KISAH tragis dan memilukan dialami oleh guru honorer bidang kesenian SMAN I Torjun di Sampang, Madura, Ahmad Budi Cahyono (27) yang berpulang sesudah dianiaya ketika mengajar oleh muridnya sendiri, MH (17).
Nyawa Ahmad, sosok guru yang dikenal santun dan ramah oleh tetangga di kawasan tinggalnya di Kampung Jrengik, Pamekasan, Madura itu tidak bisa diselamatkan sesudah beberapa jam ditangani pihak rumah sakit.
Kejadiannya bermula Kamis siang (1/2), ketika Ahmad, guru melukis dengan gaji Rp400-ribu per bulan atau di bawah UMR itu kesal oleh ulah MH yang menciptakan gaduh dan menganggu rekan-rekan sekelasnya yang sedang berlatih melukis.
Setelah beberapa kali teguran tidak diindahkan, Ahmad menyoretkan zat pewarna lukisan di pipi MH yang secara impulsif bereaksi dengan memukuli tengkuk, leher dan wajah gurunya itu.
Pemukulan gres berhenti sesudah sejumlah siswa lainnya melerai, sementara Ahmad sendiri tidak berusaha melaksanakan pelawananan, agaknya ia merasa tidak pantas, seorang guru berkelahi di hadapan murid-muridnya.
Setelah kejadian, Ahmad minta izin pada kepala sekolah untuk pulang lebih awal tanpa mengungkapkan penganiayaan yang dialaminya, mungkin ia tidak ingin MH menerima teguran atau hukuman dari pihak sekolah.
Selang beberapa ketika di rumah, Ahmad tidak sadarkan diri hingga dilarikan ke RSUD Sampang oleh isterinya yang sedang hamil empat bulan, kemudian dirujuk ke RSU dr. Soetomo, Surabaya alasannya yaitu RSUD Sampang tidak bisa menanganinya.
“Nyawa korban tak bisa diselamatkan lagi akhir mengalami pendarahan otak dan ketika divisum, batang otaknya sudah tidak berfungsi, “ kata Kabid Humas Polda Jatim, Komisaris Besar Pol. Frans Barung Mangera. Ahmad menghembuskan nafas pada pukul 21.00 waktu setempat.
Ketua Dewan Pendidikan Jatim Prof Akhmad Muzakki menilai, insiden itu terjadi a.l. alasannya yaitu lemahnya hubungan sosial siswa - guru yang layaknya seimbang, namun faktanya, posisi siswa, apalagi anak tokoh masyarakat atau pejabat, sering merasa lebih berpengaruh hingga bisa berbuat semaunya.
Sedangkan Ketua Umum PGRI Unifah Rosyidi menganggap masalah tersebut sangat memilukan dan memprihatinkan sehingga ia meminta semoga terus diproses aturan hingga tuntas dan meminta guru, pihak sekolah dan orang tua, membina hubungan baik dan gotong royong mengatasi duduk kasus pendidikan.
Fenomena gunung es
Berbagai modus agresi kekerasan di dunia pendidikan, bagaikan fenomena gunung es yang sebagian kecil saja tampak di permukaan, sedangkan duduk kasus besarnya mengendap di balik aneka macam duduk kasus bangsa lainnya.
Kasus-kasus lainnya, mungkin dengan derajat kekerasan lebih rendah, berupa penganiayaan ringan, bahaya atau penganiayaan lisan terhadap guru, banyak terjadi, namun tidak dilaporkan.
Berdasarkan hasil survei International Center for Research on Women 2020 yang dirilis KPAI, 84 persen atau tujuh dari 10 siswa pernah mengalami kekerasan ketika berada di lingkungan sekolah atau tertinggi dibandingkan Viitnam dan Nepal (79 persen), Kamboja (73 persen) dan Pakistan (43 persen).
Sepanjang 2020, masalah kekerasan di sekolah/kampus berujung maut a.l. menimpa taruna STIP Jakarta, Amirullah Adityas Putera yang dianiaya seniornya, siswa Sekolah Menengan Atas Taruna Nusantara Kresna W. Nurrahmad, juga dianiaya rekannya, serta duel alla gladiator yang merenggut nyawa siswa Sekolah Menengan Atas Hilarius, Bogor, Christian E. Raharjo.
Orang renta melabrak guru, perkelahian di kelas, tawuran antarsiswa atau sekolah di ruang-ruang publik, guru yang otoriter pada muridnya merupakan duduk kasus yang harus ditangani dan dicegah secara terstruktur dan sistemik.
Mewujudkan lingkungan kampus yang ramah bagi siswa atau taruna, yang kondusif dan sehat serta berbudaya, melindungi hak-hak mereka, juga dari agresi kekerasan dan mendorong partisipasi anak didik yaitu “PR” kita semua.
Jika cuma diributkan ketika ada insiden atau diramaikan di medsos, insiden serupa pasti bakal terulang lagi. Korban berikutnya pun, siswa, taruna dan guru atau dosen akan berjatuhan.
