الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
ALHAMDULILLAAHI ROBBIL ‘AALAMIINA = Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
Alhamdu (segala puji). memuji orang merupakan lantaran perbuatannya yang bagus yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri. Maka memuji Allah berarti, menyanjung-Nya lantaran perbuatannya yang baik.
Lain halnya dengan syukur yang berarti, mengakui kelebihan seseorang terhadap lezat yang diberikannya. Kita menghadapkan segala puji bagi Allah merupakan lantaran Allah sumber dari segala kebaikan yang patut dipuji. [**] Rabb (Tuhan) berarti: Tuhan yang ditaati yang Memiliki, mendidik dan Memelihara.
Lafal Rabb tidak sanggup dipakai selain untuk Tuhan, kecuali kalau ada sambungannya, menyerupai rabbul bait (tuan rumah). 'Alamiin (semesta alam): semua yang diciptakan Tuhan yang berisikan banyak sekali jenis dan macam, seperti: alam manusia, alam hewan, alam tumbuh-tumbuhan, benda-benda mati dan sebagainya. Allah Pencipta semua alam-alam itu.
“ALHAMDULILLAAHI=Segala puji bagi Allah” Lafal ayat ini merupakan kalimat berita, dimaksud selaku perumpamaan kebanggaan terhadap Allah berikut pemahaman yang terkandung di dalamnya, yakni bahwa Allah Ta’ala merupakan yang mempunyai semua kebanggaan yang diungkapkan oleh semua hamba-Nya. Atau makna yang dimaksud merupakan bahwa Allah Ta’ala itu merupakan Zat yang mesti mereka puji. Lafal Allah merupakan nama bagi Zat yang berhak untuk disembah. “ROBBIL ‘AALAMIIN=Tuhan semesta alam” artinya Allah merupakan yang mempunyai kebanggaan semua makhluk-Nya, yakni berisikan manusia, jin, malaikat, hewan-hewan melata dan lain-lainnya. Masing-masing mereka disebut alam.
Oleh karenanya ada alam manusia, alam jin dan lain sebagainya. Lafal 'al-`aalamiin' merupakan bentuk jamak dari lafal '`aalam', yakni dengan memakai abjad ya dan abjad nun untuk menekankan makhluk berakal/berilmu atas yang lainnya. Kata 'aalam berasal dari kata `alaamah (tanda) mengingat ia merupakan tanda bagi adanya yang menciptakannya.
Pujian terhadap Allah itu mesti dengan sifat-sifat yang sempurna. Dia merupakan Zat Yang Maha Terpuji dalam segala hal dan keadaan. Kasih sayang-Nya merupakan karunia-Nya dan azab-Nya merupakan wujud dari keadilan-Nya.
Dia merupakan Tuhan yang mencipta dan memberi rezeki, memelihara semua makhluk secara biasa dan mempertahankan para kekasih-Nya dengan dogma dan ilmu secara khusus. Oleh lantaran itu, Dia berhak untuk dipuji. Dia-lah Zat Yang Mahasempurna dan tidak memerlukan terhadap yang lain, sedangkan selain-Nya akan senantiasa membutuhkan-Nya.
"Apabila seorang hamba membaca (الحمد لله ) AL-HAMDULILLAH "Segala Puji Bagi Allah", maka Allah berfirman, 'Hamba-Ku benar. Al-HAMD (segala puji) merupakan untukku.'" Demikian sabda Nabi shalllahu 'alaihi-wasallam, Hadits Riwayat dari Abu Hurairah dan Abu Sa'id al-Khudri radhiallhu anhuma).
Dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu bahwa Rasulullah shalllallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya Allah akan meridhai seorang hamba jikalau dia mengkonsumsi makanan kemudian dia memuji Allah atas makanan itu, atau meminum minuman kemudian dia memuji-Nya. Al-Hasan al-Bashri radhiallahu 'anhu berkata, "Tidak ada satu lezat pun kecuali ucapan AL-HAMDULILLAH "Segala Puji Bagi Allah" merupakan lebih baik darinya"
Ibnu Majah meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidaklah Allah menganugerahkan suatu lezat terhadap seseorang hamba, kecuali apa yang Allah anugerahkan kepadanya itu menjadi sesuatu yang lebih baik dari apa yang pernah dia ambil".
