Hubungan Menentukan Jodoh Dengan Pendidikan Anak


BAB IV

MEMILIH JODOH DAN HUBUNGANNYA  DENGAN MENDIDIK ANAK

Hubungan Memilih Jodoh dengan Pendidikan Anak     Hubungan Memilih Jodoh dengan Pendidikan Anak


A.    Hubungan Memilih Jodoh dengan Pendidikan Anak    

Secara kodrati setiap orang bau tanah semenjak zaman dahulu (Adam AS), hingga kini dan yang akan datang, berkeinginan untuk mendidik dan mengajar anaknya, namun bagi orang yang beriman hal itu bukan hanya sekedar menuruti dorongan kodratnya semata, tetapi lebih dari itu ialah �dalam rangka melaksanakan perintah wajib yang telah digariskan oleh Allah Swt. Dengan demikian beban yang diberikan kepada orang bau tanah semoga bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anaknya memang tumbuh dari naluri orang bau tanah (faktor pembawaan)�.[1]
Bila kita oke dengan adanya pandangan yang mengungkapkan bahwa �dalam diri insan itu terdapat kemampuan dasar atau fitrah �prepoten retlexes� baik rohaniah maupun jasmaniah, yang tidak sanggup berkembang dengan baik tanpa bimbingan dari pendidik, maka berarti insan memerlukan pendidikan dalam arti yang luas�[2]. Kebutuhan terhadap pendidikan tersebut bukan hanya sekedar untuk menyebarkan aspek-aspek individualisasi dan sosialisasi, melainkan juga mengarahkan perkembangan kemampuan dasar tersebut kepada pola hidup yang dihajatkan insan dalam bidang duniawiah, dalam bidang fisik/materiil dan mental/spiritual yang harmonis. Oleh lantaran itu di dalam apa yang disebut �keharusan pendidikan� sesungguhnya mengandung aspek-aspek, yaitu:
1.     Aspek Pedagogis
Dalam hal ini, insan dipandang sebagai mahluk yang disebut �homo educandum�, yaitu makhluk yang sanggup dididik. Dalam istilah lain, insan dikategorikan sebagai �animal educable� yaitu �sebangsa hewan yang sanggup dididik, sedangkan hewan selain insan hanya sanggup dilakukan. �Dressur�(dilatih sehingga sanggup mengerjakan sesuatu yang sifatnya statis, tidak berubah)�[3].
A. Portman, menyerupai yang dikutip oleh M. Said, mengemukakan teorinya wacana kelahiran insan yang terlalu dini, yang menjadi dasar bagi perkiraan pertama dalam dunia ilmu pendidikan. Menurut A. Portman: �Manusia seharusnya berada di dalam kandungan ibunya selama satu bulan untuk sanggup mencapai tingkat perkembangan yang lebih sempurna�[4].  Jadi keadaan masih belum �fixed�, artinya masih terbuka bagi perkembangan selanjutnya. Malahan A. Portman juga mengungkapkan bahwa: �Manusia dalam tahun pertama melengkapi perkembangannya dengan syarat hidup secara insan normal yaitu bediri tegak, berbahasa dan berperilaku yang dikemudikan  oleh akalnya�[5].
Keadaan yang lemah, tidak berdaya, belum siap inilah yang menimbulkan anak insan sanggup dididik dan perlu dididik atau �homo educandum et educable[6].  Inilah yang menjadi perkiraan pertama dalam pendidikan. Karena kelahirannya yang sangat dini naluri insan tidak sanggup berkembang sepenuhnya. Oleh lantaran itu perlu adanya pendidik yang sanggup mengarahkan naluri insan semoga sanggup berkembang sepenuhnya.
Asumsi kedua yang diterima dalam ilmu pendidikan ialah wacana �perkembangan anak insan semenjak lahir yang tidak terus menerus menyerupai air mengalir, tapi berfase-fase menyerupai tetesan air hujan yang bertautan dengan tiap tetesan merupakan satu kesatuan�[7].  Suatu fase mengambil bentuk yang sebenar-benarnya yang tidak sanggup dijabarkan dari fase yang mendahuluinya dan tahap yang berikutnya lantaran satu sama lain berbeda sekali.
Jadi berdasarkan aspek pedagogis, pendidikan berfungsi untuk memanusiawikan manusia, yang dengan tanpa pendidikan sama sekali, insan tidak  dapat menjadi  manusia yang sebenarnya.
2.     Aspek psychologis
Aspek ini memandang insan sebagai makhluk yang disebut �psycho physiek netral�, yaitu �makhluk yang mempunyai kemandirian jasmaniah dan rohaniah�[8]. Dalam pertumbuhan dan perkembangannya insan memerlukan pendidikan. Kerena dengan pendidikan, maka petumbuhan dan perkembangan tersebut mendapatkan kemungkinan untuk mencapai titik maksimum kemampuannya. Bila pendidikan yang diperoleh baik, maka pertumbuhan dan perkembangannya sanggup menjadi bimbingan bagi proses pendidikan insan sebagai individu yang harus hidup dalam masyarakat.
