Sejauh yang saya tahu, seseorang dikenal sebagai penggagas oleh masyarakat sebabnya yaitu lantaran kritikan-kritikan konstruktifnya kepada penguasa. Jika bukan lantaran kritikan-kritikan itu, mereka tidak akan pernah diakui atau dikenal sebagai aktivis.
Aktivis 98 misalnya. Mereka dikenal sebagai penggagas lantaran mengkritisi Orde Baru, contohnya ibarat Hariman Siregar yang aktif mengkritisi rezim Soeharto yang otoriter. Begitu juga kawan-kawan seangkatannya yang hari ini menjadi politisi.
Atau sebelum itu, kita mengenal penggagas 66 ibarat Rahman Tolleng yang aktif mengkritisi rezim Orde Lama yang pro Komunis.
Tanpa perilaku kritis, mereka sama sekali tidak akan dikenal sebagai aktivis.
Dan begitu juga, ketika seseorang telah berada di bulat kekuasaan dan tidak lagi membela rakyat, membela kekuasaan untuk sejumlah kepentingan, mereka tidak akan dikenal lagi sebagai aktifis. Profil sebagai penggagas akan menjadi masa lalu.
Sebab, sekarang telah menjadi juru bicara penguasa di hadapan rakyat. Sesuatu yang berbanding terbalik dengan dunia aktivisme.
Bagaimana mungkin menjadi penggagas yang identik dengan kegiatan membela rakyat kalau pada ketika yang sama justru hanya menjadi juru bicara penguasa di depan rakyat, menjadi juru bicara kekuasaan yang melenceng di depan rakyat yang merindukan keadilan, merindukan kepemimpinan yang amanah dan bertanggungjawab, kepemimpinan yang menjalankan tugas-tugas berat di pundaknya?
Bagi rakyat, kehadiran penggagas akan menjadi juru bicara mereka di depan kekuasaan yaitu sebuah harapan dan harapan. Aktivis yang membela kepentingan rakyat, yang senantiasa mengawasi jalannya pemerintahan.
Mengawasi supaya penguasa berjalan di atas jalan yang lurus dan bisa memproteksi kebutuhan rakyatnya. Agar penguasa senantiasa memihak kaum marginal, bukan malah memihak kaum kapitalis dan kooprorasi global yang menindas.
Menjadi penggagas atau juru bicara rakyat tentu bukan berarti harus selalu berseberangan dg kekuasaan. Karena kekuasaan adakalanya berjalan di jalan yang benar, meskipun potensi melenceng yaitu lebih besar. Sebab, sejauh ini, di dunia ini hanya sedikit penguasa yang bisa mencapai derajat kepemimpinan level Umar bin Khattab atau Umar bin Abdul Azis.
Membela rakyat adakalanya dengan masuk ke gelanggang kekuasaan. Dan memang disitulah ujian pembuktian wacana keseriusan membela rakyat. Dan untuk tujuan ibarat ini, banyak penggagas yang masuk ke bulat kekuasaan dengan tetap membawa idealismenya, bahwa kepentingan rakyat banyak yaitu di atas segalanya, meskipun harus berseberangan dengan kekuasaan.
Di luar panggung kekuasaan atau di dalamnya, mereka tetap bangun pada posisi membela rakyat. Membela yang benar, bukan membela yang bayar.
Dan dalam konteks ibarat inilah penggagas menemukan ikatannya dengan harapan Islam. Bahwa Islam mengharapkan supaya seorang muslim senantiasa bermanfaat untuk orang banyak. Bahwa Islam melarang seorang muslim menjilat penguasa yang tidak amanah. Bahwa Islam meminta kepada seorang muslim untuk tetap menyampaikan yang haq walaupun pahit.
Tanpa perilaku kritis, mereka sama sekali tidak akan dikenal sebagai aktivis.
Dan begitu juga, ketika seseorang telah berada di bulat kekuasaan dan tidak lagi membela rakyat, membela kekuasaan untuk sejumlah kepentingan, mereka tidak akan dikenal lagi sebagai aktifis. Profil sebagai penggagas akan menjadi masa lalu.
Sebab, sekarang telah menjadi juru bicara penguasa di hadapan rakyat. Sesuatu yang berbanding terbalik dengan dunia aktivisme.
Bagaimana mungkin menjadi penggagas yang identik dengan kegiatan membela rakyat kalau pada ketika yang sama justru hanya menjadi juru bicara penguasa di depan rakyat, menjadi juru bicara kekuasaan yang melenceng di depan rakyat yang merindukan keadilan, merindukan kepemimpinan yang amanah dan bertanggungjawab, kepemimpinan yang menjalankan tugas-tugas berat di pundaknya?
Bagi rakyat, kehadiran penggagas akan menjadi juru bicara mereka di depan kekuasaan yaitu sebuah harapan dan harapan. Aktivis yang membela kepentingan rakyat, yang senantiasa mengawasi jalannya pemerintahan.
