"Kamu jadi perempuan gak berdikari banget sih Lan, bisanya nunggu duit bulanan suami doang. Gak akan berhasil kamu, kalau primitif gitu."
Padahal sudah pernah kujelaskan bahwa saya punya penyakit anemia, cepat pusing. Belum lagi kedua anakku masih berusia balita. Untuk apa memaksakan diri cari duit lebih kalau Bang Imran --suamiku-- masih sanggup menafkahi keluarga kecil kami dengan layak. Walau tak bergelimang harta, setidaknya dengan punya rumah sendiri dan sanggup makan setiap hari, saya sudah sungguh syukur. Kendaraan langsung juga punya, walau cuma kendaraan beroda empat subsidi.
"Setidaknya kau mesti punya duit simpang sendiri sepertiku, Lan. Kita kan gak tahu kedepannya, rezeki suami kita tanpa hambatan terus atau gak. Jangan kayak si Yulia tu. Eh di saat suaminya stroke, gres kelimpungan deh dia cari duit sekarang. Coba dari dahulu mencar ilmu berdikari gak ngandalin duit suami!"
Aku belum bertujuan menyela. Anakku Sally sudah nyaris mengantuk dalam ayunan, fokusku kini menidurkannya apalagi dahulu. Lagian Lastri kadang bertamu suka gak kenal waktu. Kalau gak jam istirahat, ya jam makan siang. Padahal saya juga butuh tidur siang walau sebentar.
Aku tak percaya kenapa dia betah disini. Bisa jadi dia jenuh di rumahnya, alasannya merupakan belum punya anak. Ia tidak mempunyai banyak sobat di komplek ini, kata para tetangga Lastri gak asik diajak ngobrol.
Jam kerja suami-suami kami yang sampai jam lima sore, menciptakan Lastri kian bebas bergerilya di rumahku. Ia tak sungkan-sungkan membuka kulkas, mengambil buah, mengambil kue. Padahal katanya duit dia lebih banyak dariku, namun dia tak pernah membelikan apapun kalau sedang main kesini. Kasihan sulungku yang kadang gak kebagian masakan ringan anggun brownis kesukaannya alasannya merupakan dihabiskan Lastri.
Kalau Lastri datang, umumnya agendanya senantiasa sama. Kalau gak menginformasikan tas, perhiasan, sepatu, yang gres dibelinya dari keuntungan pemasaran Skincare. Bahkan ia sudah pernah piknik gratis ke Bali alasannya merupakan sanggup bonus selaku distributor.
Lastri memasarkan banyak hal sebenarnya, namun pendapapatan terutama dari pemasaran kosmetik racikan.
Kadang saya berpikir kurang apa suaminya. Setahuku Bang Ilyas itu gajinya tidak mengecewakan di perusahaan farmasi, penduduknya juga baik.
"Hari gini mesti jadi perempuan mandiri, kalau sanggup menciptakan duit sendiri lebih banyak, ngapain harap recehan suami yang tak seberapa. Mana cukup Bambang!"
Begitulah kurang lebih isi status Lastri sebulan lalu.
Apa suami dia gak terasinggung ya? Padahal menurut legalisasi Lastri, Bang Ilyas menampilkan duit untuknya empat juta sebulan. Padahal kan itu tidak mengecewakan untuk keluarga yang belum dikaruniai anak. Lagipula Lastri gak sanggup masak, jadi tidak ada pengeluaran untuk dapur. Mereka lebih sering makan diluar katanya.
Mungkin alasannya merupakan Lastri pengen beli kendaraan beroda empat baru,, pengen piknik ke luar negeri, sanggup jadi hal itu yang menjadikannya sungguh bersungguh-sungguh mencari uang. Tetapi kenapa mesti mengomporiku mengerjakan hal serupa, kalau saya gak ingin semua itu.
"Lan, suami kita itu belum pasti sanggup nafkahi kita selamanya. Ada yang duluan sakit, ada yang duluan diundang Tuhan, ada yang malah duluan diambil pelakor. Makanya kita mesti punya pegangan, kalau-kalau hal buruk terjadi."
Ternyata perempuan itu belum berupa memberi khutbah, padahal ini bukan jumat.
"Aku berbaik sangka aja sama Tuhan Las. Kalaupun hal buruk terjadi, ya Tuhan juga niscaya kasih solusi."
"Asal nanti jangan ngutang sama saya aja kamu, Ntar aib sendiri lo, saya udah ingatin dari sekarang. Malah gak mau join bisnis sama aku!"
[ Tiga tahun kemudian ]
Entah bagaimana kabar kabar Lastri sekarang, sejak saya pindah dari sana.