3.     Aspek Sosiologis dan Culturil
Aspek inilah yang memandang insan bukan hanya �psycho physiek netral�, akan tetapi juga �homo socius�. Yaitu �makhluk yang berwatak dan berkelakuan dasar atau mempunyai instink untuk hidup bermasyarakat�[9]. Sebagai makhluk sosial, insan harus mempunyai rasa tanggung jawab sosial yang diharapkan dalam menyebarkan inter kekerabatan (hubungan timbal balik) dan inter agresi (saling dampak mempengaruhi) antara sesama anggota masyarakat dalam kesatuan hidup masyarakat beradab.
Bila insan sebagai makhluk sosial yang bertanggung jawab sosial itu berkembang, maka berarti pula insan itu sendiri ialah makhluk yang berkebudayaan baik materiil maupun moril. Sebagai salah satu instink insan ialah kecenderungan untuk mempertahankan segala apa yang dimiliki termasuk kebudayaannya. Oleh kerena itu, maka insan perlu melaksanakan transformasi dan transmisi kebudayaannya kepada generasi yang mengganti dikemudian hari. �Dalam aspek culturil ini, maka pendidikan diharapkan untuk transformasi dan transmisi (pemindahan dan penyaluran serta pengoperan) kebudayaan dari generasi bau tanah kepada generasi muda�[10].  Tanpa melalui proses pendidikan maka hal tersebut tidak terlaksana, jadi antara tanggung jawab sosial dengan transformasi dan transmisi culturil tersebut terdapat korelasi kausal.
4.     Aspek Filosofis
Menurut pandangan filsafat, insan ialah makhluk yang disebut �homo sapien� yaitu �makhluk yang mempunyai kemampuan untuk berakal pengetahuan�[11]. Salah satu instink insan ialah ingin mengetahui hal-hal yang belum diketahui yang disebut instink neugirig atau ciuriosity. Dengan instink ini maka insan selalu cenderung untuk memperoleh pengetahuan wacana segala sesuatu di sekelilingnya. Kemampuan instink tersebut yang menawarkan kemungkinan insan untuk sanggup dididik dan diajar. Sehingga sanggup menangkap  segala sesuatu yang diajarkan. Pengertian yang telah dipahami itu kemudian menjadi suatu rangkaian pengertian yang terbentuk menjadi ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Dengan kata lain, melalui proses mencar ilmu dan diajar, insan pada akhirnya menjadi makhluk yang berakal pengetahuan.
5.     Aspek Religius
Yaitu �aspek pandangan yang mengakui bahwa insan ialah makhluk yang disebut �homo divinans� (makhluk berketuhanan) atau disebut �homo religius� (makhluk beragama)�[12]. Adapun kemampuan dasar yang menimbulkan insan menjadi makhluk berketuhanan atau beragama itu ialah lantaran di dalam jiwa insan terdapat suatu �instink religious� atau �natural liter religiosa�, yang perkembanganya bergantung pada perjuangan pendidikan sebagaimana halnya dengan instink-instink lainya. Oleh lantaran itu, tanpa proses pendidikan instink tersebut tidak akan berkembang sewajarnya dan maksimal. Sehingga pandidikan keagamaan mutlak diharapkan untuk menyebarkan instink tersebut.
Kelima aspek tersebut yang menjadi alasan perlunya pendidikan dalam kehidupan manusia. Karena insan ialah makhluk yang berkembang, maka untuk bisa mencapai perkembangan yang maksimal pendidikan merupakan faktor yang sangat menentukan. Pendidikan sebaiknya diberikan sedini mungkin dengan persiapan yang matang. Semakin dini pendidikan itu diberikan, maka diharapkan hasilnya juga semakin baik.  Menurut pendapat Sutari Imam Barnadib, persiapan pendidikan dimulai pada ketika pemilihan jodoh, yaitu dengan mempertimbangkan �bibit, bebet dan bobot�. Sebagai berikut[13]:
1.     Bibit
Bibit atau  lebih kita kenal dengan sebutan keturunan, sangat penting sekali dijadikan sebagai pertimbangan dalam menentukan pendamping hidup. Kaprikornus dalam menentukan pendamping hidup diutamakan berasal dari keturunan yang baik-baik, lantaran jikalau tidak, dikhawatirkan akan mensugesti keturunannya.
2.     Bebet
Selain mempertimbangkan bibit, pribadi dari calon pendamping atau dalam ungkapan jawa dikenal sebagi �bebet� juga tidak kalah pentingnya lantaran menyangkut orangnya secara langsung. Untuk itu perlu juga bagi orang yang akan menentukan pendamping hidup mempertimbangkan kepribadian dari calon pendampingnya, bagaimana sikap dan tampangnya, bagaimana wataknya, sehatkah, pantaskah, haluskah, tegaskah, keras dan lain-lain.


