Daftar Tanya Jawab Kebijakan Ujian Nasional (UN)
1. Apa kebijakan gres wacana UN?
Mulai tahun 2021 UN akan diganti dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. Kedua asesmen gres ini dirancang khusus untuk fungsi pemetaan dan perbaikan mutu pendidikan secara nasional.
2. Mengapa 2020 akan menjadi tahun terakhir bagi UN?
Pertama, UN lebih banyak berisi butir-butir yang mengukur kompetensi berpikir tingkat rendah. Hal ini tidak sejalan dengan tujuan pendidikan yang ingin membuatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi serta kompetensi lain yang lebih relevan dengan Abad 21, sebagaimana tercermin pada Kurikulum 2013.
Kedua, UN kurang mendorong guru memakai metode pengajaran yang efektif untuk membuatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Asesmen kompetensi pengganti UN akan dirancang memberi dorongan lebih berpengaruh ke arah pengajaran yang inovatif dan berorientasi pada pengembangan penalaran, bukan hafalan.
Ketiga, UN kurang optimal sebagai alat untuk memperbaiki mutu pendidikan secara nasional. Karena dilangsungkan di tamat jenjang, hasil UN tidak bisa dipakai untuk mengidentifikasi kebutuhan berguru siswa dan memberi tunjangan yang sesuai dengan kebutuhan tersebut.
3. Apa akan mengganti UN?
Asesmen kompetensi pengganti UN mengukur kompetensi bernalar yang sanggup dipakai untuk menuntaskan duduk kasus di banyak sekali konteks, baik personal maupun profesional (pekerjaan). Saat ini kompetensi apa saja yang akan diukur masih dikaji, namun contohnya yakni kompetensi bernalar wacana teks (literasi) dan angka (numerasi).
Selain itu, Kemdikbud juga akan melaksanakan survei untuk mengukur aspek-aspek lain yang mencerminkan penerapan Pancasila di sekolah. Hal ini meliputi aspek-aspek aksara siswa (seperti aksara pembelajar dan aksara gotong royong) dan iklim sekolah (misalnya iklim kebinekaan, sikap bullying, dan kualitas pembelajaran).
Karena fungsi utamanya yakni sebagai alat pemetaan mutu, asesmen kompetensi dan survei training Pancasila ini belum tentu dilaksanakan setiap tahun, dan belum tentu harus diikuti oleh semua siswa.
4. Tanpa UN, bukankah siswa kurang termotivasi untuk belajar?
Menggunakan bahaya ujian untuk mendorong berguru akan berdampak negatif pada aksara siswa. Jika dilakukan terus menerus, siswa justru akan menjadi malas berguru kalau tidak ada ujian. Dengan kata lain, siswa menjadi terbiasa berguru sekedar untuk menerima nilai baik dan menghidari nilai jelek. Hal ini menciptakan siswa lupa akan kenikmatan intrinsik yang bisa diperoleh dari proses berguru itu sendiri. Padahal, motivasi berguru intrinsik inilah yang justru sangat perlu dikembangkan semoga siswa semoga menjadi pembelajar sepanjang hayat.
5. Tanpa UN, apakah siswa tidak menjadi orang yang kurang gigih?
UN yakni alat untuk melaksanakan monitoring dan penilaian mutu sistem pendidikan. Fungsi UN bukan untuk melatih keuletan atau kegigihan. Sifat-sifat ini tidak sanggup dibuat secara instan di tamat jenjang pendidikan melalui bahaya ketidaklulusan atau nilai buruk. Sifat ibarat kegigihan hanya sanggup ditumbuhkan melalui proses berguru yang memberi banyak sekali tantangan bermakna secara berkelanjutan. Butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa menciptakan sifat ibarat kegigihan menjadi belahan dari aksara siswa.
6. Mengapa hanya difokuskan pada literasi dan numerasi?
Literasi dan numerasi yakni kompetensi yang sifatnya general dan mendasar. Kemampuan berpikir tentang, dan dengan, bahasa serta matematika diharapkan dalam banyak sekali konteks, baik personal, sosial, maupun profesional. Dengan mengukur kompetensi yang bersifat fundamental (bukan konten kurikulum atau pelajaran), pesan yang ingin disampaikan yakni bahwa guru diharapkan berinovasi membuatkan kompetensi siswa melalui banyak sekali pelajaran melalui pengajaran yang berpusat pada siswa.
