Lopis Raksasa Di Pekalongan “Moderasi Beragama Dalam Kearifan Lokal” Oleh Isfina Nabila Elfathina - Fakultas Tarbiyah Dan Ilmu Keguruan, Universitas Islam Negeri K.H. Abdurrahman Wahid, Pekalongan

Publikasikaryatulis - Indonesia ialah negara yang memiliki penduduk muslim paling besar di dunia dan menjadi sasaran utama dalam hal moderasi Islam. Moderasi yakni prinsip dasar Islam. Islam moderat ialah pengertian keagamaan yang sungguh berkaitan dalam konteks keberagaman dalam segala aspek, baik agama, adat, suku, maupun bangsa itu sendiri. Dari banyak sekali jenis keanekaragaman yang dimiliki negara Indonesia, keanekaragaman agama yakni yang paling kokoh dalam membentuk radikalisme di Indonesia. Munculnya kelompok ekstrim yang makin melebarkan sayapnya disebabkan oleh banyak sekali faktor menyerupai kepekaan kehidupan beragama, masuknya kelompok ekstrim dari mancanegara bahkan duduk kasus politik dan pemerintahan. Maka, di tengah duduk kasus radikalisme ini, timbul perumpamaan yang disebut “Moderasi Beragama”. 


Indonesia yakni negara unik dan kompleks yang kaya akan tradisi dan etika istiadat. Sebagaian tradisi sanggup bertahan eksis di penduduk dan tersadar kemurniannya dan sebagian yang lain ada yang telah mengalami pergeseran bentuk maupun makna lantaran dimasuki oleh unsur-unsur keagamaan. Salah satunya yakni tradisi lopis raksasa yang sungguh terkait bersahabat dengan berakhirnya puasa ramadhan atau idul fitri. Nama tradisi lopis raksasa yakni tradisi syawalan sesudah lebaran Idul Fitri. Syawalan ialah tradisi yang menjadi kebiasaan bagi mayarakat Indonesia, meskipun hakekatnya tradisi ini tiba sesudah timbul inisiatif dari beberapa kelompok ulama terdahulu selaku tradisi untuk mengemban amanah keagamaan yakni dalam bentuk silaturahmi. Tradisi syawalan hadir selaku rancangan untuk membentuk penduduk yang pintar mejalani kehidupan yang sarat dengan tantangan.


Indonesia ialah negara dengan kekayaan alam yang melimpah dan tradisi budayanya yang beragam, maka tidak salah kalau Indonesia senantiasa dijuluki selaku Tanah Surga. Keberagaman tradisi di Indonesia pasti saja memiliki ciri khas yang berlainan di setiap daerahnya, salah satunya di Kota Pekalongan, Jawa Tengah. Kota Pekalongan yang lazim dimengerti selaku Kota Batik ini memiliki tradisi yang unik, yakni tradisi lopis raksasa. Tradisi ini biasa dilaksanakan seminggu sesudah Hari Raya atau pada 7 Syawal. Tradisi Syawalan dengan pemotongan lopis raksasa ini dilaksanakan oleh penduduk Kerapyak, Pekalongan, Jawa Tengah.


Syawalan ialah tradisi penduduk Kota Pekalongan utamanya penduduk tempat Krapyak di potongan utara Kota Pekalongan, yang dilaksanakan pada saban hari ketujuh sehabis Hari Raya Idul Fitri (8 Syawal). Hal menawan dalam pelaksanaan tradisi ini yakni dibuatnya lopis raksasa yang ukurannya meraih 2 meter diameter 1,5 meter dan beratnya bisa meraih 1.830 kg lebih atau 1 kuintal lebih. Lopis Raksasa kemudian diiris oleh Walikota Pekalongan dan dibagi-bagikan terhadap para pengunjung. Para perngunjung biasanya berebut untuk menemukan Lopis tersebut yang tujuannya untuk memperoleh berkah. Pembuatan Lopis dimaksudkan untuk mempererat tali silahturahmi antar penduduk Krapyak dan dengan penduduk tempat sekitarnya, hal ini diidentikkan dengan sifat Lopis yang lengket.


