilah pertama kali diresmikan sebuah forum pendidikan yang berjulukan Dayah Cot Kala yang dipimpim ulama besar Teuku Chik Muhammad Amin.[39]

Meunasah-meunasah yang ada di Aceh merupakan forum pendidikan Islam yang dahulunya telah banyak membuat orang-orang yang bisa memhami ilmu agama secara mendalam, khususnya wacana aqidah, ibadah, dan akhlak. Meunasah juga telah banyak melahirkan juru dakwah, pendidik, dan pemimpin yang berwawasan luas, sehingga bisa memecahkan banyak sekali problem umat serta bisa berhadapan dengan cobaan-cobaan dan rintangan dalam usaha menyebarluaskan agama Islam ke seluruh penjuru tanah air.[40]
Berdasarkan uraian di atas sanggup dipahami bahwa, sejarah dan perkembangan meunasah di Aceh diawali oleh perkembangan agama Islam di bumi Nusantara dan merupakan suatu langkah yang ditempuh untuk menarik umat dalam menyebarluaskan agama Islam, yaitu melalui pembukaan dan training di meunasah-meunasah dengan cara  guru atau teungku di meunasah mengumpulkan mayarakat untuk mengkaji ilmu-ilmu agama Islam.
Memperhatikan perkembangan meunasah pada masa dahulu, maka nampak terang peranannya dalam usaha training pendidikan terhadap masyarakat, terutama dalam membina generasi muda. Dalam hal ini meunasah telah banyak menampakkan hasil-hasil positif. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya peminat untuk mempelajari ilmu-ilmu agama di meunasah.
Dalam perkembangan meunasah masa kini ini sanggup dilihat bahwa meunasah tidak lagi berfungsi menyerupai pada zaman dahulu, alasannya masyarakat telah banyak pergi ke pesantren-pesantren atau dayah-dayah yang telah maju untuk mengkaji ilmu pengetahuan agama. Ditambha lagi dengan didirikannya lembaga-lembaga pendidikan Islam yang bernaung di bawah Departemen pendidikan Agama. Seperti sekolah min, MTsN, MAN, dan  telah ada perguruan-perguruan hampir di setiap kabupaten yang ada di Aceh. Hal ini membawa factor rendahya minat masyarakat untuk mengkaji ilmu-ilmu agama di Meunasah-meunasah yang masih ada di setiap gampong di Aceh. [41]
Dengan demikian, sebagaimana sanggup kita lihat dalam kehidupan masyarakat Aceh sekarang, di mana meunasah tidak lagi digunakan sebagai tepada waktu adanya musyawarah-musyawarah. Akan tetapi di daerah-daerah perdalaman menunasah masih juga digunakan sebagai tempat training keagaamaan bagi orang tua, anak muda, dan bawah umur remaja. Disini mereka masih aktif untuk mempelajari agama. Seperti balajar Alquran, tauhid, fiqih dan  tasawuf. Hal ini menandakan bahwa hingga dikala ini meunasah masih dijadikan sebagai tempat forum pendidikan oleh masyarakat Aceh.
Dayah ialah suatu forum pendidikan yang terdapat di Aceh, yang hampir sama dengan pesantren di Jawa, baik dari aspek fungsi maupun tujuan. Kendati ada beberapa perbedaan penting, menyerupai yang terlihat di pesantren yang ada di Jawa Timur, yaitu pesantren merupakan suatu tempat yang dipersiapkan untuk menawarkan pendidikan agama mulai dari tingkat dasar hingga ke tingkat yang lebih tinggi.[42]Sedangkan di Aceh, dayah ialah forum pendidikan lanjutan bagi bawah umur yang sudah menuntaskan pendidikan dasar di Meunasah atau rangkang atau di rumah-rumah Teungku Gampong.[43]   
            Di masa Kerajaan Aceh Darussalam, terdapat beberapa forum negara yang bertugas dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan, di antaranya: Pertama, Balai Seutia Hukama, merupakan forum ilmu pengetahuan, tempat berkumpulnya para ulama, cendekiawan untuk membahas dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Kedua, Balai Seutia Ulama, merupakan jawatan pendidikan yang bertugas mengurus masalah-masalah pendidikan dan pengajaran. Ketiga,  Balai Jamaah Himpunan Ulama, merupakan kelompok studi tempat para ulama dan sarjana berkumpul untuk bertukar pikiran membahas persoalan-persoalan pendidikan dan ilmu pendidikan[44].





[1]Hasbi Amiruddin, Menatap Masa Depan Dayah di Aceh,(Banda Aceh: PENA, 2008), hal. 41.

