Apa musuh terbesar seorang guru? Jika pertanyaan ini ditujukan kepada para guru di Indonesia, pastilah jawabannya sangat beragam. Sebagian ada yang menjawab problem akomodasi sekolah yang kurang memadai, honor yang tak layak, birokrasi yang menyebalkan, orangtua yang tak peduli pada anak-anaknya, dan sederet tanggapan lainnya. Sedangkan sebagian lainnya akan menjawab bahwa musuh terbesar seorang guru yaitu disiplin anak, kemalasan anak, dan ketidak pedulian anak terhadap proses mencar ilmu mengajar di kelas.
Musuh kedua ini selalu menjadi problem tak terselesaikan, bila seorang guru mempunyai mental model yang sering memperlihatkan labelling terhadap kondisi siswanya. Inilah sebetulnya musuh utama para guru kita. Karena itu sejalan dengan makin besarnya tantangan yang harus di¬hadapi oleh seorang guru, ketika ini muncul sejumlah perjuangan untuk memperbaharui kon¬sep atau gagasan perihal apa yang disebut sebagai guru berkualitas. Salah satu prasyarat yang dimemukakan oleh Peter Senge dalam The School That’s Learn (2003) perlu dipertimbangkan sebagai keterampilan yang perlu dimiliki oleh seorang. Keterampilan tersebut dinamai Peter Senge sebagai mental models, sebuah disiplin yang ingin menekankan perilaku pengem¬bangan kepekaan dan persepsi —baik dalam diri sendiri atau orang sekitarnya.
Bekerja dengan membentuk mental ini sanggup membantu para guru kita untuk lebih terperinci dan jujur dalam memandang kenyataan yang tampak dari keragaman alenta yang dimiliki oleh setiap siswa. Pembentukan mental dalam pendidikan seringkali tidak sanggup didiskusikan, dan tersembunyi, maka kritik yang harus diperhatikan oleh seorang guru yang mencar ilmu yaitu bagaimana mereka bisa mengem¬bangkan kapasitas untuk berbicara secara produktif dan kondusif perihal hal-hal yang berbahaya dan tidak nyaman, baik bagi dirinya, siswa dan lingkungan belajarnya. Karena itu penting juga bagi para guru untuk senantiasa aktif memikirkan asumsi-asumsi perihal apa yang terjadi dalam kelas, tingkat perkembangan siswa, dan lingkungan rumah siswa.
Jika mental model para guru kita sanggup memahami dengan baik bagaimana keterkaitan antara teori mencar ilmu semacam constructivism dan cara otak bekerja dalam mencar ilmu (brain based learning), maka guru akan sanggup menyimpulkan bahwa proses mencar ilmu itu yaitu semacam pencarian sebuah arti (kehidupan). Karena itu mencar ilmu harus dimulai di antaranya dengan isu-isu keseharian siswa dalam kehidupan sehari-hari mereka dalam rangka mencari pemaknaan yang lebih luas damai suatu hal. Tetapi masalahnya bila guru kita memilii mental model yang selalu menciptakan labelling terhadap kondisi siswanya, jangan-jangan proses mencar ilmu mengajar hanya terbatas pada transfer ilmu sesaat tanpa menghiraukan kebutuhan siswa itu sendiri. Yang terjadi kemudian yaitu adanya penanaman iktikad yang belum sepenuhnya sesuai dengan kondisi psikologis anak.
Ada baiknya bila para guru mencoba merenungkan kata-kata bijak dari Khahlil Gibran, bahwa kiprah utama seorang guru di anaranya yaitu mengantarkan anak supaya bisa melaksanakan eksplorasi secara maksimal terhadap daya jelajah intelektual mereka (The teacher if he/she indeed wise does not bid you to enter the house of his/her wisdom but leads you to the treshold of your own mind). Dalam konteks ini tentu saja mental model guru harus seimbang dengan prinsip susila ketimuran yang agamis dan penuh tradisi kesantunan. Jika tidak, maka insiden saling mengejek antar guru di salah satu sekolah di Medan bisa jadi terjadi pada banyak sekolah lainnya di Indonesia. Bagaimana ceritanya?
Suatu ketika seorang guru matematika di salah satu sekolah di Medan mengejek dua orang rekannya, guru agama Islam dan Katolik. Si guru matematika ini bilang bahwa kedua orang guru agama rekannya ini dalam mengajar agama laksana seorang calo angkutan kota. Sang calo angkutan selalu berteriak: ”Siantar. Siantar, siantar.” kepada para calon penumpang. Namun ketika para penumpang masuk ke dalam mobil, si calo berbalik arah menuju warung untuk menyeruput kopi dan menghisap rokoknya. Tak perduli apakah penumpang itu hingga di Siantar atau tidak.
