Surat Al-Kafirun terjemahnya jangan diubah menjadi Surat Warga Negara |
Baru-baru ini masyarakat Indonesia yang melek pikirannya dan peduli dengan kajian Islam (Studi Islam) dikagetkan dengan wacana seputar istilah Kafir. Konsep menyerupai kafir yang bekerjsama sanggup dibilang ada (dimiliki) oleh setiap agama, tiba-tiba digulirkan dalam Munas Nahdlatul Ulama (NU) yang balasannya justru menciptakan kontroversial. Otang Islam menyebut orang yang bukan Islam dengan istilah Kafir, orang Nasrani menyebut orang non Nasrani sebagai domba tersesat, begitupun dengan orang Hindu, Budha, Yahudi dan yang lainnya. Semua mempunyai istilah sendiri untuk menyebut orang di luar agama yang dianutnya.
Nah, pada Munas NU tersebut antara Kafir dan Kewarganegaraan dikaitkan dan dibenturkan, yang pada endingnya hasil Munas melarang penggunaan Kafir kepada non muslim (pemeluk agama selain Islam). Untuk orang di luar Islam dihentikan disebut Kafir,, tapi diganti menjadi muwathin (warga negara). Dari sinilah muncul polemik berkepanjangan di masyarakat yang notabene zaman kini gampang mengakses informasi. Dari masyarakat bawah sampai para alim ulama. Dari para pelajar sampai para pengkaji dan pakar dalam studi Islam. Diantaranya ialah Prof. DR. Din Syamsuddin, ketua Dewan Pertimbangan MUI Pusat dan mantan ketua umum PP Muhammadiyah dua periode. Berikut ini goresan pena lengkap dari Prof. Din Syamsuddin sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diterimanya wacana polemik istilah Kafir ini. Berikut goresan pena lengkapnya:
SEPUTAR POLEMIK TENTANG KAFIR
Oleh M. Din Syamsuddin, Ketua Dewan Pertimbangan MUI Pusat.
Sebenarnya saya enggan untuk nimbrung lantaran khawatir polemik berkepanjangan dan hanya akan memalingkan perhatian umat Islam dari agenda mendesak yaitu penanggulangan problematika prioritas keumatan. Semula saya berharap segenap elemen umat semoga menghindarkan diri dari mengangkat isu-isu yang krusial dan kontroversial apalagi pada tahun politik yg sensitif kini ini. Pada ekonomis saya, topik menyerupai wacana kafir dan semacamnya sanggup ditunda (dimaukufkan) dulu. Tapi lantaran sudah terlanjur dan banyak pertanyaan, maka izinkan saya yang faqir ini menyampaikan pandangan sebagai berikut:
1. Saya menilai ada kerancuan dalam mengaitkan istilah kafir dan muwathin (warga negara) lantaran kedua istilah berada dalam kategori berbeda; kafir berada dalam kategori teologis-etis, sedangkan muwathin dalam kategori sosial-politik. Polemik berkembang rancu, baik lantaran klarifikasi publik awal dari Munas Ulama NU ada mengaitkan keduanya ("dlm kehidupan berbangsa dan bernegara tidak ada istilah kafir tapi muwathin"), dan polemik kemudian berkembang pada konseptualisasi kafir secara teologis (berdasarkan perkiraan bahwa Munas menafikan atau meniadakan istilah kafir). Terjadilah semacam kerancuan atas kerancuan (tahafutut tahafut).
2. Istilah kafir dan bentuk-bentuk derivatifnya (kafara, kufr, kuffar, kafirun) yang disebut 525 kali dalam Al-Qur'an ialah "dalalah Ilahiyah" (penunjukan Ilahi) terhadap perilaku, sosok, dan figur insan tertentu. Al-Qur'an memang ada menyebut dalam bentuk kelompok (al-Qaumul Kafirun), tapi banyak dalam nada personal baik tunggal (kafir) maupun plural (kafirun atau alladzina kafaru).
3. Karenanya, kafir merupakan konsep teologis sekaligus etis (berhubungan dengan pandangan ketuhanan dan sikap terhadap hal ketuhanan). Sesuai arti harfiyahnya yaitu "menutup", maka kafir menunjukkan sikap menutup diri, tidak mau menerima, atau mengingkari kebenaran wacana Allah dan ajaran-ajaran Allah yang diturunkan sebagai wahyu kepada insan melalui rasul-rasul pilihanNya. Dalam hal ini, kafir sanggup dinisbatkan kepada mereka yang tidak beriman kepada Allah dan ajaran-ajaranNya, atau kepada mereka yang walaupun beriman kepada Allah tapi membangkangi ajaran-ajaranNya dan tidak bersyukur atas nikmatNya (ada istilah kafir akidah, kafir amal, atau kafir nikmat). Al-Qur'an juga mengenalkan konsep2 etis lain yg berafiliasi dgn konsep kafir, menyerupai musyrik, fasiq, dan zholim. Semuanya berdasarkan andal keislaman dari Jepang Toshihiko Itzuzu sebagai ethico-religious concepts (konsep susila keagamaan) dalam Islam.