Dalam kitab Nawadir Al-Ushul tertera riwayat dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Seandainya seluruh dunia berikut perhiasannya berada di tangan seorang laki-laki dari ummatku, kemudian dia menyampaikan AL-HAMDULILLAH "Segala Puji Bagi Allah", tentu ucapan itu akan menjadi sesuatu yang lebih baik ketimbang semua itu." Abu Abdillah berkata, "Makna hadits tersebut merupakan bahwa orang itu sudah diberikan dunia, kemudian--setelah itu--dia diberikan kalimat ini, sehingga dia pun mengucapkannya. Maka, kalimat ini pun menjadi sesuatu yang lebih baik ketimbang dunia seluruhnya. Sebab dunia itu fana, sedangkan kalimat ini merupakan kekal, sehingga ia tergolong amalan abadi lagi baik. Sebagaimana Allah Subhanahu Ta'ala berfirman:
وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلا
Tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shaleh merupakan lebih baik pahalanya di segi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. (QS al-Kahfi [18]: 46).
Ibnu Jarir radhiallahu ‘anhu mengatakan, bahwa makna “ALHAMDULILLAH” merupakan segala syukur hanyalah dipersembahkan terhadap Allah semata, bukan terhadap apa yang disembah selain-Nya, juga bukan terhadap semua makhluk-Nya, lantaran nikmat-Nya yang diberikan terhadap hamba dan makhluk-Nya yang tidak sanggup dijumlah dan tidak terbatas.
Nikmat itu antara lain tersedianya semua fasilitas untuk taat kepada-Nya, kesanggupan semua anggota badan yang diperintahkan untuk melaksanakan keharusan kepada-Nya, dan rezeki yang diberikan terhadap semua makhluk-Nya. Oleh lantaran itu, segala puji sejak permulaan hingga kesannya cuma bagi Allah semata.
Ibnu Jarir radhiallahu ‘anhu juga mengatakan, bahwa ALHAMDULILLAH merupakan kebanggaan yang dipakai Allah untuk memuji diri-Nya, yang mengandung tuntunan terhadap hamba-Nya agar mereka memuji Allah, seperti Allah memerintahkan: “Katakanlah olehmu, ALHAMDULILLAH”.
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu menuturkan, bahwa Umar radhiallahu anhu pernah berkata, “Kami sudah mengetahui makna kalimat: SUBHANALLAH, LAA ILAAHA ILLALLAH, dan ALLAHU AKBAR, maka apakah makna ALHAMDULILLAH itu?” Jawab Ali radhiallahu anhu, “Itu merupakan kalimat yang diseleksi oleh Allah untuk memuji Zat-Nya.”
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu juga mengatakan, bahwa ALHAMDULILLAH merupakan kalimat syukur, maka jikalau seorang hamba mengucapkan ALHAMDULILLAH, Allah menjawab, “Hamba-Ku sudah bersyukur kepada-Ku”.
Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhu menuturkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَفضَلُ الذِّكرِ لآاله الا الله ، وَأَفضَلُ الدُّعاءِ الحَمد لِللّه
“Zikir yang paling utama merupakan LAA ILAAHA ILLALLAH dan doa yang paling utama merupakan ALHAMDULILLAH” (HR Tirmidzi).
Diceritakan dari Ja'far as-Shadiq radhiallahu 'anhu ihwal firman Allah (الحمد لله ) ALHAMDULILLAH=Segala puji bagi Allah. Beliau berkata "Barangsiapa yang memuji Allah dengan sifat-sifat-Nya sebagaimana Dia menyifati Zat-Nya, maka bekerjsama dia sudah memuji-Nya. Sebab ALHAMD itu berisikan abjad HA, MIM dan DAL.
