Makna Bermuhammadiyah Pertama: Bermuhammadiyah ialah Berislam
Makna bermuhammadiyah, yang pertama dan paling utama serta sangat mendasar, ialah berislam. Lalu, bagaimana maknanya berislam itu.
Mengungkap hal ini, saya akan membuka lembaran sejarah yang sudah amat jarang diketahui oleh para pimpinan Muhammadiyah.
Alhamdulillah, saya beruntung, mendapat rahmat ketika saya sanggup nginthil, mengikuti guru saya, seorang ulama besar di Jogjakarta, Bapak K.H.R. Hadjid. Beliau dijuluki sebagai Asyaddul Muhammadiyah, Jago Tua Muhammadiyah, sekretaris
Badan Penasehat PP Muhammadiyah. Gara-gara saya ditendang dari IAIN, saya justru sempat mencar ilmu kepada dia selama tidak kurang dari 10 tahun.
Saya sempat mendengar kisah yang dialami beliau. Beliau termasuk murid termuda K.H. Ahmad Dahlan. Nampaknya, dia satu-satunya murid yang mencatat pelajaran Kiyai Haji Ahmad Dahlan. Kami sempat beberapa kali menerbitkan Buku Pelajaran Kyai Ahmad Dahlan itu dalam bentuk stensilan. Terakhir, diterbitkan oleh Depag Jawa Tengah, dibagi secara gratis untuk PDM-PDM se Jateng. Buku itu ialah Himpunan Ayat-ayat Quran yang Difahami oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan.
Buku itu berisi ihwal bagaimana cara memahami, bagaimana cara mengajarkan, dan bagaimana pula cara mengamalkannya. Semua itu terungkap dalam Buku Pelajarannya Kyai Haji Ahmad Dahlan yang ditulis oleh KHR Hadjid. Generasi kini ini barangkali tidak banyak mengenalnya. Yang dikenal mungkin malah putra tertuanya yang juga terkenal, Bapak R.H. Haiban Hadjid.
Dua pertanyaan Kyai Ahmad Dahlan
Tahun 1921, ada Sidang Hoofdbestuur Muhammadiyah (PP Muhammadiyah). Di situ para assabiqunal awwalun Muhammadiyah berkumpul, para pendiri dan generasi pertama pimpinan dan penggagas Muhammadiyah. Yang menarik, dalam pertemuan itu ada tokoh yang tidak pernah kita kenal sebagai orang atau penggagas Muhammadiyah. Yang menarik ialah dia sanggup tampil meyakinkan dalam lembaga para pembesar, pimpinan Muhammadiyah generasi pertama berkumpul. Orang itu ialah Haji Agus Salim.
Haji Agus Salim punya gagasan untuk menyebabkan Muhammadiyah sebagai partai politik. Kalau pada masa Orde Baru Muham-madiyah disebut orsospol, dan beberapa pimpinan Muhammadiyah menjadi anggota Dewan. Ternyata, menjelang janjkematian Kiyai Haji Ahmad Dahlan, sudah muncul juga “ambisi” menyebabkan Muhammadiyah sebagai parpol. Sidang dipimpin oleh Kiyai Ahmad Dahlan. Diketahui, Haji Agus Salim ialah seorang jurnalis, politisi dan diplomat yang hebat. Tidak ada yang sanggup mengalahkannya dalam berdebat. Sekalipun suatu kali ternyata dia pernah kalah nalar dengan seorang kusir andong.
Ceritanya, ketika suatu pagi dia sehabis shalat di Bandara Kemayoran, Haji Agus Salim naik dokar. Ketika itu kudanya kentut. Kata Haji Agus Salim kepada kusirnya, “Pak, kudanya masuk angin”. “Bukan masuk angin, tapi keluar angin”, jawab kusir. Haji Agus Salim keok dengan balasan itu.
Kembali ke soal Sidang Hoofdbestuur, argumentasi Haji Agus Salim menciptakan seluruh yang hadir terpukau, terkesima dan setuju, menyebabkan Muhammadiyah sebagai partai politik. Kyai Dahlan, lantaran menjadi pimpinan sidang, tidak berpendapat.
Setelah Kyai Dahlan melihat nampaknya yang hadir sepakat dengan gagasan Haji Agus Salim, Kyai Haji Ahmad Dahlan yang memimpin sidang dengan duduk, kemudian berdiri sambil memukul meja. Saya tidak sempat bertanya kepada guru saya, Kiyai Hadjid, memukul mejanya keras, apa tidak.
Kyai Ahmad Dahlan mengajukan dua pertanyaan yang sangat sederhana dan sangat mudah. Dan kalau dijawab, bahwasanya juga gampang. Pertama, apa saudara-saudara tahu betul apa agama Islam itu? Kedua, apa saudara berani beragama Islam?
Tidak ada satu pun dari yang hadir yang sanggup menjawab pertanyaan itu, termasuk Haji Agus Salim sendiri. Bukannya tidak bisa, alasannya ialah mana mungkin ditanya soal Islam begitu saja tidak tahu. Tapi, ketika ditanya “Beranikah kau beragama Islam?”. Mereka tahu persis yang ditanyakan Kyai Haji Ahmad Dahlan itu.
