Menurut C.F Strong dalam bukunya A History of Modern Political Constitution (1963:84), negara kesatuan yakni bentuk negara dimana wewenang legislatif tertinggi dipusatkan dalam suatu DPR nasional. Kekuasaan negara dipegang oleh pemerintah pusat.
Pemerintah pusat sanggup menyerahkan sebagian kekuasaannya terhadap kawasan menurut hak otonomi, tetapi pada tahap terakhir kekuasaan tetap berada di tangan pemerintah pusat.
Pendapat C.F Strong tersebut sanggup dimaknai bahwa negara kesatuan yakni negara bersusun tunggal, yakni kekuasaan untuk menertibkan seluruh wilayahnya ada di tangan pemerintah pusat. Pemerintah pusat memegang kedaulatan sepenuhnya, baik ke dalam maupun ke luar.
Hubungan antara pemerintah pusat dengan rakyat dan wilayahnya sanggup dijalankan secara langsung.
Dalam negara kesatuan cuma ada satu konstitusi, satu kepala negara, satu dewan menteri (kabinet), dan satu parlemen.
Demikian pula dengan pemerintahan, yakni pemerintah pusatlah yang memegang wewenang tertinggi dalam segala faktor pemerintahan.
Negara kesatuan memiliki dua sistem, yakni sentralisasi dan desentralisasi.
Dalam negara kesatuan bersistem sentralisasi, semua hal dikontrol dan diurus oleh pemerintah pusat, sedangkan kawasan cuma melakukan perintah-perintah dan peraturan-peraturan dari pemerintah pusat.
Daerah tidak berwewenang bikin peraturan-peraturan sendiri atau mengorganisir rumah tangganya sendiri.
Akan tetapi, dalam negara kesatuan bersistem desentralisasi, kawasan diberi kekuasaan untuk menertibkan rumah tangganya sendiri (otonomi, swatantra).
Untuk memuat aspirasi rakyat di daerah, terdapat parlemen daerah. Meskipun demikian, pemerintah pusat tetap memegang kekuasaan tertinggi.
Bagaimana dengan NKRI?
Pada di saat ini, Indonesia merupakan negara kesatuan yang menganut metode desentralisasi lewat prosedur otonomi daerah.
Dengan metode ini, pemerintah pusat menampilkan sebagian kewenangan pemerintahan terhadap kawasan otonom (provinsi dan kabupaten kota).
Akan tetapi, ada kewenangan yang tidak diberikan terhadap kawasan otonom, yakni kewenangan dalam bidang politik luar negeri, agama, yustisi, pertahanan, keamanan, moneter dan fi skal nasional
Sebagai warga negara yang baik, pastinya Anda mesti mengerti karakteristik Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Hal tersebut penting dikenali untuk makin mempertegas identitas negara Indonesia.
Oleh lantaran itu, pada cuilan ini, Anda akan dibekali wawasan mengenai karakteristik NKRI menurut Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945.
Indonesia sejak kelahirannya pada tanggal 17 Agustus 1945 sudah memiliki tekad yang sama, bahwa negara ini akan eksis di dunia internasional dalam bentuk negara kesatuan.
Kesepakatan ini tercermin dalam rapat-rapat Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam menyusun konstitusi atau Undang-Undang Dasar yang tertinggi dalam negara
Soepomo dalam Sidang BPUPKI, mengharapkan bentuk negara kesatuan sejalan dengan paham negara integralistik yang menyaksikan bangsa selaku suatu organisme.
Hal ini antara lain menyerupai yang dikemukakan oleh Muhammad Yamin, bahwa kita cuma memerlukan negara yang bersifat unitarisme dan wujud negara kita tidak lain dan tidak bukan yakni bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pembentukan negara kesatuan berniat untuk menyatukan seluruh wilayah Nusantara biar menjadi negara yang besar dan kukuh dengan kekuasaan negara yang bersifat sentralistik.
Tekad tersebut sebagaimana tertuang dalam alinea kedua Pembukaan Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 yang berbunyi “dan usaha pergerakan kemerdekaan Indonesia sudah sampailah pada di saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengirimkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur”
Perubahan Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 mengukuhkan eksistensi Indonesia selaku negara kesatuan dan menetralisir keraguan terhadap pecahnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 sudah memperkukuh prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tak sedikit pun merubah Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi negara federal.
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 yang merupakan naskah orisinil mengandung prinsip bahwa ”Negara Indonesia merupakan negara kesatuan, yang berupa Republik.”
Pasal yang dirumuskan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tersebut merupakan tekad bangsa Indonesia yang menjadi sumpah anak bangsa pada 1928 yang dimengerti dengan Sumpah Pemuda, yakni satu nusa, satu bangsa, satu bahasa persatuan yakni bahasa Indonesia.
Wujud Negara Kesatuan Republik Indonesia makin kukuh sesudah dijalankan perubahan dalam Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, yang dimulai dari adanya ketetapan Majelis Permusyarawatan Rakyat yang salah satunya yakni tidak merubah Pembukaan Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 dan tetap menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia selaku bentuk fi nal negara bagi bangsa Indonesia.
Kesepakatan untuk tetap menjaga bentuk negara kesatuan didasari pertimbangan bahwa negara kesatuan yakni bentuk yang ditetapkan sejak permulaan berdirinya negara Indonesia dan dipandang paling sempurna untuk mewadahi wangsit persatuan suatu bangsa yang bermacam-macam ditinjau dari banyak sekali latar belakang (dasar pemikiran).