7. Apakah berarti pelajaran selain bahasa dan matematika tidak penting?
Fokus asesmen yakni kompetensi berpikir, sehingga hasil pengukuran tidak sekedar mencerminkan prestasi akademik pelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika saja. Literasi dan numerasi justru bisa dan seharusnya memang dikembangkan melalui banyak sekali mata pelajaran, termasuk IPA, IPS, kewarganegaraan, agama, seni, dst. Pesan ini penting dipahami oleh guru, sekolah, dan siswa untuk meminimalkan risiko penyempitan kurikulum pada pelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika.
8. Jika apa yang diukur tidak terikat pada konten kurikulum, bagaimana kaitan antara asesmen ini dengan standar pendidikan?
Betul bahwa asesmen ini tidak terikat secara bersahabat dengan konten kurikulum. Namun tidak berarti bahwa asesmen ini sama sekali terlepas dari kurikulum. Dari sisi konten, asesmen literasi dan numerasi tentu memperhatikan apa yang (seharusnya) diajarkan oelh guru pada tiap kelas dan jenjang pendidikan. Hanya saja, asesmen ini tidak dimaksudkan untuk mengukur penguasaan siswa atas konten kurikulum secara keseluruhan.
Pada prinsipnya, penguasaan kurikulum secara utuh hanya bisa dinilai oleh guru memakai sumber info yang bermacam-macam dari interaksi sehari-hari dengan siswa. Terlebih lagi, kurikulum tiap sekolah bisa berbeda sebab masing-masing mempunyai kewenangan untuk membuatkan kurikulum yang sesuai dengan visi dan
karakteristik siswanya.
9. Siapa yang akan menjadi penerima asesmen pengganti UN?
Asesmen kompetensi gres akan dilakukan pada siswa yang duduk di pertengahan jenjang sekolah, ibarat kelas 4 untuk SD, kelas 8 untuk SMP, dan kelas 11 untuk SMA. Dengan dilakukan pada tengah jenjang, hasil asesmen bisa dimanfaatkan sekolah untuk mengidentifikasi kebutuhan berguru siswa. Dengan dilakukan semenjak jenjang SD, akhirnya sanggup menjadi deteksi dini bagi permasalahaan mutu pendidikan nasional.
10. Apakah perubahan ini berdampak pada siswa SD?
Perlu diketahui bahwa dikala ini pun tidak ada UN pada jenjang SD. Dengan demikian, penghentian UN tidak berdampak pada siswa SD. Seperti yang dipaparkan pada poin sebelumnya, sebagian siswa SD akan mengikuti asesmen kompetensi baru. Namun asesmen gres ini dirancang semoga tidak mempunyai konsekuensi bagi siswa. Karena itu, asesmen gres tidak menjadi beban pemanis bagi siswa SD.
11. Tanpa UN, bagaimana mengukur ketercapaian standar nasional pendidikan?
Perlu dipahami bahwa UN itu sendiri bukan merupakan standar. UN merupakan instrumen asesmen yang membantu menilai pencapaian sebagian standar nasional pendidikan. Karena itu, menghapus UN bukan berarti menghilangkan standar pendidikan.
Sebagaimana disebutkan di atas, UN akan diganti dengan asesmen lain yang memang dirancang sebagai alat pemetaan mutu pendidikan nasional. Hasil asesmen pengganti UN tersebut akan menjadi indikator bagi ketercapaian standar nasional pendidikan di tiap daerah.
12. Jika tidak terikat pada konten kurikulum, apakah asesmen ini akan menjadi pemanis beban bagi siswa/guru di luar kurikulum yang ada?
Asesmen yang dilakukan oleh otoritas (dalam hal ini Kemendikbud) berpotensi dipandang sebagai beban pemanis sebab guru dan sekolah ingin memperoleh hasil yang baik. Meski demikian, bahwasanya asesmen literasi dan numerasi ini bukan beban tambahan. Yang diukur oleh asesmen ini bukanlah penguasaan konten pemanis yang perlu diajarkan di luar kurikulum yang ada. Seperti telah disebutkan sebelumnya, kompetensi literasi dan numerasi bisa dan perlu dikembangkan melalui semua mata pelajaran.