Huruf HA' diambil dari kata wahdaniyah (Esa), abjad MIM diambil dari kata MULK (Kerajaan/Kekuasaan), dan abjad DAL diambil dari kata daimumiyyah (Kekal). Siapa yang mengenali Allah Esa, Kekal, dan (memiliki) Kerajaan/Kekuasaan, maka bekerjsama dia sudah mengenal-Nya. Inilah hakikat ALHAMDULILLAH.
Syaqiq bin Ibrahim berkata ihwal tafsir firman Allah (الحمد لله ) itu ada tiga bentuk. Pertama, jikalau Allah memperlihatkan sesuatu kepadamu, maka engkau tahu siapa yang memberimu. Kedua, hendaknya engkau ridha atas apa yang Allah berikan kepadamu. Ketiga, sepanjang kekuatan-Nya ada dalam tubuhmu, maka janganlah engkau maksiat kepada-Nya. Inilah syarat-syarat pujian.
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu mengatakan, bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Tidak sekali-kali Allah memperlihatkan suatu lezat terhadap seorang hamba, kemudian si hamba mengucapkan: ALHAMDULILLAH, melainkan apa yang diberikan oleh Allah (pahala) lebih afdhal ketimbang apa yang sudah diterimanya” (HR Ibnu Majah).
Ibnu Umar mengatakan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bercerita: “Ada seorang hamba Allah mengucapkan doa: ‘Ya Tuhanku segala puji bagi-Mu sebagaimana yang patut bagi kebesaran Zat-Mu dan kebesaran kekuasaan-Mu’. Kalimat ini menyusahkan bagi kedua Malaikat yang mencacat amal manusia, sehingga kedua Malaikat tidak mengenali bagaimana mencatat (pahala)-nya, maka kedua Malaikat itu naik menghadap terhadap Allah dan berkata, “Ya Tuhan kami, bekerjsama ada seorang hamba mengucapkan kebanggaan yang kami tidak mengenali bagaimana mencatatnya’. Allah mengajukan pertanyaan (Dia Maha Mengetahui apa yang diucapkan oleh hamba-Nya), ‘Apakah yang diucapkan oleh hamba-Ku?’ Jawab kedua Malaikat itu, ‘Ya Tuhanku dia mengucapkan: YAA ROBBI LAKAL-HAMDU KAMAA YANBAGHII LIJALAALI WAJJHIKA WA’AZHIIMI SHULTHONIKA’. Allah berfirman terhadap kedua Malaikat itu, ‘Catatlah sebagaimana yang diucapkannya hingga ia menghadap kepada-Ku, maka Aku yang hendak membalas pahalanya’.” (HR Ibnu Majah).
Allah sengaja mengawali kitab-Nya dengan kalimat ALHAMDULILLAHI ROBBIL-‘AALAMIIN, dengan maksud untuk menuntun hamba-Nya, bahwa sesudah mengucapkan kalimat: “Tiada Tuhan selain Allah”, mesti merasa bahwa segala puja dan puji itu cuma untuk Allah semata. Sebab alif dan lam dalam lafazh Alhamdu memperlihatkan makna yang meliputi segala macam kebanggaan cuma bagi Allah, sebagaimana tersebut dalam suatu hadits: “Ya Allah, cuma milik-Mu-lah segala puji dan cuma milik-Mu-lah semua kerajaan, serta di tangan kekuasaan-Mu-lah semua kebaikan, dan cuma terhadap Engkaulah kembali semua urusan.”
“ROBB” Artinya, ‘Pemilik yang berhak sepenuhnya”. Juga bermakna “majikan, yang memelihara serta menjamin kebaikan dan perbaikan”.