Sudah usang juga rasanya saya tak mendengar celotehannya yang senantiasa mengkampanyekan agar menjadi perempuan mandiri. Walau sempat kesal akan nesehat Lastri, tetapi pada risikonya saya sadar yang dibilang perempuan itu ada benarnya.
Aku risikonya mencicipi kepahitan yang sudah usang coba diperingatkannya dari dulu.
Bang Imran yang kusayangi meninggal tiga tahun lalu. Pria yang menafkahi kami pergi untuk selamanya setelah serangan jantung.
Sempat menyesal, kenapa tak mengikuti rekomendasi Lastri dulu. Aku mengalami masa susah setelah simpanan almarhum habis, setahun setelah ia meninggal.
Tapi,
Syukurlah cuma satu tahun saja masa susah itu terjadi, alasannya merupakan tak usang kemudian risikonya saya menikah lagi dengan seorang duda yang baik. Lalu pindah ke kota ini, jauh dari Lastri dan ceramahnya mengenai kemandirian wanita.
"Sayang, duit jajannya masih ada?"
Lelaki yang gres menikahiku lima bulan kemudian itu senantiasa memutuskan banyak hal sebelum berangkat kerja. Aku kian cinta saja.
"Masih Mas, damai saja." jawabku di saat mengantarnya ke teras, kemudian menyalaminya. Ia gres dipromosi ke kota ini.
"Aku bersyukur banget punya istri kayak kamu, udah gak banyak menuntut, padai masak, menghargai kerja keras suami, cerdik irit pula."
Suamiku mengecup pucuk kepala ini mesra.
Ialah Bang Ilyas, laki-laki yang rela meninggalkan Lastri istrinya, demi menikahiku.
Ternyata benar apa kata Lastri.
Sudah semestinya para perempuan cari duit sendiri. Karena kita tak tahu hal buruk apa yang terjadi kedepannya.
Seperti apa yang menimpa Lastri sekarang.
Syukurlah kalau ia punya duit sendiri, di saat suaminya berpindah kelain hati.
( Tamat )
Bagi penikmat cerpen seru, ada banyak kisah yang lain GRATIS di aplikasi KBM saya: Safrina_syams.
Ini bukan kali pertama Lastri menyampaikan hal serupa. Perempuan berusia permulaan tiga puluhan itu acapkali mencemooh, bahwa saya terlalu bersantai secara finansial. Entah kenapa ia terlalu ingin mengontrol apa yang mesti kulakukan, padahal saya sendiri santai saja menjalani hidup.
Padahal sudah pernah kujelaskan bahwa saya punya penyakit anemia, cepat pusing. Belum lagi kedua anakku masih berusia balita. Untuk apa memaksakan diri cari duit lebih kalau Bang Imran --suamiku-- masih sanggup menafkahi keluarga kecil kami dengan layak. Walau tak bergelimang harta, setidaknya dengan punya rumah sendiri dan sanggup makan setiap hari, saya sudah sungguh syukur. Kendaraan langsung juga punya, walau cuma kendaraan beroda empat subsidi.
"Setidaknya kau mesti punya duit simpang sendiri sepertiku, Lan. Kita kan gak tahu kedepannya, rezeki suami kita tanpa hambatan terus atau gak. Jangan kayak si Yulia tu. Eh di saat suaminya stroke, gres kelimpungan deh dia cari duit sekarang. Coba dari dahulu mencar ilmu berdikari gak ngandalin duit suami!"
Aku belum bertujuan menyela. Anakku Sally sudah nyaris mengantuk dalam ayunan, fokusku kini menidurkannya apalagi dahulu. Lagian Lastri kadang bertamu suka gak kenal waktu. Kalau gak jam istirahat, ya jam makan siang. Padahal saya juga butuh tidur siang walau sebentar.
Aku tak percaya kenapa dia betah disini. Bisa jadi dia jenuh di rumahnya, alasannya merupakan belum punya anak. Ia tidak mempunyai banyak sobat di komplek ini, kata para tetangga Lastri gak asik diajak ngobrol.
Jam kerja suami-suami kami yang sampai jam lima sore, menciptakan Lastri kian bebas bergerilya di rumahku. Ia tak sungkan-sungkan membuka kulkas, mengambil buah, mengambil kue. Padahal katanya duit dia lebih banyak dariku, namun dia tak pernah membelikan apapun kalau sedang main kesini. Kasihan sulungku yang kadang gak kebagian masakan ringan anggun brownis kesukaannya alasannya merupakan dihabiskan Lastri.