Pak Hadjid muda, bercerita kepada saya, “Bukan main tulusnya pertanyaan Kiyai Haji Ahmad Dahlan itu”. Sebenarnya pertanyaan itu sederhana, tapi tidak ada yang sanggup menjawab. Akhirnya gagasan Haji Agus Salim tidak kesampaian. Muhammadiyah urung jadi partai politik.
Dua pertanyaan Kiyai Haji Ahmad Dahlan itu, kini gres terjawab satu. Yaitu pada waktu Muktamar Muhammadiyah ke-40 di Surabaya tahun 1978. Jawaban itu berupa keputusan ihwal Ideologi Islam, Pokok-Pokok Pikiran ihwal Dienul Islam, yang konsepnya dari Bapak H. Djindar Tamimy. Jadi, sehabis kira-kira 56 tahun gres terjawab satu pertanyaan.
Sedangkan pertanyaan yang kedua, hingga kini ini belum ada yang berani menjawab. Tahun 1960, kebetulan saya masih sering mendengar, ada ungkapan Kyai Dahlan yang menarik, “Durung Islam temenan, nek durung wani mbeset kuliti dewe” (Belum Islam sungguh-sungguh, kalau belum berani mengelupas kulitnya sendiri).
Yang akan saya ungkap di sini, kaitannya dengan pertanyaan Kiyai Haji Ahmad Dahlan tadi, apa Islam itu, sanggup dibuka pada Pelajaran Kiyai Haji Ahmad Dahlan. Bagi KHR Hadjid, Kyai Dahlan dalam mengungkap ayat itu menarik sekali. Ayat yang diungkap ialah ayat yang sudah populer. Bahkan menjadi bacaan harian mereka yang membaca doa iftitah shalat memakai hadis riwayat Imam Muslim (Wajjahtu wajhiya….).
Buku itu mengungkap dan mengajarkan bagaimana Islam itu. Ternyata, sehabis sekian tahun bermuhammadiyah Kyai Dahlan gres sanggup mengaplikasikan dan merealisir anutan Quran tidak lebih dari 50 ayat. Dua ayat diantaranya ada dalam surat Al Anam. Qul inna shalati wa-nusuqi wa mahyaaya, wa mamaati lillaahi rabbil alamin. Laa syarikalah wa bidzalika umirtu.
Dalam salah satu kitab tafsir diungkap bahwa ayat ini diucapkan oleh Nabi Ibrahim AS. Kata-kata dalam ayat Quran yang menyebut aslama-yuslimu-aslim, muncul dari Nabi Ibrahim AS. Jadi, awwalul muslimin itu Ibrahim, sedang wa ana minal muslimin itu Rasulullah Saw. Maka di dalam doa Iftitah yang diucapkan dalam bacaan shalat tadi boleh dipilih antara awwalul muslimin atau wa ana minal muslimin.
Qul, katakanlah (Muhammad), inna shalati, sungguh shalatku; wa nusuki, dan pengorbananku; wa mahyaya, dan peran hidupku; wa mamati, dan tujuan matiku; lillah, hanya untuk dan lantaran Allah; raabil alamin, pengatur alam semesta. Laa syariikalah, tidak ada sekutu bagi-Nya; wa bidzaalika umirtu, dan dengan itu saya diperintah; wa ana awwalul muslimin, dan saya orang yang pertama, pasrah, setia tunduk kepada Allah Subhanahu wataala. Amin ya rabbal alamin.
Itu makna yang populer, kecuali kata nusuk yang saya terjemahkan menjadi pengorbananku. Pada hampir semua terje-mahan, nusuk diartikan ibadah.
Mengenai tafsirnya, kebetulan tidak sempat saya catat tapi saya punya kitabnya, nusuk bukan berarti ibadah. Yang berarti ibadah ialah nasakun. Nusuk artinya menyembelih kurban. Maka saya artikan, nusuki ialah pengorbananku. Jadi, “shalatku, pengorbananku, hidup matiku, lillahi rabbil alamin”.
Kyai Bakir Sholeh, seorang ulama besar Jogja yang dikenal sebagai kamus berjalan, memaknai dengan liman kana yarju…… “Sungguh, shalatku, pengorbananku, hidup dan matiku hanya untuk Allah”. Dalam terjemah Miftah Farid masih kelihatan biasa. Tetapi untuk terjemahan ini orang sanggup tertegun, “Hanya lantaran untuk Allah rabbil alamin.”
Laa syarikalah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Pengertian ini oleh Kyai R.H. Hadjid, yang telah mendengar pelajarannya pribadi dari Kiyai Dahlan dengan terjemahan tafsir “itu tidak untuk selain Allah”. Karena syarikat bermakna sekutu. Sekutu itu apa saja sanggup dianggap sekutu.
Lalu ayat tadi bermakna apa? “Shalatku, pengorbananku, hidup dan matiku hanya untuk Allah pengatur alam semesta”. Laa syarikalah, tidak ada sekutu selain Allah. “Aku diperintah untuk hidup dengan model cara yang menyerupai itu. Tidak untuk maksud-maksud yang lain. Tidak untuk anak istriku. Tidak untuk orang tuaku, juga tidak untuk bangsa dan tanah airku”. Tanah dan air itu kalau jadi satu namanya blethokan. Hidupku tidak untuk itu.