Dalam konteks tersebut, sebagaimana yang terdapat dalam teori fungsionalisme agama menurut Emil Durkheim, bahwa agama mempunyai fungsi sosial, bukan suatu khayalan melainkan suatu realita sosial yang sanggup diidentifikasi serta memiliki kepentingan sosial. Fungsi agama sendiri diantaranya bisa mengembangkan solidaritas, loyalitas serta relasi yang serasi bagi penduduk lewat ritual-ritual keagamaan. Dalam kaitannya dengan tradisi lopis raksasa ini memamerkan bahwa tradisi ini bisa mengembangkan kesadaran dan loyalitas masyarakat. Tradisi ini juga memamerkan bahwa yang dilihat dari suatu agama yakni bagaimana realisasi atau praktek seseorang dengan agamanya itu, jadi bukan suatu realita sosial yang sanggup diidentifikasi serta memiliki kepentingan sosial. Fungsi agama sendiri diantaranya bisa mengembangkan solidaritas, loyalitas serta relasi yang serasi bagi penduduk lewat ritual-ritual keagamaan.


Maka dari itu, Tokoh penduduk setempat KH Zaenuddin menuturkan, orang yang pertama kali memperkenalkan tradisi ini yakni KH Abdullah Sirodj, yakni ulama Krapyak yang masih keturunan Tumenggung Bahurekso (Senopati Mataram). Awalnya, dia berkala mengerjakan puasa Syawal yang dibarengi penduduk sekitar Krapyak dan Pekalongan. Selanjutnya, KH Abdullah Sirodj memutuskan lopis selaku simbol Syawalan di Pekalongan yang yang dibikin dari beras ketan. Beras ketan memiliki daya rekat yang kokoh dan menyimbolkan persatuan. Selainitu, lopis juga dikemas dengan daun pisang yang melambangkan Islam dan kemakmuran. Daun pisang yang digunakan dilarang terlalu renta maupun terlalu muda lantaran akan besar lengan berkuasa pada cita rasa lopis. Lopis juga diikat dengan menggunakan tali pelepah pisang yang melambangkan kekuatan. Pengikat ini juga bisa diartikan selaku jalinan silaturahmi antarumat muslim.


Asal mula tradisi syawalan ini yakni selaku berikut, pada tanggal 8 Syawal penduduk Krapyak berhari raya kembali sesudah berpuasa 6 hari, dalam peluang ini, mereka menghasilkan jadwal ‘open house’ menemukan para tamu baik dari luar desa dan luar kota. Hal ini dikenali oleh penduduk diluar krapyak, sehingga merekapun tidak mengadakan kunjungan silaturahmi pada hari-hari antara tanggal 2 sampai 7 dalam bulan Syawal, melainkan berbondong-bondong berkunjung pada tanggal 8 Syawal. Yang demikian ini meningkat luas, bahkan meningkat terus dari masa ke masa sehingga terjadilah tradisi Syawalan menyerupai kini ini. Masyarakat Krapyak juga biasanya menawarkan tajil dan minuman secara gratis terhadap para pengunjung. Masyarakat juga biasanya menggelar kesibukan hiburan, pertunjukan seni dan lomba-lomba serta mempercantik kampung untuk menyemarakkan tradisi ini. begitulah Pekalongan dengan segala budaya dan kearifan lokal.


Kearifan lokal, salah satunya tradisi lopis raksasa sanggup menjadi fasilitas penunjang jadwal pembangunan pemkot Pekalongan utamanya dan pemerintah Indonesia pada umumnya. Hal ini akan sukses sepanjang upaya yang dilakukannya terencana, terarah dan sempurna dalam mengkomunikasikan dengan penduduk pelaku tradisi itu sendiri. Makna lopis selaku simbol Syawalan di Pekalongan yang yang dibikin dari beras ketan. Beras ketan memiliki daya rekat yang kokoh dan menyimbolkan persatuan. Selain itu, lopis juga dikemas dengan daun pisang yang melambangkan Islam dan kemakmuran. Daun pisang yang digunakan dilarang terlalu renta maupun terlalu muda lantaran akan besar lengan berkuasa pada cita rasa lopis. Lopis juga diikat dengan menggunakan tali pelepah pisang yang melambangkan kekuatan. Pengikat ini juga bisa diartikan selaku jalinan silaturahmi antarumat muslim.

Pengirim : Isfina Nabila Elfathina - Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Universitas Islam Negeri K.H. Abdurrahman Wahid, Pekalongan Email : isfinanabila@gmail.com 

Ingin karya tulis Anda terpublikasi di situs web di sini.


Sumber https://www.salamedukasi.com

0 Komentar untuk "Lopis Raksasa Di Pekalongan “Moderasi Beragama Dalam Kearifan Lokal” Oleh Isfina Nabila Elfathina - Fakultas Tarbiyah Dan Ilmu Keguruan, Universitas Islam Negeri K.H. Abdurrahman Wahid, Pekalongan"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)
close
close