Ki Elok Hadikusumo (Ketua Muhammadiyah 1942 – 1953)

Ki Bagus Hadikusumo (Ketua Muhammadiyah 1942 – 1953)


Ki Bagoes Hadikoesoemo atau Ki Bagus Hadikusumo (lahir di Yogyakarta, 24 November 1890 – meninggal di Jakarta, 4 November 1954 pada umur 63 tahun) yakni seorang tokoh BPUPKI. Ia dilahirkan di kampung Kauman dengan nama R. Hidayat pada 11 Rabi'ul Akhir 1308 H (24 November 1890). Ki Bagus yakni putra ketiga dari lima bersaudara Raden Kaji Lurah Hasyim, seorang abdi dalem putihan (pejabat) agama Islam di Kraton Yogyakarta.

Ia mendapat pendidikan sekolah rakyat (kini SD) dan pendidikan agama di pondok pesantren tradisional Wonokromo Yogyakarta. Kemahirannya dalam sastra Jawa, Melayu, dan Belanda didapat dari seorang yang berjulukan Ngabehi Sasrasoeganda, dan Ki Bagus juga mencar ilmu bahasa Inggris dari seorang tokoh Ahmadiyah yang berjulukan Mirza Wali Ahmad Baig.

Seperti umumnya keluarga santri, Ki Bagus mulai memperoleh pendidikan agama dari orang tuanya dan beberapa Kiai di Kauman. Setelah tamat dari ‘Sekolah Ongko Loro’ (tiga tahun tingkat sekolah dasar), Ki Bagus mencar ilmu di Pesantren Wonokromo, Yogyakarta. Di Pesantren ini ia banyak mengkaji kitab-kitab fiqh dan tasawuf.

Dalam usia 20 tahun Ki Bagus menikah dengan Siti Fatmah (putri Raden Haji Suhud) dan memperoleh enam anak. Salah seorang di antaranya ialah Djarnawi Hadikusumo, yang kemudian menjadi tokoh Muhammadiyah dan pernah menjadi orang nomor satu di Parmusi. Setelah Fatmah meninggal, ia menikah lagi dengan seorang perempuan pengusaha dari Yogyakarta berjulukan Mursilah. Pernikahan ini dikaruniai tiga orang anak. Ki Bagus kemudian menikah lagi dengan Siti Fatimah (juga seorang pengusaha) sehabis istri keduanya meninggal. Dari istri ketiga ini ia memperoleh lima anak.

Sekolahnya tidak lebih dari sekolah rakyat (sekarang SD) ditambah mengaji dan besar di pesantren. Namun, berkat kerajinan dan ketekunan mempelajari kitab-kitab populer akibatnya ia menjadi orang alim, mubaligh dan pemimpin ummat. Ia merupakan pemimpin Muhammadiyah yang besar andilnya dalam penyusunan Muqadimah Undang-Undang Dasar 1945, alasannya yakni ia termasuk anggota Panitia Persiapan Kemerdekan Indonesia (PPKI). Peran Ki Bagus sangat besar dalam perumusan Muqadimah Undang-Undang Dasar 1945 dengan memperlihatkan landasan ketuhanan, kemanusiaan, keberadaban, dan keadilan. Pokok-pokok pikirannya dengan memperlihatkan landasan-landasan itu disetujui oleh semua anggota PPKI.

Secara formal, selain kegiatan tabligh, Ki Bagus pernah menjadi Ketua Majelis Tabligh (1922), Ketua Majelis Tarjih, anggota Komisi MPM Hoofdbestuur Muhammadiyah (1926), dan Ketua PP Muham­madiyah (1942-1953). Pokok-pokok pikiran Ahmad Dahlan berhasil ia rumuskan sedemikian rupa sehingga sanggup menjiwai dan mengarahkan gerak langkah serta usaha Muhammadiyah. Bahkan, pokok-pokok pikiran itu menjadi Muqadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah. Muqaddimah yang merupakan dasar ideologi Muhammadiyah ini menginspirasi sejumlah tokoh Muhammadiyah lainnya. HAMKA, misalnya, mendapat ilham dari muqaddimah tersebut untuk merumuskan dua landasan idiil Muhammadiyah, yaitu Matan Kepribadian Muhammadiyah dan Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah.

Ki Bagus juga sangat produktif dalam menuliskan buah pikirannya. Buku karyanya antara lain Islam sebagai Dasar Negara dan Achlaq Pemimpin. Karya-karyanya yang lain yaitu Risalah Katresnan Djati (1935), Poestaka Hadi (1936), Poestaka Islam (1940), Poestaka Ichsan (1941), dan Poestaka Iman (1954). Dari buku-buku karyanya tersebut tercer­min komitmennya terhadap etika dan bahkan juga syariat Islam. Dari komitmen tersebut, Ki Bagus yakni termasuk seorang tokoh yang mempunyai kecenderungan besar lengan berkuasa untuk pelembagaan Islam.

Bagi Ki Bagus, pelembagaan Islam menjadi sangat penting untuk alasan-alasan ideologi, politis, dan juga intelektual. Ini nampak dalam upayanya memperkokoh eksistensi aturan Islam di Indonesia ketika ia dan beberapa ulama lainnya terlibat dalam sebuah kepanitiaan yang bertugas memperbaiki peradilan agama (priesterraden commisse). Hasil penting sidang-sidang komisi ini ialah akad untuk memberlakukan aturan Islam. Akan tetapi Ki Bagus dikecewakan oleh perilaku politik pemerintah kolonial yang didukung oleh para andal aturan adat yang membatalkan seluruh keputusan penting wacana diberlakukannya aturan Islam untuk kemudian diganti dengan aturan adat melalui penetapan Ordonansi 1931. Kekecewaannya itu ia ungkap kembali dikala memberikan pidato di depan Sidang BPUKPKI.

Munculnya Ki Bagus Hadikusumo sebagai Ketua PB Muhammadiyah yakni pada dikala terjadi pergo­lakan politik internasional, yaitu pecahnya perang dunia II. Kendati Ki Bagus Hadikusuma menyatakan ketidaksediaannya sebagai Wakil Ketua PB Muham­madiyah ketika diminta oleh Mas Mansur pada Kongres ke-26 tahun 1937 di Yogyakarta, ia tetap tidak sanggup mengelak memenuhi panggilan kiprah untuk menjadi Ketua PB Muhammadiyah ketika Mas Mansur dipaksa menjadi anggota pengurus Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) di Jakarta pada tahun 1942. Apalagi dalam situasi di bawah penjajahan Jepang, Muhammadyah memerlukan tokoh besar lengan berkuasa dan patriotik. Ki Bagus Hadikusumo berani menentang perintah pimpinan tentara Dai Nippon yang populer ganas dan kejam, untuk memerintahkan ummat Islam dan warga Muhammadiyah melaksanakan upacara kebaktian tiap pagi sebagai penghormatan kepada Dewa Matahari.

Ki Bagus Hadikusumo menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah selama 11 tahun (1942-1953) dan wafat pada usia 64 tahun. Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan Nasional Indonesia.

Sumber:
https://id.wikipedia.org/wiki/Bagoes_Hadikoesoemo
http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-160-det-ki-bagus-hadikusuma.html


Related : Ki Elok Hadikusumo (Ketua Muhammadiyah 1942 – 1953)

0 Komentar untuk "Ki Elok Hadikusumo (Ketua Muhammadiyah 1942 – 1953)"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)
close
close