Pertanyaannya, kemudian untuk apa? “Bela hakmu, perjuangkan hakmu. Membela tanah air ialah sabilillah. Membela tanah air bukan lantaran kemauan tanah air, tetapi lantaran Allah”. Di sini kemudian maknanya, “berbuat oke kau kepada orang tuamu”. Bedanya dengan ihsan, tidak sekedar lantaran naluri, atau lantaran punya naluri berbakti kepada orang tua, tetapi begitu lengkap. Sebab itu lantaran perintah Allah, dari kata “wa-ahsinuu, …..birrul walidaini”.
Jadi terperinci kini ini. Lalu ditutup dengan “wa ana awwalul muslimin. O, ini to karepe (maksudnya) Islam itu. Islam, maksudnya, mendidik kita untuk hidup model menyerupai itu. Tidak pakai tiru-tiru model yang lain.
Dalam setiap langkah selalu berusaha dan berkarya, tidak sanggup yang namanya hidup kecuali semuanya dalam bentuk kepasrahan, niat yang ikhlas berbakti kepada Allah, apapun yang dilakukan. Sebagaimana ayat yang populer, wamaa khalaqtul jinna wal-insaan illa liyabuduun. Manusia ini hidup diciptakan oleh Allah, tidak lain, (satu kalimat yang dimulai dengan nafi, yang di belakang ada illa itu, merupakan satu kepercayaan kepastian) hidup ini hanya untuk beribadah, tidak lain. Maka, semua acara hidup kita harus punya nilai dan nafas ibadah. Di situlah makna hakekat dari Islam.
Dari ayat ini, dia yang memang orang alim dan orang-orang generasi pertama, sanggup menangkap pertanyaan ini, walaupun tidak sanggup menjawab.
Maaf, kalau orang sudah bicara politik, hampir sanggup dipastikan yang dicari hanyalah kursi. Dulu, ketika sama-sama jadi mubaligh, sama-sama aktif, masih bisa. Tapi, ketika sudah hingga pada soal kampanye, jangan tanya. Disitulah letak bahayanya politik kalau tidak disinari oleh Islam. Sehingga, rasa-rasanya, kita ini tampaknya tidak punya panutan, siapa politikus kita yang sanggup membawa amanah Islam. Rasanya jauh sekali dengan para pendahulu kita. Seperti Pak Muhammad Natsir, yang kalau mau sidang ke dewan perwakilan rakyat hanya naik becak, tidak mau dijemput mobil.
Bermuhammadiyah ialah berislam. Ungkapan ini memang cukup tandas. Masyarakat/umat Islam ketika itu di dalam berislam sudah bukan main trampilnya. Seperti diungkap dalam sabda Nabi yang bernilai ramalan itu, “Akan tiba kepada kau sekalian, suatu jaman dimana Quran tidak kekal lagi, Islam tidak tegak lagi kecuali hanya nama. Memang banyak orang mengaku dirinya muslim, tapi sikap dan tindakannya jauh sekali dari Islam. Masjid-masjidnya makmur, banyak jamaah, tapi sepi dari kebaikan. Orang-orang yang paling dalam ilmu agamanya menjadi orang yang paling jahat di kolong langit. Dari mereka keluar fitnah”. Tetapi fitnah itu kembali kepada orang-orang tadi. Jika hal ini disebut oleh Rasulullah, ini yang terperinci terjadinya sepeninggal Rasululah.
Rupanya, hampir 100 tahun yang lalu, fenomena ini terjadi, yakni di jaman sekitar hidup Kiyai Haji Ahmad Dahlan. Bagaimana Quran yang punya bobot yang luar biasa, kekuatan dahsyat, lau anzalnya haadzal qurana ala jabalin………min khasyatillah (Seandainya kami turunkan Quran kepada gunung, kau akan tahu Muhammad, gunung itu akan menolak, tunduk, hancur lumat lantaran takutnya kepada Allah. Itulah kekuatan dahsyat dari Alquran), tapi tidak diamalkan lagi.
Sekarang ini, berapa juta kali Quran dibaca setiap hari. Ratusan karya tafsir yang menjelaskan dari kata maupun kalimat untuk menjelaskan ayat-ayat Alquran, berapa pula diangkat di dalam seminar, simposium, diskusi, namun tetap juga sulit untuk mendapat pembaca Quran itu yang meneteskan air mata. Sudah susah kita menemui orang sesenggukan membaca Alquran. Dan amat sukar kita dapati orang yang terisak-isak lantaran mendengarkan peringatan ayat-ayat Alquran.
Tidak ada orang yang tersungkur lantaran mendengar ayat-ayat Alquran, kecuali tersungkurnya lantaran sujud tilawah itu saja. Masih mending, kita masih mau setia mengikuti sunnah Nabi. Setiap Jumat Shubuh, Nabi selalu membaca surat As-Sajdah di rakaat pertama, dan surat Al-Insan di rakaat kedua. Yang menyerupai ini kini di Jogja hampir tidak ada. Kita perlu mengelus dada (prihatin) melihat hal ini. Dibaca saja tidak apalagi diamalkan.
Begitu pula, Islam hanya tinggal namanya. Secara minoritas, orang Indonesia, khususnya orang Jawa, Islamnya cuma dalam tiga hal. Berislam ketika tetak (khitan), ketika menikah, dan dikala prosesi kematiannya. Kalau sudah ditetaki (dikhitan) sudah marem. Anakku wis diislami (anakku sudah diislami), begitu batinnya. Kemudian kalau mau menikah, mereka sudah mantap mengundang Pak Naib. Dan ketika meninggal mengundang hebat tahlil. Dengan ketiga hal itu, sudah dianggap lengkap Islamnya.