Mengawasi supaya penguasa berjalan di atas jalan yang lurus dan bisa memproteksi kebutuhan rakyatnya. Agar penguasa senantiasa memihak kaum marginal, bukan malah memihak kaum kapitalis dan kooprorasi global yang menindas.
Menjadi penggagas atau juru bicara rakyat tentu bukan berarti harus selalu berseberangan dg kekuasaan. Karena kekuasaan adakalanya berjalan di jalan yang benar, meskipun potensi melenceng yaitu lebih besar. Sebab, sejauh ini, di dunia ini hanya sedikit penguasa yang bisa mencapai derajat kepemimpinan level Umar bin Khattab atau Umar bin Abdul Azis.
Membela rakyat adakalanya dengan masuk ke gelanggang kekuasaan. Dan memang disitulah ujian pembuktian wacana keseriusan membela rakyat. Dan untuk tujuan ibarat ini, banyak penggagas yang masuk ke bulat kekuasaan dengan tetap membawa idealismenya, bahwa kepentingan rakyat banyak yaitu di atas segalanya, meskipun harus berseberangan dengan kekuasaan.
Di luar panggung kekuasaan atau di dalamnya, mereka tetap bangun pada posisi membela rakyat. Membela yang benar, bukan membela yang bayar.
Dan dalam konteks ibarat inilah penggagas menemukan ikatannya dengan harapan Islam. Bahwa Islam mengharapkan supaya seorang muslim senantiasa bermanfaat untuk orang banyak. Bahwa Islam melarang seorang muslim menjilat penguasa yang tidak amanah. Bahwa Islam meminta kepada seorang muslim untuk tetap menyampaikan yang haq walaupun pahit.
JIka ada penggagas ibarat ini, maka dipastikan nama besar mereka tidak akan lekang di makan "rayap" zaman. Mereka akan terus dikenang sebagai pejuang yang memperjuangkan nasib rakyat.
Sementara itu, bagi para penguasa sendiri, kehaidran para penggagas pada hakikatnya yaitu kebutuhan dan keniscayaan. Aktivis yang senantiasa mengkritisi dan mengingatkan penguasa akan senantiasa diharapkan oleh para penguasa yang ingin sukses dalam kepemimpinannya.
Sebab, godaan bagi penguasa untuk melenceng sangatlah besar. Nikmat di dingklik kekuasaan tidak jarang melenakan. Maka Islam sendiri mewanti-wanti dengan sangat tegas, bahwa penguasa yang tidak menjalankan amanah kepemimpinan maka mereka tidak akan mencium bau syurga. Bau saja tidak bisa dicium.
Penguasa yang baik dan sejatinya penguasa tidaklah takut dengan kritikan siapapun. Dan tidak membutuhkan jilatan siapapun, apalagi dari penggagas yang seharusnya mengkriktisi. Sebab, dari kritikan itu, mereka sanggup mengevaluasi jalannya kekuasaannya supaya di selesai kekuasaan ia sanggup disebut sebagai pemimpin yang sukses yang dengan itu ia akan berbahagia hidup di dunia dan di akhirat.
Maka kalau saya tidak bisa mengingatkan penguasa, apalagi cenderung menyerang para penggagas yang kritis di depan penguasa, hanya membenarkan penguasa meskipun salah, meskipun mereka tidak melakukan amanah kepemimpinan secara baik, maka apakah saya yaitu seorang aktivis? Tentulah bukan.
Sementara itu, bagi para penguasa sendiri, kehaidran para penggagas pada hakikatnya yaitu kebutuhan dan keniscayaan. Aktivis yang senantiasa mengkritisi dan mengingatkan penguasa akan senantiasa diharapkan oleh para penguasa yang ingin sukses dalam kepemimpinannya.
Sebab, godaan bagi penguasa untuk melenceng sangatlah besar. Nikmat di dingklik kekuasaan tidak jarang melenakan. Maka Islam sendiri mewanti-wanti dengan sangat tegas, bahwa penguasa yang tidak menjalankan amanah kepemimpinan maka mereka tidak akan mencium bau syurga. Bau saja tidak bisa dicium.
Penguasa yang baik dan sejatinya penguasa tidaklah takut dengan kritikan siapapun. Dan tidak membutuhkan jilatan siapapun, apalagi dari penggagas yang seharusnya mengkriktisi. Sebab, dari kritikan itu, mereka sanggup mengevaluasi jalannya kekuasaannya supaya di selesai kekuasaan ia sanggup disebut sebagai pemimpin yang sukses yang dengan itu ia akan berbahagia hidup di dunia dan di akhirat.
Maka kalau saya tidak bisa mengingatkan penguasa, apalagi cenderung menyerang para penggagas yang kritis di depan penguasa, hanya membenarkan penguasa meskipun salah, meskipun mereka tidak melakukan amanah kepemimpinan secara baik, maka apakah saya yaitu seorang aktivis? Tentulah bukan.
Penulis: Teuku Zulkhairi
0 Komentar untuk "Aku Bukan Aktivis"