‘AALAMUN: Atinya “Segala sesuatu selain Allah”’ maka Allah merupakan Rabb dari semua alam itu, yang artinya pencipta sekaligus yang memelihara, memperbaiki dan menjamin. Sebagaimana tersebut dalam surah Asy-Syu’ara 23-24:
قَالَ فِرْعَوْنُ وَمَا رَبُّ الْعَالَمِينَ قَالَ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا إِنْ كُنْتُمْ مُوقِنِينَ
“Fir'aun bertanya: "Siapa Tuhan semesta alam itu?" Musa menjawab: "Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya (Itulah Tuhanmu), jikalau kau sekalian (orang-orang) mempercayai-Nya".
“AL-‘AALAM” Itu potongan dari kata Al-‘Alamah (tanda), alasannya keberadaaan alam ini memperlihatkan dan menandakan adanya Allah, Tuhan yang menciptakannya.
Dalam Basmalah terkandung kebanggaan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, antara lain dalam memperlihatkan kedua sifat-Nya, ar-Rahman dan ar-Rahiim. Karena itu, masuk akal jikalau pada ayat ini ditegaskan bahwa segala puji bagi Allah, terlebih lantaran Dia merupakan Pemelihara seluruh alam.
Memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan luapan rasa syukur yang menyanggupi jiwa seorang Mukmin di kala mendengar nama-Nya disebut. Karena, eksistensi seseorang sejak semula di pertunjukan bumi ini tidak lain kecuali limpahan lezat Ilahi yang memanggil rasa syukur dan pujian, Setiap kejapan, setiap saat, dan pada setiap langkah, silih berganti anugerah Allah berduyun-duyun, kemudian menyatu dan tercurah terhadap seluruh makhluk, utamanya manusia. Karena itu, merupakan masuk akal mengawali dengan menemui-Nya dan menuntaskan pun dengan memuji-Nya. Ini juga selaku kaidah utama anutan Islam “Dia Allah. Tiada Tuhan selain Dia. Bagi-Nya saja segala puji sejak permulaan (dalam kehidupan dunia ini) dan di alam abadi nanti” (QS al-Qashash 28: 70). Demikian tulis Sayyid Quthub.
Kata “al-Hamd” berisikan dua abjad alif dan laam (baca Al) bareng dengan hamd. Dua abjad alif dan laam yang menghiasi kata hamd, oleh para spesialis bahasa dinamai al-istighraaq dalam arti meliputi segala sesuatu. Itu sebabnya al-Hamdu Lillaah kerap kali diterjemahkan dengan segala puji bagi Allah.
Hamd atau kebanggaan merupakan ucapan yang ditujukan terhadap yang disanjung atas perilaku atau perbuatannya yang bagus walau ia tidak memberi sesuatu terhadap si pemuji. Di sini bedanya dengan kata syukur yang intinya dipakai untuk mengakui dengan nrimo dan dengan sarat hormat pemberian yang dianugerahkan oleh siapa yang disyukuri itu. Kesyukuran itu bermula dalam hati yang kemudian melahirkan ucapan dan perbuatan.
Ada tiga elemen dalam perbuatan yang mesti dipenuhi oleh yang disanjung sehingga dia masuk akal mendapat pujian: 1) Indah (baik), 2) Dilakukan secara sadar, dan 3) Tidak terpaksa atau dipaksa.
Kata al-Hamdu, dalam surah al-Fatihah ini, ditujukan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini bermakna bahwa Allah dalam segala perbuatan-Nya sudah menyanggupi ketiga elemen yang disebutkan di atas.
Pada kata “Al-Hamdulillah/segala puji bagi Allah”, abjad lam/bagi yang meyertai kata Allah mengandung makna pengkhususan bagi-Nya. Ini bermakna bahwa segala kebanggaan cuma masuk akal dipersembahkan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia disanjung lantaran Dia yang bikin segala sesuatu dan semuanya diciptakan-Nya dengan baik serta dengan sarat “kesadaran”, tanpa paksaan. Kalau demikian, segala perbuatan-Nya terpuji dan segala yang terpuji merupakan perbuatan-Nya juga sehingga masuk akal jikalau kita mengucapkan “Segala puji cuma bagi Allah semata”.