3.     Bobot
Yang menjadi pertimbangan lain bagi seseorang ketika menentukan calon pendamping ialah �bobot�, apakah calon pendampingnya anak orang berada atau cukupan atau kurang. Apakah calon pendampingnya sanggup mencari nafkah untuk hidup berkeluarga kelak. Kaprikornus dalam hal �bobot� atau harta kekayaan ataupun kemampuan dalam mencari nafkahpun dijadikan pertimbangan pula, dengan harapan semoga keturunanya kelak bisa tercukupi kebutuhannya.
Ketiga istilah yang dijadikan pertimbangan dalam menentukan pendamping hidup tersebut, hingga ketika ini masih banyak dilakukan/dipraktekan orang. Hal itu tidak dipandang sebagai sesuatu yang salah. Karena menyerupai apa yang diungkapkan oleh prof. Brodjonegoro, ketiga hal tersebut merupakan langkah yang paling awal atau persiapan bagi  pendidikan anak dengan harapan semoga keturunanya nanti menjadi anak yang baik, baik fisik maupun non fisik, serta tercukupi kebutuhannya.
�Di samping itu, bayi yang gres lahir ialah produk/hasil dari dua keluarga�[14]. Sejak ketika pembuahan dan seterusnya, kehidupan gres itu akan tetap berlangsung dan dipengaruhi oleh banyak stimuli dari lingkungan yng berbeda. Setiap stimuli (rangsang-rangsang) ini secara terpisah dan berbarengan dengan stimuli yang lain akan membantu dalam membentuk potensi-potensi perkembangan dan tingkah laris anak yang diwariskan dari generasi sebelumnya. Hal tersebut yang menimbulkan pentingnya mempertimbangkan banyak sekali hal dalam menentukan jodoh semoga keturunan yang dihasilkan benar-benar merupakan produk yang unggul.
B.    Perkawinan Ideal dan Kaitannya dengan Pendidikan Anak    

Anak ialah merupakan amanah Allah Swt. yang harus dibina, dipelihara, dan diurus secara seksama serta tepat semoga kelak menjadi insan kamil atau insan sempurna, berkhasiat bagi agama, bangsa dan negara di samping sanggup menjadi pelipur lara orang tua, penenang hati dan pujian keluarga. Semua harapan positif terhadap anak tersebut tidaklah sanggup terpenuhi tanpa adanya bimbingan yang memadai, selaras dan seimbang dengan tuntutan dan kebutuhan fitrah insan secara kodrati. Semua itu tidak akan didapatkan secara tepat kecuali pada pedoman Islam yang bersumber kepada wahyu Illahi yang paling mengerti wacana hakikat insan sebagai mahkluk ciptaan-Nya.
Perkawinan ideal dan kaitannya dengan pendidikan sebagaimana yang dikemukakan oleh Abdullah Nashih Ulwan sanggup dilihat dari 3 aspek sebagai berikut[15]:
1.     Perkawinan Sebagai Fitrah Insani
Merupakan permasalahan nyata yang terdapat dlm konsep-konsep syariat Islam adalah, bahwa syariat menentang ruhbaniyyah (kerahiban). Karena ini bertentangan dengan fitrah manusia, kecendurangan, dan nalurinya. Bahwa di dalam Islam perkawinan ialah fitrah insan semoga seseorang muslim sanggup memikul tanggungjawab yang paling besar di dalam dirinya atas orang yang berhak mendapatkan pendidikan dan pemeliharaan, pada ketika ia menyambut panggilan fitrah, mendapatkan tuntutan-tuntutan naluri dan menjalankan sunnah kehidupan ini.
2.     Perkawinan sebagai Kemaslahatan Sosial
a).   Melindungi Kelangsungan Species Manusia
Dengan perkawinan, umat insan akan semakin banyak dan berkesinambungan, hingga tiba saatnya (kiamat) Allah merusak bumi dan makhluk-makhluk yang berada di atasnya. Tidak diragukan lagi bahwa di dalam kelestarian dan kesinambungan ini terdapat suatu pemeliharaan terhadap kelangsungan hidup species insan dan terdapat suatu motivasi bagi kalangan intelektual untuk meletakkan metode-metode pendidikan dan kaidah-kaidah yang benar demi keselamatan spesies manusia, baik dari aspek rohani maupun jasmani.
b).   Melindungi Keturunan
Melalui ijab kabul yang telah disyariatkan Allah kepada hamba-Nya, bawah umur akan merasa gembira dengan pertalian nasabnya kepada ayah mereka. Terang, bahwa dengan pertalian nasab itu terdapat penghargaan terhadap diri mereka sendiri, kestabilan jiwa dan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan mereka.
c).   Melindungi masyarakat dari dekadensi moral
??? ???????? ??????????? ???? ?????????? ?????????? ???????????????? ????????? ??????? ?????????? ?????????? ??????????? ?????? ???? ?????????? ?????????? ??????????? ????????? ???? ??????? (???? ???????)
Artinya:  Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian sudah bisa kawin, maka kawinlah. Sebab, perkawinan itu akan sanggup lebih  memelihara pandangan dan lebih sanggup menjaga kemaluan. Dan siapa saja yang belum bisa untuk kawin, maka hendaklah ia berpuasa. Karena sesungguhnya berpuasa itu sanggup menekan hawa nafsu�. (HR. Bukhari).[16]