UUD NRI Tahun 1945 secara faktual mengandung semangat biar Indonesia ini bersatu, baik yang tercantum dalam Pembukaan maupun dalam pasal-pasal yang eksklusif menyebutkan perihal Negara
Kesatuan Republik Indonesia dalam lima Pasal, yaitu: Pasal 1 ayat (1), Pasal 18 ayat (1), Pasal 18B ayat (2), Pasal 25A dan pasal 37 ayat (5) Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 serta rumusan pasal-pasal yang mengukuhkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan eksistensi lembaga-lembaga dalam Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945.
Prinsip kesatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dipertegas dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, yakni “…. dalam upaya membentuk suatu Pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”.
Karakteristik Negara Kesatuan Indonesia juga sanggup dipandang dari sisi kewilayahan.
Pasal 25A Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 menentukan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia yakni suatu negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan oleh undang-undang”.
Istilah Nusantara dalam ketentuan tersebut dipergunakan untuk menggambakan kesatuan wilayah perairan dan deretan pulau-pulau Indonesia yang terletak di antara Samudra Pasifi k dan Samudra Indonesia serta di antara Benua Asia dan Benua Australia.
Kesatuan wilayah tersebut juga mencakup
- kesatuan politik;
- kesatuan hukum;
- kesatuan sosialbudaya;
- kesatuan ekonomi serta
- kesatuan pertahanan dan keamanan.
Dengan demikian, walaupun wilayah Indonesia terdiri atas ribuan pulau, tetapi seluruhnya terikat dalam satu kesatuan negara yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Persatuan dan Kesatuan Bangsa pada Masa Revolusi Kemerdekaan (18 Agustus 1945 hingga dengan 27 Desember 1949)
Pada periode ini, bentuk NRI yakni kesatuan, dengan bentuk pemerintahan yakni republik yang mana presiden berkedudukan selaku kepala pemerintahan sekaligus selaku kepala negara.
Sistem pemerintahan yang dipakai yakni metode pemerintahan presidensial. Dalam periode ini, yang dipakai selaku pegangan yakni Undang-Undang Dasar 1945.
Akan tetapi dalam pelaksanaannya belum sanggup dijalankan secara murni dan konsekuen. Hal ini dikarenakan bangsa Indonesia gres saja memproklamasikan kemerdekaannya.
Pada waktu itu, semua kekuatan negara difokuskan pada upaya menjaga kemerdekaan yang gres saja diraih dari rongrongan kekuatan absurd yang ingin kembali menjajah Indonesia.
Dengan demikian, walaupun Undang-Undang Dasar 1945 sudah berlaku, tetapi yang gres sanggup dibikin cuma presiden, wakil presiden, serta para menteri dan gubernur yang merupakan perpanjangan tanggan pemerintah pusat.
Adapun departemen terbuat untuk pertama kalinya di Indonesia terdiri atas 12 departemen. Provinsi yang gres dibikin terdiri atas delapan wilayah yang terdiri atas Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Borneo, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil.
Kondisi di atas didasarkan pada Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa untuk pertama kalinya presiden dan wakil presiden diseleksi oleh PPKI.
Dengan demikian, tidaklah menyalahi apabila MPR/DPR RI belum dimanfaatkan lantaran penyeleksian biasa belum diselenggarakan.
Lembaga-lembaga tinggi negara lain yang disebutkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 menyerupai MPR, DPR, DPA, BPK, dan MA belum sanggup diwujudkan sehubungan dengan kondisi darurat dan mesti dibikin menurut undang-undang.
Untuk menangani hal tersebut, Undang-Undang Dasar 1945 lewat ketentuan dalam pasal IV Aturan Peralihan menyatakan bahwa sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan pertimbangan Agung dibikin menurut undang-undang dasar ini, segala kekuasaanya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan suatu Komite Nasional. Pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 secara eksklusif menampilkan kekuasaan yang teramat luas terhadap presiden.
Dengan kata lain, kekuasaan presiden meliputi kekuasaan pemerintahan negara (eksekutif), menjalan kekuasaan MPR dan DPR (legislatif) serta melakukan kiprah DPA.
Kekuasaan yang teramat besar itu diberikan terhadap presiden cuma untuk sementara waktu, supaya penyelenggaraan negara sanggup berjalan.
Oleh lantaran itu PPKI dalam Undang-Undang Dasar 1945 mencantumkan dua ayat Aturan Tambahan yang memastikan bahwa:
a. Dalam enam bulan sesudah berakhirnya pertempuran Asia Timur Raya, Presiden Indonesia menertibkan dan mengadakan segala hal yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar ini.
b. Dalam enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk, majelis itu bersidang untuk menentukan undang-undang dasar.
Pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 dijadikan alasan oleh Belanda untuk menuduh Indonesia selaku negara diktator lantaran kekuasaan negara terpusat terhadap presiden.
