Abdullah Bin Zubair Radhiyallahu 'Anhu
Abdullah bin Zubair RA merupakan salah satu sosok sahabat yang istimewa, alasannya yaitu ia berhijrah ketika dalam kandungan ibunya. Ibunya pun seorang yang istimewa, Asma binti Abu Bakar, yang mempunyai tugas besar ketika Nabi SAW dan Ayahnya dalam awal hijrah dicari-cari oleh orang kafir Quraisy untuk dibunuh. Ayahnya yaitu seorang sahabat yang dijamin masuk nirwana ketika masih hidup, salah satu dari sepuluh sahabat, Zubair bin Awwam RA.
Allah menambah keistimewaannya alasannya yaitu ia menjadi bayi pertama yang lahir di masa hijrah. Tidak sanggup dibayangkan bagaimana beratnya Asma binti Abu Bakar berhijrah, ia dalam keadaan hamil bau tanah ketika harus menempuh panasnya padang pasir sejauh hampir 500 km. Ketika gres beberapa hari di Quba, ia melahirkan dan bayinya dibawa kepada Nabi SAW. Beliau mengecup pipi dan mulutnya, hingga air liur Rasulullah SAW memasuki rongga mulutnya, dan memberi nama ‘Abdulah’.
Tidak cukup hingga disitu saja, seluruh kaum muslimin, baik Muhajirin atau Anshar, menggendong bayi Abdullah ini keliling kota Madinah sambil menggemakan tahlil dan takbir. Apa yang bergotong-royong terjadi? Ternyata, Beberapa waktu sebelumnya orang-orang Yahudi membuatkan isu bahwa dukun-dukun mereka telah menyihir kaum muslimin hingga menjadi mandul. Bagi penduduk Madinah, ancaman ini bukan hal sepele, alasannya yaitu selama ini mereka menganggap kaum Yahudi sebagai orang yang ‘dekat’ dengan Tuhan. Tetapi dengan kelahiran Abdullah ini, mereka memperoleh bukti bahwa orang-orang Yahudi tersebut hanya membuatkan kabar bohong semata.
Ibnu Zubair hanya dalam masa kanak-kanak ketika Rasulullah SAW masih hidup, tetapi itu cukup membuatnya tumbuh menjadi eksklusif yang kokoh dan teguh dengan keislaman, sebagaimana kedua orang tuanya. Ia berba'iat kepada Nabi SAW ketika masih berusia 7 tahun, dan dia mendapatkan ba'iatnya, padahal biasanya dia tidakmau mendapatkan ba'iat dari anak-anak. Ia tumbuh menjadi spesialis ibadah sebagaimana orangtuanya, dan sahabat sahabat senior Nabi SAW lainnya. Kesehariannya banyak diisinya dengan membaca dan mengkaji Al Qur'an, serta sunnah Nabi SAW, memperbanyak ibadah dan berpuasa di hari-hari yang panas alasannya yaitu rasa takutnya kepada Allah. Ketika sedang shalat, yakni ketika sedang ruku dan sujud, tak jarang burung-burung dara bertengger di punggungnya tanpa sedikitpun merasa terganggu shalatnya.
Suatu ketika Rasulullah SAW berbekam, dan menyuruh Ibnu Zubair untuk membuang atau mengubur darah yang dikeluarkan dari kepala beliau. Ibnu Zubair membawanya, tetapi bukannya membuang ia justru meminumnya. Ketika Nabi SAW kemudian mengetahuinya, dia bertanya, "Wahai Abdullah, engkau kemanakan darah bekamku tadi?"
Ibnu Zubair berkata, "Aku kuburkan di daerah yang paling tersembunyi, Ya Rasulullah.."
Nabi SAW yang telah mengetahui apa yang dilakukan Ibnu Zubair hanya tersenyum, kemudian bersabda, "Orang yang di dalamnya mengalir darahku, maka dia tidak akan disentuh api neraka…"
Sesaat Rasulullah SAW tercenung, mirip menerawang jauh, kemudian bersabda lagi, "Tetapi bagaimanapun engkau akan membunuh orang, atau orang itu yang akan membunuhmu."
Sabda Nabi SAW semacam ramalan bagaimana tamat kehidupan Ibnu Zubair. Bahkan ketika kelahirannya, dia pernah mengibaratkan bahwa Ibnu Zubair ini mirip seekor domba yang dikelilingi harimau yang berbulu domba.