Ahmad Budi Cahyono |
Nyawa Ahmad, sosok guru yang dikenal santun dan ramah oleh tetangga di kawasan tinggalnya di Kampung Jrengik, Pamekasan, Madura itu tidak bisa diselamatkan sesudah beberapa jam ditangani pihak rumah sakit.
Kejadiannya bermula Kamis siang (1/2), ketika Ahmad, guru melukis dengan gaji Rp400-ribu per bulan atau di bawah UMR itu kesal oleh ulah MH yang menciptakan gaduh dan menganggu rekan-rekan sekelasnya yang sedang berlatih melukis.
Setelah beberapa kali teguran tidak diindahkan, Ahmad menyoretkan zat pewarna lukisan di pipi MH yang secara impulsif bereaksi dengan memukuli tengkuk, leher dan wajah gurunya itu.
Pemukulan gres berhenti sesudah sejumlah siswa lainnya melerai, sementara Ahmad sendiri tidak berusaha melaksanakan pelawananan, agaknya ia merasa tidak pantas, seorang guru berkelahi di hadapan murid-muridnya.
Setelah kejadian, Ahmad minta izin pada kepala sekolah untuk pulang lebih awal tanpa mengungkapkan penganiayaan yang dialaminya, mungkin ia tidak ingin MH menerima teguran atau hukuman dari pihak sekolah.
Selang beberapa ketika di rumah, Ahmad tidak sadarkan diri hingga dilarikan ke RSUD Sampang oleh isterinya yang sedang hamil empat bulan, kemudian dirujuk ke RSU dr. Soetomo, Surabaya alasannya yaitu RSUD Sampang tidak bisa menanganinya.
“Nyawa korban tak bisa diselamatkan lagi akhir mengalami pendarahan otak dan ketika divisum, batang otaknya sudah tidak berfungsi, “ kata Kabid Humas Polda Jatim, Komisaris Besar Pol. Frans Barung Mangera. Ahmad menghembuskan nafas pada pukul 21.00 waktu setempat.
Ketua Dewan Pendidikan Jatim Prof Akhmad Muzakki menilai, insiden itu terjadi a.l. alasannya yaitu lemahnya hubungan sosial siswa - guru yang layaknya seimbang, namun faktanya, posisi siswa, apalagi anak tokoh masyarakat atau pejabat, sering merasa lebih berpengaruh hingga bisa berbuat semaunya.
Sedangkan Ketua Umum PGRI Unifah Rosyidi menganggap masalah tersebut sangat memilukan dan memprihatinkan sehingga ia meminta semoga terus diproses aturan hingga tuntas dan meminta guru, pihak sekolah dan orang tua, membina hubungan baik dan gotong royong mengatasi duduk kasus pendidikan.
Fenomena gunung es
Berbagai modus agresi kekerasan di dunia pendidikan, bagaikan fenomena gunung es yang sebagian kecil saja tampak di permukaan, sedangkan duduk kasus besarnya mengendap di balik aneka macam duduk kasus bangsa lainnya.
Kasus-kasus lainnya, mungkin dengan derajat kekerasan lebih rendah, berupa penganiayaan ringan, bahaya atau penganiayaan lisan terhadap guru, banyak terjadi, namun tidak dilaporkan.
Berdasarkan hasil survei International Center for Research on Women 2020 yang dirilis KPAI, 84 persen atau tujuh dari 10 siswa pernah mengalami kekerasan ketika berada di lingkungan sekolah atau tertinggi dibandingkan Viitnam dan Nepal (79 persen), Kamboja (73 persen) dan Pakistan (43 persen).
Sepanjang 2020, masalah kekerasan di sekolah/kampus berujung maut a.l. menimpa taruna STIP Jakarta, Amirullah Adityas Putera yang dianiaya seniornya, siswa Sekolah Menengan Atas Taruna Nusantara Kresna W. Nurrahmad, juga dianiaya rekannya, serta duel alla gladiator yang merenggut nyawa siswa Sekolah Menengan Atas Hilarius, Bogor, Christian E. Raharjo.
Orang renta melabrak guru, perkelahian di kelas, tawuran antarsiswa atau sekolah di ruang-ruang publik, guru yang otoriter pada muridnya merupakan duduk kasus yang harus ditangani dan dicegah secara terstruktur dan sistemik.
Mewujudkan lingkungan kampus yang ramah bagi siswa atau taruna, yang kondusif dan sehat serta berbudaya, melindungi hak-hak mereka, juga dari agresi kekerasan dan mendorong partisipasi anak didik yaitu “PR” kita semua.
Jika cuma diributkan ketika ada insiden atau diramaikan di medsos, insiden serupa pasti bakal terulang lagi. Korban berikutnya pun, siswa, taruna dan guru atau dosen akan berjatuhan.
0 Komentar untuk "Ranah Pendidikan Di Pusaran Kekerasan"