Segala puji cuma milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wassallam, keluarga, dan para sahabatnya, serta pengikutnya yang senantiasa setia dan Istiqomah.
Hal-Hal Yang Dilarang Bagi Yang Melakukan Ihram diantaranya yakni:
- Mencukur rambut
Seseorang yang melaksanakan ihram tidak boleh mencukur rambutnya meskipun sedikit, begitu pula tidak boleh mengguntingnya. Hal ini menurut firman Allah subhanahu wata 'ala :
وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ
“Dan jangan kau mencukur kepalamu, sebelum korban hingga di wilayah penyembelihannya” (Qs. Al Baqarah : 196)
Begitu juga tidak boleh mencukur dan menggunting rambut-rambut lain yang ada pada anggota tubuhnya. Begitu juga tidak boleh memotong kuku meskipun cuma sedikit, lantaran itu tergolong menetralisir belahan dari anggota tubuhnya dan itu dilarang, sebagaimana menetralisir rambut.
Barang siapa yang terpaksa mencukur rambutnya atau memotong kukunya, maka hal itu dibolehkan, namun dia mesti mengeluarkan duit fidyah, sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh Ka’ab bin ‘Ajrah dari Rasulullah sholallahu 'alaihi wassalam bahwanya dia bersabda kepadanya :
كَأَنَّ هَوَامَّ رَأْسِكَ تُؤْذِيكَ فَقُلْتُ أَجَلْ قَالَ فَاحْلِقْهُ وَاذْبَحْ شَاةً أَوْ صُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ أَوْ تَصَدَّقْ بِثَلَاثَةِ آصُعٍ مِنْ تَمْرٍ بَيْنَ سِتَّةِ مَسَاكِينَ.
"Sepertinya kutu pada rambut kepalamu sudah melukaimu."Saya menjawab, "Benar" Beliau kemudian bersabda: "Cukurlah rambutmu. Kemudian sembelihlah seekor kambing, atau kau berpuasa tiga hari, atau bederma sebanyak tiga sha' kurma untuk dibagikan terhadap enam orang miskin." (HR. Muslim, Ahmad dan Abu Daud)
Jika dia mencukur rambutnya tanpa ada udzur, maka wajib baginya mengeluarkan duit fidyah secara sempurna, dan dia terkena dosa. Jika dia cuma mencabut satu atau dua helai rambut, atau memotong satu atau dua kuku, maka mesti dilarang, dan dia wajib bederma dengan beberapa dirham, atau kuliner sebanyak itu, dan belum wajib mengeluarkan duit fidyah.
Orang yang sedang melaksanakan ihram tidak dihentikan untuk menyisir rambut dan jenggotnya, namun caranya mesti pelan-pelan. Jika ada rambut yang terjatuh, maka tidaklah mengapa. Dan dia boleh juga untuk menggaruk kepalanya, kalau hal itu dibutuhkan. Begitu juga dibolehkan baginya untuk menyuci rambutnya.
- Menutup Kepala
Seseorang yang sedang melaksanakan ihram tidak dibolehkan menutup kepalanya. Hal ini menurut hadist Ibnu Abbas tentang orang yang mati dalam kondisi berihram :
اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَكَفِّنُوهُ فِي ثَوْبَيْهِ وَلَا تُخَمِّرُوا رَأْسَهُ فَإِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مُلَبِّيًا
"Mandikanlah ia dengan air yang diaduk dengan daun bidara, kemudian kafani dengan kedua kain ihramnya, dan jangan tutupi kepalanya, lantaran Allah akan membangkitkannya kelak di hari simpulan zaman dalam kondisi membaca Talbiyah (sedang menjalankan haji)." (HR Bukhari dan Muslim )
Tetapi dia tidak dihentikan untuk berteduh di bawah payung atau di dalam kendaraan beroda empat atau yang lainnya. Hal ini menurut hadist yang diriwayatkan Ummu Hushain :
عَنْ أُمِّ الْحُصَيْنِ جَدَّتِهِ قَالَتْ حَجَجْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَجَّةَ الْوَدَاعِ فَرَأَيْتُ أُسَامَةَ وَبِلَالًا وَأَحَدُهُمَا آخِذٌ بِخِطَامِ نَاقَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْآخَرُ رَافِعٌ ثَوْبَهُ يَسْتُرُهُ مِنْ الْحَرِّ حَتَّى رَمَى جَمْرَةَ الْعَقَبَةِ
“Dari Ummu Hushain neneknya, ia berkata; Aku ikut menunaikan haji berbarengan dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di saat haji wada'. Aku menyaksikan Bilal dan Usamah; yang satu memegang tali Unta Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, dan yang satu lagi memayungi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dengan bajunya dari sengatan terik matahari hingga dia selesai melempar Jamrah Aqabah” (HR. Muslim)
Begitu juga, dia tidak dihentikan untuk menenteng sesuatu yang ditaruh di atas kepalanya, kalau memang tidak dimaksudkan untuk menutupinya.