Hadist diatas menawarkan motivasi kepada para cowok dan pemudi untuk segera melaksanakan ijab kabul jikalau sudah bisa secara lahir dan batinnya, dalam hadis diatas, menunujukan bahwa ijab kabul dikaitkan dengan kemampuan, bagi yang belum bisa dan belum mempunyai kesiapan untuk melaksanakan ijab kabul maka, tidak termasuk golongan orang yang dianjurkan untuk menikah .
d).   Melindungi Masyarakat dari Penyakit
Dengan perkawinan, masyarakat akan selamat dari penyakit menular yang sangat berbahaya dan sanggup membunuh yang menjalar di kalangan anggota masyarakat tanggapan perzinahan, dan selamat dari merajalelanya perbuatan keji serta korelasi bebas secara haram.
e).   Menumbuhkan Ketenteraman Rohani dan Jiwa
Dengan perkawinan, akan tumbuh semangat cinta kasih sayang dan kebersamaan antara suami istri. Sebagaimana firman Allah dalam surat Ar-Rum ayat 21 sebagai berikut:
?????? ???????? ???? ?????? ????? ????? ??????????? ?????????? ????????????? ????????? ???????? ????????? ?????????? ?????????? ????? ??? ?????? ???????? ????????? ??????????????) ?????: ??(
Artinya: Dan di antara gejala kekuasaan-Nya ialah Dia membuat untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kau cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat gejala bagi kaum yang berfikir. (Qs. Ar-Rum: 21).

f).    Kerjasama suami-istri dalam membina rumah tangga dan mendidik anak
Dengan perkawinan, suami istri akan bekerja sama dalam membina rumah tangga dan memikul tanggung jawab.
g).   Menumbuh-kembangkan rasa kebapakan dan keibuan
Dengan perkawinan akan menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang antara kedua pasangan suami istri. Dan dari hati mereka akan terpancar sumber-sumber perasaan dan sentuhan yang mulia. Terang, bahwa di dalam perasaan menyerupai ini terdapat dampak mulia dan hasilnya positif di dalam memelihara anak-anak, mengawasi kemaslahatan mereka, serta berdiri bersama mereka menuju kehidupan yang tenteram dan aman, menyongsong masa depan yang cerah dan mulia.
C.    Tanggung Jawab Orang Tua dalam Mendidik Anak

