A. Ikhlas
Ikhlas ialah, “menghendaki keridhaan Allah dalam suatu amal, membersihkannya dari segala individu maupun duniawi. Tidak ada yang melatar belakangi suatu amal, kecuali lantaran Allah dan demi hari akhirat”.[1]Tidak ada noda yang mencampuri suatu amal, ibarat kecenderungan kepada dunia untuk diri sendiri, baik yang tersembunyi maupun yang terang-terangan, atau lantaran mencari harta rampasan perang, atau biar dikatakan sebagai pemberani saat perang, lantaran syahwat, kedudukan, harta benda, ketenaran, biar menerima kawasan di hati orang banyak, menerima sanjungan tertentu, lantaran kesombongan yang terselubung, atau lantaran alasan-alasan lain yang tidak terpuji; yang pada dasarnya bukan lantaran Allah, tetapi lantaran sesuatu; maka semua ini merupakan noda yang mengotori keikhlasan.
Menurut Abdullah Nashih Ulwan, “Pendidik hendaknya membebaskan niatnya, semata-mata untuk Allah dalam seluruh pekerjaan edukatifnya, baik berupa perintah, larangan, nasihat, pengawasan atau hukuman”.[2]
Sebagai seorang pendidik dalam mejalankan fungsinya hendaknya meniatkan segala aktifitasnya yang dikerjakannya dalam mendidik, ibarat perintah, larangan, nasihat, pengawasan, atau eksekusi sekalipun semata-mata lantaran mencari keridaan dan pahala dari Alllah Swt. Dengan melaksanakan keikhlasan baik dalam perbuatan maupun perkataan, maka sangat bermanfaat bagi diri dan anak-anaknya. Sehingga segala yang dinasihatkan akan mempunyai kesan dan bekasan yang mendalam pada diri anak-anaknya. Ikhlas sebagaimana yang dipaparkan Ulwan merupakan pondasi iktikad dalam fatwa Islam. Dengan kata lain, iktikad merupakan syarat diterimanya sebuah amal oleh Allah Swt.[3]
Guru juga harus mempunyai sifat lapang dada dalam mendidik penerima didik. Menurut ustad Jefri Al Bukhari, Ikhlas ialah melaksanakan amalan-amalan semata-mata mencari keridaan Allah Swt. Amalan-amalan tersebut tanpa dicampuri dengan impian dunia, keuntungan, pangkat, harta, kemasyhuran, kedudukan tinggi, meminta pujian, menuruti hawa nafsu, dan lainnya. Bila seorang guru lapang dada dalam memberikan bahan yang diajarkan maka pembelajaran akan lebih bisa terserap, lantaran guru yang lapang dada hanya mengharapkan ridha dari Allah SWT akan selalu berupaya menciptakan atau mencari model pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan penerima didik dan sanggup menyebarkan kemampuan yang ada dalam diri penerima didik, sehingga pembelajaran yang di sampaikan terkesan lebih bermakna dan lebih menarik. Pendidik bisa memposisikan dirinya sebagai motivator yang handal dengan niat yang baik, sebagai fasilitator yang merancang pembelajaran dengan sempurna.[4]
Ikhlas ialah kunci diterimanya ibadah dan bentuk-bentuk amal kebajikan. Meski besar nilainya di mata manusia, amal tersebut tidak ada artinya di mata Allah Azza wa Jalla bila tidak dibentengi dengan keikhlasan. Namun sekecil apapun kebajikan itu di mata manusia, bila dibarengi dengan niat ikhlas, ia sangat besar nilainya di hadapan-Nya. Ikhlas berada dalam hati demikian pula dengan lawannya yaitu syirik, keduanya senantiasa berebut kawasan di hati manusia. Oleh lantaran itu kawasan lapang dada ada di dalam hati dan hal itu berkaitan dengan tujuan dan niat seseorang.
Disebutkan bahwa hakikat niat itu mengacu kepada respon banyak sekali hal yang membangkitkannya. Bila faktor pembangkitnya hanya satu maka perbuatan itu disebut lapang dada dalam kaitannya dengan apa yang diniatkan. Istilah lapang dada itu khusus berkenaan dengan tujuan semata-mata mencari taqarrub kepada Allah dan pelakunya disebut mukhlis.
[1]Almanhaj, Pengertian Ikhlas, Artikel diakses tanggal 09 November 2015 dari http://almanhaj.or.id/
[4]https://idn.paperplane-tm.site/search?q=normal-0-false-false-false-en-us-x-none diakses Tanggal 06 November 2015 Jam 9.30 Wib
0 Komentar untuk "Pengertian Nrimo"