Kalau Lastri datang, umumnya agendanya senantiasa sama. Kalau gak menginformasikan tas, perhiasan, sepatu, yang gres dibelinya dari keuntungan pemasaran Skincare. Bahkan ia sudah pernah piknik gratis ke Bali alasannya merupakan sanggup bonus selaku distributor.
Lastri memasarkan banyak hal sebenarnya, namun pendapapatan terutama dari pemasaran kosmetik racikan.
Kadang saya berpikir kurang apa suaminya. Setahuku Bang Ilyas itu gajinya tidak mengecewakan di perusahaan farmasi, penduduknya juga baik.
"Hari gini mesti jadi perempuan mandiri, kalau sanggup menciptakan duit sendiri lebih banyak, ngapain harap recehan suami yang tak seberapa. Mana cukup Bambang!"
Begitulah kurang lebih isi status Lastri sebulan lalu.
Apa suami dia gak terasinggung ya? Padahal menurut legalisasi Lastri, Bang Ilyas menampilkan duit untuknya empat juta sebulan. Padahal kan itu tidak mengecewakan untuk keluarga yang belum dikaruniai anak. Lagipula Lastri gak sanggup masak, jadi tidak ada pengeluaran untuk dapur. Mereka lebih sering makan diluar katanya.
Mungkin alasannya merupakan Lastri pengen beli kendaraan beroda empat baru,, pengen piknik ke luar negeri, sanggup jadi hal itu yang menjadikannya sungguh bersungguh-sungguh mencari uang. Tetapi kenapa mesti mengomporiku mengerjakan hal serupa, kalau saya gak ingin semua itu.
"Lan, suami kita itu belum pasti sanggup nafkahi kita selamanya. Ada yang duluan sakit, ada yang duluan diundang Tuhan, ada yang malah duluan diambil pelakor. Makanya kita mesti punya pegangan, kalau-kalau hal buruk terjadi."
Ternyata perempuan itu belum berupa memberi khutbah, padahal ini bukan jumat.
"Aku berbaik sangka aja sama Tuhan Las. Kalaupun hal buruk terjadi, ya Tuhan juga niscaya kasih solusi."
"Asal nanti jangan ngutang sama saya aja kamu, Ntar aib sendiri lo, saya udah ingatin dari sekarang. Malah gak mau join bisnis sama aku!"
[ Tiga tahun kemudian ]
Entah bagaimana kabar kabar Lastri sekarang, sejak saya pindah dari sana.
Sudah usang juga rasanya saya tak mendengar celotehannya yang senantiasa mengkampanyekan agar menjadi perempuan mandiri. Walau sempat kesal akan nesehat Lastri, tetapi pada risikonya saya sadar yang dibilang perempuan itu ada benarnya.
Aku risikonya mencicipi kepahitan yang sudah usang coba diperingatkannya dari dulu.
Bang Imran yang kusayangi meninggal tiga tahun lalu. Pria yang menafkahi kami pergi untuk selamanya setelah serangan jantung.
Sempat menyesal, kenapa tak mengikuti rekomendasi Lastri dulu. Aku mengalami masa susah setelah simpanan almarhum habis, setahun setelah ia meninggal.
Tapi,
Syukurlah cuma satu tahun saja masa susah itu terjadi, alasannya merupakan tak usang kemudian risikonya saya menikah lagi dengan seorang duda yang baik. Lalu pindah ke kota ini, jauh dari Lastri dan ceramahnya mengenai kemandirian wanita.
"Sayang, duit jajannya masih ada?"
Lelaki yang gres menikahiku lima bulan kemudian itu senantiasa memutuskan banyak hal sebelum berangkat kerja. Aku kian cinta saja.
"Masih Mas, damai saja." jawabku di saat mengantarnya ke teras, kemudian menyalaminya. Ia gres dipromosi ke kota ini.
"Aku bersyukur banget punya istri kayak kamu, udah gak banyak menuntut, padai masak, menghargai kerja keras suami, cerdik irit pula."
Suamiku mengecup pucuk kepala ini mesra.
Ialah Bang Ilyas, laki-laki yang rela meninggalkan Lastri istrinya, demi menikahiku.
Ternyata benar apa kata Lastri.
Sudah semestinya para perempuan cari duit sendiri. Karena kita tak tahu hal buruk apa yang terjadi kedepannya.
Seperti apa yang menimpa Lastri sekarang.
Syukurlah kalau ia punya duit sendiri, di saat suaminya berpindah kelain hati.
( Tamat )
Bagi penikmat cerpen seru, ada banyak kisah yang lain GRATIS di aplikasi KBM saya: Safrina_syams.
Sumber:Facebook Safrina Syams
Sumber https://www.juragandesa.id
0 Komentar untuk "Katanya Saya Ini Istri Primitif"