Anehnya, diantara orang-orang yang beragamanya hanya tiga kali seumur hidup itu, malah ada yang diangkat menjadi amirul haj Indonesia. Ini sungguh-sungguh pernah terjadi. Tidak hanya cara berislamnya yang merusak tatanan Islam yang sebenarnya, bahkan dia juga termasuk perusak dan pemecah belah ummat Islam. Sampai menyerupai ini yang terjadi di Indonesia yang memang, katakanlah, sedikit atau banyak bersifat gado-gado.
Ketika belum ada agama yang masuk, orang Indonesia masih primitif, aben kemenyan menjadi kebiasaan. Ketika tiba anutan Hindu, diterima. Lalu ketika tiba anutan Budha, juga diterima, tiba Islam juga diterima, dan terakhir, Nasrani juga diterima. Semuanya bergabung menjadi satu, Pancasila.
Inilah yang kita lihat di sekitar kita, wajah keberagamaan umat Islam. Masih lumayan, masih ada sekelompok (besar) orang, yang beranggapan kalau sudah berhaji itu sudah lengkap Islamnya. Hal ini sanggup dilihat kalau, misalnya, ada satu orang berangkat haji, rombongan bis yang mengantar sanggup hingga tujuh buah, disebabkan oleh penghormatan kepada orang yang mau berangkat haji yang demikian besarnya. Bahkan ketika mengantar hingga di Bandara pun menangisnya sanggup hingga sesenggukan.
Memang cantik dan elok sanggup pergi berhaji. Tapi dengan beribadah haji itu belum tuntas kewajibannya sebagai muslim. Sebenarnya ibadah haji masih dalam tataran pondasi. Buniyal islamu ala khomsin…. Islam itu dibangun di atas lima perkara, yang kita kenal dengan rukun Islam. Lima masalah itu ialah syahadat, shalat, puasa, zakat, dan berhaji, itu gres pondasi. Untuk membangun keluarga sakinah memang harus lima masalah itu dulu yang ditata. Sebab, ada orang yang berhaji berkali-kali, tapi ternyata keluarganya tidak juga kunjung menjadi keluarga sakinah.
Nah, ini merupakan catatan penting untuk dakwah Muhammadiyah, bagaimana umat ini dikenalkan dengan berislam yang sebenarnya. Saya tidak menyinggung lebih jauh lagi apa kemudian pedomannya, pelatihannya, dan sebagainya, bukan kini saatnya untuk mengungkap problem ini.
Kita bermuhammadiyah yang paling fundamental ialah berislam. Itulah yang dituntutkan kepada kita. Bagaimana kita punya sikap hidup setia dan pasrah dengan tatanan hukum hidup Islam. Termasuk yang dulu juga pernah diungkap Kyai Haji Ahmad Dahlan, saya kurang tahu persis kalimat itu, hanya mendengar sepintas, “Hidup sepanjang kemauan Islam”.
Inilah semangat muhammadiyyin tempo dulu, bagaimana hidup ini dijalani berdasarkan kemauan Islam. Bukan berdasarkan kemauan adat, bukan pula berdasarkan kemauan nenek moyang ataupun tradisi, tapi berdasarkan kemauan Islam. Ini yang menjadi semboyan para pendahulu kita. Saya hanya sempat mendengar-dengar pada awal tahun 1960. Inilah makna pertama dari bermuhammadiyah itu.
Para pimpinan dan penggagas Muhammadiyah dituntut untuk tahu dan faham apa makna berislam itu. Tahu dan faham, dihentikan hanya tahu saja. Doa yang dituntunkan dari Alquran, Rabbi zidni ilma war zuqni fahma. Pertama, ihwal ilmunya sendiri, kuncinya memang harus tahu. Tapi, tahu saja belum sanggup melaksanakan, sehingga diikuti dengan yang kedua, warzuqni fahma, memohon diberikan kefahaman. Dengan faham itu gres ada jalan untuk meraih kebaikan, sebagaimana sabda Nabi man yurudillahu khairan yufaqqihhu fiddin, siapa yang dikehendaki baik oleh Allah maka orang tadi difahamkan agamanya oleh Allah.
Soal tahu ini, dengan hanya sekali mendengar saja orang sudah sanggup tahu. Sekali mendengar ceramah sudah sanggup tahu. Tetapi untuk sanggup faham, tidak cukup dengan sekali mendengar. Maka, Nabi mesti mengulang sesuatu hingga tiga kali. Hal ini kita dapati pada kitab Riyadush-shalihin. Setiap kali men-datangi suatu kaum Rasulullah mengucapkan salam hingga tiga kali. Sementara, banyak di antara kita yang malas mengucap salam diulang hingga tiga kali. Malahan mungkin kuatir disebut sebagai orang NU, lantaran biasanya orang NU itu yang mengamalkan hal ini.
(Transkrip Ceramah Ustadz Ibnu Juraimi dalam Pengajian Paripurna Program Rihlah Dakwah di PDM Temanggung Jawa Tengah. Ditranskrip oleh Arief Budiman Ch.)