Begitu juga, dia tidak dihentikan untuk berteduh di rumah atau di dalam tenda atau di bawah pohon atau yang sejenisnya.
Begitu juga, dia tidak dihentikan untuk menutupi wajahnya, menyerupai menutupi parasnya dengan kain atau sejenisnya.
- Memakai Pakaian Yang Berjahit
Tidak dibolehkan bagi yang sedang melaksanakan ihram untuk memakai sesuatu yang berjahit dan dipakaikan di salah satu anggota badannya, seperti celana, baju, baju kurung dan sejenisnya. Tetapi dia tidak dihentikan memakai sesuatu yang berjahit dan tidak membentuk salah satu anggota tubuh. Hal ini menurut hadist Ibnu Umar :
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَلْبَسُ الْمُحْرِمُ مِنْ الثِّيَابِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَلْبَسُوا الْقُمُصَ وَلَا الْعَمَائِمَ وَلَا السَّرَاوِيلَاتِ وَلَا الْبَرَانِسَ وَلَا الْخِفَافَ
“Dari Ibnu Umar radliallahu 'anhuma, bahwa seorang pria mengajukan pertanyaan terhadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tentang busana Ihram. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun menjawab: "Tidak boleh pakai kemeja, serban, celana, peci dan sepatu. ( HR Bukhari dan Muslim )
Jika dia memakai sesuatu yang berjahit, maka wajib baginya mengeluarkan duit fidyah, kecuali kalau dia memakainya dengan cara tidak dipakainya sebagaimana biasanya, menyerupai melilitkan busana panjang atau baju di tubuhnya, lantaran menyerupai ini tidak dikatagorikan memakai baju.
Ada beberapa pengecualian dari larangan di atas, yakni orang yang tidak mendapat sarung ( kain ihram belahan bawah , maka tidak mengapa dia memakai celana. Dan barang siapa yang tidak mendapat sandal, maka tidak mengapa dia memakai khuf, yakni sandal yang menutup mata kaki. Hal ini menurut hadist Ibnu Abbas :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ لَمْ يَجِدْ إِزَارًا فَلْيَلْبَسْ سَرَاوِيلَ وَمَنْ لَمْ يَجِدْ نَعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ خُفَّيْنِعَنْ
“Dari Ibnu Abbas dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dia bersabda: "Barangsiapa tidak mendapat sarung (ketika berihram), hendaknya ia mengenakan celana panjang, dan siapa yang tidak mendapat sandal, hendaknya ia mengenakan sepatu." ( Bukhari dan Muslim )
Bagi siapa yang mendapat udzur, maka tidak ada keharusan fidyah baginya. Hukum ini berlainan dengan aturan bagi orang yang mencukur rambut lantaran udzur. Perbedaan antara keduanya yakni bahwa mencukur merupakan sesuatu pekerjaan yang menetralisir rambut, adapun dalam urusan ini, cuma memakai sesuatu saja. Oleh akibatnya bagi yang mencukur rambut lantaran udzur, wajib mengeluarkan duit fidyah, sedang yang memakai busana yang berjahit lantaran udzur, tidaklah wajib baginya mengeluarkan duit fidyah.