Pada masa khalifah Utsman bin Affan, ia bergabung dengan pasukan muslim yang dipersiapkan untuk menyerang pasukan Romawi yang berjumlah 200.000 orang, sementara pasukan muslim sendiri hanya 20.000 orang. Pimpinan pasukan yaitu gubenur Mesir, Abdullah bin Abi Sarah. Pasukan ini ditujukan untuk membebaskan Afrika, Andalusia dan Konstantinopel dari penjajahan dan tirani Romawi.
Pimpinan pasukan Romawi yang berjulukan Jarjir mengadakan sayembara, barang siapa sanggup membunuh Abdullah bin Abi Sarah, ia berhak memperoleh hadiah sebesar 100.000 dinar dan menikahi anaknya. Sayembara ini disebarkan juga di kalangan kaum muslim. Abdullah bin Zubair melihat ancaman mencerai-beraikan ini dalam seni administrasi Jarjir itu. Karena itu dengan persetujuan komandannya, ia menciptakan sayembara tandingan, ia berkata, "Kita tidak perlu khawatir, kita juga mengumumkan, bahwa barang siapa yang sanggup membunuh Jarjir, ia memperoleh hadiah 100.000 dinar, dan berhak menikahi putrinya."
Ternyata tidak gampang membangkitkan semangat pasukan muslim hanya dengan sekedar sayembara tandingan mirip itu. Karena itu, Abdullah bin Zubair bersama sekelompok sahabat dan temannya menjadi pasukan perintis untuk menjebol pagar betis pasukan Romawi yang berlipat sepuluh kali lipat banyaknya tersebut. Ia berkata kepada pasukan perintis yang mendukungnya, "Lindungilah punggungku, dan marilah menyerbu musuh bersamaku…!!"
Pasukan ini berhasil membelah pasukan Romawi, dan terus merangsek maju menuju satu titik, yakni daerah pengendali dan komandan pasukan, Jarjir. Seolah perahu yang membelah gelombang, pasukan perintis ini seolah tidak terbendung hingga jadinya hingga berhadapan dengan Jarjir. Abdullah bin Zubair sendiri yang bertempur dengan komandan pasukan Romawi yang ditakuti itu, dan jadinya ia berhasil membunuhnya.
Panji-panji Islam berkibar di sentra komando pasukan Romawi, dan pasukan muslim yang terus bergerak di belakangnya juga berhasil memporak-porandakan pasukan Romawi lainnya. Kemenangan yang gemilang ini tak lepas dari tugas dan keberanian Abdullah bin Zubair, alasannya yaitu itu Abdullah bin Abi Sarah, komandan pasukan muslim, menunjukkan kehormatan kepadanya untuk memberikan sendiriberita kemenangan ini kepada Khalifah Utsman di Madinah.
Abdullah bin Zubair tidak sanggup menghindar ketika ia dihadapkan pada suasana fitnah sehabis wafatnya khalifah Utsman. Dengan tegar ia berdiri di sisi Ali bin Abi Thalib, bahkan ketika Ali diturunkan dan kemudian tewas terbunuh, Ibnu Zubair dengan lantang menyatakan penolakannya untuk berba'iat kepada Muawiyah. Ketika Muawiyah memba'iat anaknya, Yazid bin Muawiyah untuk menjadi khalifah penggantinya, dengan tegas pula ia menolaknya. Walau banyak sekali ancaman ditujukan pada dirinya, ia berkata, "Sampai kapanpun dan bagaimanapun saya tidak akan berba'iat kepada si Pemabuk itu..!!"
Sangatlah beralasan jikalau Ibnu Zubair menyatakan penolakannya ini tanpa tedeng aling-aling. Kalau terhadap ayahnya, Muawiyah, masih ada penghargaannya sebagai sahabat Nabi SAW dengan banyak sekali kebaikan dan kelebihannya, di samping beberapa kekurangannya. Tetapi terhadap Yazid tidak ada alasan apapun untuk mendukung dan menghargainya. Sebuah syair pendek dilontarkannya sebagai ungkapan sikapnya terhadap Yazid, "Terhadap hal yang bathil, tidak ada daerah berlunak dan berlembut, kecuali jikalau geraham, sanggup mengunyah watu menjadi lembut….!!"