Pendidikan perlu dilihat sebagai satu proses yang berterusan berkembang serentak dengan perkembangan individu seorang kanak-kanak yang mempelajari apa sahaja yang ada di persekitaran dan dengan ilmu/kemahiran yang diperolehi ia akan mengaplikasikannya dalam konteks yang perbagai samada dalam kehidupan sehariannya di ketika itu ataupun sebagai persediaan untuk kehidupannya di masa yang akan datang. Menurut perspektif Islam, pendidikan anak ialah proses mendidik, mengasuh dan melatih rohani dan jasmani mereka dengan berteraskan nilai baik dan terpuji yang bersumberkan Al-Quran dan al-Sunnah. Tujuannya ialah bagi melahirkan insan rabbani yang beriman, bertakwa dan bersedekah saleh.
Kanak-kanak di peringkat awal umur, mereka tidak sanggup membezakan yang baik dan yangburuk dan perlu dibuat dan dididik semenjak dari awal. Barat dan Islam mempunyai perspektif yang sama dalam hal ini, Apa yang membedakan ialah Islam menekankan pembentukan sahsiah seseorang kanak-kanak bukan hanya kelakuan fisikalnya tetapi pemantapan susila perlu diterapkan seiring dengan penerapan keimanan di dalam ruh dan jiwanya. Kalau sesuatu warta yang diterima oleh seseorang kanak-kanak itu hanya diaras pengetahuan tanpa adanya penyemaian aqidah dan pemantapan akhlak, akhirnya generasi yang dihasilkan mungkin bijaksana dan tinggi tahap perkembangan inteleknya tetapi dari aspek-aspek yang lain ia pincang dan tiada keseimbangannya.
Dalam Islam orang bau tanah mempunyai kewajiban untuk menawarkan pendidikan sesuai dengan fitrahnya, yaitu keimanan kepada Allah Swt. Fitrah merupakan kerangka dasar operasional dari proses penciptaan manusia. Di dalamnya terkandung kekuatan potensial untuk tumbuh dan berkembang secara maksimal dan mengarahkannya untuk mencapai tujuan penciptaannya. Anak ialah amanah Allah yang diberikan kepada setiap orang tua. Anak juga merupakan buah hati, referensi harapan serta pujian keluarga. Anak-anak merupakan generasi mendatang yang mewarnai masa kini dan diharapkan membawa kemajuan di masa mendatang.
Dalam litelatur lain menyampaikan bahwa Anak-anak yang dilahirkan merupakan satu ujian Allah Swt. kepada kita. Sebagaimana yang telah disebutkan oleh Allah Swt. dalam Al-Qur�an surat Al-Anfal ayat 28 yang berbunyi :
???????????? ???????? ????????????? ??????????????? ???????? ??????? ?????? ??????? ?????? ???????) ?????? ? ?? (
Artinya:  Dan Ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.(Qs. Al-Anfal: 28).