Jika dia memakai pakain ihram: belahan bawah dan atas yang tidak berkancing atau tidak terdapat penitinya, sebagaimana yang dibilang Ibnu Umar : “ Jangan anda menggulungkan sesuatu sedang anda dalam kondisi ihram “, maka tidak urusan jahitan yang ada di dalamnya sebagaimana sudah diterangkan akan arti busana yang berjahit, begitu pula dia boleh memakai ikat pinggang.
Dibolehkan baginya untuk mencuci kain ihramnya dan menggantikannya, kalau dia mengharapkan hal itu lantaran ada kotoran yang menempelnya atau lantaran alasannya lain.
Adapun untuk perempuan, dibolehkan baginya untuk memakai busana berjahit yang disukainya. Tidak ada warna khusus dari busana yang dipakainya. Hanya saja dia tidak memakai cadar, tergolong di dalamnya epilog kepala, begitu pula tidak boleh memakai sarung tangan. Hal ini menurut hadist :
وَلَا تَنْتَقِبْ الْمَرْأَةُ الْحَرَامُ وَلَا تَلْبَسْ الْقُفَّازَيْنِ
“Dan jangan seorang perempuan muhrim memakai kain epilog mukanya (cadarnya) dan jangan pula memakai sapu tangan."
Begitu juga, dia tidak boleh menutup parasnya , kecuali dalam kondisi dibutuhkan, menyerupai udara yang panas, atau adanya pria yang bukan muhrimnya, hal ini menurut perkataan Aisyah ra :
كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ وَنَحْنُ مُحَرِّمَاتُ إِذَا دَنَا مِنَّا الرُكْبَانُ سَدَلَتْ إِحْدَانَا جِلْبَابَهَا عَلَى وَجْهِهَا – أوْ قَالَتْ خِمَارَهَا عَلَى وَجْهِهَا – فَإذَا بَعِدُوا كَشَفْنَا
“Kami berbarengan nabi saw sedangkan kami dalam kondisi berihram, apabila orang-orang yang berkendara melalui kami, diantara kami ada yang menutupkan jilbabnya hingga ke parasnya – atau berkata: menututup kepala hingga menutupi parasnya – dan apabila mereka (para mengendara) sudah jauh kami membukanya kembali” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah)
- Memakai Wewangian
Seseorang yang sudah bertujuan ihram dihentikan memakai parfum di belahan tubuhnya atau di pakaiannya menurut hadist Ibnu Abbas :
وَلَا تُمِسُّوهُ طِيبًا
“Janganlah diberi wewangian”
Maka parfum tersebut dihentikan dipakai di tubuh dan pakaiannya, begitu pula dihentikan untuk dijadikan di dalam makanannya menyerupai za’faran, begitu pula tidak boleh sengaja menghirup wewangian tersebut.
Adapun minyak cream dan sabun serta apa-apa yang dipakai untuk menyuci rambut (shampoo), boleh dipakainya, meskipun baunya harum, selama tidak dimaksudkan untuk wewangian, menyerupai lux dan nieva. Sebaliknya minyak cream, sabun dan shampoo yang dimaksudkan untuk wewangian, maka hal itu dilarang.
Yang jelas, kalau ihramnya dijaga dari hal-hal menyerupai itu pastinya akan lebih sempurna. Jika dia ragu terhadap sesuatu yang harum apakah tergolong dalam katagori parfum atau tidak, maka lebih baik dia tidak menggunakannya selaku bentuk wara’ untuk menjaga ihramnya. Walaupun intinya hal itu tidak diharamkan.
Tidak dihentikan juga sesuatu yang mempunyai wangi harum, selama itu bukan wangi-wangian, seperti daun ni’na’ dan buah-buahan atau sejenisnya. Begitu juga tidak dihentikan untuk mencuci rambutnya dan memandikan kepalanya, serta menetralisir wangi atau kotoran dengan mandi atau sejenisnya.