Makna bermuhammadiyah, yang pertama dan paling utama serta sangat mendasar, ialah berislam. Lalu, bagaimana maknanya berislam itu.
Mengungkap hal ini, saya akan membuka lembaran sejarah yang sudah amat jarang diketahui oleh para pimpinan Muhammadiyah.
Alhamdulillah, saya beruntung, mendapat rahmat ketika saya sanggup nginthil, mengikuti guru saya, seorang ulama besar di Jogjakarta, Bapak K.H.R. Hadjid. Beliau dijuluki sebagai Asyaddul Muhammadiyah, Jago Tua Muhammadiyah, sekretaris
Badan Penasehat PP Muhammadiyah. Gara-gara saya ditendang dari IAIN, saya justru sempat mencar ilmu kepada dia selama tidak kurang dari 10 tahun.
Saya sempat mendengar kisah yang dialami beliau. Beliau termasuk murid termuda K.H. Ahmad Dahlan. Nampaknya, dia satu-satunya murid yang mencatat pelajaran Kiyai Haji Ahmad Dahlan. Kami sempat beberapa kali menerbitkan Buku Pelajaran Kyai Ahmad Dahlan itu dalam bentuk stensilan. Terakhir, diterbitkan oleh Depag Jawa Tengah, dibagi secara gratis untuk PDM-PDM se Jateng. Buku itu ialah Himpunan Ayat-ayat Quran yang Difahami oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan.
Buku itu berisi ihwal bagaimana cara memahami, bagaimana cara mengajarkan, dan bagaimana pula cara mengamalkannya. Semua itu terungkap dalam Buku Pelajarannya Kyai Haji Ahmad Dahlan yang ditulis oleh KHR Hadjid. Generasi kini ini barangkali tidak banyak mengenalnya. Yang dikenal mungkin malah putra tertuanya yang juga terkenal, Bapak R.H. Haiban Hadjid.
Dua pertanyaan Kyai Ahmad Dahlan
Tahun 1921, ada Sidang Hoofdbestuur Muhammadiyah (PP Muhammadiyah). Di situ para assabiqunal awwalun Muhammadiyah berkumpul, para pendiri dan generasi pertama pimpinan dan penggagas Muhammadiyah. Yang menarik, dalam pertemuan itu ada tokoh yang tidak pernah kita kenal sebagai orang atau penggagas Muhammadiyah. Yang menarik ialah dia sanggup tampil meyakinkan dalam lembaga para pembesar, pimpinan Muhammadiyah generasi pertama berkumpul. Orang itu ialah Haji Agus Salim.
Haji Agus Salim punya gagasan untuk menyebabkan Muhammadiyah sebagai partai politik. Kalau pada masa Orde Baru Muham-madiyah disebut orsospol, dan beberapa pimpinan Muhammadiyah menjadi anggota Dewan. Ternyata, menjelang janjkematian Kiyai Haji Ahmad Dahlan, sudah muncul juga “ambisi” menyebabkan Muhammadiyah sebagai parpol. Sidang dipimpin oleh Kiyai Ahmad Dahlan. Diketahui, Haji Agus Salim ialah seorang jurnalis, politisi dan diplomat yang hebat. Tidak ada yang sanggup mengalahkannya dalam berdebat. Sekalipun suatu kali ternyata dia pernah kalah nalar dengan seorang kusir andong.
Ceritanya, ketika suatu pagi dia sehabis shalat di Bandara Kemayoran, Haji Agus Salim naik dokar. Ketika itu kudanya kentut. Kata Haji Agus Salim kepada kusirnya, “Pak, kudanya masuk angin”. “Bukan masuk angin, tapi keluar angin”, jawab kusir. Haji Agus Salim keok dengan balasan itu.
Kembali ke soal Sidang Hoofdbestuur, argumentasi Haji Agus Salim menciptakan seluruh yang hadir terpukau, terkesima dan setuju, menyebabkan Muhammadiyah sebagai partai politik. Kyai Dahlan, lantaran menjadi pimpinan sidang, tidak berpendapat.
Setelah Kyai Dahlan melihat nampaknya yang hadir sepakat dengan gagasan Haji Agus Salim, Kyai Haji Ahmad Dahlan yang memimpin sidang dengan duduk, kemudian berdiri sambil memukul meja. Saya tidak sempat bertanya kepada guru saya, Kiyai Hadjid, memukul mejanya keras, apa tidak.
Kyai Ahmad Dahlan mengajukan dua pertanyaan yang sangat sederhana dan sangat mudah. Dan kalau dijawab, bahwasanya juga gampang. Pertama, apa saudara-saudara tahu betul apa agama Islam itu? Kedua, apa saudara berani beragama Islam?
Tidak ada satu pun dari yang hadir yang sanggup menjawab pertanyaan itu, termasuk Haji Agus Salim sendiri. Bukannya tidak bisa, alasannya ialah mana mungkin ditanya soal Islam begitu saja tidak tahu. Tapi, ketika ditanya “Beranikah kau beragama Islam?”. Mereka tahu persis yang ditanyakan Kyai Haji Ahmad Dahlan itu.
Pak Hadjid muda, bercerita kepada saya, “Bukan main tulusnya pertanyaan Kiyai Haji Ahmad Dahlan itu”. Sebenarnya pertanyaan itu sederhana, tapi tidak ada yang sanggup menjawab. Akhirnya gagasan Haji Agus Salim tidak kesampaian. Muhammadiyah urung jadi partai politik.