Allah Swt. telah menjelaskan kepada kita dalam ayat ini bahawa harta benda dan bawah umur yang kita sayangi ini merupakan satu ujian kepada kita. Jika harta benda yang kita perolehi dengan secara yang halal dan memakai ke jalan yang halal maka beroleh ganjaran yang besar daripada Allah Swt. Dalam ayat ini juga Allah Swt. telah menyebut bawah umur juga merupakan ujian kepada orang yang beriman. Jika bawah umur yang kita didik mengikut teladan Islam, maka kita akan beroleh ganjaran yang besar hasil ketaatan mereka.
Semakin dini pendidikan yang diberikan kepada anak, akan semakin berarti bagi kematangan dan kesiapannya dalam mengikuti keadaan dengan lingkungan yang sedang dan akan dihadapinya. Tentu, training pendidikan semenjak dini yang dimaksud tidak dilakukan begitu saja atau dipaksakan secara cepat kepada anak. Pembekalan harus disampaikan dengan penuh kasih sayang, rasa hormat, menyenangkan, penuh kesabaran, ketekunan, serta penuh keuletan. Selain itu harus pula diubahsuaikan dengan tahap-tahap perkembangan anak sehingga segala perlakuan, cara atau pendekatan yang diterapkan tidak membuat anak stress dan frustasi, merenggut keceriaannya atau mengekang mulut dan dinamikanya.
Anak merupakan periode subur bagi perkembangan otak. Segala stimulasi akan merangsang otaknya. Bahkan setelah mengikuti perkembangan anak-anak, Manrique melihat nilai kecerdasan anak yang mendapatkan stimulasi sehingga enam tahun terus semakin kuat, sehingga semakin melebar kesenjangan kecerdasannya dibandingkan teman-teman sebayanya[17]. Oleh lantaran itu otak anak perlu mendapatkan rangsangan dari lingkungannya.
Lebih lanjut Ali Nugraha dan Neny Ratnawati menjelaskan bahwa:
Segala stimulasi membuat percabangan otak anak menjadi lebih banyak sehingga tempat kortikal otak lebih tebal. Akibatnya, anak menjadi lebih terampil, perkembangan bahasanya cepat dan koordinasi inderanya lebih baik. Sebaliknya otak yang atau tidak pernah dipakai lantaran tidak mendapatkan stimulasi akan menimbulkan musnah nya sambungan dan percabangan itu.[18]
Demikian penting dan fundamentalnya usia dini pada seorang individu sehingga ada yang mengistilahkan usia ini sebagai �usia emas� (the golden years). Tidak ada masa yang lebih potensial untuk menumbuhkan, menyebarkan dan mencar ilmu anak, selain dimulai semenjak usia dini, khususnya di usia balita.
Interaksi pendidikan sanggup berlangsung dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Keluarga ialah sebagai lingkungan pertama dan utama[19]. Sebab, dalam lingkungan inilah pertama-tama anak mendapatkan pendidikan, bimbingan, asuhan, adaptasi dan latihan. Keluarga bukan hanya menjadi tempat anak dipelihara dan dibesarkan, tetapi juga tempat anak hidup dan dididik pertama kali. Orang bau tanah harus memahami perkembangan dan cara mencar ilmu anak. Semakin optimal dan luas orang bau tanah menyebarkan otak anak, akan membuatnya semakin tertantang untuk mencar ilmu dan mencari pengalaman baru. Dengan demikian sikap dan sikap orang bau tanah sangat menentukan perubahan pada sikap dan sikap anak�.[20] Anak mencar ilmu secara alami dan perlahan dari orang yang berinteraksi dengannya. Anak sama halnya dengan orang dewasa, ia tidak akan berkembang secara leluasa jikalau ia berada di bawah tekanan pihak lain. Di sinilah kiprah orang bau tanah sangat dibutuhkan, yaitu bagaimana orang bau tanah memotivasi dan memacu potensi anaknya semoga ia tidak menjadi rendah diri dan sanggup berkembang baik lantaran mereka mempunyai potensi untuk sanggup berubah menjadi anak yang cerdas dan kreatif.
Nilai budaya yang terjadi dalam keluarga mempunyai kiprah yang sangat besar, sehingga keluarga atau komunitas sangat perlu untuk membuat lingkungan yang aman sehingga sanggup menawarkan pengalaman mencar ilmu yang bermakna bagi anak. Tentu dengan mempertimbangkan bahwa pengalaman-pengalaman yang dikembangkan itu memang nyata dandiperlukan bagi kehidupan anak ketika itu dan dikemudian hari. �Apa yang diperolehnya dalam keluarga, akan menjadi dasar dan dikembangkan pada kehidupan selanjutnya�.[21]
Lebih lanjut Nana Syaodih Sukmadinata  menjelaskan bahwa:
Dalam hal ini orang bau tanah yang berperan sebagai pendidik dalam keluarga, walaupun tidak ada kurikulum khusus yang tertulis yang mereka buat atau ikuti dengan berpegang pada impian dan keyakinan yang dianutnya sebagai rencana pendidikan dan kasih sayang sebagai dasar perbuatan mendidik, para orang bau tanah melaksanakan upaya-upaya dan tindakan pendidikan.[22]

Dalam kerangka penciptaan lingkungan keluarga yang menawarkan nilai edukatif bagi anak, orang bau tanah perlu mempunyai pengetahuan wacana perkembangan anak. Dengan memahami karakteristiknya, orang bau tanah akan sanggup menangkap segala arahan yang ditampilkan anak melalui perilakunya. Hal tersebut bermanfaat untuk merespon sikap anak sehingga tanggapan yang muncul ialah yang mengandung unsur edukatif. Demikian besar dan menentukannya sikap dan sikap orang bau tanah terhadap pertumbuhan dan perkembangan anaknya, sehingga orang bau tanah hendaknya selalu selektif dalam menentukan serta menyebarkan sikap dan sikap pro-aktif terhadap perkembangan anaknya.
Di dalam pola asuh pro-aktif ini orang bau tanah dituntut untuk berpikir dan berinisiatif melaksanakan tindakan dalam menentukan dan menentukan rangsangan terbaik untuk anaknya, tidak hanya bersifat menunggu dan mendapatkan saja apa yang akan terjadi pada anak. Jelas sudah, bahwa orang bau tanah tak bisa menghindarkan diri sebagai pemikul utama yang bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anaknya. Hal ini ialah kiprah keluarga, forum pra sekolah dan sekolah hanya berperan sebagai partner pembantu. Tugs orang bau tanah ini akan sangat mendukung jikalau bisa membuat suasana rumah menjadi tempat tinggal sekaligus basis pendidikan.               
D.    Hak dan Kewajiban Suami-isteri dan Anak dalam Pendidikan Keluarga       

