Orang-Orang Baik

Saya ingat sekitar empat tahunan silam, dikala kepergian satu-satunya putri yang saya miliki. Silih berganti tamu tiba bertakziah, mulai dari saudara, kerabat, sobat dekat, hingga sobat yang sudah hilang dari peredaran --yang tak saya sangka-sangka-- ternyata ikut tiba berbelasungkawa.

Salah satu yang paling saya ingat merupakan kedatangan seseorang yang tak saya identifikasi sama sekali, suami juga.

Seorang kakek tua, diturunkan dari sepeda motor sempurna di depan pagar rumah oleh seorang wanita yang saya duga anaknya.

Sang kakek saya tebak sudah melebihi usia delapan puluh.
Kebetulan dikala itu sepi, tidak ada tamu lain.

"Rumah ini yang ada anak kecil meninggal ya?" tanya ibu tersebut dalam bahasa Aceh, dikala saya keluar rumah.

Saya kemudian mengangguk, masih dengan tanda tanya. Mungkin alasannya menyaksikan lisan saya menyerupai orang bingung, sang ibu tergesa-gesa menjelaskan.

"Ini ayah saya Dek, mau takziah."

Perempuan itu kemudian menolong ayahnya berjalan, sambil memegang sebelah pergelangan tangannya. Menaiki anak tangga --yang jumlahnya cuma dua-- pasti bukan kasus praktis bagi laki-laki seusia beliau.

Saya mempersilahkan masuk, ternyata anaknya pamit sebentar ke suatu wilayah entah kemana. Apa gerangan yang menghasilkan sang kakek melakukan pekerjaan keras kemari, padahal anaknya terlihat sedang sibuk dan tak bisa menemaninya duduk di rumah kami?

Daripada pribadi mengajukan pertanyaan ia siapa, saya memutuskan berbasa-basi dulu, menyajikan minuman, dan memuji bahwa laki-laki seumuran ia ternyata masih sanggup berjalan.

Hingga balasannya ia bercerita sendiri bahwa punya hubungan kerabat dengan ayah dari kakak iparnya suami saya. Jauh sekali padahal secara kekerabatannya dengan kami.

Beliau masih bisa mengingat banyak hal, mengatakan juga lancar. Hanya saja berlangsung tak bisa lagi tegak. Entah amalan apa yang dimilikinya hingga bisa aktif di usia senja menyerupai ini. Kalau saja ayah saya masih hidup, mungkin usia keduanya sama.

Saat anaknya kembali ia tergesa-gesa merogoh sesuatu dalam sakunya, mengatakan sedikit nominal terhadap saya sebelum pamit.

"Ayah saya memang gini dek. Siapa ada yang meninggal, senantiasa minta diantarin, mau takziah. Kadang orang-orang gak kenal pun mau tiba juga," terperinci sang anak.

Rupanya kebiasaan ini sudah sejak dahulu dilakukan, dan makin meningkat intensitasnya sehabis istri ia meninggal. Sang kakek mengisi waktunya dengan bersilaturahmi; utamanya mendatangi kerabat yang ditimpa musibah.
***
Beberapa waktu lalu, Ali yang gres berusia delapan bulan terjangkit penyakit yang paling bikin kami depresi berat seumur hidup. Sakit yang sama, yang sudah merenggut kehidupan kakaknya, empat tahunan lalu.

Diare.

Panik, dan tidak mau menanti lama, pribadi kami bawa ke tempat tinggal sakit. Karena dikala itu siang--dokter anak sedang tidak ada-- oleh petugas IGD kami diusulkan ke praktek dokter seorang luar biasa dulu, mana tahu tak perlu rawat dan bisa diresepkan obat saja.

Mencari-cari dokter anak yang buka jam ba'da Zuhur itu bukan kasus gampang.
 Mengingat rata-rata dokter seorang luar biasa lebih sering buka praktek sore. Tapi demi anak, kami akan berupaya semaksimal mungkin, mengitari kota Banda Aceh.

Seorang laki-laki yang duduk di depan gerobak Bakmi Ayam menyapa sempurna di depan bangunan klinik kedua yang kami datangi.

"Siapa yang sakit, Pak?"

Suami kemudian menerangkan kondisi Ali padanya. Saya makin lesu mendengar jawaban laki-laki yang berprofesi selaku juru parkir ini. Ternyata lagi-lagi dokter di ’klinik bersama' itu juga gres buka sehabis ashar.

Bayangan detik-detik kehilangan Saliha belum lekang diingatan, meski sudah sekian tahun berlalu. Hati saya sudah gak tau lagi gimana cemasnya menghadapi Diare kembali, pada Ali.

"Tapi ... tunggu, biar saya telepon dokternya." ucapnya tiba-tiba.

Hah?

Dia secepatnya mengeluarkan suatu ponsel bau tanah dari saku celana, kemudian menjauh dari kami demi menjalankan panggilan. Beberapa dikala kemudian ia kembali.

"Tunggu aja sebentar, Buk."

Saya tercengang. Bagaimana mungkin seorang juru parkir bisa menjalankan ini. Mengingat seorang Dokter Spesialis tergolong salah satu kasta tertinggi dalam tatanan penduduk kita.
Saya menanti dokter tersebut dengan asumsi kalut. Sudahlah cemas alasannya anak sakit, ditambah menduga-duga apakah tidak dilema secara etika; jikalau pasien meminta dokter tiba diluar jadwalnya, menyerupai ini?

Nanti jikalau dokternya kesal gimana?

Setelah menanti nyaris satu jam, sang dokter balasannya tiba dan secepatnya menyidik Ali. Diputuskan lebih baik rawat inap saja alasannya anak kami masih bayi dan demam. Kebetulan wilayah prakteknya sempurna di lingkungan rumah sakit.

"Saya padahal lagi antarin anak les tadi," ucap ia dikala kembali menutup pintu praktek, keluar bareng kami.

Kalimat itu seakan ingin menerangkan bahwa sesungguhnya kami ini pasien diluar jadwal. Tapi tidak ada lisan kesal disana, ia ramah. Mungkin ini cuma untuk menerangkan biar kami harap maklum --barangkali-- bila tadi mesti menanti sedikit lama.
"Maaf dokter, kami padahal juga gak minta kakak itu telepon dokter, minta kemari. Beliau menampilkan sendiri," ucap saya menjelaskan.

Padahal jikalau tidak ada laki-laki baik itu, barangkali kami masih mengitari jalanan dengan panik, demi mencari dokter praktek yang buka di simpulan pekan.

"Iya, memang baik sekali kakak itu. Kalau ada pasien yang genting, pribadi nelpon dokter-dokter, mana tahu kami bisa tiba ... mungkin, alasannya dia pernah kehilangan orang terdekat."

Saya mengernyitkan dahi, berharap ada klarifikasi setelahnya.

"Istrinya gres meninggal, kena kanker ..."

Sang Dokter akhiri pembicaraannya, meninggalkan saya dengan hati yang campur aduk sehabis mengenali fakta bahwa ternyata, ada luka dibalik kisah orang-orang baik tersebut.
***

Untuk orang-orang baik di luar sana, mudah-mudahan kebahagiaan tercurahkan dari aneka macam pintu untuk mereka.

Sumber: Facebook Safrina Syams

Sumber https://www.juragandesa.id

Related : Orang-Orang Baik

0 Komentar untuk "Orang-Orang Baik"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)
close
close