Dua pertanyaan Kiyai Haji Ahmad Dahlan itu, kini gres terjawab satu. Yaitu pada waktu Muktamar Muhammadiyah ke-40 di Surabaya tahun 1978. Jawaban itu berupa keputusan ihwal Ideologi Islam, Pokok-Pokok Pikiran ihwal Dienul Islam, yang konsepnya dari Bapak H. Djindar Tamimy. Jadi, sehabis kira-kira 56 tahun gres terjawab satu pertanyaan.
Sedangkan pertanyaan yang kedua, hingga kini ini belum ada yang berani menjawab. Tahun 1960, kebetulan saya masih sering mendengar, ada ungkapan Kyai Dahlan yang menarik, “Durung Islam temenan, nek durung wani mbeset kuliti dewe” (Belum Islam sungguh-sungguh, kalau belum berani mengelupas kulitnya sendiri).
Yang akan saya ungkap di sini, kaitannya dengan pertanyaan Kiyai Haji Ahmad Dahlan tadi, apa Islam itu, sanggup dibuka pada Pelajaran Kiyai Haji Ahmad Dahlan. Bagi KHR Hadjid, Kyai Dahlan dalam mengungkap ayat itu menarik sekali. Ayat yang diungkap ialah ayat yang sudah populer. Bahkan menjadi bacaan harian mereka yang membaca doa iftitah shalat memakai hadis riwayat Imam Muslim (Wajjahtu wajhiya….).
Buku itu mengungkap dan mengajarkan bagaimana Islam itu. Ternyata, sehabis sekian tahun bermuhammadiyah Kyai Dahlan gres sanggup mengaplikasikan dan merealisir anutan Quran tidak lebih dari 50 ayat. Dua ayat diantaranya ada dalam surat Al Anam. Qul inna shalati wa-nusuqi wa mahyaaya, wa mamaati lillaahi rabbil alamin. Laa syarikalah wa bidzalika umirtu.
Dalam salah satu kitab tafsir diungkap bahwa ayat ini diucapkan oleh Nabi Ibrahim AS. Kata-kata dalam ayat Quran yang menyebut aslama-yuslimu-aslim, muncul dari Nabi Ibrahim AS. Jadi, awwalul muslimin itu Ibrahim, sedang wa ana minal muslimin itu Rasulullah Saw. Maka di dalam doa Iftitah yang diucapkan dalam bacaan shalat tadi boleh dipilih antara awwalul muslimin atau wa ana minal muslimin.
Qul, katakanlah (Muhammad), inna shalati, sungguh shalatku; wa nusuki, dan pengorbananku; wa mahyaya, dan peran hidupku; wa mamati, dan tujuan matiku; lillah, hanya untuk dan lantaran Allah; raabil alamin, pengatur alam semesta. Laa syariikalah, tidak ada sekutu bagi-Nya; wa bidzaalika umirtu, dan dengan itu saya diperintah; wa ana awwalul muslimin, dan saya orang yang pertama, pasrah, setia tunduk kepada Allah Subhanahu wataala. Amin ya rabbal alamin.
Itu makna yang populer, kecuali kata nusuk yang saya terjemahkan menjadi pengorbananku. Pada hampir semua terje-mahan, nusuk diartikan ibadah.
Mengenai tafsirnya, kebetulan tidak sempat saya catat tapi saya punya kitabnya, nusuk bukan berarti ibadah. Yang berarti ibadah ialah nasakun. Nusuk artinya menyembelih kurban. Maka saya artikan, nusuki ialah pengorbananku. Jadi, “shalatku, pengorbananku, hidup matiku, lillahi rabbil alamin”.
Kyai Bakir Sholeh, seorang ulama besar Jogja yang dikenal sebagai kamus berjalan, memaknai dengan liman kana yarju…… “Sungguh, shalatku, pengorbananku, hidup dan matiku hanya untuk Allah”. Dalam terjemah Miftah Farid masih kelihatan biasa. Tetapi untuk terjemahan ini orang sanggup tertegun, “Hanya lantaran untuk Allah rabbil alamin.”
Laa syarikalah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Pengertian ini oleh Kyai R.H. Hadjid, yang telah mendengar pelajarannya pribadi dari Kiyai Dahlan dengan terjemahan tafsir “itu tidak untuk selain Allah”. Karena syarikat bermakna sekutu. Sekutu itu apa saja sanggup dianggap sekutu.
Lalu ayat tadi bermakna apa? “Shalatku, pengorbananku, hidup dan matiku hanya untuk Allah pengatur alam semesta”. Laa syarikalah, tidak ada sekutu selain Allah. “Aku diperintah untuk hidup dengan model cara yang menyerupai itu. Tidak untuk maksud-maksud yang lain. Tidak untuk anak istriku. Tidak untuk orang tuaku, juga tidak untuk bangsa dan tanah airku”. Tanah dan air itu kalau jadi satu namanya blethokan. Hidupku tidak untuk itu.