- Melamar dan Melakukan Akad Nikah
Seseorang yang sedang melaksanakan ihram, tidak dibolehkan untuk menikah atau menikahkan orang, ataupun melamar, menurut riwayat Muslim dari Utsman bahwa nabi saw bersabda :
وَسَلَّمَ لَا يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلَا يُنْكَحُ وَلَا يَخْطُبُ
"Orang yang sedang berihram tidak diperbolehkan untuk menikahkan, dinikahkan dan meminang."
Begitu juga, tidak boleh menjadi wakil di dalam menikah. Jika dia melaksanakan pernikahan, maka nikahnya batal dan tidak sah, namun tidak wajib mengeluarkan duit fidyah. Inilah satu-satu larangan dalam ihram, kalau dilanggar tidak diwajibkan mengeluarkan duit fidyah.
Tetapi seorang suami tidak dihentikan untuk rujuk pada istrinya, lantaran istri yang dicerai dengan thalaq raj’I statusnya masih istrinya. Maka rujuk terhadap istrinya dikatagorikan menjaga istri, bukan melaksanakan akad.
- Jima’ (Melakukan Hubungan Seks)
Seseorang yang sedang ihram dihentikan untuk menggauli istrinya, hal ini menurut firman Allah subhaahu wata'ala :
فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ
“Barang-siapa yang menentukan niatnya dalam bulan itu akan menger-jakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa menjalankan haji. (QS. Al Baqarah: 197)
Ibnu Abbas berkata dalam menafsiri ayat dia atas : “Ar-Rafats yakni jima’ (melakukan korelasi seks)
Barang siapa yang melaksanakan korelasi seks dengan istrinya sebelum tahallul pertama, maka akan terkena lima ragu-ragu :
- Rusaknya ibadah haji
- Wajib menyempurnakan haji, meskipun sudah dinyatakan rusak
- Wajib menggantikannya (mengqadha’) pada tahun depan
- Harus dipisah dengan pasangannya dan tidak boleh berkumpul dengannya dalam satu tenda dan tidak boleh bersamanya di dalam kendaran
- Menyembelih unta
Jika sudah tiba tahun depan, maka kau dan istrimu mesti haji lagi, masing-masing mesti menyembelih kurban, kalau kalian berdua hingga pada wilayah di mana kalian melaksanakan korelasi badan, maka kalian berdua mesti berpisah hingga kalian melaksanakan tahalul.”
Adapun keharusan menyembelih unta dasarnya yakni apa yang sudah ditetapkan oleh para sahabat, menyerupai Ibnu Abbas.
Adapun yang melaksanakan korelasi seks sesudah tahallul pertama, maka hajinya tetap sah, dan diwajibkan bagi keduanya untuk menyembelih unta, sebagaimana perkataan Ibnu Abbas terhadap seorang pria yang menggauli istrinya sebelum thowaf Ifadhah (yaitu thowaf pada hari penyembelihan), mereka berdua mesti menyembelih unta dan bagi keduanya tidak usah mengambil alih hajinya tahun depan.
Adapun yang melaksanakan korelasi seks dalam ibadah umrah sebelum thowaf, maka rusaklah umrahnya, dan dia wajib mengambil alih umrahnya tersebut serta menyembelih kambing.
- Muqaddimah Jima’
Seseorang yang sedang melaksanakan ihram dihentikan juga untuk melaksanakan muqaddimah jima’, lantaran larangan untuk melaksanakan korelasi seks bermakna juga larangan untuk menjalankan fasilitas yang mengirimkan kepada korelasi seks, sedang orang yang sedang berihram dihentikan untuk melampiaskan syahwatnya.
Jika dia melaksanakan sesuatu dari muqaddimah jima’, menyerupai menjamah ( tubuh pasangannya ) kemudian keluar air maninya, atau mencium atau bercumbu dengannya tanpa ada korelasi seks, kemudian keluar air maninya, maka dia wajib menyembelih unta, lantaran yang dikerjakannya merupakan muqaddimah jima’. Tetapi hajinya tidak rusak, lantaran tidak melaksanakan korelasi seks.