Untuk melawan propaganda Belanda pada dunia internasional, maka pemerintah RI mengeluarkan tiga buah maklumat.
a. Maklumat Wapres Nomor X (baca eks) tanggal 16 Oktober 1945 yang menghentikan kekuasaan luar bisa dari Presiden sebelum masa waktunya selsai (seharusnya berlaku selam enam bulan). Kemudian, maklumat tersebut menampilkan kekuasaan MPR dan DPR yang semula dipegang oleh Presiden terhadap Komite Nasional Indonesia Pusat. Pada dasarnya, maklumat ini yakni penyimpangan terhadap ketentuan Undang-Undang Dasar 1945
b. Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945, perihal pembentukan partai politik yang sebanyak-banyaknya oleh rakyat. Hal ini selaku akhir dari fikiran pada di saat itu bahwa salah satu ciri demokrasi yakni multipartai. Maklumat tersebut juga selaku upaya biar Dunia Barat menilai bahwa Indonesia yakni negara yang menganut asas demokrasi.
c. Maklumat pemerintah tanggal 14 November 1945, yang pada dasarnya merubah metode pemerintahan presidensial menjadi metode pemerintahan parlementer. Maklumat tersebut kembali menyalahi ketentuan Undang-Undang Dasar RI 1945 yang menentukan metode pemerintahan presidensial selaku metode pemerintah Indonesia.
Ketiga maklumat di atas menampilkan efek yang cukup besar terhadap metode ketatanegaraan Indonesia.
Maklumat pemerintah tanggal 14 November 1945 sudah menenteng perubahan total dalam metode pemerintahan negara kita.
Pada tanggal tersebut, Indonesia mengawali kehidupan gres selaku penganut metode pemerintahan parlementer.
Dengan metode ini, presiden tidak lagi memiliki rangkap jabatan, presiden cuma selaku kepala negara, sedangkan kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri.
Kabinet dalam hal ini para menteri tidak bertanggung jawab terhadap presiden, tetapi terhadap DPR yang kekuasaannya dipegang oleh BP KNIP.
Secara konseptual, perubahan ini dibutuhkan akan bisa mengakomodasi semua kekuatan yang ada dalam negara ini.
Akan tetapi, pada kenyataannya, metode ini justru menenteng bangsa Indonesia ke dalam kondisi yang tidak stabil.
Kabinet-kabinet parlementer terbuat simpel sekali dijatuhkan dengan mosi bimbang dari DPR.
Sistem pemerintahan parlementer tidak berjalan lama.
Sistem tersebut berlaku mulai tanggal 14 November 1945 dan selsai pada tanggal 27 Desember 1949. Dalam jangka waktu itu, terjadi berulang kali perubahan kabinet.
Kabinet yang pertama dipimpin oleh Sutan Syahrir yang dilanjutkan dengan kabinet Syahrir II dan III.
Sewaktu bubarnya kabinet Syahrir III, selaku akhir meruncingnya pertengkaran antara Indonesia-Belanda, pemerintah membentuk Kabinet Presidensial kembali (27 Juni 1947–3 Juli 1947).
Namun atas desakan dari beberapa partai politik, Presiden Soekarno kembali membentuk Kabinet Parlementer, menyerupai berikut:
a. Kabinet Amir Syarifudin I: 3 Juli 1947-11 November 1947
b. Kabinet Amir Syarifudin II: 11 November 1947-29 Januari 1948
c. Kabinet Hatta I: 29 Januari 1948-4 Agustus 1949
d. Kabinet Darurat (Mr. Sjafruddin Prawiranegara): 19 Desember 1948-13 Juli 1949
e. Kabinet Hatta II: 4 Agustus 1949-20 Desember 1949
Kondisi pemerintahan tidak stabil lantaran kabinet terbuat tidak bertahan usang serta rongrongan kolonial Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia.
Pemberontakan tersebut memperbesar catatan kelam sejarah bangsa ini dan rakyat makin menderita.
Periode Negara Kesatuan Republik Indonesia selsai seiring dengan hasil kontrak Konferensi Meja Bundar yang merubah bentuk negara kita menjadi negara serikat pada tanggal 27 Desember 1949.
Periode ini juga ditandai dengan hadirnya gerakan-gerakan separatis dengan tujuan mendirikan negara gres yang memisahkan diri dari NKRI. Adapun gerakan-gerakan tersebut di antaranya selaku berikut.
Pemberontakan ini terjadi pada tanggal 18 September 1948 yang dipimpin oleh Muso.
Tujuan dari pemberontakan PKI Madiun yakni ingin merubah dasar negara Pancasila dengan komunis serta ingin mendirikan Soviet Republik Indonesia.
Pemberontakan PKI Madiun melaksanakan aksinya dengan menguasai seluruh karesidenan Pati. PKI juga melaksanakan pembunuhan dan penculikan ini secara besar-besaran.
Pada tanggal 30 September 1948, pemberontakan PKI Madiun sukses ditumpas oleh Tentara Nasional Indonesia yang dibantu oleh rakyat.
Di bawah pimpinan Kolonel Gatot Subroto (Panglima Divisi H Jawa Tengah cuilan timur) dan Kolonel Sungkono (Panglima Divisi Jawa Timur) mengerahkan kekuatan Tentara Nasional Indonesia dan polisi untuk melaksanakan pengejaran dan pencucian di daerah-daerah sehingga Muso dan Amir Syarifuddin sukses ditembak mati
Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan (SM) Kartosuwiryo yang memiliki prospek untuk mendirikan Negara Islam Indonesia.
Cita-citanya membentuk Negara Islam Indonesia (NII) diwujudkan lewat Proklamasi yang dikumAndangkan pada tanggal 7 Agustus 1949 di Desa Cisayong, Jawa Barat.
