Juraganberdesa-----Selesai makan siang, saya menikmati hari dengan ditemani suatu karya novelis terkemuka di negeri ini. Aktifitas tersebut kian menggembirakan dijalankan sembari duduk santai di atas hammoc. Baru sebentar merebahkan tubuh di hammoc. Terdengar nada panggilan dari handphone. Aku sesegera mungkin merogoh saku. Tak perlu waktu usang telepon mungil di ajun eksklusif melekat di telinga.
“Halo!”
“Dimana Dek?”
“Ada di rumah, siapa ya?”
“Husnil Mubarak, Rumah mana? Adikkan punya banyak rumah.”
“Oh, rumah Bireuen, Bang”.
“Oke! Kebetulan kami lagi di Bireuen. ke tempat tinggal ya?”
“Boleh-boleh, nanti kabarin aja kalau Abang udah di depan Sekolah Menengah Pertama 1 Juli”.
Bunyi tut panjang menunjukan sambungan telepon sudah terputus.
Senang bukan main mendapat kunjungan dari teman. Aku eksklusif bangkit dari ayunan yang tengah ku nikmati. Melangkahkan kaki menuju rumah dan berkemas-kemas menyambut tamu tak dipanggil dari Kota Petro Dollar. Setelah menanti kurang lebih 15 menit, kembali terdengar bunyi ponsel.
“iya, Bang.”
“Dek kami udah sampai, jangan lama-lama ya.”
“Oke Bang! Ini eksklusif gerak ke sana.” Jawabku menyelesaikan percakapan.
Mengambil kunci motor dan memacunya menuju daerah yang sudah kami janjikan. Setelah beberapa menit saya sampai. Tak sukar memahami Bang Husnil. Sebagai pencinta alam, sanggup ditentukan ia senantiasa menjinjing tas ransel kemanapun pergi. Benar saja, hari ini Abang terlihat memakai baju kaos, celana jeans lengkap dengan sepatu boot. Selain itu ia juga mengenakan buf dan beling mata hitam. Namun sungguh disayangkan, kebiasaan tak memakai helm. Benar-benar kebiasaan buruk yang dihentikan ditiru oleh siapapun.
Tak sabar rasanya untuk secepatnya mengundang Bang Husnil yang masih berada di seberang jalan. Keasikan berselfi bareng Akmal, Abang terang terlihat sungguh terkejut mendengar ada yang memanggil. Setelah berkata-kata sebentar di pinggir jalan lintas Bireuen – Takengon. Aku eksklusif mengajak mereka ke rumah. Sesampai di rumah saya mempersilahkan mereka masuk, tetapi mereka menjawab di luar saja. Sesaat sesudahnya saya mohon diri ke dalam rumah.
Kurang 5 menit saya kembali dengan membawakan talam berisi minuman dan cemilan. Kami duduk di rangkang samping rumah. Di sana kami banyak bercerita ngalor-ngidul. Mulai mengajukan pertanyaan kabar hingga dengan kisah kemajuan kiprah akhir. Ditengah-tengah perbincangan Bang Husnil menyarankan untuk jalan-jalan seputaran Juli. Kebetulan sekali, sudah usang rasanya tidak ke Batee Raya (Red : Batu Besar). Setelah menceritakan sekilas mengenai daerah rekreasi tersebut. Terlihat ada ketertarikan dari wajah kedua teman dekat ku.
Mereka eksklusif baiklah dengan wangsit ke Batee Raya. Kami semua berpamitan sama Mamak. Aku naik sepeda motor sendiri sedangkan Bang Husnil tetap dengan Akmal. Kira-kira 15 menit perjalanan untuk hingga ke lokasi yang saya ceritakan tadi. Sesampai di sana terlihat banyak pergantian yang terjadi sesudah delapan tahun lebih tak pernah ku kunjungi.
Dulu ketika pertama kali kemari, daerah ini masih dipenuhi semak belukar sehingga terkesan angker. Berbeda dengan apa yang terlihat sekarang, menjelma daerah yang higienis dan terawat. Mungkin disebabkan lokasi yang kami datangi ini sudah dikembangkan menjadi daerah wisata.
Konon penduduk lokal yakin bahwa di dalam Batee Raya dulunya terdapat piring, cangkir serta perlengkapan prasmanan yang lain yang sanggup digunakan penduduk ketika mengadakan program Kenduri. Ketika penduduk bermaksud untuk kenduri, mereka akan mengambil perlengkapan prasmanan. Pintu Batee Raya yang ada di cuilan belakangnya akan terbuka dengan sendirinya.
Sampai pada jadinya piring yang terdapat dalam Batee Raya tidak sanggup dipinjam lagi. Menurut kisah yang beredar peristiwa tersebut terjadi lantaran ada penduduk yang meminjam piring untuk kebutuhan program hajatan. Pada ketika dikembalikan piring yang sudah dipinjam tak dikembalikan secara utuh. Salah satu dari piring tersebut ada yang ditukar. Batee Raya memiliki tinggi kurang lebih sekitar 8 meter.
Tak mau asal jalan. Kami menjajal menemui warga yang rumahnya tak jauh dari daerah rekreasi Batee Raya. Setelah memarkirkan motor di samping rumah tersebut.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
“meu’ah Mak, ka kamoe ganggu siat. Peu jeut taek u wateuh batee nyan?”
“jeut Neuk. asai bek ria-ria that dan bek tapeugot nyang kon-kon.”
“Get Mak. Nyoe meunan kamoe lake izin keuneuk ek ateuh Batee Raya siat.”
“Jeut Nyak. Beu hati-hati nyan, bek ria-ria that eunteuk hinan.”
Kami kian bergairah melanjutkan perjalanan. Setelah sesaat melihat-lihat dari bawah. Rasanya ada yang kurang jikalau tidak menyaksikan eksklusif ke atas kerikil besar ini. Awalnya ragu untuk naik lantaran kebiasaan buruk ku, sudah sanggup naik tak berani turun 😀. Berbeda dengan Bang Husnil yang memang atlit Wall Climbing. Jelas ini ialah moment penting yang sulit dipercayai dilewatkan. Berkat dorongan dari Abang Husnil dan Akmal. Aku memberanikan diri untuk tetap naik.
Bang Husnil yang ketika itu berada sempurna di depan. Mencoba menolong dengan mengulurkan tangan. Namun, lantaran bertekat untuk sanggup naik sendiri. Aku menolak dengan argumentasi ingin mencoba. Setelah berupaya jadinya saya dibarengi Akmal sanggup menyusul Bang Husnil yang sudah apalagi dahulu sampai. Di atas sana sembari beristirahat. Kami memperhatikan setiap sudut. kagum dengan keadaan kerikil yang ditumbuhi beberapa pohon ini. Walaupun berkembang di atas batu. Pohon-pohon tersebut tidak terlihat kelemahan nutrisi. Tumbuh sepantasnya ditanam di atas tanah.
Perjalanan kali ini mengajarkan kami untuk senantiasa bersyukur. Bersyukur pada apa yang sudah dimiliki. Seperti halnya kerikil tersebut, nyaris di seluruh tubuh batu. Aku sanggup menyaksikan akar pohon melilit begitu kuat. Seakan-akan akar ini melindungi kerikil biar tak pecah dan berantakan. Terkadang kita kerap melepaskan diri dari “ikatan”. Padahal tanpa disadari peraturan tersebut berfaedah melindungi diri kita dari perbuatan yang tidak baik.
Penulis yaitu Dian Andayani
0 Komentar untuk "Tamasya Ke Batee Raya"