Terbuktilah kemudian, Yazid banyak melaksanakan tindakan jahiliah yang menginjak-injak nilai-nilai keimanan dan kemanusiaan. Ia sama sekali tidak mengindahkan ajaran-ajaran Islam dan kecintaan kepada Nabi SAW, sebaliknya, hanya memperturutkan hawa nafsu dan ambisi kekuasannya semata. Pembantaian Husein bin Ali, cucu Rasulullah SAW di padang Karbala, beserta keluarganya dan para pengikutnya, penyerangan kota Madinah yang populer dengan insiden Harrah, dan jadinya penyerangan kota Makkah, semua itu diarsiteki oleh Yazid bin Muawiyah. Peristiwa-peristiwa ini merupakan sisi kelam dalam sejarah perkembangan Islam.
Setelah perilaku penolakannya terhadap Yazid ini, Abdullah bin Zubair pindah ke Makkah, begitu juga denganHusein bin Ali yang juga dengan tegas menyatakan penolakannya. Ia ingin mengisi waktunya dengan lebih banyak ibadah, dan meninggalkan suasana "politik" yang penuh fitnah. Tetapi pena takdir telah menetapkan ia harus mengarungi jalan dan suasana tersebut untuk menemukan syahidnya. Selalu saja ada yang tiba untuk berdiri di belakang dirinya, menyokong sikap-sikapnya, dalam melaksanakan perlawanan terhadap banyak sekali kedzaliman yang dilakukan oleh Yazid sebagai pihak penguasa.
Walau niatnya menghabiskan waktu untuk ibadah, tetapi Abdullah bin Zubair tak ubahnya seorang pemimpin di antara orang-orang yang juga beribadah bersamanya. Tetapi, ternyata tidak semua pengikutnya itu mempunyai niat lapang dada untuk menegakkan kebenaran semata-mata, mirip apa yang digambarkan dan diramalkan Nabi SAW ketika kelahirannya,"Ia laksana domba, di antara harimau yang berbulu domba…"
Setelah insiden Karbala, penduduk Madinah, yang sebagian besar yaitu sahabat Anshar dan keturunannya, mulai menyatakan penolakannya dengan tegas atas kekhalifahan Yazid. Karena itu Yazid mengirim pasukanbesar untuk menyerang Madinah, dan sehabis itu diperintahkan menyerang Abdullah bin Zubair di Makkah. Pada ketika terjadi penyerangan Makkah dengan manjaniq, dimana epilog dan sebagian besar bab Ka'bah terbakar, datanglah kabar dari Syam, bahwa Yazid mati. Pasukan itupun kembali ke Syam sebelum sempat menangkap atau membunuh Abdullah bin Zubair.
Masyarakat Hijaz dan sekitarnya memba'iat Abdullah bin Zubair sebagai khalifah sehabis janjkematian Yazid. Sementara itu, Bani Umayyah mengangkat putra Yazid, Muawiyah bin Yazid sebagai khalifah. Muawiyah ini sangat berbeda dengan ayahnya, ia seorang cowok yang saleh, yang menghabiskan waktunya dengan ibadah. Seolah Allah ingin menjaga kebaikannya ini, ia dalam keadaan sakit ketika ayahnya meninggal, dan tetap dalam keadaan sakitselama empat puluh hari (atau dua bulan dalam riwayat lainnya), dan tetap tinggal di daerah tidurnyasampai janjkematian menjemputnya.
Marwan bin Hakam mengangkat dirinya sebagai khalifah penerus Bani Umayyah, dan menjelang kematiannya, ia menunjuk putranya Abdul Malik bin Marwan sebagai penggantinya. Abdul Malik ini membentuk pasukan besar berjumlah 40.000 orang di bawah kepemimpinan Hajjaj bin Yusuf ats Tsaqafi untuk menyerang Ibnu Zubair di Makkah. Pasukan ini melaksanakan pengepungan Makkah selama berbulan-bulan sambil menyerangnya dengan manjaniq. Akibat pengepungan ini, sebagian besar anggota pasukan Ibnu Zubair mengalah atau membelot ke pasukan Hajjaj alasannya yaitu kekurangan masakan dan kelaparan. Tetapi ada juga yang berkhianat alasannya yaitu tergiur dengan banyak sekali proposal kenikmatan duniawiahyang ditawarkan oleh Hajjaj.