Jika kita memuji seseorang lantaran kekayaannya, yang terlebih dulu mesti disanjung merupakan Allah yang menganugerahkan kepadanya kekayaan. Karena, yang dilakukan insan tidak lain kecuali rekayasa dari materi mentah yang sudah dihamparkan Allah di alam semesta ini.
Hasil-hasil buatan tidak lain cuma rekayasa materi mentah yang diciptakan-Nya itu. Kalau demikian, segala puji dalam bidang ini pun mesti tertuju kepada-Nya. Jika kita memuji kedermawanan seseorang, Allah yang lebih masuk akal kita puji lantaran apa yang disumbangkannya merupakan dari anugerah Allah, bahkan kerelaanya menyumbang merupakan lantaran Allah menggerakkan hatinya untuk itu. Kekuasaan yang dianugerahkan terhadap seseorang demikian itu juga halnya. Secara tegas, al-Qur’an mengutus Nabi shallallahu alaihi wasallam (dan kita semua) untuk berucap:
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Katakanlah: “Ya Allah Pemilik kekuasaan, Engkau menganugerahkan kekuasaan bagi siapa yang Engkau kehendaki, dan mencabut kekuasaan dari siapa yang Engkau kehendaki, Engkau muliakan siapa yang Engkau inginkan dan merendahkan siapa yang Engkau kehendaki. Dalam genggaman kekuasaan-Mu kebajikan. Sesungguhnya Engkau berkuasa atas segala sesuatu” (QS Aali ‘Imraan 3: 26).
Lanjutan ayat ini menyatakan bahwa Allâh Rabb al-‘âlamîn (ربّ العالمين )
Kata Rabb, seakar dengan kata tarbiyah, yakni mengarahkan sesuatu tahap demi tahap menuju kesempurnaan bencana dan fungsinya. Bisa juga ia bermakna memiliki, meskipun usulan pertama lebih baik, terlebih kepemilikan Allah disebut secara tegas pada ayat keempat surah al-Fatihâh.
Ketika kita menyebut kata Allâh, sanggup terbayang dalam pikiran segala sifat-sifat Allâh Subhanahu Wa Ta'ala, baik sifat (fi'il (perbuatan) maupun sifat Zat-Nya, yakni baik yang sanggup berefek terhadap makhluk-Nya maupun tidak. Sifat Allâh ar-Rahmân, ar-Razzâq, dan semacamnya sanggup menjamah makhluk-Nya berupa rahmat dan rezeki, tetapi sifat Zat-Nya menyerupai ulûhiyah (ketuhanan) sama sekali dan sedikitpun tidak sanggup menjamah makhluk-Nya. Ketika menyebut kata Rabb, dalam kandungan makna kata ini terhimpun semua sifat-sifat Allah yang sanggup menjamah makhluk. Pengertian Rubûbiyah (kependidikan atau pemeliharaan) meliputi pemberian rezeki, pengampunan dan kasih sayang; juga amarah, ancaman, siksaan, dan sebagainya. Makna ini akan terasa erat ke benak kita di saat mengancam, bahkan menghantam anak kita, dalam rangka mendidik mereka.
Walaupun sang anak yang dipukul merasa diperlakukan tidak wajar, kelak sesudah cukup umur ia akan sadar bahwa pukulan tersebut merupakan sesuatu yang bagus baginya. Jadi, apa pun bentuk perlakuan Tuhan terhadap makhluk-Nya mesti diyakini bahwa yang demikian itu sama sekali tidak terlepas dari sifat kepemiliharaan dan kependidikan-Nya, walau perlakuan itu dinilai oleh kekurangan kebijaksanaan insan selaku sesuatu yang negatif.