Untuk menangani pemberontakan yang dijalankan oleh Kartosuwiryo, Pasukan Tentara Nasional Indonesia dan rakyat menggunakan Operasi Pagar Betis di Gunung Geber.
Akhirnya, pada tanggal 4 Juni 1962 Kantosuwiryo sukses ditangkap dan dijatuhi eksekusi mati
Federalisme pernah dipraktekkan di Indonesia pada rentang 27 Desember 1949 hingga dengan 17 Agustus 1950.
Pada masa ini, yang dijadikan selaku pegangan yakni Konstitusi Republik Indonesia Serikat tahun 1949.
Berdasarkan konstitusi tersebut, bentuk negara kita yakni serikat atau federasi dengan 15 negara bagian. Bentuk pemerintahan yang berlaku pada periode ini yakni republik.
Ciri republik dipraktekkan di saat berlangsungnya penyeleksian Ir. Soekarno selaku Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Drs. Moh. Hatta selaku Perdana Menteri.
Sistem pemerintahan yang dianut pada periode ini yakni metode parlementer kabinet semu (quasi parlementer), dengan karakteristik selaku berikut.
- Pengangkatan perdana menteri dijalankan oleh Presiden, bukan oleh parlemen sebagaimana lazimnya.
- Kekuasaan perdana menteri masih dicampurtangani oleh Presiden. Hal itu terlihat pada ketentuan bahwa Presiden dan menteri-menteri bantu-membantu merupakan pemerintah. Seharusnya, Presiden cuma selaku kepala negara, sedangkan kepala pemerintahannya dipegang oleh Perdana Menteri.
- Pembentukan kabinet dijalankan oleh Presiden bukan oleh parlemen.
- Pertanggungjawaban kabinet yakni terhadap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tetapi mesti lewat keputusan pemerintah.
- Parlemen tak punya kekerabatan erat dengan pemerintah sehingga DPR tidak punya efek besar terhadap pemerintah. DPR tidak sanggup menggunakan mosi bimbang terhadap kabinet.
- Presiden RIS memiliki kedudukan rangkap, yakni selaku kepala negara dan kepala pemerintahan.
Selain Presiden dan para menteri (kabinet), negara RIS juga memiliki Senat, Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung dan Dewan Pengawas Keuangan selaku alat peralatan negara.
Parlemen RIS terdiri atas dua badan, yakni senat dan DPR. Senat beranggotakan wakil dari negara cuilan yang ditunjuk oleh pemerintah pusat.
Setiap negara cuilan diwakili oleh dua orang.
Keputusan untuk menentukan bentuk negara serikat, sebagaimana sudah diuraikan di muka, merupakan politik pecah belahnya kaum penjajah.
Hasil kontrak dalam Konferensi Meja Bundar, memang mewajibkan Indonesia berubah dari negara kesatuan menjadi negara serikat.
Bagaimana nasib negara serikat itu? Layaknya bayi yang lahir prematur, kondisi RIS juga menyerupai itu.
Muncul banyak sekali reaksi dari banyak sekali golongan bangsa Indonesia menuntut pembubaran Negara RIS dan kembali terhadap kesatuan NRI.
Maka pada 8 Maret 1950, Pemerintah Federal mengeluarkan Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1950, yang isinya menertibkan tata cara perubahan susunan kenegaraan negara RIS.
Dengan adanya undang-undang tersebut, nyaris semua negara cuilan RIS memadukan diri dengan NRI yang berpusat di Yogyakarta. Akhirnya, Negara RIS cuma memiliki tiga negara bagian, yakni NRI, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatra Timur
Bagaimana efek kondisi menyerupai itu terhadap RIS sendiri? Kondisi itu mendorong RIS berunding dengan pemerintahan RI untuk membentuk negara kesatuan.
Pada tanggal 19 Mei 1950, diraih kontrak yang dituangkan dalam piagam perjanjian.
Disebutkan pula dalam perjanjian tersebut bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menggunakan undang-undang dasar gres yang merupakan adonan dua konstitusi yang berlaku, yakni konstitusi RIS dan juga Undang-Undang Dasar 1945 yang menciptakan UUDS 1950.
Pemerintah Indonesia bersatu ini dipimpin oleh Presiden Soekarno dan Wapres Mohammad Hatta sebagaimana diangkat selaku presiden dan wakil presiden pertama sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
Pada tanggal 17 Agustus 1950, konstitusi RIS diganti dengan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950.
Sejak di saat itulah, pemerintah melakukan pemerintahan dengan menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
Pada masa Republik Indonesia Serikat juga terdapat gerakan-gerakan separatis yang terjadi beberapa wilayah Indonesia, di antaranya:
Gerakan APRA dipimpin oleh Kapten Raymond Westerling.
Gerakan ini didasari oleh adanya keyakinan rakyat akan hadirnya seorang ratu adil yang hendak menenteng mereka ke situasi kondusif dan nyaman serta memerintah dengan adil dan bijaksana.
Tujuan gerakan APRA yakni untuk menjaga bentuk negara federal di Indonesia dan memiliki serdadu tersendiri pada negara cuilan RIS.
Pada tanggal 23 Januari 1950, pasukan APRA menyerang Kota Bandung serta melaksanakan pembantaian dan pembunuhan terhadap anggota TNI.
APRA tidak mau bergabung dengan Indonesia dan menentukan tetap menjaga status quo lantaran jikalau bergabung dengan Indonesia, mereka akan kehilangan hak istimenya.