Dalam Islam, perkawinan dipandang sebagai suatu perbuatan yang luhur dan suci. �Perkawinan bukan hanya perbuatan kesepakatan biasa sebagaimana dikenal dalam perkawinan perdata�[23]lebih dari itu �perkawinan merupakan perbuatan yang mempunyai nilai keakhiratan (falah oriented). Sedangkan aturan melakukannya bergantung pada kondisi subyek hukumnya�[24]. Pada setiap perkawinan, masing-masing pihak (suami dan isteri) dikenakan hak dan kewajiban. Pembagian hak dan kewajiban diubahsuaikan dengan proporsinya masing-masing. Bagi pihak yang dikenakan kewajiban lebih besar berarti ia akan mendapatkan hak yang lebih besar pula.[25]Sesuai dengan fungsi dan perannya.[26]
Selanjutnya mengenai hak dan kewajiban suami isteri, Al-Qur�an telah secara rinci menawarkan ketentuan-ketentuannya. Ketentuan-ketentuan tersebut diklasifikasi menjadi: Pertama, ketentuan mengenai hak dan kewajiban bersama antara suami isteri. Kedua, ketentuan mengenai kewajiban suami yang menjadi hak isteri. Ketiga, ketentuan mengenai kewajiban isteri yang menjadi hak suami.
�Secara teoretik, untuk menetapkan suatu aturan dalam Islam harus merujuk kepada al-Qur�an dan sunnah Nabi sebagai sumber primer�[27]. Al-Qur�an dipakai sebagai petunjuk aturan dalam suatu duduk kasus kalau terdapat ketentuan simpel di dalamnya. Namun apabila tidak ditemukan, maka selanjutnya merujuk kepada sunnah Nabi. Sementara itu terkait dengan ketentuan simpel mengenai hak dan kewajiban antara suami dan steri, banyak ditemukan dalilnya dalam al-Qur�an. Dalil-dalil tersebut mencakup hak dan kewajiban bersama antara suami dan isteri, kewajiban suami terhadap isteri, kewajiban isteri terhadap suami.
Al-Qur�an tidak menentukan secara khusus wacana hak dan kewajiban bersama suami isteri sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 228 sebagai berikut:
????????????????? ????????????? ?????????????? ????????? ???????? ????? ??????? ??????? ??? ?????????? ??? ?????? ?????? ??? ?????????????? ??? ????? ????????? ???????? ??????????? ??????? ???????????????? ??????? ???????????? ??? ?????? ???? ?????????? ?????????? ????????? ?????? ??????? ??????????? ?????????????? ????????????? ??????????? ???????? ???????? ??????? ???????) ??????: ???(
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' . Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jikalau mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jikalau mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya berdasarkan cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya . Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(Qs. Al-Baqarah: 228).

Ayat Al-Qur�an tersebut di atas, diperoleh ketentuan hak dan kewajiban suami isteri sebagai berikut: �Pertama, bergaul dengan baik sesama pasangan. Kedua, ada jaminan hak sesuai dengan kewajiban. Ketiga, halal bergaul antara suami isteri, dan masing-masing sanggup bersenang-senang satu sama lain[28].
Sedangkan katentuan yang bekerjasama dengan kewajiban suami terhadap isteri dalam keluarga dijelaskan dalam firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 24 sebagai berikut:
???????????????? ???? ????????? ?????? ??? ???????? ????????????? ??????? ?????? ?????????? ????????? ????? ???? ?????? ???????? ??? ??????????? ?????????????? ???????????? ?????? ???????????? ????? ?????????????? ???? ????????? ??????????? ???????????? ????????? ????? ??????? ?????????? ?????? ???????????? ???? ??? ?????? ???????????? ????? ?????? ????? ???????? ????????) ??????: ??(
Artinya:  dan (diharamkan juga kau mengawini) perempuan yang bersuami, kecuali budak-budak yang kau miliki (Allah telah menetapkan aturan itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kau selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kau ni'mati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban. dan tiadalah mengapa bagi kau terhadap sesuatu yang kau telah saling merelakannya, setelah menentukan mahar itu . Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.(Qs. An-Nisa:24).