Ini bermakna bahwa ketetapan-Nya yang terlihat oleh kacamata insan selaku negatif, intinya tidak terlepas dari pemeliharaan dan pendidikan-Nya.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala masuk akal dipuja dan disanjung lantaran keindahan kebaikan dan kebenaran yang disandang-Nya. Selanjutnya, Dia dipuja dan disanjung lantaran Rubuubiyah-Nya itu. Bermula dari merealisasikan makhluk, tergolong manusia, dari tiada hingga membimbing mereka untuk meraih tujuan penciptaan hingga memelihara dan memasukkan insan kelak di surga-Nya. Jika ada yang bertanya, "Mengapa kebanggaan mesti dikembalikan atau ditujukan terhadap Allah semata?" Jawabannya merupakan bahwa lantaran Dia Tuhan Pemelihara seluruh alam Sarana pendidikan dan pemeliharaan Allah terhadap insan disiapkan-Nya jauh sebelum wujud di bumi ini, bumi yang terhampar, udara yang segar, langit yang teduh, makanan dan minuman yang tersedia, bahkan nirwana yang hendak dihuninya kelak pun sudah disiapkan oleh-Nya.
Demikian, lezat yang sudah Dia wujudkan sebelum mengharuskan mensyukuri bahkan sebelum yang mesti bersyukur hadir di pertunjukan kehidupan. Tidaklah masuk akal bersikap terhadap Allah Subhanahu Wa Ta'ala menyerupai perilaku anak yang dipukul ayahnya, yakni menggerutu, membangkang, serta tidak menerimanya. Setiap pengucap AL-HAMDULILLAH mesti sadar bahwa segala yang tiba dari Tuhan Yang Maha Esa senantiasa terpuji.
Rabb al-‘Alamiin
Allah Subhanahu Wa Ta’ala bukan saja Rabb/Pemelihara dan Pendidik insan tetapi juga Dia merupakan Rabb al-Aalamiin.
Kata (عالمين ) ‘Aalamiin merupakan bentuk jamak dari kata (عالم ) ‘Aalam. Ia terambil dari akar kata yang serupa dengan ilmu atau alamat (tanda). Setiap jenis makhluk yang mempunyai ciri yang berlainan dengan selainnya, ciri itu menjadi alamat atau tanda baginya. Atau, dia menjadi sarana/alat untuk mengenali wujud sang Pencipta. Dari sini, kata tersebut biasa diketahui dalam arti alam raya atau segala sesuatu selain Allah. Sementara pakar tafsir mengetahui kata alam dalam arti kumpulan sejenis makhluk Allah yang hidup, baik hidup tepat maupun terbatas. Hidup ditandai oleh gerak, rasa, dan tahu.
Ada alam Malaikat, alam manusia, alam binatang, alam tumbuhan, tetapi tidak ada perumpamaan alam kerikil lantaran kerikil tidak punya rasa, tidak bergerak, tidak juga tahu, walau ihwal dirinya sendiri. Pakar-pakar teologi memahaminya dalam arti segala sesuatu selain Allah, tetapi tentunya bukan itu yang dimaksud oleh ayat ini karena, jikalau demikian tentu ayat di atas memakai bentuk jamak. Bukankah jikalau memang makna ‘aalam ada segala sesuatu selain Allah, ia tidak perlu dijamak.
Kalimat (رَبِّ الْعَالَمِينَ) merupakan pemberitahuan lebih lanjut ihwal layaknya segala puji cuma tertuju terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Betapa tidak, Dia merupakan Rabb al-Aalamiin.
Dengan memastikan bahwa Allah merupakan Rabb al-‘Aalamiin, ayat ini menenangkan insan bahwa semuanya sudah disediakan Allah. Tidak ada satu pun keperluan makhluk dalam rangka meraih tujuan hidupnya yang tidak ditawarkan Allah lantaran Dia merupakan Pendidik dan Pemelihara seluruh alam, firman-Nya:
وَآتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لا تُحْصُوهَا
“Dan Dia sudah memperlihatkan kepadamu (keperluan kamu) dari segala apa yang kau mohonkan kepada-Nya. Dan jikalau kau menjumlah lezat Allah, tidaklah sanggup kau menghinggakannya. (QS Ibrahim 14: 34). Dengan demikian, insan sanggup hidup damai dan optimistis menghadapi masa depan, dan ini saja sudah merupakan sesuatu yang sungguh berguna dan mesti disyukuri.