Pemberontakan APRA juga disokong oleh Sultan Hamid II yang menjabat sebagal menteri negara pada Kabinet RIS.
Pemberontakan APRA sukses ditumpas lewat operasi militer yang dijalankan oleh Pasukan Siliwangi.
Pemberontakan di bawah pimpinan Andi Aziz ini terjadi di Makassar diawali dengan adanya kekacauan di Sulawesi Selatan pada bulan April 1950.
Kekacauan tersebut terjadi lantaran adanya demonstrasi dari kelompok penduduk yang anti-federal. Mereka mendesak Negara Indonesia Timur (NIT) secepatnya memadukan diri dengan RI.
Sementara itu, terjadi demonstrasi dari golongan yang mendukung terbentuknya negara federal. Keadaan ini memunculkan timbul kekacauan dan ketegangan di masyarakat.
Untuk menangani pemberontakan tersebut, pemerintah pada tanggal 8 April 1950 mengeluarkan perintah bahwa dalam waktu 4 x 24 Jam Andi Aziz mesti melaporkan diri ke Jakarta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Pasukan yang terlibat pemberontakan ditugaskan untuk menyerahkan diri dan semua tawanan dilepaskan.
Pada di saat yang sama, dikirim pasukan untuk melaksanakan operasi militer di Sulawesi Selatan yang dipimpin oleh A.E. Kawilarang.
Pada tanggal 15 April 1950, Andi Aziz berangkat ke Jakarta sesudah didesak oleh Presiden NIT, Sukawati.
Tetapi Andi Aziz telat melapor sehingga ia ditangkap dan diadili, sedangkan pasukan yang dipimpin oleh Mayor H. V Worang terus melaksanakan pendaratan di Sulawesi Selatan.
Pada 21 April 1950, pasukan ini sukses menduduki Makassar tanpa perlawanan dari pasukan pemberontak.
Pemberontakan RMS (Republik Maluku Selatan) dipimpin oleh Mr. Dr. Christian Robert Steven Soumokil yang menolak terhadap pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan memproklamasikan negara Republik Maluku Selatan pada tanggal 25 April 1950.
Mereka ingin merdeka dan melepaskan diri dan wilayah Republik Indonesia lantaran menilai Maluku memiliki kekuatan secara ekonomi, politik, dan geografi s untuk berdiri sendiri.
Penyebab utama hadirnya Gerakan Republik Maluku Selatan (RMS) yakni duduk kasus pemerataan jatah pembangunan kawasan yang dicicipi sungguh kecil, tidak seimbang dengan kawasan di Jawa.
Pemberontakan ini sanggup diselesaikan lewat ekspedisi militer yang dipimpin oleh Kolonel A.E. Kawilarang (Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur).
Melalui ekspedisi militer, beberapa wilayah penting sanggup dikuasai menyerupai Maluku, Ambon, dan sekitarnya, sehingga beberapa anggotanya banyak yang melarikan diri ke negeri Belanda.
Persatuan dan Kesatuan Bangsa pada Masa Demokrasi Liberal (17 Agustus 1950 hingga dengan 5 Juli 1959)
Pada periode ini, Indonesia menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia Tahun 1950 (UUDS 1950) yang berlaku mulai tanggal 17 Agustus 1950.
UUDS RI 1950 merupakan perubahan dari Konstitusi RIS yang diselenggarakan sesuai dengan Piagam Persetujuan antara pemerintah RIS dan Pemerintah RI pada tanggal 19 Mei 1950.
Bentuk negara Indonesia pada periode ini yakni kesatuan yang kekuasaannya dipegang oleh pemerintah pusat. Hubungan dengan kawasan didasarkan pada asas desentralisasi.
Bentuk pemerintahan yang dipraktekkan yakni republik, dengan kepala negara yakni seorang presiden yang dibantu oleh seorang wakil presiden. Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali mengisi dua jabatan tersebut.
Sistem pemerintahan yang dianut pada periode ini yakni metode pemerintahan parlementer dengan menggunakan kabinet parlementer yang dipimpin oleh seorang perdana menteri.
Alat-alat peralatan negara meliputi Presiden dan Wakil Presiden, menteri-menteri, Dewan Perwakilan rakyat, Mahkamah Agung, dan Dewan Pengawas Keuangan.
Pada di saat mulai berlakunya UUDS RI 1950, dibikin Dewan Perwakilan Rakyat Sementara yang merupakan adonan anggota DPR RIS ditambah ketua dan anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat dan anggota yang ditunjuk oleh presiden
Praktik metode pemerintahan parlementer yang dipraktekkan pada masa berlakunya UUDS 1950 ini ternyata tidak menenteng bangsa Indonesia ke arah kemakmuran, keteraturan dan kestabilan politik.
Hal ini tercermin dari jatuh bangunnya kabinet dalam kurun waktu antara 1950-1959 sudah terjadi 7 kali perubahan kabinet.
- Kabinet Natsir: 6 September 1950–27 April 1951
- Kabinet Sukirman: 27 April 1951–3 April 1952
- Kabinet Wilopo: 3 April 1952–30 Juli 1953
- Kabinet Ali Sastroamidjojo I: 30 Juli 1953–12 Agustus 1955
- Kabinet Burhanudin Harahap: 12 Agustus 1955–24 Maret 1956.
Pada masa kabinet ini, Indonesia untuk pertama kalinya mengadakan penyeleksian biasa yang dibarengi oleh 28 partai.
