Hasanudin Abdurakhman (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom) |
Jakarta - Pelajaran IPA dan matematika adalah momok bagi banyak orang. Konyolnya, pelajaran itu bahkan dianggap momok oleh para siswa yang mengambil jurusan IPA di sekolah. Banyak orang lulus SMA, belajar IPA 12 tahun sejak SD, tapi tidak kunjung paham tentang yang mereka pelajari itu. Apakah sains memang sangat rumit?
Sebelum jauh-jauh membahas soal sains, saya akan beri contoh yang sedikit berbeda, tapi menceritakan hal yang sama, yaitu soal bahasa. Sama dengan sulitnya orang memahami teorema Pitagoras, ada banyak orang yang sulit memahami bagaimana menuliskan awalan "di". Masih sangat banyak orang menuliskan kata "di bakar" atau "dirumah". Keduanya salah. Untuk hal yang sederhana seperti ini pun orang masih salah.
Jadi masalahnya di mana? Apakah pada subjek pelajarannya, atau pada cara kita mempelajarinya?
Ketika saya dulu belajar tentang gerak jatuh bebas, guru saya menuliskan persamaan gerak di papan tulis. Yang harus kami lakukan sebagai murid adalah mempercayai kata guru tentang kebenaran rumus itu, menghafal rumusnya, lalu mengerjakan soal-soal yang disodorkan berdasarkan rumus itu. Salah satu hal yang harus saya percayai adalah ketika guru menyatakan bahwa kecepatan benda jatuh tidak tergantung pada massa benda itu.
Itu pernyataan yang sulit saya terima, karena dalam keseharian saya menyaksikan benda-benda yang lebih berat jatuh lebih cepat, sedangkan benda-benda ringan jatuhnya lebih lambat. Di mana salahnya? Guru saya dulu tidak menunjukkan bagaimana sebuah benda jatuh. Dia langsung membahas rumus tadi. Padahal dia bisa menjelaskan dengan mudah, dengan menjatuhkan kapur tulis di hadapan kami.
Ia juga bisa dengan mudah menjelaskan bahwa kertas memang akan jatuh lebih lambat daripada kapur tulis, kalau kertas itu dibiarkan dalam bentuk lembaran. Kalau kertas itu digumpal, maka kecepatan jatuhnya akan sama dengan kecepatan kapur tulis, bahkan sama dengan kecepatan sebongkah batu sekali pun.
Dalam kasus saya, pelajaran fisika baru mulai saya pahami, dan menjadi menarik, saat saya duduk di kelas 2 SMA. Waktu itu saya diajar oleh Pak Mappedjandji, seorang guru yang hingga saat ini saya anggap paling inspiratif bagi saya. Pak Mappedjandji mengajarkan ilmu fisika dengan cara yang sederhana, yaitu dengan menjelaskan apa yang terjadi terlebih dahulu, baru ia menjelaskan rumusan matematisnya.
Apa pentingnya itu? Ini terkait sangat erat dengan cara otak kita belajar. Kita lebih mudah belajar dari pengalaman. Hal-hal yang kita alami biasanya lebih mudah kita ingat. Kita belajar berbicara, dasarnya adalah pengalaman. Perhatikan bahwa kita tidak belajar tata bahasa ketika kita belajar bicara. Kita mengalaminya. Kemudian kita ingat.
Sains pun sebenarnya bisa jadi sangat sederhana kalau basis pengajarannya adalah pengalaman. Tentu saja pengalaman itu tetap harus ditambahi dengan keterangan soal rumusan hukum-hukum. Tapi hukum-hukum itu akan jauh lebih mudah kita ingat bila situasi yang dijelaskan oleh hukum tersebut sudah kita pahami terlebih dahulu.
Sebenarnya ini tidak spesifik soal sains saja. Semua pelajaran begitu. Pelajaran bahasa menjadi sangat rumit ketika kita diminta menghafal berbagai istilah bahasa. Demikian pula, pelajaran sejarah menjadi kumpulan hafalan tentang nama tempat, tanggal, dan nama orang. Padahal kalau kita membaca sebuah novel atau buku cerita, kita bisa mengingat jalan ceritanya.
Meski sebenarnya sadar soal situasi itu, guru-guru kita tak melakukan banyak hal untuk mengubah metode mengajar. Parahnya, kita juga tak melakukan perubahan metode belajar. Hal-hal yang kita anggap rumit, kita terima sebagai takdir. Kita tak mencari cara untuk memudahkannya. Ketika orang dewasa tak paham, mereka tak berusaha untuk paham. Yang mereka sadari cuma satu hal, bahwa kewajiban mereka untuk belajar sudah selesai saat mereka tamat sekolah.
Banyak hal yang tidak dipahami orang, dan tetap dibiarkan begitu saja, karena dianggap rumit. Itu meliputi hal-hal yang sebenarnya dia perlukan untuk hidup. Orang tidak membangun kebiasaan belajar ketika ia tidak paham. Ia menyerah pada kenyataan palsu bahwa pelajaran itu rumit. Ia pun membuat "hukum" palsu, bahwa belajar adalah kegiatan di sekolah, saat kita jadi pelajar. Ketika sudah tidak lagi bersekolah, kegiatan belajar pun sudah selesai.
Karena itu kita menyaksikan banyak orang yang "betah" hidup tidak tahu. Orang tidak tahu bagaimana menulis dengan benar, berbicara dengan benar, juga berkendara dengan benar. Mereka tidak tahu, tidak pula mau belajar. Peliknya, orang-orang yang tidak paham ini sebagian menjadi guru, yang mengajari dan memberi contoh pada orang lain. Guru-guru yang tidak paham IPA, menjadi guru IPA. Ia menularkan ketidakpahaman. Kita sedang mengawetkan lingkaran setan.
Di tengah suasana tidak paham itu sekolah-sekolah kita justru menjejali anak-anak dengan materi pelajaran yang lebih banyak lagi. Saya kaget ketika menemukan bahwa anak saya yang masih duduk di bangku SMP sudah diajari tentang gerak lurus berubah beraturan, suatu subjek yang dulu baru saya pelajari di SMA. Materi pelajaran ditambah sementara cara mengajarkannya tidak berubah. Artinya, anak-anak kita memang sedang dididik untuk menghafal tanpa paham.
Yang harus dilakukan sebenarnya membangun mekanisme pengajaran yang membuat anak-anak paham, bukan memperbanyak materi pelajaran. Hasil akhir yang sebenarnya lebih penting dari proses belajar adalah kemampuan belajar mandiri sebagai orang dewasa. Kalau seseorang sudah punya kemampuan itu, ia bisa menambah sendiri materinya.
Kacaunya, fokus sistem belajar kita tidak di situ. Murid-murid seakan hendak dibekali dengan sebanyak mungkin pengetahuan agar mereka tahu. Padahal yang mau membekali pun banyak lupa soal apa yang pernah mereka pelajari.
Pendidikan kita harus diubah, dari pendidikan yang mengajarkan pelajaran, menjadi pendidikan yang mengajarkan cara belajar. detik
0 Komentar untuk "Menuju Pendidikan yang Mengajarkan Cara Belajar"