Saat seorang berkata al-ḫamdulillah, dia menyodorkan kebanggaan terhadap Allah dalam kedudukan-Nya selaku Tuhan yang wajib disembah, dan di saat Tuhan Yang Wajib disembah itu disifati dengan Rabb al-‘aalamiin, kebanggaan tersebut berlanjut jawaban kedudukan-Nya selaku Pemelihara dan Pendidik.
ALHAMDULILLAAHI ROBBIL ‘AALAMIIN dalam surah al-Fatihah ini mempunyai dua segi makna. Pertama berupa kebanggaan terhadap Allah dalam bentuk ucapan, dan kedua berupa syukur kepada-Nya dalam bentuk perbuatan. Syukur, sebagaimana dikemukakan sebelum ini, merupakan mengakui dengan nrimo dan sarat hormat lezat yang dianugerahkan oleh yang disyukuri itu, dengan kata-kata maupun dengan perbuatan.
Pujian terhadap Allah dalam bentuk ucapan merupakan anjuran, lebih-lebih di saat mencicipi adanya anugerah Ilahi. Itu sebabnya Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa mengucapkan (الحمد لله) al-ḫamdulillâh dalam kondisi dan suasana apa pun. Pada di saat bangun tidur: (الحمد لله الذي أحيانا بعد أمتنا وإليه النّشور) ALḪAMDULILLAAHIL-LADZIINAA AḪYAANAA BA’DA MAA AMAATANAA WA ILAIHIN-NUSYUUR=Segala puji bagi Allah yang sudah menggugah (membangunkan) kami sesudah mematikan (menidurkan) kami dan kepada-Nyalah kelak kebangkitan.”
Ketika akan tidur Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam membaca: (بسمك اللهم أحيا وأموت لك الحمد قيم السّموات والأرض) BISMIKALLOOHUMMA AḪYAA WA AMUUTU LAKAL-ḪAMDU QOYYIMUS-SAMAAWAATI WAL-ARDHI=Dengan nama-Mu Ya Allah, saya hidup (bangun) dan mati (tidur), segala puji bagi-Mu engkau merupakan Pemelihara langit dan bumi. Antara bangun tidur dan tidur, hidup dia pun di penuhi dengan puji Allah, baik di saat berpakaian, berjalan, makan, minum, bekerja, dan lain-lain.
Apabila seseorang sering mengucapkan al-ḫamdulillâh, dari di saat ke di saat ia senantiasa akan merasa berada dalam curahan rahmat dan kasih sayang Allah. Dia akan merasa bahwa Allah tidak membiarkannya sendiri. Jika kesadaran ini sudah berbekas dalam jiwanya, seandainya sesekali ia menemukan ujian atau mencicipi kepahitan, dia pun akan mengucapkan al-ḫamdulillâh bahkan dia akan berucap: (الحمد لله الذي لا يحمد على مكروهٍ سواه) “ALḪAMDULILLAAHIL-LADZII LAA YUḪMADU ‘ALAA MAKRUUHIN SIWAAHU=Segala puji bagi Allah, tiada yang dipuja dan disanjung walau ujian menimpa, selain Dia semata”.
Kalimat seperti ini terlontar lantaran di saat itu si pengucap sadar bahwa seandainya apa yang dirasakannya itu sungguh-sungguh merupakan malapetaka, tetapi limpahan karunia-Nya sudah sedemikian banyak sehingga ujian dan bencana itu tidak lagi bermakna dibandingkan dengan besar dan banyaknya karunia selama ini. Di samping itu, akan terlintas pula dalam pikirannya bahwa tentu ada pesan yang tersirat di balik ujian itu lantaran semua perbuatan Allah terpuji. Semoga bermanfaat
0 Komentar untuk "Tafsir Alhamdulillaahi Robbil ‘Aalamiin Qs Al-Faatihah"