Pemilu dilaksanakan atas dasar Undangundang Pemilu Nomor 7 tahun 1953. Pemilu 1955 dilaksanakan selama dua tahap, yakni pada tanggal 29 September 1955 untuk menentukan anggota parlemen dan tanggal 15 Desember untuk menentukan anggota konstituante.
f. Kabinet Ali Sastroamidjojo II: 24 Maret 1956–9 April 1957.
g. Kabinet Djuanda (karya): 9 April 1957–10 Juli 1959.
Hal yang memunculkan kondisi negara berantakan pada periode ini yakni tidak berhasilnya tubuh konstituante menyusun undang-undang dasar yang baru.
Keadaan ini memancing kompetisi politik dan memunculkan kondisi ketatanegaraan bangsa Indonesia menjadi tidak menentu.
Kondisi yang sungguh membahayakan bangsa dan negara ini mendorong Presiden Soekarno untuk mengajukan rancangannya mengenai konsep demokrasi terpimpin dalam rangka kembali terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Terjadi perdebatan yang tiada ujung pangkal sementara disisi lain kondisi negara makin gawat dan tidak terkendali yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Kondisi tersebut mendorong presiden untuk menggunakan wewenangnya yakni mengeluarkan Dekret Presiden tanggal 5 Juli tahun 1959, yang berisi di antaranya selaku berikut.
- Pembubaran konstituante
- Memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950.
- Pembentukan MPR dan DPA sementara.
Pada periode ini juga terjadi beberapa gerakan separatis di kawasan di antaranya:
Daerah Sulawesi Selatan:
Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan dipimpin oleh Kahar Muzakar. Pemberontakan ini disebabkan oleh Kahar Muzakar yang menempatkan laskar-laskar rakyat Sulawesi Selatan ke dalam Iingkungan APRlS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) dan berhasrat untuk menjadi pimpinan dan APRIS.
Pada tanggal 17 Agustus 1951, Kahar Muzakar bareng dengan pasukannya melarikan diri ke hutan dan pada tahun 1952 ia menginformasikan bahwa Sulawesi Selatan menjadi cuilan dari Negara Islam Indonesia pimpinan Kartosuwiryo di Jawa Barat.
Penumpasan terhadap pemberontakan yang dijalankan oleh Kahar Muzakar mengalami kesusahan alasannya tempat persembunyian mereka berada di hutan yang ada di kawasan pegunungan.
Akan tetapi, pada bulan Februari 1965 sukses ditumpas oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kahar Muzakar ditembak mati.
Daerah Aceh:
Pemberontakan DI/TII di Aceh dipimpin oleh Daud Beureuh yang merupakan mantan Gubernur Aceh.
Pemberontakan ini disebabkan oleh status Aceh yang semula menjadi kawasan istimewa diturunkan menjadi kawasan keresidenan di bawah Provinsi Sumatra Utara.
Kebijakan pemerintah tersebut ditentang oleh Daud Beureuh sehingga pada tanggal 21 September 1953, ia mengeluarkan maklumat perihal penyatuan Aceh ke dalam Negara Islam Indonesia pimpinan Kartosuwiryo.
Pemerintah Republik Indonesia memberantas pemberontakan ini di Aceh dengan kekuatan senjata atau operasi militer dan melaksanakan musyawarah dengan rakyat Aceh, sehingga pada tanggal 17-28 Desember 1962 diselenggarakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh dan lewat musyawarah tersebut, sukses diraih solusi secara damai.
Daerah Kalimantan Selatan:
Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan dipimpin oleh Ibnu Hajar yang menamakan gerakannya dengan istilah Kesatuan Rakyat yang Tertindas.
Pada tahun 1954, lbnu Hajar secara resmi bergabung dengan Negara Islam Indonesia dan ditunjuk selaku panglima tertinggi TIM (Tentara Islam Indonesia).
Pada tahun 1963, pemerintah Indonesia sukses menumpas pemberontakan ini, Ibnu Hajar dan anak buahnya sukses ditangkap dan dijatuhi eksekusi mati.
Pemberontakan PRRI/Permesta terjadi di Sulawesi yang disebabkan oleh adanya kekerabatan yang kurang serasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Hal itu dikarenakan jatah keuangan yang diberikan oleh pemerintah pusat tidak cocok budget yang diusulkan.
Hal tersebut memunculkan efek ketidakpercayaan terhadap pemerintah pusat. Selanjutnya, dibikin gerakan dewan berikut.
- Dewan Banteng di Sumatra Tengah dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein.
- Dewan Gajah di Sumatra Utara dipimpin oleh Letkol M. Simbolon.
- Dewan Garuda di Sumatra Selatan.
- Dewan Lambung Mangkurat di Kalimantan Selatan.
- Dewan Manguhi di Sulawesi Utara dipimpin oleh Letkol Ventje Samual.
Puncak pemberontakan ini terjadi pada tanggal 10 Februari 1958, Ketua Dewan Banteng mengeluarkan ultimatum terhadap pemerintah pusat.
Isi ultimatum tersebut yakni menyatakan bahwa Kabinet Djuanda mesti mengundurkan diri dalam waktu 5 x 24 jam.
Setelah menerima ultimatum tersebut, pemerintah pusat bertindak tegas dengan cara memberhentikan secara tidak hormat Achmad Husein dan melaksanakan operasi militer pada tanggal 12 Februari 1958.
