Perlu Menghargai Diri Sendiri

Sepertinya saya sesekali perlu menghargai diri sendiri. Sejauh mana saya sudah berlangsung ... melakukan hal-hal menawan dalam hidup, hal-hal berat, hal-hal untuk dikenang selaku pengalaman berharga, yang sudah membentuk saya hingga menyerupai kini ini.
Barangkali ini memang wajib KITA lakukan, demi mengenang syukur. Terutama bagi saya yang sedang memaknai pertambahan usia dihari ini.
Sepertinya saya sesekali perlu menghargai diri sendiri Perlu Menghargai Diri Sendiri

1. Saya merupakan anak "Doorprize".

Dimana kisah takdir saya bermula --saja-- sudah selaku rahmat tak terhingga rasanya. Mamak hamil ditahun yang serupa dengan anak pertamanya hamil. Singkat kata bahwa ... anak terakhir dan cucu pertama; lahir di tahun yang sama.

Kalau orang kini mungkin aib ya?

Saya justru besar hati alasannya merupakan saya dan Mamak sanggup sama-sama berjuang dulu; di kehamilan beresiko.

Saya pernah baca berita, seorang ibu berusia simpulan 40an membunuh bayinya sendiri di sangkar kambing, alasannya merupakan aib hamil di usia tua. Na'uzubillahi min zalik.

Selama anak dan ibu sehat, saya apabila dikasih hamil lagi --umur berapapun-- siap insyaallah.

"Kalau Mamak kami gak sukar payah mengandung di umur permulaan 40, mungkin kakak hari ini jadi bujang lapuk." ucap saya pada suami sambil tertawa.

2. Melewati masa pertentangan DOM di saat menjadi anak-anak.

Saya masih ingat bagaimana keluarga kami kena stigma negatif alasannya merupakan bertetangga dengan polsek dan koramil. Kedatangan pegawapemerintah kerumah, yang cuma untuk sekedar ngobrol sebentar, minta izin ambil kelapa muda dikebun nenek (banyak hal yang lain yang tak berani kami tolak) menciptakan kami dianggap pro pegawapemerintah oleh warga.

Saya masih ingat di saat kontak senjata malam itu, dimana desing peluru tanpa henti sekitar satu jam lamanya, menciptakan kami sekeluarga mesti meringkuk dibawah kasur dalam ketakutan.

Malam-malam terasa sungguh mencekam. Hanya orang Ambon, Aceh dan Papua yang mencicipi pertentangan serupa ini. Dimana nyawa menjadi sungguh murah harganya kala itu, temuan mayit merupakan makanan sehari-hari.

3. Anak yatim akseptor bantuan.

Ditahun terakhir bangku Tsanawiyah, ayah saya meninggal. Bila orang terharu di saat dinikahkan oleh ayahnya sendiri, saya malah tak tahu bagaimana rasanya. Jauh sebelum itu semua, bahkan saya juga gak tau bagaimana rasanya dikirim masuk asrama oleh ayah, tidak memiliki ingatan bagaimana rasanya minta duit SPP sama ayah.

4. Terpaksa masuk pesantren.

Khusus ini nampaknya gak cukup satu bab, saya gak akan pernah cukup menceritakan fase berakal balig cukup akal saya yang menggembirakan dalam suatu status Facebook. Semoga Tuhan menampilkan saya peluang kelak, menuliskannya dalam suatu buku; bagaimana ceritanya saya risau usai mandi pagi. Aneh, tak ada satupun orang dikamar mandi asrama yang berjejer itu. Saat balik me asrama, tau-tau lihat jam ... ternyata masih pukul 3 pagi. Ya ampun, horornya terlambat sadar

Atau pernah tertidur sambil melipat tangan diatas meja (saat jam sekolah). Bangun-bangun, populasi wanita di kelas sudah punah. Tinggal para santriwan yang jumlahnya nyaris dua puluhan, tertawa dadah-dadah ke saya yang lagi lap iler.

Wow, rasanya kayak jadi putri salju, di gurun sahara

5. Saksi sejarah tsunami.

Walau tak hingga bergelung dalam ombak, tetapi setidaknya saya juga menyaksikan kepingan tertinggi dari gedung sekolah rubuh di depan mata, bagaimana warga berlarian menuju kawasan sekolah kami yang tinggi, bahkan sekolah kemudian dijadikan kamp pengungsian warga Pulo Aceh.

Anehnya setelah kejadian alam yang menelan ratusan ribu nyawa itu, mahluk dimensi lain jadi sering coba-coba ke dalam raga santri. Mengangkat bau kencur kesurupan, jadi makanan sehari-hari kami.

Belum lagi di saat pulang ke rumah, yang cuma berjarak sekitar dua kilometer dari Bundaran Lambaro; tempat penumpukan mayat. Baunya hingga ke desa kami.

Bagaimana pemberian Mie instant dan Biskuat menjadi makanan kami sehari-hari. Karena dirumah kami juga memuat kerabat, yang rumahnya kena Tsunami. Saya masih ingat itu semua.

Pernah beberapa bulan kemudian -- di saat saya menemani seorang kawan dekat dari Jakarta -- ia terkejut menyaksikan abainya orang Aceh akan Corona.