Apa yang terjadi kemudian? Kedua orang guru agama tersebut murka kepada guru matematika sambil berujar: ”Untung kamu temanku, kalau tidak sudah kuberi kamu ketupat Bengkulu”. Edu hanya mengurut dada, semoga mental model guru-guru kita tidak menyerupai ”calo” sebagaimana dimaksud dalam dongeng di atas.
Musuh kedua ini selalu menjadi problem tak terselesaikan, bila seorang guru mempunyai mental model yang sering memperlihatkan labelling terhadap kondisi siswanya. Inilah sebetulnya musuh utama para guru kita. Karena itu sejalan dengan makin besarnya tantangan yang harus di¬hadapi oleh seorang guru, ketika ini muncul sejumlah perjuangan untuk memperbaharui kon¬sep atau gagasan perihal apa yang disebut sebagai guru berkualitas. Salah satu prasyarat yang dimemukakan oleh Peter Senge dalam The School That’s Learn (2003) perlu dipertimbangkan sebagai keterampilan yang perlu dimiliki oleh seorang. Keterampilan tersebut dinamai Peter Senge sebagai mental models, sebuah disiplin yang ingin menekankan perilaku pengem¬bangan kepekaan dan persepsi —baik dalam diri sendiri atau orang sekitarnya.
Bekerja dengan membentuk mental ini sanggup membantu para guru kita untuk lebih terperinci dan jujur dalam memandang kenyataan yang tampak dari keragaman alenta yang dimiliki oleh setiap siswa. Pembentukan mental dalam pendidikan seringkali tidak sanggup didiskusikan, dan tersembunyi, maka kritik yang harus diperhatikan oleh seorang guru yang mencar ilmu yaitu bagaimana mereka bisa mengem¬bangkan kapasitas untuk berbicara secara produktif dan kondusif perihal hal-hal yang berbahaya dan tidak nyaman, baik bagi dirinya, siswa dan lingkungan belajarnya. Karena itu penting juga bagi para guru untuk senantiasa aktif memikirkan asumsi-asumsi perihal apa yang terjadi dalam kelas, tingkat perkembangan siswa, dan lingkungan rumah siswa.
Jika mental model para guru kita sanggup memahami dengan baik bagaimana keterkaitan antara teori mencar ilmu semacam constructivism dan cara otak bekerja dalam mencar ilmu (brain based learning), maka guru akan sanggup menyimpulkan bahwa proses mencar ilmu itu yaitu semacam pencarian sebuah arti (kehidupan). Karena itu mencar ilmu harus dimulai di antaranya dengan isu-isu keseharian siswa dalam kehidupan sehari-hari mereka dalam rangka mencari pemaknaan yang lebih luas damai suatu hal. Tetapi masalahnya bila guru kita memilii mental model yang selalu menciptakan labelling terhadap kondisi siswanya, jangan-jangan proses mencar ilmu mengajar hanya terbatas pada transfer ilmu sesaat tanpa menghiraukan kebutuhan siswa itu sendiri. Yang terjadi kemudian yaitu adanya penanaman iktikad yang belum sepenuhnya sesuai dengan kondisi psikologis anak.
Ada baiknya bila para guru mencoba merenungkan kata-kata bijak dari Khahlil Gibran, bahwa kiprah utama seorang guru di anaranya yaitu mengantarkan anak supaya bisa melaksanakan eksplorasi secara maksimal terhadap daya jelajah intelektual mereka (The teacher if he/she indeed wise does not bid you to enter the house of his/her wisdom but leads you to the treshold of your own mind). Dalam konteks ini tentu saja mental model guru harus seimbang dengan prinsip susila ketimuran yang agamis dan penuh tradisi kesantunan. Jika tidak, maka insiden saling mengejek antar guru di salah satu sekolah di Medan bisa jadi terjadi pada banyak sekolah lainnya di Indonesia. Bagaimana ceritanya?
Suatu ketika seorang guru matematika di salah satu sekolah di Medan mengejek dua orang rekannya, guru agama Islam dan Katolik. Si guru matematika ini bilang bahwa kedua orang guru agama rekannya ini dalam mengajar agama laksana seorang calo angkutan kota. Sang calo angkutan selalu berteriak: ”Siantar. Siantar, siantar.” kepada para calon penumpang. Namun ketika para penumpang masuk ke dalam mobil, si calo berbalik arah menuju warung untuk menyeruput kopi dan menghisap rokoknya. Tak perduli apakah penumpang itu hingga di Siantar atau tidak.
Apa yang terjadi kemudian? Kedua orang guru agama tersebut murka kepada guru matematika sambil berujar: ”Untung kamu temanku, kalau tidak sudah kuberi kamu ketupat Bengkulu”. Edu hanya mengurut dada, semoga mental model guru-guru kita tidak menyerupai ”calo” sebagaimana dimaksud dalam dongeng di atas.
0 Komentar untuk "Musuh Terbesar Seorang Guru"