Di bawah pimpinan KSAD, A. H. Nasution membekukan komando kawasan militer Sumatra Tengah serta mengadakan operasi militer adonan yang diberi nama Operasi 17 Agustus yang sukses merusak gerakan separatis tersebut.
Namun, pada tanggal 15 Februari 1955, terjadi proklamasi PRRI yang berisi bahwa kawasan Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah menentukan kekerabatan dengan pemerintah pusat.
Untuk menangani pemberontakan yang dijalankan PRRI, pemerintah pusat melancarkan operasi Sapta Marga dan sukses melumpuhkan agresi dijalankan PRRI/Permesta.
Dekret Presiden tanggal 5 Juli 1959 sudah menenteng kepastian di negara Indonesia.
Negara kita kembali menggunakan Undang-Undang Dasar 1945 selaku konstitusi negara yang berkedudukan selaku asas penyelenggaraan negara.
Sejak berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945, Presiden berkedudukan selaku kepala negara dan kepala pemerintahan.
Kabinet terbuat pada tanggal 9 Juli 1959 dinamakan Kabinet Kerja yang terdiri atas:
a. Kabinet Inti, yang terdiri atas seorang perdana menteri yang dijabat oleh Presiden dan 10 orang menteri.
b. Menteri-menteri ex offi cio, yakni pejabat-pejabat negara yang lantaran jabatannya diangkat menjadi menteri. Pejabat tersebut yakni Kepala Staf Angkatan Darat, Laut, Udara, Kepolisian Negara, Jaksa Agung, Ketua Dewan Perancang Nasional dan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung
c. Menteri-menteri muda sebanyak 60 orang. Pada periode ini timbul pedoman di golongan para pemimpin bangsa Indonesia, yang dipelopori Presiden Soekarno, yang menatap bahwa pelaksanaan demokrasi liberal pada periode yang kemudian hasilnya sungguh mengecewakan.
Sebagai akhir dari ketidakpuasan tersebut, presiden Soekarno mencetuskan konsep demokrasi terpimpin.
Pada mulanya, wangsit demokrasi terpimpin yakni demokrasi yang dipimpin oleh hikmat budi dalam permusyawaratan/perwakilan.
Namun, usang kelamaan, bergeser menjadi dipimpin oleh Presiden/Pemimpin Besar Revolusi. Maka, akibatnya segala sesuatunya didasarkan terhadap kepemimpinan penguasa dalam hal ini pemerintah
Pelaksanaan pemerintahan pada periode ini, walaupun menurut Undang-Undang Dasar 1945, tetapi kenyataanya banyak terjadi penyimpangan terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Berikut ini yakni beberapa penyimpangan selama pelaksanaan demokrasi terpimpin.
- Membubarkan DPR hasil pemilu dan menggantikannya dengan membentuk DPR Gotong Royong (DPRGR) yang anggotannya diangkat dan diberhentikan oleh presiden.
- Membentuk MPR sementara yang anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh presiden.
- Penetapan Ir. Soekarno selaku Presiden seumur hidup oleh MPRS.
- Membentuk Front Nasional lewat Penetapan Presiden No.13 Tahun 1959 yang anggotanya berasal dari banyak sekali organisasi kemasyarakatan dan organisasi sosial politik yang ada di Indonesia.
- Terjadinya pemerasan dalam penghayatan Pancasila.
Pancasila yang berkedudukan selaku dasar negara dan persepsi hidup bangsa diperas menjadi tiga unsur yang disebut Trisila, kemudian Trisila ini diperas lagi menjadi satu unsur yang disebut Ekasila.
Ekasila inilah yang dimaksud dengan Nasakom (nasionalis, agama dan komunisme).
Gagasan Nasakom inilah yang memberi peluang bangkitnya Partai Komunis Indonesia (PKI). Hal tersebut dimasukkan dalam UU RI Nomor 18 Tahun 1965 perihal Pemerintah Daerah.
Semua unsur Nasakom tergolong di dalamnya PKI mesti diamati dalam penunjukan unsur pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Jadi, bila di suatu kawasan cuma ada seorang tokoh PKI, ia mesti diikutsertakan selaku pimpinan DPRD apabila ia menjadi anggota DPRD di satu daerah.
Hal inilah yang bikin PKI menerima posisi yang strategis bahkan dominan.
Karena merasa memiliki posisi yang kuat, PKI melaksanakan pemberontakan pada tanggal 30 September 1965 yang menewaskan tujuh orang perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat.
Kepemimpinan Presiden Soekarno dengan demokrasi terpimpinnya, akibatnya jatuh pada tahun 1966.
Jatuhnya Soekarno menandai berakhirnya masa Orde Lama dan digantikan oleh kekuatan baru, yang dimengerti dengan istilah Orde Baru yang dipimpin Soeharto.
Ia timbul selaku pemimpin Orde Baru yang siap untuk membangun kembali pemerintahan yang menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen.
Prioritas utama yang dijalankan oleh Pemerintahan Orde Baru bertumpu pada pembangunan ekonomi dan stabilitas nasional yang mantap.
Ekses dari kebijakan tersebut yakni digunakannya pendekatan keselamatan dalam rangka mengamankan pembangunan nasional.
Oleh lantaran itu jikalau terdapat pihak-pihak yang dinilai mengusik stabilitas nasional, pegawanegeri keselamatan akan menindaknya dengan tegas.