4. Sebagai konsep teologis, maka kafir dinisbatkan kepada insan yang tidak beriman. Sebagai istilah khas Islam, maka dari sudut keyakinan Islam, orang kafir ialah penganut keyakinan selain atau di luar Islam. Sebenarnya istilah wacana "orang luar" ini biasa dalam setiap agama yang mempunyai kriteria keyakinan (bench marking of belief). Orang yang tidak memenuhi kriteria tersebut dianggap orang luar (outsiders) atau orang lain (the others). Semua agama, menyerupai Yahudi, Kristen, Hindu, atau Buddha, mempunyai istilah atau konsep wacana "orang luar" dan "orang lain" ini dan itu termaktub dalam Kitab Suci. Istilah semacam ini bersifat datar saja dan tidak mengakibatkan keberatan dari pihak lain, baik lantaran memakluminya maupun lantaran memang mereka merasa bukan "orang dalam" bulat keyakinan tersebut. Masalah akan muncul kalau istilah semacam kafir tersebut dipakai dalam nada labelisasi negatif atau pejoratif yg bersifat menghina atau menista.
5. Dalam Sejarah Islam, khususnya pada masa Nabi Muhammad SAW, istilah kafir yang dinyatakan Allah dalam Al-Qur'an tidak pernah secara lugas dan vulgar dikaitkan dengan pemeluk agama-agama lain yang ada waktu itu menyerupai Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Mereka disebut dgn nama komunitas keagamaannya masing2, atau terhadap Yahudi dan Nasrani sering juga dipanggil sebagai "Penerima Kitab" (Ahlul Kitab). Artinya, istilah kafir dalam arti berada di luar dogma Islam tidak menjadi kata panggilan (label), tapi hanya pemahaman terhadap orang luar Islam (konsep). Dalam pergaulan antar umat beragama, termasuk di Indonesia, pemakaian istilah khas masing-masing agama tersebut terhadap "pihak lain atau pihak luar", menyerupai pemanggilan dengan kata kafir dan sejenisnya, tidak terkenal di ruang publik. Bahkan sekarang, pada kala obrolan dan kerjasama antaragama, baik pada skala global maupun nasional, sering digunakan istilah "pemeluk agama lain" menyerupai non-Muslim (ghairul Muslimin), non-Kristiani, dstnya, bahkan istilah Bahasa Inggris yang sering digunakan kini ialah the other faiths (pemeluk agama2 lain). Jelasnya, istilah/konsep kafir yang mustahil dinafikan atau ditiadakan, mengalami transformasi pemakaian dalam konteks kehidupan masyarakat multi-kultural dan multi-keyakinan.
6. Istilah atau konsep muwathin (citizenship atau warga negara) ialah lain. Konsep ini sudah usang ada sejalan dengan pembentukan Negara-Bangsa (Nation State), bahkan sudah ada semenjak pembahasan wacana konsep negara atau masyarakat kewargaan pada Zaman Yunani Kuno (di kalangan filosuf menyerupai Socrates, Plato, atau Aristoteles). Konsep itu (belum dengan istilah muwathin dan muwathanah) sudah juga menjadi pembahasan pemikir Muslim menyerupai Ibnul Muqaffa', Al-Mawardi, Ibn Abi Rabi', Ibnu Rusyd, atau Ibnu Khaldun. Wawasan pemikiran politik Yunani dan Islam ini ikut menghipnotis konseptualisasi pemikir politik Barat menyerupai Montesqiu, John Lock, atau Hegel. Pemikiran politik wacana negara dan warga negara ini berkembang sampai masa modern pada pemikiran Muhammad Abduh, Ali Abd al-Raziq, sampai Malik bin Nabi. Di kalangan Muslim konsep ini berkembang sejalan dengan perkembangan negara-bangsa (Nation State atau al-Wathan). Pemikir politik Muslim kontemporer, menyerupai Bassam Tibi dan Fahmi Huwaidy sudah mulai mengemukan istilah Arab/Islam ak-muwathanah sbg padanan citizenship. Terakhir ini konsep al-muwathanah (citizenship atau kewarganegaraan) menjadi pilihan dunia terutama dalam bentuk al-muwathanah al-musytarakah atau common citizenship (kewarganegaraan bersama).
7. Dalam Pesan Bogor yg dikeluarkan dari Konsultasi Tingkat Tinggi Ulama dan Cendekiawan Muslim Sedunia di Bogor, 1-3 Mei 2018 wacana Wasathiyyat Islam, istilah/konsep muwathanah menjadi aspek ketujuh dari Wasathiyyat Islam (enam yg pertama: i'tidal, tawazun, tasamuh, syura, ishlah, qudwah). Sebagai ciri dari Ummatan Wasathan (Ummat Tengahan) yang berorientasi pada Wasathiyyat Islam, muwathanah dipahami sebagai kewarganegaraan yang berpangkal pada legalisasi keberadaan negara-bangsa di mana seseorang berada, dan berlanjut pada tugas serta aktif membangun negara. Konsep ini bekerjsama didasarkan pada pemahaman wacana dokumen-dokumen dasar dalam Sejarah Islam, menyerupai Piagam Madinah.