13. Jika dipakai untuk menilai efektivitas sekolah, apakah asesmen gres tidak berdampak negatif pada siswa?
Harus diakui bahwa asesmen gres sanggup dianggap bersifat high stakes bagi guru dan sekolah. Jika itu terjadi, asesmen gres berpotensi mempunyai dampak negatif ibarat mendorong adanya tekanan dari guru pada siswa untuk menerima skor tinggi, serta anggapan bahwa pelajaran yang dianggap tidak relevan untuk asesmen ini kurang penting.
Dampak ibarat ini akan dimitigasi melalui banyak sekali cara. Yang pertama yakni rancangan kebijakan yang menekankan pada pemberian dukungan dan sumberdaya sesuai kebutuhan sekolah, bukan eksekusi dan hadiah. Kedua, akan tersedia asesmen yang sama dalam versi yang sanggup dipakai oleh guru sebagai belahan dari pengajaran sehari-hari. Versi “asesmen mandiri” ini juga akan dilengkapi dengan petunjuk pedagogis dan sumberdaya berguru yang relevan untuk membuatkan kompetensi siswa sesuai levelnya.
14. Apa dampak asesmen gres bagi siswa?
Asesmen kompetensi pengganti UN akan dirancang semoga tidak mempunyai konsekuensi bagi siswa. Misalnya, pelaksanaan pada pertengahan jenjang (bukan tamat jenjang) menciptakan hasil asesmen kompetensi tidak relevan untuk menilai pencapaian siswa. Hasilnya juga tidak relevan untuk seleksi memasuki jenjang sekolah yang lebih tinggi. Dengan demikian, asesmen ini tidak akan menjadi beban pemanis bagi siswa, di luar beban berguru normal yang sudah dijalani.
15. Apa dampak asesmen pada guru dan sekolah?
Analisis dan laporan hasil asesmen kompetensi akan dibuat semoga bisa dimanfaatkan guru dan sekolah untuk memperbaiki proses berguru mengajar. Hal ini dimungkinkan sebab asesmen gres akan didasarkan pada model learning progression (lintasan belajar) yang akan menunjukkan posisi siswa dalam tahapan perkembangan suatu kompetensi.
Laporan hasil asesmen juga akan dirancang semoga tidak menjadi bahaya bagi guru dan sekolah. Pemerintah menyadari bahwa baik buruknya pencapaian siswa dipengaruhi oleh faktor pengajaran (proses di sekolah) maupun faktor-faktor di luar sekolah, ibarat lingkungan rumah dan gaya pengasuhan orangtua. Karena itu keberhasilan guru atau sekolah tidak akan dinilai menurut level kompetensi siswa di satu waktu. Keberhasilan guru/sekolah akan lebih didasarkan pada perubahan dan kemajuan yang dicapai dibanding waktu asesmen sebelumnya.
Hasil asesmen justru akan dipakai untuk mengidentifikasi kebutuhan sekolah. Kemdikbud akan mengalokasikan dukungan – contohnya dalam bentuk alokasi SDM dan/atau dana – sesuai dengan kebutuhan tiap sekolah.
16. Apa dasar aturan penggantian UN dengan asesmen baru?
UU Sisdiknas secara eksplisit memberi mandat kepada pemerintah – melalui forum sanggup bangun diatas kaki sendiri – untuk melaksanakan penilaian mutu sistem pendidikan nasional. Asesmen pengganti UN akan menjadi instrumen untuk melayani fungsi tersebut. Selain itu, pengadilan Negeri Jakarta pada 2007, dan kemudian Mahkamah Agung (MA) pada 2009, menilai bahwa UN tidak adil bagi siswa yang berada di sekolah dan/atau kawasan yang kekurangan sumberdaya. MA memerintahkan pemerintah untuk “meninjau kembali sistem pendidikan nasional”. Dengan merancang asesmen gres yang berfungsi untuk pemetaan mutu serta umpan balik bagi sekolah, tanpa ada konsekuensi pada siswa, pemerintah secara otomatis telah mematuhi putusan aturan MA mengenai UN.