Pengikut yang setia mendampingi Ibnu Zubair makin sedikit saja, tetapi yang justru dikhawatirkan Ibnu Zubair yaitu keselamatan para pengikutnya tersebut. Ia meminta mereka untuk menyingkir saja, tetapi mereka ini tidak mau meninggalkannya sendirian sebagaimana teman-temannya yang lain. Mereka siap mempertaruhkan nyawanya asalkan tetap diijinkan untuk mendampinginya.
Abdullah bin Zubair menemui ibunya, Asma binti Abu Bakar yang telah berusia sekitar 97 tahun dan telah buta matanya, untuk mendiskusikan duduk kasus yang dihadapinya. Ibnu Zubair menceritakan situasi yang sedang dihadapinya, dan banyak sekali kemungkinan yang terjadi pada pasukan yang dipimpinnya, yang jumlahnya memang sangat sedikit. Ibunya ini memang perempuan hebat, putri dari seorang sahabat yang hebat, istri dari sahabat yang hebat, dan dipuji dan dididik oleh seorang yang mulia dan hebat, Nabi SAW.Karena kiprahnya ketika membantu Rasulullah dan ayahnya ketika bersembunyi di gua Tsur, sebelum kemudian hijrah ke Madinah, dia menunjukkan gelar kepadanya Dzatun Nithaqain.
Atas permasalahan putranya ini, Asma menyatakan, bahwa tidak sepatutnya ia menentukan dan melaksanakan sesuatu, kecuali di atas jalan kebenaran. Tidak ada kamus mengalah dan mundur dari usaha hanya alasannya yaitu terlalu kuatnya musuh, terlebih lagi alasannya yaitu terpikat oleh proposal kenikmatan duniawiah, sungguh suatu kecelakaan besar dan menyimpang dari jalan yang dirintis oleh ayahnya, kakeknya, dan para sahabat yang telah gugur mendahuluinya. Abdullah bin Zubair berkata kepada ibunya, "Wahai Ibu, saya juga meyakini mirip itu, hanya saja saya khawatir, orang-orang Syam itu akan menyalib dan menyayat-nyayat tubuhku sehabis mereka membunuhku!!”
Memang, bergotong-royong yang dikhawatirkan yaitu perasaan ibunya kalau jasadnya akan diperlakukan dengan sangat biadab mirip yang telah "biasa" mereka lakukan sebelumnya, contohnya yang terjadi pada insiden Karbaladan Harrah. Apalagi pemimpin pasukan Syam itu, Hajjaj bin Yusuf ats Tsaqafi populer sebagai orang yang sangat kejam dan biadab, sangat jauh dari budpekerti Islami walau dia pemeluk Islam. Namun, Ibnu Zubair memperoleh tanggapan yang tidak tersangka-sangka dan sangat luar biasa dari ibunya, "Wahai anakku, sesungguhnya kambing itu tidak mencicipi sakit walau dikuliti sehabis disembelih, Teruskan langkahmu dan mintalah derma kepada Allah…!!"
Asma hendak memeluk putranya tersebut untuk terakhir kali, tetapi tangannya menyentuh baju besi yang digunakan Ibnu Zubair, segera saja ia berkata, "Apa-apaan ini Abdullah..!! Orang yang menggunakan ini, hanyalah mereka yang tidak menginginkan apa yang bergotong-royong engkau inginkan… (yakni, kesyahidan)..!!"
Abdullah bin Zubair segera melepas baju besi tersebut kemudian berpelukan dengan ibunya. Asma mengucapkan beberapa patah doa sebagai pengiring dan penyemangat anaknya untuk terakhir kalinya. Ibnu Zubair beranjak menuju sisa pasukan yang setia mendampinginya, kemudian mereka menyerang pasukan Hajjaj dan terjadi pertempuran tidak seimbang yang jadinya mengantar Ibnu Zubair dan pasukannya menuju gerbang kesyahidan.
Dan mirip telah diperkirakan oleh Ibnu Zubair, Hajjaj menyalib dan menyayat tubuhnya yang telah kaku. Namun semua itu tidaklah menjadikannya tercela, justru menambah kemuliaan dirinya di sisi Allah.
