Oleh Tgk. Adnan Yahya:
Alue Ngom, suatu desa pedalaman yang berada di Kecamatan Nibong - Aceh Utara. Saat pertentangan bersenjata berkecamuk, disinilah keluarga kami menikmati hidup. Ayah aku -Tgk. Muhammad Yahya (Allahyarham)- didaulat selaku Imum Syiek masjid di desa ini, yang sekaligus berprofesi selaku pedagang di warung kopi yang disewanya, dan sekali-kali kadang pergi beberapa hari untuk mencari jernang di hutan belantara.
*****
Setiap pagi buta kami mesti berdiri untuk menolong ibu menghasilkan ragam kue, semisal Timphan, Pulot, Bulukat,, tanpa kecuali kuah tuhe untuk dijajakan di warung kopi yang senantiasa dinantikan oleh para pelanggan. Karena rumah kami berupa panggung yang yang dibikin dari kayu, tak jarang kami sering jatuh. Tapi tiap malam rumah ini senantiasa ramai lantaran tiba santri di desa ini menimba ilmu ngaji. Bermodalkan panyot culot sang ayah telaten mengajari seluruh santri.
*****
Di Desa ini aku meski masih buta aksara namun sempat mengenyam pendidikan sampai kelas 3 SD, yang sekarang berjulukan SDN 2 Nibong di Desa Alue Ngom. Saat aku kelas 2 SD, sekolah ini sempat dibakar sehabis terjadinya kontak senjata. Hingga menghasilkan kami mesti sekolah di bawah terpal hijau dengan tiang bambu. Kami pun senang meski kepraktisan menimba ilmu seadanya, lantaran pukul 10 pagi seluruh siswa dibolehkan pulang, lantaran panas terik matahari yang menembus terpal ditambah bunyi bising tiang bambu di saat dihembus angin.
*****
Di Desa ini aku mulai mengenal masjid selaku kawasan ibadah. Setiap Jumat, ibu aku senantiasa menampilkan duit recehan senilai 50 rupiah untuk dimasukkan ke kotak infak. Beginilah cara yang ditempuh orang bau tanah untuk menumbuhkan perilaku gemar berinfaq.
*****
Setelah bertahun-tahun ayah aku wafat -saat itu masih dalam situasi konflik-, dengan ekonomi pas-pasan dan tekanan pajak nanggroe tiap bulan dari oknum nanggroe, menghasilkan kami mesti pulang ke kampung halaman ibu aku di Desa Blang Jruen - Kecamatan Tanah Luas. Meski demikian, sampai sekarang setiap tahun kami senantiasa pulang ke Alue Ngom untuk berziarah ke pusara sang ayahanda.
*****
Saya menghabiskan sebagian masa kecil di Desa ini dengan memancing, berenang, menjajal mendapatkan burung, buruh panjat pinang perbatang dihargai 500 rupiah, bermain rakit pokok pisang di ekspresi dominan banjir, berbelanja jajanan pegawanegeri mudah-mudahan sanggup duit kembalian, dan sejumlah permainan bawah umur lainnya.
******
Foto diambil Rabu, 29 Januari 2020 di sela-sela takziyah di Alue Ngom.
Setiap pagi buta kami mesti berdiri untuk menolong ibu menghasilkan ragam kue, semisal Timphan, Pulot, Bulukat,, tanpa kecuali kuah tuhe untuk dijajakan di warung kopi yang senantiasa dinantikan oleh para pelanggan. Karena rumah kami berupa panggung yang yang dibikin dari kayu, tak jarang kami sering jatuh. Tapi tiap malam rumah ini senantiasa ramai lantaran tiba santri di desa ini menimba ilmu ngaji. Bermodalkan panyot culot sang ayah telaten mengajari seluruh santri.
*****
Di Desa ini aku meski masih buta aksara namun sempat mengenyam pendidikan sampai kelas 3 SD, yang sekarang berjulukan SDN 2 Nibong di Desa Alue Ngom. Saat aku kelas 2 SD, sekolah ini sempat dibakar sehabis terjadinya kontak senjata. Hingga menghasilkan kami mesti sekolah di bawah terpal hijau dengan tiang bambu. Kami pun senang meski kepraktisan menimba ilmu seadanya, lantaran pukul 10 pagi seluruh siswa dibolehkan pulang, lantaran panas terik matahari yang menembus terpal ditambah bunyi bising tiang bambu di saat dihembus angin.
*****
Di Desa ini aku mulai mengenal masjid selaku kawasan ibadah. Setiap Jumat, ibu aku senantiasa menampilkan duit recehan senilai 50 rupiah untuk dimasukkan ke kotak infak. Beginilah cara yang ditempuh orang bau tanah untuk menumbuhkan perilaku gemar berinfaq.
*****
Setelah bertahun-tahun ayah aku wafat -saat itu masih dalam situasi konflik-, dengan ekonomi pas-pasan dan tekanan pajak nanggroe tiap bulan dari oknum nanggroe, menghasilkan kami mesti pulang ke kampung halaman ibu aku di Desa Blang Jruen - Kecamatan Tanah Luas. Meski demikian, sampai sekarang setiap tahun kami senantiasa pulang ke Alue Ngom untuk berziarah ke pusara sang ayahanda.
*****
Saya menghabiskan sebagian masa kecil di Desa ini dengan memancing, berenang, menjajal mendapatkan burung, buruh panjat pinang perbatang dihargai 500 rupiah, bermain rakit pokok pisang di ekspresi dominan banjir, berbelanja jajanan pegawanegeri mudah-mudahan sanggup duit kembalian, dan sejumlah permainan bawah umur lainnya.
******
Foto diambil Rabu, 29 Januari 2020 di sela-sela takziyah di Alue Ngom.
0 Komentar untuk "Alue Ngom, Desa Ingatan"