Sumber : https://www.kemdikbud.go.id/
1. Apa kebijakan gres wacana UN?
Mulai tahun 2021 UN akan diganti dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. Kedua asesmen gres ini dirancang khusus untuk fungsi pemetaan dan perbaikan mutu pendidikan secara nasional.
2. Mengapa 2020 akan menjadi tahun terakhir bagi UN?
Pertama, UN lebih banyak berisi butir-butir yang mengukur kompetensi berpikir tingkat rendah. Hal ini tidak sejalan dengan tujuan pendidikan yang ingin membuatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi serta kompetensi lain yang lebih relevan dengan Abad 21, sebagaimana tercermin pada Kurikulum 2013.
Kedua, UN kurang mendorong guru memakai metode pengajaran yang efektif untuk membuatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Asesmen kompetensi pengganti UN akan dirancang memberi dorongan lebih berpengaruh ke arah pengajaran yang inovatif dan berorientasi pada pengembangan penalaran, bukan hafalan.
Ketiga, UN kurang optimal sebagai alat untuk memperbaiki mutu pendidikan secara nasional. Karena dilangsungkan di tamat jenjang, hasil UN tidak bisa dipakai untuk mengidentifikasi kebutuhan berguru siswa dan memberi tunjangan yang sesuai dengan kebutuhan tersebut.
3. Apa akan mengganti UN?
Asesmen kompetensi pengganti UN mengukur kompetensi bernalar yang sanggup dipakai untuk menuntaskan duduk kasus di banyak sekali konteks, baik personal maupun profesional (pekerjaan). Saat ini kompetensi apa saja yang akan diukur masih dikaji, namun contohnya yakni kompetensi bernalar wacana teks (literasi) dan angka (numerasi).
Selain itu, Kemdikbud juga akan melaksanakan survei untuk mengukur aspek-aspek lain yang mencerminkan penerapan Pancasila di sekolah. Hal ini meliputi aspek-aspek aksara siswa (seperti aksara pembelajar dan aksara gotong royong) dan iklim sekolah (misalnya iklim kebinekaan, sikap bullying, dan kualitas pembelajaran).
Karena fungsi utamanya yakni sebagai alat pemetaan mutu, asesmen kompetensi dan survei training Pancasila ini belum tentu dilaksanakan setiap tahun, dan belum tentu harus diikuti oleh semua siswa.
4. Tanpa UN, bukankah siswa kurang termotivasi untuk belajar?
Menggunakan bahaya ujian untuk mendorong berguru akan berdampak negatif pada aksara siswa. Jika dilakukan terus menerus, siswa justru akan menjadi malas berguru kalau tidak ada ujian. Dengan kata lain, siswa menjadi terbiasa berguru sekedar untuk menerima nilai baik dan menghidari nilai jelek. Hal ini menciptakan siswa lupa akan kenikmatan intrinsik yang bisa diperoleh dari proses berguru itu sendiri. Padahal, motivasi berguru intrinsik inilah yang justru sangat perlu dikembangkan semoga siswa semoga menjadi pembelajar sepanjang hayat.
5. Tanpa UN, apakah siswa tidak menjadi orang yang kurang gigih?
UN yakni alat untuk melaksanakan monitoring dan penilaian mutu sistem pendidikan. Fungsi UN bukan untuk melatih keuletan atau kegigihan. Sifat-sifat ini tidak sanggup dibuat secara instan di tamat jenjang pendidikan melalui bahaya ketidaklulusan atau nilai buruk. Sifat ibarat kegigihan hanya sanggup ditumbuhkan melalui proses berguru yang memberi banyak sekali tantangan bermakna secara berkelanjutan. Butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa menciptakan sifat ibarat kegigihan menjadi belahan dari aksara siswa.
6. Mengapa hanya difokuskan pada literasi dan numerasi?
Literasi dan numerasi yakni kompetensi yang sifatnya general dan mendasar. Kemampuan berpikir tentang, dan dengan, bahasa serta matematika diharapkan dalam banyak sekali konteks, baik personal, sosial, maupun profesional. Dengan mengukur kompetensi yang bersifat fundamental (bukan konten kurikulum atau pelajaran), pesan yang ingin disampaikan yakni bahwa guru diharapkan berinovasi membuatkan kompetensi siswa melalui banyak sekali pelajaran melalui pengajaran yang berpusat pada siswa.