Ayat ini menjelaskan wacana kewajiban suami membayar kepada isterinya. Suami dihentikan meminta mahar (pada hari-hari berikutnya) dengan jalan paksa, namun apabila isterinya menawarkan dengan sukarela, maka suami dibenarkan untuk mengambilnya. Mahar untuk selanjutnya menjadi hak penuh isteri apabila telah dicampuri.
Dalam Ensiklopedi Wanita Muslimah disebutkan bahwa susila isteri terhadap suami yaitu meliputi:
Pertama, wajib mentaati suami, selama bukan untuk bermaksiat kepada Allah. Kedua,menjaga kehormatan dan harta suami. Ketiga, menjaga kemuliaan dan perasaan suami, yaitu berpenampilan di rumah dengan penampilan yang memikat suami, berbicara dengan tutur kata yang ramah dan selalu membuat perasaan suami senang dan bahagia. Keempat, melaksanakan hak suami, mengatur rumah dan mendidik anak. Kelima, dihentikan mendapatkan tamu yang tidak disenangi suaminya. Keenam, dihentikan melawan suaminya. Ketujuh, dihentikan membanggakan sesuatu wacana diri dan keluarganya di hadapan suami, baik kekayaan, keturunan maupun kecantikannya. Kedelapan, dihentikan menilai dan menganggap bodoh suaminya. Kesembilan, dihentikan menuduh kesalahan atau mendakwa suaminya, tanpa bukti dan saksi-saksi. Kesepuluh, apabila melepas suami pergi bekerja, lepaslah dengan sikap kasih dan apabila mendapatkan suami pulang kerja, sambutlah kedatangannya dengan muka manis, pakaian higienis dan berhias. Kesebelas, harus pintar mengatur urusan rumah tangga.[29]

Tujuan tersebut tidak akan terwujud manakala tidak ada pembagian tugas-tugas dalam kehidupan rumah tangga. Seperti contohnya semua tugas-tugas yang berkaitan dengan rumah tangga dikerjakan oleh suami atau isteri saja, sementara kemampuan isteri atau suami sangat terbatas. Oleh lantaran itu diharapkan adanya pembagian tugas-tugas yang berbentuk hak dan kewajiban (sebagai langkah preventif), dan masing-masing pihak bertindak atas haknya.



               [1] Jalaluddin, Mempersiapkan Anak Saleh, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 3.

               [2] Ibid., hal. 4.
               [3] Ibid., hal. 4.

               [4]Muhammad Said, Ilmu Pendidikan, (Bandung: Alumni, 1989), hal. 16.

               [5] Ibid.,hal. 17.

               [6] Ibid.,hal. 17.

               [7] Ibid., hal. 20.

               [8]Jalaluddin, Mempersiapkan...., hal. 17.
               [9] Ibid., hal. 17.

               [10] Ibid., hal. 21.
               [11] Ibid., hal. 21.

               [12] Ibid.,
               [13]Sutari Imam Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis, (Yogyakarta: Dudi Offset, 1987), hal. 27.
               [14] L. Crow & A. Crow, Psychologi Pendidikan, (Yogyakarta: Nurcahaya,, 1989), hal. 41.
               [15]Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyat al-Aulad fi al-Islam, diterjemahkan oleh : Drs. Jamaluddin Miri, Lc dengan judul Pendidikan Anak dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hal. 3-7.
               [16] Abu Abdillah Bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Daral-Fikr, t.th), hal. 4677.
               [17] Ali Nugraha dan Neny Ratnawati, Kiat-Kiat Merangsang Kecerdasan Anak, (Panduan Agar Anak Komunikatif dan Berfikir Kreatif), Cet.1,  (Jakarta: Puspa Swara, 2003), hal. 3.

               [18] Ibid., hal. 3.

               [19]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Rosda Karya, 2001), hal. 155.

               [20] Ibid., hal. 4.

               [21]Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Cet.1, (Bandung: Rosda Karya, 2003), hal. 6.

               [22] Ibid., hal. 7.
               [23]Subekti, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ed. Revisi, Cet. XXXIV, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2004), hal. 8.
               [24]Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami dan Isteri (Hukum Perkawinan I) Dilengkapi Dengan Perbandingan UU Negara Muslim, (Yogyakarta: Academia+Tazzafa, 2004), hal. 241.

               [25]Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Cet. I, (Bandung: Mandar Maju, 1990), hal. 115-116.

               [26] Ibid., hal. 115.

               [27] Munawar Khalil, Biography Empat Serangkai Imam Mazhab (Hanafy, Maliky, Syafi�iy, Hanbaly), Cet. III (Jakarta: Bulan Bindang, 1977), hal. 295-296.
               [28]Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi...., hal. 53.
               [29]Ummu Hanin, Ensiklopedi Wanita Muslimah, alih bahasa oleh Amir Hamzah Fahrudin, Cet. XII, (Jakarta: Darul Falah, 2006), hal. 126-127.

Related : Hubungan Menentukan Jodoh Dengan Pendidikan Anak

0 Komentar untuk "Hubungan Menentukan Jodoh Dengan Pendidikan Anak"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)
close
close