Sebagai anak sulung, saya teramat bersahabat dengan ayah. Kedekatan yang mungkin tidak dinikmati oleh adik-adik saya. Saya masih teringat dongeng ayah dikala kami berdua mencari batang bambu kecil untuk menghasilkan layang-layang. Saat itu, saya masih duduk di kelas tiga Sekolah Dasar. Kami berdua menyusuri hutan yang letaknya tidak jauh dari perkampungan. Katanya, "Saat ayah tahu kamu sudah lahir. Ayah sedang di kebun. Buru-buru ayah pulang dengan berlari. Tak sabar ingin secepatnya melihatnya. Kau anak pertama ayah."
Ketika saya mendengar dongeng tersebut, saya cuma tertawa. Namun rasanya sungguh berlainan dikala kini ini saya mengenangnya. Ada tetesan yang tertahan, menggelayut di pelupuk mata.
Ayah saya yakni eksklusif yang sungguh menyenangkan. Ayah teramat ramah. Bahkan ayah terkesan lebih banyak mengatakan dibandingkan dengan ibu. Hal yang jarang terjadi mungkin dalam keluarga lain, dimana ayah lebih terlihat banyak diam.
Ayah senantiasa berupaya menghasilkan situasi rumah menjadi lebih mengasyikkan bagi kami, anak-anaknya. Setiap malam akibat mengajarkan saya dan kedua adik saya mengaji, kami duduk melingkar, menyimak dongeng ayah.
Ayah menghasilkan jadwal dongeng menyerupai jadwal film di televisi untuk stok satu minggu, dan menempelkannya di dinding. Saat itu kami belum punya televisi. Namun saya akui, cerita-cerita ayah jauh lebih menawan dari film-film animasi di televisi.
Entah dari mana ayah mendapat wangsit dongeng sebanyak itu. Saya tidak pernah menyaksikan ayah membaca buku. Tetapi rangkaian kata-kata yang keluar dari mulutnya, gaya tangannya, suara-suara hewan dalam tokoh dongeng bisa diaplikasikan dengan sungguh sempurna. Kami senantiasa menanti cerita-cerita pada malam berikutnya.
Jika semua judul yang ditempelkan di dinding itu sudah tamat, Ayah secepatnya mengubahnya dengan judul-judul dongeng yang gres lagi. Tiap sore kami membacanya dan membayangkan kira-kira menyerupai apa jalan ceritanya.
Ada dongeng haru, dongeng perjuangan, kisah kasih orang tua, wacana kesabaran, kebijaksanaan, wacana kesetiaan, wacana pengorbanan dan kerap kali juga lucu, semua dibungkus apik dalam genre yang mudah dipahami anak-anak. Sebagian dongeng dari ayah masih saya ingat hingga kini dan kerap kali saya ceritakan kembali pada bawah umur saya.
Cerita-cerita ayah yang dahulu saya dengar bagaikan warisan yang tak pernah habis dan hilang. Ia bagaikan rujukan abadi dalam menjalani kehidupan. Cerita-cerita sederhana yang maknanya senantiasa bisa dipahami berlainan seiring bertambahnya usia.
Dan begitu haru ayah saya dikala memberinya buku pertama saya dan menyampaikan padanya:
"Terima kasih, ayah. Berkat ayah yang tekun bercerita, sayapun jadi bahagia melakukannya. Walau dengan cara yang sedikit berbeda."
Ayah, jaga dirimu baik-baik!
Dariku,
Anakmu yang suka mendengar cerita.
Penulis: Ismi Marnizar
0 Komentar untuk "Ayah, Rindu Yang Tak Pernah Habis"