Abdullah bin Zubair RA merupakan salah satu sosok sahabat yang istimewa, alasannya yaitu ia berhijrah ketika dalam kandungan ibunya. Ibunya pun seorang yang istimewa, Asma binti Abu Bakar, yang mempunyai tugas besar ketika Nabi SAW dan Ayahnya dalam awal hijrah dicari-cari oleh orang kafir Quraisy untuk dibunuh. Ayahnya yaitu seorang sahabat yang dijamin masuk nirwana ketika masih hidup, salah satu dari sepuluh sahabat, Zubair bin Awwam RA.
Allah menambah keistimewaannya alasannya yaitu ia menjadi bayi pertama yang lahir di masa hijrah. Tidak sanggup dibayangkan bagaimana beratnya Asma binti Abu Bakar berhijrah, ia dalam keadaan hamil bau tanah ketika harus menempuh panasnya padang pasir sejauh hampir 500 km. Ketika gres beberapa hari di Quba, ia melahirkan dan bayinya dibawa kepada Nabi SAW. Beliau mengecup pipi dan mulutnya, hingga air liur Rasulullah SAW memasuki rongga mulutnya, dan memberi nama ‘Abdulah’.
Tidak cukup hingga disitu saja, seluruh kaum muslimin, baik Muhajirin atau Anshar, menggendong bayi Abdullah ini keliling kota Madinah sambil menggemakan tahlil dan takbir. Apa yang bergotong-royong terjadi? Ternyata, Beberapa waktu sebelumnya orang-orang Yahudi membuatkan isu bahwa dukun-dukun mereka telah menyihir kaum muslimin hingga menjadi mandul. Bagi penduduk Madinah, ancaman ini bukan hal sepele, alasannya yaitu selama ini mereka menganggap kaum Yahudi sebagai orang yang ‘dekat’ dengan Tuhan. Tetapi dengan kelahiran Abdullah ini, mereka memperoleh bukti bahwa orang-orang Yahudi tersebut hanya membuatkan kabar bohong semata.
Ibnu Zubair hanya dalam masa kanak-kanak ketika Rasulullah SAW masih hidup, tetapi itu cukup membuatnya tumbuh menjadi eksklusif yang kokoh dan teguh dengan keislaman, sebagaimana kedua orang tuanya. Ia berba'iat kepada Nabi SAW ketika masih berusia 7 tahun, dan dia mendapatkan ba'iatnya, padahal biasanya dia tidakmau mendapatkan ba'iat dari anak-anak. Ia tumbuh menjadi spesialis ibadah sebagaimana orangtuanya, dan sahabat sahabat senior Nabi SAW lainnya. Kesehariannya banyak diisinya dengan membaca dan mengkaji Al Qur'an, serta sunnah Nabi SAW, memperbanyak ibadah dan berpuasa di hari-hari yang panas alasannya yaitu rasa takutnya kepada Allah. Ketika sedang shalat, yakni ketika sedang ruku dan sujud, tak jarang burung-burung dara bertengger di punggungnya tanpa sedikitpun merasa terganggu shalatnya.
Suatu ketika Rasulullah SAW berbekam, dan menyuruh Ibnu Zubair untuk membuang atau mengubur darah yang dikeluarkan dari kepala beliau. Ibnu Zubair membawanya, tetapi bukannya membuang ia justru meminumnya. Ketika Nabi SAW kemudian mengetahuinya, dia bertanya, "Wahai Abdullah, engkau kemanakan darah bekamku tadi?"
Ibnu Zubair berkata, "Aku kuburkan di daerah yang paling tersembunyi, Ya Rasulullah.."
Nabi SAW yang telah mengetahui apa yang dilakukan Ibnu Zubair hanya tersenyum, kemudian bersabda, "Orang yang di dalamnya mengalir darahku, maka dia tidak akan disentuh api neraka…"
Sesaat Rasulullah SAW tercenung, mirip menerawang jauh, kemudian bersabda lagi, "Tetapi bagaimanapun engkau akan membunuh orang, atau orang itu yang akan membunuhmu."
Sabda Nabi SAW semacam ramalan bagaimana tamat kehidupan Ibnu Zubair. Bahkan ketika kelahirannya, dia pernah mengibaratkan bahwa Ibnu Zubair ini mirip seekor domba yang dikelilingi harimau yang berbulu domba.