7. Apakah berarti pelajaran selain bahasa dan matematika tidak penting?
Fokus asesmen yakni kompetensi berpikir, sehingga hasil pengukuran tidak sekedar mencerminkan prestasi akademik pelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika saja. Literasi dan numerasi justru bisa dan seharusnya memang dikembangkan melalui banyak sekali mata pelajaran, termasuk IPA, IPS, kewarganegaraan, agama, seni, dst. Pesan ini penting dipahami oleh guru, sekolah, dan siswa untuk meminimalkan risiko penyempitan kurikulum pada pelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika.
8. Jika apa yang diukur tidak terikat pada konten kurikulum, bagaimana kaitan antara asesmen ini dengan standar pendidikan?
Betul bahwa asesmen ini tidak terikat secara bersahabat dengan konten kurikulum. Namun tidak berarti bahwa asesmen ini sama sekali terlepas dari kurikulum. Dari sisi konten, asesmen literasi dan numerasi tentu memperhatikan apa yang (seharusnya) diajarkan oelh guru pada tiap kelas dan jenjang pendidikan. Hanya saja, asesmen ini tidak dimaksudkan untuk mengukur penguasaan siswa atas konten kurikulum secara keseluruhan.
Pada prinsipnya, penguasaan kurikulum secara utuh hanya bisa dinilai oleh guru memakai sumber info yang bermacam-macam dari interaksi sehari-hari dengan siswa. Terlebih lagi, kurikulum tiap sekolah bisa berbeda sebab masing-masing mempunyai kewenangan untuk membuatkan kurikulum yang sesuai dengan visi dan
karakteristik siswanya.
9. Siapa yang akan menjadi penerima asesmen pengganti UN?
Asesmen kompetensi gres akan dilakukan pada siswa yang duduk di pertengahan jenjang sekolah, ibarat kelas 4 untuk SD, kelas 8 untuk SMP, dan kelas 11 untuk SMA. Dengan dilakukan pada tengah jenjang, hasil asesmen bisa dimanfaatkan sekolah untuk mengidentifikasi kebutuhan berguru siswa. Dengan dilakukan semenjak jenjang SD, akhirnya sanggup menjadi deteksi dini bagi permasalahaan mutu pendidikan nasional.
10. Apakah perubahan ini berdampak pada siswa SD?
Perlu diketahui bahwa dikala ini pun tidak ada UN pada jenjang SD. Dengan demikian, penghentian UN tidak berdampak pada siswa SD. Seperti yang dipaparkan pada poin sebelumnya, sebagian siswa SD akan mengikuti asesmen kompetensi baru. Namun asesmen gres ini dirancang semoga tidak mempunyai konsekuensi bagi siswa. Karena itu, asesmen gres tidak menjadi beban pemanis bagi siswa SD.
11. Tanpa UN, bagaimana mengukur ketercapaian standar nasional pendidikan?
Perlu dipahami bahwa UN itu sendiri bukan merupakan standar. UN merupakan instrumen asesmen yang membantu menilai pencapaian sebagian standar nasional pendidikan. Karena itu, menghapus UN bukan berarti menghilangkan standar pendidikan.
Sebagaimana disebutkan di atas, UN akan diganti dengan asesmen lain yang memang dirancang sebagai alat pemetaan mutu pendidikan nasional. Hasil asesmen pengganti UN tersebut akan menjadi indikator bagi ketercapaian standar nasional pendidikan di tiap daerah.
12. Jika tidak terikat pada konten kurikulum, apakah asesmen ini akan menjadi pemanis beban bagi siswa/guru di luar kurikulum yang ada?
Asesmen yang dilakukan oleh otoritas (dalam hal ini Kemendikbud) berpotensi dipandang sebagai beban pemanis sebab guru dan sekolah ingin memperoleh hasil yang baik. Meski demikian, bahwasanya asesmen literasi dan numerasi ini bukan beban tambahan. Yang diukur oleh asesmen ini bukanlah penguasaan konten pemanis yang perlu diajarkan di luar kurikulum yang ada. Seperti telah disebutkan sebelumnya, kompetensi literasi dan numerasi bisa dan perlu dikembangkan melalui semua mata pelajaran.