[2]Elias A. Elias & Edward E. Elias, Kamus Saku Arab Inggris Indonesia , (Jakarta: al-Ma�arif, 1983), hal. 439.
[3]Tgk. Mohd. Basyah Haspy, Appresiasi Terhadap Tradisi Dayah: Suatu Tinjauan Terhadap Tata Krama dan Kehidupan Dayah, (Banda Aceh: Panitia Seminar Apresiasi Pesantren di Aceh Persatuan Dayah Inshafuddin, 1987), hal. 7. 

               [4] Muhammad Idris Abdurrauf al-Marbawi, Kamus Idris Al-Marbawi, (tp: 1350 H), hal. 272.
               [5]Abdurrahman Saleh, dkk, Penyelenggaraan Pendidikan Formal di Pondok Pesantren�, Proyek Pembinaan Bantuan Kependidikan Pondok Pesantren, (Ditjen Bimbaga Islam Departemen Agama RI, 1984/1985), hal. 11.

               [6] A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hal. 192.
[7]Munawiyah, dkk, Sejarah Peradaban Islam, (Banda Aceh: Bandar Publising, 2009), hal. 218.
[8]Quraisy Syihab, Pembaharuan Pemikiran Islam, (Bandung: Mizan, 1990), hal. 31.
[9]H. Arifin, Kapita Selekta �, hal. 246.
[10]Manfret Oepon dan Wolgang Kacher, Dinamika Pesantren, (Jakarta: P3M, 1988), hal. 8.

[11]Mustafa Syarif, Adminstrasi pendidikan, (Jakarta: Peryu Barkan, t.t.), hal. 18.
[12]Mustafa Syarif, Adminstrasi..., hal. 18.

[13]Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah; Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: Lp3Es, 1974), hal. 72.
[14] Hasbi Amiruddin, Menatap Masa Depan Dayah di Aceh,(Banda Aceh: PENA, 2008), hal. 41.

[15] Ibid., hal. 48-49.
[16]Abdurrahman Saleh dkk, Penyelenggara Pendidikan Formal diPondok Pesantren,  (Jakarta: Ditjen Bimbingan Islam Departemen Agama R. I, 1985), hal. 11.

[17]A. Hasjmy, Sejarah Kebudayan Islam di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hal. 192.

[18]Hasbullah,  Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1999), hal. 32.
[19] A. Hasjmy, Sejarah..., hal. 147.

[20] A. Hasjmy, Bunga Rampai Revolusi dari Tanah Aceh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hal. 55.
[21]A. Hasjmy, Bunga..., hal. 61.

[22]Ibid., hal. 58.

[23]Ibid., hal. 59.
[24]Ibid., hal. 58.

[25]Ibid., hal. 60.
[26]Ibid., hal. 59.
[27]Ibid., hal. 61.

[28]Ibid., hal. 62.

[29]Ibid., hal. 62.

[30]Ibid., hal. 62.

[31]Ibid., hal. 62.
[32]A. Hasjmy, Bunga�, hal. 68.

[33]Munawiyah, dkk, Sejarah Peradaban Islam, (Banda Aceh: Bandar Publising, 2009), hal. 218.
[34] Baruzzaman Ismail, Mesjid dan Adat Meunasah bagi Sumber Energi Budaya Aceh, (Aceh: Majelis Pendidikan Daerah NAD. 2002), hal. 1.
[35] Anthony Reid. Asal mula konflik Aceh(Dari Perebutan Pantai Timur Sumatra Hingga final kerajaan Aceh Abad ke-19). (Jakarta: Yayasan Obat Indonesia, 2005), hal 313.

[36]Majelis Pendidikan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Perkembangan Pendidikan di Daerah Istimewa Aceh, (Banda Aceh: Gua Hira�, 1995), hal. 61.

[37]Sulaiman Tripa, Meunasah Ruang Serba Guna Masyarakat Aceh, http://www.acehinstitute. Diakses 20 Oktober, 2010.

[38] Majelis Pendidikan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Perkembangan �, hal. 62.

[39]A. Hasjmi, Pendidikan Islam di Aceh dalam Perjalanan Sejarah, (Banda Aceh: Yayasan Pembina, 1977), hal. 11.
[40]A. Hasjmi, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah, (Jakarta: Beuna, 1993), hal. 226.

[41] Ibid.,hal. 228.
 
[42]Abdurrahman Saleh dkk, Penyelenggara Pendidikan Formal diPondok Pesantren,  (Jakarta: Ditjen Bimbingan Islam Departemen Agama R. I, 1985), hal. 11.

[43]A. Hasjmy, Sejarah Kebudayan Islam di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hal. 192.

[44] Hasbullah,  Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1999), hal. 32.

Related : Peranan Dayah Di Aceh

0 Komentar untuk "Peranan Dayah Di Aceh"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)
close
close