Pertanyaannya, kemudian untuk apa? “Bela hakmu, perjuangkan hakmu. Membela tanah air ialah sabilillah. Membela tanah air bukan lantaran kemauan tanah air, tetapi lantaran Allah”. Di sini kemudian maknanya, “berbuat oke kau kepada orang tuamu”. Bedanya dengan ihsan, tidak sekedar lantaran naluri, atau lantaran punya naluri berbakti kepada orang tua, tetapi begitu lengkap. Sebab itu lantaran perintah Allah, dari kata “wa-ahsinuu, …..birrul walidaini”.
Jadi terperinci kini ini. Lalu ditutup dengan “wa ana awwalul muslimin. O, ini to karepe (maksudnya) Islam itu. Islam, maksudnya, mendidik kita untuk hidup model menyerupai itu. Tidak pakai tiru-tiru model yang lain.
Dalam setiap langkah selalu berusaha dan berkarya, tidak sanggup yang namanya hidup kecuali semuanya dalam bentuk kepasrahan, niat yang ikhlas berbakti kepada Allah, apapun yang dilakukan. Sebagaimana ayat yang populer, wamaa khalaqtul jinna wal-insaan illa liyabuduun. Manusia ini hidup diciptakan oleh Allah, tidak lain, (satu kalimat yang dimulai dengan nafi, yang di belakang ada illa itu, merupakan satu kepercayaan kepastian) hidup ini hanya untuk beribadah, tidak lain. Maka, semua acara hidup kita harus punya nilai dan nafas ibadah. Di situlah makna hakekat dari Islam.
Dari ayat ini, dia yang memang orang alim dan orang-orang generasi pertama, sanggup menangkap pertanyaan ini, walaupun tidak sanggup menjawab.
Maaf, kalau orang sudah bicara politik, hampir sanggup dipastikan yang dicari hanyalah kursi. Dulu, ketika sama-sama jadi mubaligh, sama-sama aktif, masih bisa. Tapi, ketika sudah hingga pada soal kampanye, jangan tanya. Disitulah letak bahayanya politik kalau tidak disinari oleh Islam. Sehingga, rasa-rasanya, kita ini tampaknya tidak punya panutan, siapa politikus kita yang sanggup membawa amanah Islam. Rasanya jauh sekali dengan para pendahulu kita. Seperti Pak Muhammad Natsir, yang kalau mau sidang ke dewan perwakilan rakyat hanya naik becak, tidak mau dijemput mobil.
Bermuhammadiyah ialah berislam. Ungkapan ini memang cukup tandas. Masyarakat/umat Islam ketika itu di dalam berislam sudah bukan main trampilnya. Seperti diungkap dalam sabda Nabi yang bernilai ramalan itu, “Akan tiba kepada kau sekalian, suatu jaman dimana Quran tidak kekal lagi, Islam tidak tegak lagi kecuali hanya nama. Memang banyak orang mengaku dirinya muslim, tapi sikap dan tindakannya jauh sekali dari Islam. Masjid-masjidnya makmur, banyak jamaah, tapi sepi dari kebaikan. Orang-orang yang paling dalam ilmu agamanya menjadi orang yang paling jahat di kolong langit. Dari mereka keluar fitnah”. Tetapi fitnah itu kembali kepada orang-orang tadi. Jika hal ini disebut oleh Rasulullah, ini yang terperinci terjadinya sepeninggal Rasululah.
Rupanya, hampir 100 tahun yang lalu, fenomena ini terjadi, yakni di jaman sekitar hidup Kiyai Haji Ahmad Dahlan. Bagaimana Quran yang punya bobot yang luar biasa, kekuatan dahsyat, lau anzalnya haadzal qurana ala jabalin………min khasyatillah (Seandainya kami turunkan Quran kepada gunung, kau akan tahu Muhammad, gunung itu akan menolak, tunduk, hancur lumat lantaran takutnya kepada Allah. Itulah kekuatan dahsyat dari Alquran), tapi tidak diamalkan lagi.
Sekarang ini, berapa juta kali Quran dibaca setiap hari. Ratusan karya tafsir yang menjelaskan dari kata maupun kalimat untuk menjelaskan ayat-ayat Alquran, berapa pula diangkat di dalam seminar, simposium, diskusi, namun tetap juga sulit untuk mendapat pembaca Quran itu yang meneteskan air mata. Sudah susah kita menemui orang sesenggukan membaca Alquran. Dan amat sukar kita dapati orang yang terisak-isak lantaran mendengarkan peringatan ayat-ayat Alquran.
Tidak ada orang yang tersungkur lantaran mendengar ayat-ayat Alquran, kecuali tersungkurnya lantaran sujud tilawah itu saja. Masih mending, kita masih mau setia mengikuti sunnah Nabi. Setiap Jumat Shubuh, Nabi selalu membaca surat As-Sajdah di rakaat pertama, dan surat Al-Insan di rakaat kedua. Yang menyerupai ini kini di Jogja hampir tidak ada. Kita perlu mengelus dada (prihatin) melihat hal ini. Dibaca saja tidak apalagi diamalkan.
Begitu pula, Islam hanya tinggal namanya. Secara minoritas, orang Indonesia, khususnya orang Jawa, Islamnya cuma dalam tiga hal. Berislam ketika tetak (khitan), ketika menikah, dan dikala prosesi kematiannya. Kalau sudah ditetaki (dikhitan) sudah marem. Anakku wis diislami (anakku sudah diislami), begitu batinnya. Kemudian kalau mau menikah, mereka sudah mantap mengundang Pak Naib. Dan ketika meninggal mengundang hebat tahlil. Dengan ketiga hal itu, sudah dianggap lengkap Islamnya.