Pada masa khalifah Utsman bin Affan, ia bergabung dengan pasukan muslim yang dipersiapkan untuk menyerang pasukan Romawi yang berjumlah 200.000 orang, sementara pasukan muslim sendiri hanya 20.000 orang. Pimpinan pasukan yaitu gubenur Mesir, Abdullah bin Abi Sarah. Pasukan ini ditujukan untuk membebaskan Afrika, Andalusia dan Konstantinopel dari penjajahan dan tirani Romawi.
Pimpinan pasukan Romawi yang berjulukan Jarjir mengadakan sayembara, barang siapa sanggup membunuh Abdullah bin Abi Sarah, ia berhak memperoleh hadiah sebesar 100.000 dinar dan menikahi anaknya. Sayembara ini disebarkan juga di kalangan kaum muslim. Abdullah bin Zubair melihat ancaman mencerai-beraikan ini dalam seni administrasi Jarjir itu. Karena itu dengan persetujuan komandannya, ia menciptakan sayembara tandingan, ia berkata, "Kita tidak perlu khawatir, kita juga mengumumkan, bahwa barang siapa yang sanggup membunuh Jarjir, ia memperoleh hadiah 100.000 dinar, dan berhak menikahi putrinya."
Ternyata tidak gampang membangkitkan semangat pasukan muslim hanya dengan sekedar sayembara tandingan mirip itu. Karena itu, Abdullah bin Zubair bersama sekelompok sahabat dan temannya menjadi pasukan perintis untuk menjebol pagar betis pasukan Romawi yang berlipat sepuluh kali lipat banyaknya tersebut. Ia berkata kepada pasukan perintis yang mendukungnya, "Lindungilah punggungku, dan marilah menyerbu musuh bersamaku…!!"
Pasukan ini berhasil membelah pasukan Romawi, dan terus merangsek maju menuju satu titik, yakni daerah pengendali dan komandan pasukan, Jarjir. Seolah perahu yang membelah gelombang, pasukan perintis ini seolah tidak terbendung hingga jadinya hingga berhadapan dengan Jarjir. Abdullah bin Zubair sendiri yang bertempur dengan komandan pasukan Romawi yang ditakuti itu, dan jadinya ia berhasil membunuhnya.
Panji-panji Islam berkibar di sentra komando pasukan Romawi, dan pasukan muslim yang terus bergerak di belakangnya juga berhasil memporak-porandakan pasukan Romawi lainnya. Kemenangan yang gemilang ini tak lepas dari tugas dan keberanian Abdullah bin Zubair, alasannya yaitu itu Abdullah bin Abi Sarah, komandan pasukan muslim, menunjukkan kehormatan kepadanya untuk memberikan sendiriberita kemenangan ini kepada Khalifah Utsman di Madinah.
Abdullah bin Zubair tidak sanggup menghindar ketika ia dihadapkan pada suasana fitnah sehabis wafatnya khalifah Utsman. Dengan tegar ia berdiri di sisi Ali bin Abi Thalib, bahkan ketika Ali diturunkan dan kemudian tewas terbunuh, Ibnu Zubair dengan lantang menyatakan penolakannya untuk berba'iat kepada Muawiyah. Ketika Muawiyah memba'iat anaknya, Yazid bin Muawiyah untuk menjadi khalifah penggantinya, dengan tegas pula ia menolaknya. Walau banyak sekali ancaman ditujukan pada dirinya, ia berkata, "Sampai kapanpun dan bagaimanapun saya tidak akan berba'iat kepada si Pemabuk itu..!!"
Sangatlah beralasan jikalau Ibnu Zubair menyatakan penolakannya ini tanpa tedeng aling-aling. Kalau terhadap ayahnya, Muawiyah, masih ada penghargaannya sebagai sahabat Nabi SAW dengan banyak sekali kebaikan dan kelebihannya, di samping beberapa kekurangannya. Tetapi terhadap Yazid tidak ada alasan apapun untuk mendukung dan menghargainya. Sebuah syair pendek dilontarkannya sebagai ungkapan sikapnya terhadap Yazid, "Terhadap hal yang bathil, tidak ada daerah berlunak dan berlembut, kecuali jikalau geraham, sanggup mengunyah watu menjadi lembut….!!"