13. Jika dipakai untuk menilai efektivitas sekolah, apakah asesmen gres tidak berdampak negatif pada siswa?
Harus diakui bahwa asesmen gres sanggup dianggap bersifat high stakes bagi guru dan sekolah. Jika itu terjadi, asesmen gres berpotensi mempunyai dampak negatif ibarat mendorong adanya tekanan dari guru pada siswa untuk menerima skor tinggi, serta anggapan bahwa pelajaran yang dianggap tidak relevan untuk asesmen ini kurang penting.
Dampak ibarat ini akan dimitigasi melalui banyak sekali cara. Yang pertama yakni rancangan kebijakan yang menekankan pada pemberian dukungan dan sumberdaya sesuai kebutuhan sekolah, bukan eksekusi dan hadiah. Kedua, akan tersedia asesmen yang sama dalam versi yang sanggup dipakai oleh guru sebagai belahan dari pengajaran sehari-hari. Versi “asesmen mandiri” ini juga akan dilengkapi dengan petunjuk pedagogis dan sumberdaya berguru yang relevan untuk membuatkan kompetensi siswa sesuai levelnya.
14. Apa dampak asesmen gres bagi siswa?
Asesmen kompetensi pengganti UN akan dirancang semoga tidak mempunyai konsekuensi bagi siswa. Misalnya, pelaksanaan pada pertengahan jenjang (bukan tamat jenjang) menciptakan hasil asesmen kompetensi tidak relevan untuk menilai pencapaian siswa. Hasilnya juga tidak relevan untuk seleksi memasuki jenjang sekolah yang lebih tinggi. Dengan demikian, asesmen ini tidak akan menjadi beban pemanis bagi siswa, di luar beban berguru normal yang sudah dijalani.
15. Apa dampak asesmen pada guru dan sekolah?
Analisis dan laporan hasil asesmen kompetensi akan dibuat semoga bisa dimanfaatkan guru dan sekolah untuk memperbaiki proses berguru mengajar. Hal ini dimungkinkan sebab asesmen gres akan didasarkan pada model learning progression (lintasan belajar) yang akan menunjukkan posisi siswa dalam tahapan perkembangan suatu kompetensi.
Laporan hasil asesmen juga akan dirancang semoga tidak menjadi bahaya bagi guru dan sekolah. Pemerintah menyadari bahwa baik buruknya pencapaian siswa dipengaruhi oleh faktor pengajaran (proses di sekolah) maupun faktor-faktor di luar sekolah, ibarat lingkungan rumah dan gaya pengasuhan orangtua. Karena itu keberhasilan guru atau sekolah tidak akan dinilai menurut level kompetensi siswa di satu waktu. Keberhasilan guru/sekolah akan lebih didasarkan pada perubahan dan kemajuan yang dicapai dibanding waktu asesmen sebelumnya.
Hasil asesmen justru akan dipakai untuk mengidentifikasi kebutuhan sekolah. Kemdikbud akan mengalokasikan dukungan – contohnya dalam bentuk alokasi SDM dan/atau dana – sesuai dengan kebutuhan tiap sekolah.
16. Apa dasar aturan penggantian UN dengan asesmen baru?
UU Sisdiknas secara eksplisit memberi mandat kepada pemerintah – melalui forum sanggup bangun diatas kaki sendiri – untuk melaksanakan penilaian mutu sistem pendidikan nasional. Asesmen pengganti UN akan menjadi instrumen untuk melayani fungsi tersebut. Selain itu, pengadilan Negeri Jakarta pada 2007, dan kemudian Mahkamah Agung (MA) pada 2009, menilai bahwa UN tidak adil bagi siswa yang berada di sekolah dan/atau kawasan yang kekurangan sumberdaya. MA memerintahkan pemerintah untuk “meninjau kembali sistem pendidikan nasional”. Dengan merancang asesmen gres yang berfungsi untuk pemetaan mutu serta umpan balik bagi sekolah, tanpa ada konsekuensi pada siswa, pemerintah secara otomatis telah mematuhi putusan aturan MA mengenai UN.
Sumber : https://www.kemdikbud.go.id/
0 Komentar untuk "16 Tanya Jawab Ihwal Un Jenjang Smp-Sma Dihapus Mulai Tahun 2021, Diganti Dengan Asesmen Kompetensi Minimum Dan Survei Abjad"