Anehnya, diantara orang-orang yang beragamanya hanya tiga kali seumur hidup itu, malah ada yang diangkat menjadi amirul haj Indonesia. Ini sungguh-sungguh pernah terjadi. Tidak hanya cara berislamnya yang merusak tatanan Islam yang sebenarnya, bahkan dia juga termasuk perusak dan pemecah belah ummat Islam. Sampai menyerupai ini yang terjadi di Indonesia yang memang, katakanlah, sedikit atau banyak bersifat gado-gado.
Ketika belum ada agama yang masuk, orang Indonesia masih primitif, aben kemenyan menjadi kebiasaan. Ketika tiba anutan Hindu, diterima. Lalu ketika tiba anutan Budha, juga diterima, tiba Islam juga diterima, dan terakhir, Nasrani juga diterima. Semuanya bergabung menjadi satu, Pancasila.
Inilah yang kita lihat di sekitar kita, wajah keberagamaan umat Islam. Masih lumayan, masih ada sekelompok (besar) orang, yang beranggapan kalau sudah berhaji itu sudah lengkap Islamnya. Hal ini sanggup dilihat kalau, misalnya, ada satu orang berangkat haji, rombongan bis yang mengantar sanggup hingga tujuh buah, disebabkan oleh penghormatan kepada orang yang mau berangkat haji yang demikian besarnya. Bahkan ketika mengantar hingga di Bandara pun menangisnya sanggup hingga sesenggukan.
Memang cantik dan elok sanggup pergi berhaji. Tapi dengan beribadah haji itu belum tuntas kewajibannya sebagai muslim. Sebenarnya ibadah haji masih dalam tataran pondasi. Buniyal islamu ala khomsin…. Islam itu dibangun di atas lima perkara, yang kita kenal dengan rukun Islam. Lima masalah itu ialah syahadat, shalat, puasa, zakat, dan berhaji, itu gres pondasi. Untuk membangun keluarga sakinah memang harus lima masalah itu dulu yang ditata. Sebab, ada orang yang berhaji berkali-kali, tapi ternyata keluarganya tidak juga kunjung menjadi keluarga sakinah.
Nah, ini merupakan catatan penting untuk dakwah Muhammadiyah, bagaimana umat ini dikenalkan dengan berislam yang sebenarnya. Saya tidak menyinggung lebih jauh lagi apa kemudian pedomannya, pelatihannya, dan sebagainya, bukan kini saatnya untuk mengungkap problem ini.
Kita bermuhammadiyah yang paling fundamental ialah berislam. Itulah yang dituntutkan kepada kita. Bagaimana kita punya sikap hidup setia dan pasrah dengan tatanan hukum hidup Islam. Termasuk yang dulu juga pernah diungkap Kyai Haji Ahmad Dahlan, saya kurang tahu persis kalimat itu, hanya mendengar sepintas, “Hidup sepanjang kemauan Islam”.
Inilah semangat muhammadiyyin tempo dulu, bagaimana hidup ini dijalani berdasarkan kemauan Islam. Bukan berdasarkan kemauan adat, bukan pula berdasarkan kemauan nenek moyang ataupun tradisi, tapi berdasarkan kemauan Islam. Ini yang menjadi semboyan para pendahulu kita. Saya hanya sempat mendengar-dengar pada awal tahun 1960. Inilah makna pertama dari bermuhammadiyah itu.
Para pimpinan dan penggagas Muhammadiyah dituntut untuk tahu dan faham apa makna berislam itu. Tahu dan faham, dihentikan hanya tahu saja. Doa yang dituntunkan dari Alquran, Rabbi zidni ilma war zuqni fahma. Pertama, ihwal ilmunya sendiri, kuncinya memang harus tahu. Tapi, tahu saja belum sanggup melaksanakan, sehingga diikuti dengan yang kedua, warzuqni fahma, memohon diberikan kefahaman. Dengan faham itu gres ada jalan untuk meraih kebaikan, sebagaimana sabda Nabi man yurudillahu khairan yufaqqihhu fiddin, siapa yang dikehendaki baik oleh Allah maka orang tadi difahamkan agamanya oleh Allah.
Soal tahu ini, dengan hanya sekali mendengar saja orang sudah sanggup tahu. Sekali mendengar ceramah sudah sanggup tahu. Tetapi untuk sanggup faham, tidak cukup dengan sekali mendengar. Maka, Nabi mesti mengulang sesuatu hingga tiga kali. Hal ini kita dapati pada kitab Riyadush-shalihin. Setiap kali men-datangi suatu kaum Rasulullah mengucapkan salam hingga tiga kali. Sementara, banyak di antara kita yang malas mengucap salam diulang hingga tiga kali. Malahan mungkin kuatir disebut sebagai orang NU, lantaran biasanya orang NU itu yang mengamalkan hal ini.
(Transkrip Ceramah Ustadz Ibnu Juraimi dalam Pengajian Paripurna Program Rihlah Dakwah di PDM Temanggung Jawa Tengah. Ditranskrip oleh Arief Budiman Ch.)
0 Komentar untuk "Makna Bermuhammadiyah Pertama: Bermuhammadiyah Yaitu Berislam"