Saat di puji tidak meninggi, ketika rendahkan tidak jatuh. Itulah prinsip yang saya pegang selama ini. Saya udah biasa dengan pujian, sebaliknya saya saya terbiasa dengan sindiran, direndahkan dan hujatan. Saya anggap inilah proses pendewasaan diri.
Di dunia ini sebagian memang bahagia di puji. Malah murka bila tidak di puji. Ada juga yang bahagia hanya memuji adik atau kakaknya dan bawah umur dan keluarganya yang lain. Sementara kita tidak tau orang ketawa sebab melihat gaya norak yang kita tampilkan. Semakin kita ingin di puji oleh insan semakin kita terlihat rendah di mata insan yang lain. Karena tidak semua bahagia dengan perilaku dan prilaku kita. Saat sanggup pujian, disitulah kita berusaha biasa dan tidak angkuh, sombong dan menganggap orang lain tidak mampu.
Setiap insan Allah beri kelebihan. Kita arif agama tinggi, namun tidak harus merendahkan mereka awam yang tidak mencar ilmu agama, ajarkan mereka. Kita bisa menguasai banyak bahasa, kemudian tak perlu mengangap orang ndeso tak punya kemampuan berbahasa arab dan inggris. Adab lebih tinggi daripada Ilmu. Seorang ayah atau ibu, 1000 kali lebih penting ajarkan budpekerti dan budpekerti kepada anaknya. Daripada matematika, ipa, ips bahasa dan pelajaran lain. Nanti dimasa tuanya di butuh di sayang, di jaga tentu yang hanya dimiliki oleh anak yang berakhlak. Ayah dan ibu tidak butuh ilmu matematika, pandai hitung menghitung atau ilmu sastra bahasa ketika itu. Maka penting tidak ajaib kebanggaan setinggi apapun ilmu yang kita miliki.
Saya kira, di Akhirat Allah tidak butuh kebanggaan manusia. Tidak butuh tanda jasa didunia. Kebaikan yang kita lakukan ikhlas. Ibadah kita ikhlas. Harapan yang hakiki yakni Allah memuji hambanya di alam abadi didepan malaikat. Justru itu yang paling sangat kita butuhkan. Daripada setiap hari ingin di puji, padahal orang menertawakan kita di belakang.
Rizki Dasilva
0 Komentar untuk "Di Darul Abadi Tidak Butuh Kebanggaan Manusia"