8. Dalam konteks keragaman bentuk pemerintahan negara-negara Islam, dan desakan penerapan demokrasi cukup umur ini informasi nuwathanah/kewarganegaraan menjadi krusial. Arus migrasi antarnegara terakhir ini membawa munculnya duduk kasus identitas dan integrasi kaum migran. Maka informasi muwathanah/citizenship menjadi krusial dan polemikal menyerupai yg terjadi di Eropa dan Amerika sehubungan dengan membanjirnya arus migrasi dari negara-negara di Timur Tengah.
9. Dalam konteks Indonesia informasi muwathanah/kewarganegaraan ini bekerjsama sudah usang selesai (bukan menjadi duduk kasus kontroversial). Hal ini disebabkan oleh lantaran Indonesia dari awal kelahirannya sdh mempunyai janji menyerupai Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika, yg oleh semua pihak (seperti Kesepakatan Pemuka Agama-Agama dari Musyawarah Besar Pemuka Agama-Agama untuk Kerukunan Bangsa, Jakarta 8-11 Pebruari 2018) keduanya dianggap merupakan kristalisasi nilai-nilai agama. Sebelumnya, pada 2015, Muhammadiyah sudah menegaskan suatu wawasan bahwa Negara Pancasila ialah Darul 'Ahdi was Syahadah (Negara Kesepakatan dan Kesaksian). Dalam kaitan ini, konsep muwathanah tidak ada duduk kasus di Indonesia dan sudah usang dipraktekkan dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. Derajat stabilitas dan kerukunan nasional yang tinggi ialah buah dari muwathanah yang bertumpu pada ko-eksistensi, toleransi, dan kerjasama antaranak-anak bangsa. Gejala intoleransi dan eksklusi lebih merupakan ekspresi dari aksi-reaksi terhadap masih adanya kesenjangan sosial-ekonomi.
10. Implementasi muwathanah/kewarganegaraan menjadi bersifat kontroversial terkait dengan paradigma demokrasi yang dipilih bangsa. Jika demokrasi dipahami sebagai manifestasi "political liberty and equality" (kebebasan dan persamaan hak politik) warga negara, maka muwathanah menuntut pemberlakuan meritokrasi (performa dan rekrutmen politik berdasarkan prestasi individual. Sebagai konsekwensi logis, tidak ada dan tidak relevan lagi diangkat informasi mayoritas-minoritas sebagai realitas demografis keagamaan. Sebaliknya, kalau realitas mayoritas-minoritas demografis apalagi dikaitkan dengan realitas historis dan sosilogis, maka paradigma demokrasi yang diterapkan akan bersifat kultural. Problema yang belum dijawab oleh Demokrasi Pancasila ialah apakah Sila Keempat Pancasila itu mengandung arti Demokrasi Liberal (Liberal Democracy) yang antara lain mendesakkan psudo meritokrasi, ataukah Demokrasi Multikultural (Multicultural Democracy) yang menuntut inklusi, toleransi, dan solidaritas sosial, atau lainnya. Pilihan bangsa terhadap corak demokrasi yang ingin diterapkan berafiliasi akrab dengan konsep muwathanah yang perlu kita pahami. Maka pada ekonomis saya, tafsir jama'i terhadap Sila Keempat dari Pancasila itu jauh lebih mendesak tinimbang mengangkat informasi muwathin/warga negara dengan mengaitkannya dengan istilah kafir terutama pada suasana politik sensitif yang rentan memunculkan prasangka jelek yang tidak semestinya. Di sinilah letak kerancuannya: konsep sosial-politik dikaitkan dengan konsep teologis-etis.
11. Tapi mungkin sanggup dipahami maksudnya: Janganlah bawa-bawa agama ke dalam politik (seperti menyebut istilah kafir kepada sesama anak bangsa lantaran mereka ialah sesama rakyat warga negara atau muwathin). Kalau demikian adanya, maka itu merupakan "pandangan aturan keagamaan atau fatwa". Oleh lantaran itu terserah kepada "pasar bebas", mau membeli atau menolak. Maka tidak usah ribut dan repot. Suatu hal positif dari pandangan demikian ialah pesan moral "jangan gampang menuduh dan melabeli pihak lain secara berburuk sangka, lantaran itu tidak bermoral atau mencerminkan moralitas superior dan arogan". Maka, kepada umat Islam, mulai kini jangan ada lagi yg saling mengkafirkan, saling menghina menyerupai kau Wahabi, Salafi, atau Khilafati (maksudnya pendukung khilafah)! Sesuai Firman Ilahi, "yang menghina belum tentu lebih baik dari yang dihina". Allahu a'lam bis shawab.
Yangon, 5 Maret 2019.
0 Komentar untuk "Seputar Polemik Wacana Kafir"