Jika dia melihatnya terus dan keluar air maninya, atau melaksanakan onani, maka wajib menyembelih unta, hal itu diriwayatkan dari Ibnu Abbas. Dan kalau tidak keluar mani, maka wajib menyembelih kambing.
Jika dia tidur dan berimajinasi basah, atau termenung kemudian keluar air mani, maka tidak ada denda baginya, cuma saja hendaknya dia menjaga matanya dan menimbang-nimbang hal-hal yang berharga saja.
- Membunuh Binatang Buruan Yang di Darat
Seseorang yang sedang melaksanakan ihram dihentikan untuk berburu hewan darat yang halal dimakan, menurut firman Allah swt :
وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا
“Dan diharamkan atasmu (menangkap) hewan buruan darat, selama kau dalam ihram” )QS. Al Ma’idah : 96)
Dia dihentikan juga menolong atau menyediakan orang yang sedang berburu, lantaran dia juga mesti ikut menanggung. Firman Allah swt :
وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ
“Barangsiapa di antara kau membunuhnya dengan sengaja, Maka dendanya merupakan mengubah dengan hewan ternak sebanding dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kau (QS. Al Ma’idah : 95)
Hal itu menandakan bahwa seseorang yang sedang melaksanakan ihram tidak boleh melaksanakan sesuatu yang disebut di atas.
Sebagaimana ia dihentikan untuk berburu, maka dia dihentikan untuk mengambil telur hewan buruan.
Diharamkan juga baginya untuk mengkonsumsi hasil buruannya, atau yang dia tunjukkan dari hewan buruan tersebut, atau hewan buruan yang dikejar untuknya. Hal ini menurut hadist Jabir :
عنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ صَيْدُ الْبَرِّ لَكُمْ حَلَالٌ مَا لَمْ تَصِيدُوهُ أَوْ يُصَدْ لَكُمْ
“Dari Jabir bin Abdullah radliallahu 'anhu berkata: saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Hewan buruan darat yakni halal bagi kalian selama kalian bukan yang berburu atau tidak dikejar untuk kalian." (HR. Abu Daud dan Nasa’i)
Tetapi dia tidak dihentikan untuk berburu hewan yang hidup di laut, sungai, mata air, danau menurut firman Allah :
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ
“Dihalalkan bagimu hewan buruan bahari dan kuliner (yang berasal) dari laut selaku kuliner yang enak bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan” (QS. Al Ma’idah : 96)
Kecuali kalau berada di Haram, maka dia dihentikan lantaran sedang berada di area Haram, bukan lantaran sedang ihram.
Inilah hal-hal yang dihentikan bagi yang sedang melaksanakan ihram sesuai dengan dalil-dalil yang ada, maka disamping itu tidak dilarang.
Maka orang yang sedang ihram tidak dihentikan untuk mandi kalau hal itu dibutuhkannya, atau mengubah pakaiannya.
Begitu juga tidak dihentikan untu bercermin, atau memakai alat-alat pembersih atau aneka macam jenis shampoo yang tidak dicampuri dengan wangi-wangian. Begitu juga tidak dihentikan untuk melaksanakan transaksi perdagangan untuk bisnis. Ini sesuai dengan firman Allah :
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ
"Supaya mereka menyaksikan aneka macam faedah bagi mereka dan agar mereka menyebut nama Allah pada hari yang sudah diputuskan atas rezki yang Allah sudah berikan terhadap mereka berupa hewan ternak” (QS. Al Hajj : 28)
Selayaknya bagi orang yang sedang melaksanakan ihram untuk menjauhi dari semua jenis maksiat, sebagaimana firman Allah subanahu wata'ala :
الْحَجُّ أَشْهُرُ مَّعْلُومَاتُ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ
“(Musim) haji yakni beberapa bulan yang dimaklumi, barang-siapa yang menentukan niatnya dalam bulan itu akan menger-jakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa menjalankan haji. (QS. Al Baqarah : 197)
Maksiat sebagaimana diharamkan pada setiap keadaan, maka pada waktu ibadah haji pastinya larangannya lebih besar, mudah-mudahan seseorang sungguh-sungguh tepat menghadap Allah di dalam melakasanakan ibadah yang wajib ini dan sanggup memperbaiki ibadah kepada-Nya. Oleh karenanya, tersebut di dalam hadits :
عن أَبَي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata; Aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa melaksanakan hajji kemudian dia tidak berkata -kata kotor dan tidak berbuat fasik maka dia kembali menyerupai hari di saat dilahirkan oleh ibunya". (HR Bukhari dan Muslim )
Begitu juga diusulkan untuk menyingkir dari percekcokan dengan orang lain, dan menjauhi dari perkataan jorok. Selain itu, hendaknya dia juga menyingkir dari debat kusir di saat mengatakan tentang haji, perdebatan yang dasarnya cuma ingin menangnya sendiri tanpa ada prospek untuk mengikuti kebenaran dan belajar.