Terbuktilah kemudian, Yazid banyak melaksanakan tindakan jahiliah yang menginjak-injak nilai-nilai keimanan dan kemanusiaan. Ia sama sekali tidak mengindahkan ajaran-ajaran Islam dan kecintaan kepada Nabi SAW, sebaliknya, hanya memperturutkan hawa nafsu dan ambisi kekuasannya semata. Pembantaian Husein bin Ali, cucu Rasulullah SAW di padang Karbala, beserta keluarganya dan para pengikutnya, penyerangan kota Madinah yang populer dengan insiden Harrah, dan jadinya penyerangan kota Makkah, semua itu diarsiteki oleh Yazid bin Muawiyah. Peristiwa-peristiwa ini merupakan sisi kelam dalam sejarah perkembangan Islam.
Setelah perilaku penolakannya terhadap Yazid ini, Abdullah bin Zubair pindah ke Makkah, begitu juga denganHusein bin Ali yang juga dengan tegas menyatakan penolakannya. Ia ingin mengisi waktunya dengan lebih banyak ibadah, dan meninggalkan suasana "politik" yang penuh fitnah. Tetapi pena takdir telah menetapkan ia harus mengarungi jalan dan suasana tersebut untuk menemukan syahidnya. Selalu saja ada yang tiba untuk berdiri di belakang dirinya, menyokong sikap-sikapnya, dalam melaksanakan perlawanan terhadap banyak sekali kedzaliman yang dilakukan oleh Yazid sebagai pihak penguasa.
Walau niatnya menghabiskan waktu untuk ibadah, tetapi Abdullah bin Zubair tak ubahnya seorang pemimpin di antara orang-orang yang juga beribadah bersamanya. Tetapi, ternyata tidak semua pengikutnya itu mempunyai niat lapang dada untuk menegakkan kebenaran semata-mata, mirip apa yang digambarkan dan diramalkan Nabi SAW ketika kelahirannya,"Ia laksana domba, di antara harimau yang berbulu domba…"
Setelah insiden Karbala, penduduk Madinah, yang sebagian besar yaitu sahabat Anshar dan keturunannya, mulai menyatakan penolakannya dengan tegas atas kekhalifahan Yazid. Karena itu Yazid mengirim pasukanbesar untuk menyerang Madinah, dan sehabis itu diperintahkan menyerang Abdullah bin Zubair di Makkah. Pada ketika terjadi penyerangan Makkah dengan manjaniq, dimana epilog dan sebagian besar bab Ka'bah terbakar, datanglah kabar dari Syam, bahwa Yazid mati. Pasukan itupun kembali ke Syam sebelum sempat menangkap atau membunuh Abdullah bin Zubair.
Masyarakat Hijaz dan sekitarnya memba'iat Abdullah bin Zubair sebagai khalifah sehabis janjkematian Yazid. Sementara itu, Bani Umayyah mengangkat putra Yazid, Muawiyah bin Yazid sebagai khalifah. Muawiyah ini sangat berbeda dengan ayahnya, ia seorang cowok yang saleh, yang menghabiskan waktunya dengan ibadah. Seolah Allah ingin menjaga kebaikannya ini, ia dalam keadaan sakit ketika ayahnya meninggal, dan tetap dalam keadaan sakitselama empat puluh hari (atau dua bulan dalam riwayat lainnya), dan tetap tinggal di daerah tidurnyasampai janjkematian menjemputnya.
Marwan bin Hakam mengangkat dirinya sebagai khalifah penerus Bani Umayyah, dan menjelang kematiannya, ia menunjuk putranya Abdul Malik bin Marwan sebagai penggantinya. Abdul Malik ini membentuk pasukan besar berjumlah 40.000 orang di bawah kepemimpinan Hajjaj bin Yusuf ats Tsaqafi untuk menyerang Ibnu Zubair di Makkah. Pasukan ini melaksanakan pengepungan Makkah selama berbulan-bulan sambil menyerangnya dengan manjaniq. Akibat pengepungan ini, sebagian besar anggota pasukan Ibnu Zubair mengalah atau membelot ke pasukan Hajjaj alasannya yaitu kekurangan masakan dan kelaparan. Tetapi ada juga yang berkhianat alasannya yaitu tergiur dengan banyak sekali proposal kenikmatan duniawiahyang ditawarkan oleh Hajjaj.