Mengingat apa saja yang sudah dilewati orang Aceh, agaknya tak salah apabila di saat itu saya menjawab sambil bercanda,

"Orang Aceh sudah mengalami hal-hal menyakitkan dalam hidup mereka, dari ditipu pemerintah, kekeayaanya diperas oleh pusat, diberikan Darurat Militer, hingga kena kejadian alam Tsunami ... Corona barangkali cuma permasalahan kecil bagi orang keras kepala, yang sudah lewat lebih banyak hal berat, menyerupai kami."

6. Sarjana pendidikan yang tersesat.

Diantara semua jenjang pendidikan, bergotong-royong ini masih kalah menawan ketimbang masa di asrama. Tapi bagaimanapun -- kata Najwa Shihab -- apabila sanggup naik jenjang kuliah itu tergolong privilege. Jadi, meskipun hari ini saya tak berkiprah banyak di dunia pendidikan, harusnya tetap bersyukur bukan sempat duduk di bangku kuliah?

7. Anak Organisasi.

Dulu saya ikut organisasi cuma sekedar ingin punya banyak kegiatan, punya banyak teman, kemudian hingga alhasil saya paham terlalu banyak hal menawan dari berorganisasi.
Bisa berjumpa dengan orang-orang hebat, link pertemanannya yang luas, sanggup sering-sering main keluar tempat hingga luar sumatera (gratis), sanggup mendapat duit saku lebih, mendapat pengalaman menciptakan anjuran acara, pengalaman demo, pengalaman jadi MC dan Moderator, seluruhnya itu dari mengikuti tiga organisasi saja.

Terima kasih PII, FLP, BEMA Arraniry.

Saya ingat apabila dahulu sempat "cemburu" menyaksikan teman-teman Aliyah sering diseleksi ikut kontes MTQ, sementara saya gak pernah. Seringkali mereka menang, pulang bawa duit saku banyak.

Lalu saya? Tukang tidur di kelas, mana mungkin terpilih ikut lomba.

Lalu di saat kuliah, malah diwujudkan oleh PII; sanggup ikut MTQ dan sanggup duit saku.
Tapi bukan selaku peserta!
Melainkan panitia.

Jadi MC, alias pemanggil nomor urut peserta di mimbar utama, ternyata seru juga. Manggil-manggil orang aja duit sakunya sama kayak yang menang ikut lomba. Wkwkkw

8. Menikah, kemudian menjalani fase gres dalam hidup.

Melihat bawah umur terlelap dan menyaksikan suami pulang dari kantor, merupakan scene yang sungguh saya senangi tiap harinya.

Kadang suka Amazing sendiri, di saat menyadari bahwa bawah umur itu merupakan darah daging saya, pernah bersemayam dalam rahim saya, mewarisi beberapa sifat saya.
Pernah 'iri' dengan nasib baik istri para pesohor di negeri ini, tetapi alhasil saya sadar ... saya bahkan tak akan pernah mau bertukar posisi jadi Nagita Slavina, Syahrini, atau Ria Ricis, apabila mesti meninggalkan anak-anak. Keluarga merupakan sentra semesta bagi saya. Detak jantung saya.

9. Ibu yang patah hati

Fase terberat dalam hidup saya, merupakan tahun 2019. Saat putri yang sungguh kami cintai, meninggal.

Kepergiannya meninggalkan depresi berat hingga sekarang. Saya juga gak tahu apa istilahnya psikologinya; apakah anxiety, atau psikosomatik. Yang terang saya sering dilanda cemas apabila terjadi hal-hal sepele bagi para ibu lain.

Setelah beliau pergi, saya tidak memiliki banyak kehendak muluk-muluk lagi mengenai hidup. Allah menyerupai ingin mengingatkan saya kembali, bahwa pada alhasil hidup merupakan mengenai bagaimana kita ridha atas kehendakNya.
Tak ada yang abadi.

Nanti waktu saya juga akan tiba ...

Mohon dimaafkan apabila ada salah.

10. Perempuan Yang Suka Bercerita.

Saya menerima kesenangan yang lain dengan menulis. Bisa membagikan ide, membagikan pengalaman, membagikan hikmah.

Saya kadang tak menyangka, status yan
g saya tulis bertahun-tahun lalu, masih dikenang isi kebaikannya oleh orang lain hingga sekarang.

Semoga saja ada yang jadi amal jariyah bagi penulisnya.

Bila dahulu di status FB ada yang komen "Panjang kali statusnya, gak sempat baca".
Sekarang berganti dengan kalimat minta tambah,

"Next Thor!"

"Kok belum Up thor?"

"Apa Maunnya udah usang gak nongol?"

"Akhirnya yang ditunggu-tunggu nongol ..."

Kadang gak nyangka aja, goresan pena sederhana saya sanggup menciptakan duit di platform, walau tak banyak. Gak nyangka aja, ada yang akan ngeluarin duit demi baca hingga tamat.
Sama halnya menyerupai saya gak nyangka .... apabila saya sanggup melalui usia 34 ini dengan selamat. Huft!
Dear Me, have a great life beuh!

Sumber: Facebook Safrina Syams

Sumber https://www.juragandesa.id

Related : Perlu Menghargai Diri Sendiri

0 Komentar untuk "Perlu Menghargai Diri Sendiri"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)
close
close