Haji mabrur yang cocok yakni menyingkir dari perkataan yang tidak ada manfaatnya, serta menjauhi hal-hal yang sanggup membuat kesalahan. Oleh lantaran itu, kita dapatkan sebagian salaf kalau sedang melaksanakan ihram, mereka menyerupai ular yang bisu, lantaran meninggalkan dialog dan banyak bicara.
Allah subhanahu wata'ala mensyariatkan bagi setiap yang melaksanakan ibadah haji, untuk memakai baju ihram dan menyingkir dari dari larangan-larangan yang gotong royong bukan sekedar larangan saja, namun mempunyai makna lain, yakni bahwa seorang yang sedang melaksanakan ibadah haji di saat dia meninggalkan tanah airnya, meninggalkan segala kesibukannya, menjauh dari keluarganya, dan menanggung beban dan rasa capai, maka hal itu akan lebih tepat kalau dia melepaskan seluruh busana dan embel-embel serta meninggalkan seluruh urusan dunia dengan segala tetek bengek dan kesenangan di dalamnya,
Dia tidak pernah lepas dari mengucapkan dzikir dan talbiyah, mengumandangkan tauhid terhadap Allah, menyambut panggilan-Nya serta terus berada di dalam ketaatan-Nya, dengan mengunjungi rumah yang mulia (Ka’bah) seraya mengikuti jejak nabi yang mulia dengan kepala terbuka, rambut terurai, siap menghadapi segala tantangan dengan kondisi tetap merasa bahagia dan bangga lantaran Allah sudah memilihnya untuk sanggup melaksanakan ibadah ini, dan bergabung dengan rombongan lain seraya merendahkan diri di hadapan Allah dengan sarat rasa khusu’ dan beribadah kepada-Nya, bertaubat, menuju terhadap Allah dengan sarat pengharapan.
Inilah ibadah yang sungguh agung yang dilakukan oleh seorang muslim dan dengannya hatinya akan menjadi baik, jiwanya akan menjadi tinggi, dan dia akan meninggalkan segala kesalahan serta menjalankan segala kebaikan.
Dia tidak pernah lepas dari mengucapkan dzikir dan talbiyah, mengumandangkan tauhid terhadap Allah, menyambut panggilan-Nya serta terus berada di dalam ketaatan-Nya, dengan mengunjungi rumah yang mulia (Ka’bah) seraya mengikuti jejak nabi yang mulia dengan kepala terbuka, rambut terurai, siap menghadapi segala tantangan dengan kondisi tetap merasa bahagia dan bangga lantaran Allah sudah memilihnya untuk sanggup melaksanakan ibadah ini, dan bergabung dengan rombongan lain seraya merendahkan diri di hadapan Allah dengan sarat rasa khusu’ dan beribadah kepada-Nya, bertaubat, menuju terhadap Allah dengan sarat pengharapan.
Inilah ibadah yang sungguh agung yang dilakukan oleh seorang muslim dan dengannya hatinya akan menjadi baik, jiwanya akan menjadi tinggi, dan dia akan meninggalkan segala kesalahan serta menjalankan segala kebaikan.
0 Komentar untuk "Hal-Hal Yang Tidak Boleh Bagi Yang Melakukan Ihram"