Pengikut yang setia mendampingi Ibnu Zubair makin sedikit saja, tetapi yang justru dikhawatirkan Ibnu Zubair yaitu keselamatan para pengikutnya tersebut. Ia meminta mereka untuk menyingkir saja, tetapi mereka ini tidak mau meninggalkannya sendirian sebagaimana teman-temannya yang lain. Mereka siap mempertaruhkan nyawanya asalkan tetap diijinkan untuk mendampinginya.
Abdullah bin Zubair menemui ibunya, Asma binti Abu Bakar yang telah berusia sekitar 97 tahun dan telah buta matanya, untuk mendiskusikan duduk kasus yang dihadapinya. Ibnu Zubair menceritakan situasi yang sedang dihadapinya, dan banyak sekali kemungkinan yang terjadi pada pasukan yang dipimpinnya, yang jumlahnya memang sangat sedikit. Ibunya ini memang perempuan hebat, putri dari seorang sahabat yang hebat, istri dari sahabat yang hebat, dan dipuji dan dididik oleh seorang yang mulia dan hebat, Nabi SAW.Karena kiprahnya ketika membantu Rasulullah dan ayahnya ketika bersembunyi di gua Tsur, sebelum kemudian hijrah ke Madinah, dia menunjukkan gelar kepadanya Dzatun Nithaqain.
Atas permasalahan putranya ini, Asma menyatakan, bahwa tidak sepatutnya ia menentukan dan melaksanakan sesuatu, kecuali di atas jalan kebenaran. Tidak ada kamus mengalah dan mundur dari usaha hanya alasannya yaitu terlalu kuatnya musuh, terlebih lagi alasannya yaitu terpikat oleh proposal kenikmatan duniawiah, sungguh suatu kecelakaan besar dan menyimpang dari jalan yang dirintis oleh ayahnya, kakeknya, dan para sahabat yang telah gugur mendahuluinya. Abdullah bin Zubair berkata kepada ibunya, "Wahai Ibu, saya juga meyakini mirip itu, hanya saja saya khawatir, orang-orang Syam itu akan menyalib dan menyayat-nyayat tubuhku sehabis mereka membunuhku!!”
Memang, bergotong-royong yang dikhawatirkan yaitu perasaan ibunya kalau jasadnya akan diperlakukan dengan sangat biadab mirip yang telah "biasa" mereka lakukan sebelumnya, contohnya yang terjadi pada insiden Karbaladan Harrah. Apalagi pemimpin pasukan Syam itu, Hajjaj bin Yusuf ats Tsaqafi populer sebagai orang yang sangat kejam dan biadab, sangat jauh dari budpekerti Islami walau dia pemeluk Islam. Namun, Ibnu Zubair memperoleh tanggapan yang tidak tersangka-sangka dan sangat luar biasa dari ibunya, "Wahai anakku, sesungguhnya kambing itu tidak mencicipi sakit walau dikuliti sehabis disembelih, Teruskan langkahmu dan mintalah derma kepada Allah…!!"
Asma hendak memeluk putranya tersebut untuk terakhir kali, tetapi tangannya menyentuh baju besi yang digunakan Ibnu Zubair, segera saja ia berkata, "Apa-apaan ini Abdullah..!! Orang yang menggunakan ini, hanyalah mereka yang tidak menginginkan apa yang bergotong-royong engkau inginkan… (yakni, kesyahidan)..!!"
Abdullah bin Zubair segera melepas baju besi tersebut kemudian berpelukan dengan ibunya. Asma mengucapkan beberapa patah doa sebagai pengiring dan penyemangat anaknya untuk terakhir kalinya. Ibnu Zubair beranjak menuju sisa pasukan yang setia mendampinginya, kemudian mereka menyerang pasukan Hajjaj dan terjadi pertempuran tidak seimbang yang jadinya mengantar Ibnu Zubair dan pasukannya menuju gerbang kesyahidan.
Dan mirip telah diperkirakan oleh Ibnu Zubair, Hajjaj menyalib dan menyayat tubuhnya yang telah kaku. Namun semua itu tidaklah menjadikannya tercela, justru menambah kemuliaan dirinya di sisi Allah.
0 Komentar untuk "Abdullah Bin Zubair Radhiyallahu 'Anhu"