Sebab jikalau stabilitas keselamatan terusik maka pembangunan ekonomi akan terganggu. Jika pembangunan ekonomi terusik maka pembangunan nasional tidak akan berhasil.
Selama memegang kekuasaan negara, pemerintahan Orde Baru tetap menerapkan metode pemerintahan presidensial. Adapun keistimewaan dari metode pemerintahan Orde Baru:
- Perkembangan pendapatan per kapita penduduk Indonesia yang pada tahun 1968 cuma 70 dolar Amerika Serikat dan pada 1996 sudah meraih lebih dari 1.000 dolar Amerika Serikat.
- Suksesnya kesibukan transmigrasi.
- Suksesnya kesibukan Keluarga Berencana.
- Sukses memerangi buta huruf. Akan tetapi dalam perjalanan pemerintahannya, Orde Baru melaksanakan beberapa penyimpangan terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Beberapa penyimpangan konstitusional yang paling menonjol pada masa Pemerintahan Orde Baru sekaligus menjadi kehabisan metode pemerintahan Orde Baru yakni selaku berikut:
a. Bidang ekonomi:
Penyelengaraan ekonomi tidak didasarkan pada pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Terjadinya praktik monopoli ekonomi. Pembangunan ekonomi bersifat sentralistik, sehingga terjadi jurang pemisah antara pusat dan daerah. Pembangunan ekonomi dilandasi oleh tekad untuk kepentingan individu.
b. Bidang Politik:
Kekuasaan berada di tangan forum eksekutif. Presiden selaku pelaksana undang-undang kedudukannya lebih lebih banyak didominasi ketimbang forum legislatif. Pemerintahan bersifat sentralistik, banyak sekali keputusan disosialisasikan dengan metode komando. Tidak ada keleluasaan untuk mengkritik jalannya pemerintahan. Praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) biasa terjadi yang pastinya merugikan perekonomian negara dan keyakinan masyarakat.
c. Bidang hukum:
Perundang-undangan yang memiliki kegunaan untuk menangkal kekuasaan presiden kurang memadai, sehingga potensi ini memberi peluang terjadinya praktik KKN dalam pemerintahan. Supremasi aturan tidak sanggup ditegakan lantaran banyaknya oknum penegak aturan yang condong memihak pada orang tertentu sesuai kepentingan. Hukum bersifat kebal terhadap penguasa dan konglomerat yang erat dengan penguasa.
Segala penyimpangan yang disebutkan di atas membuat negara Indonesia terjerembab pada suatu kondisi krisis multidimensional.
Kondisi yang mengkhawatirkan ini sudah menghidupkan gerakan reformasi menumbangkan rezim otoriter. Maka pada tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri.
Sebagai gantinya, B.J Habibie yang di saat itu menjabat selaku wakil presiden, dilantik selaku Presiden RI yang ketiga.
Masa jabatan Presiden B.J Habibie selsai sesudah pertanggungjawabannya ditolak oleh sidang Umum MPR pada tanggal 20 Oktober 1999
Periode ini disebut juga masa reformasi. Gejolak politik di masa reformasi makin mendorong usaha penegakan kedaulatan rakyat dan bertekad untuk merealisasikan pemerintahan yang higienis dari korupsi, kolusi, dan nepotisme yang merusak kehidupan bangsa dan negara.
Memasuki masa reformasi, bangsa Indonesia bertekad untuk bikin metode pemerintahan yang demokratis.
Untuk itu, perlu disusun pemerintahan yang konstitusional atau pemerintahan yang menurut pada konstitusi. Pemerintah konstitusional bercirikan bahwa konstitusi negara itu berisi:
a. adanya pembatasan kekuasaan pemerintahan atau direktur dan
b. jaminan atas hak asasi insan dan hak-hak warga negara.
Berdasarkan hal itu, salah satu bentuk reformasi yang dijalankan oleh bangsa Indonesia yakni melaksanakan perubahan atau amandemen atas Undang-Undang Dasar 1945.
Dengan mengamandemen Undang-Undang Dasar 1945 menjadi konstitusi yang bersifat konstitusional, dibutuhkan sanggup terbentuk metode pemerintahan yang lebih baik dari yang sebelumnya.
Amandemen atas Undang-Undang Dasar 1945 sudah dijalankan oleh MPR sebanyak empat kali, yakni pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002.
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 pada hakikatnya tidak merubah metode pemerintahan Indonesia.
Baik sebelum maupun sesudah perubahan, metode pemerintahan Indonesia tetap presidensial. Tetapi perubahan tersebut sudah merubah kiprah dan kekerabatan presiden dan DPR.
Jika dahulu presiden memiliki peranan yang dominan, bahkan dalam praktiknya sanggup menekan lembaga-lembaga negara yang lain, sekarang Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 memberi kiprah yang lebih proporsional (berimbang) terhadap lembaga-lembaga negara.
Begitu pula kendali terhadap kekuasaan presiden menjadi lebih ketat. Selain itu, perubahan Undang-Undang Dasar 1945 juga merubah struktur ketatanegaraan Indonesia.
Jika ketimbang Undang-Undang Dasar 1945 sebelum diubah maka Undang-Undang Dasar NRI 1945 terdapat peniadaan dan penambahan lembaga-lembaga negara.
Untuk lebih jelasnya, berikut dipaparkan perubahanperubahan fundamental dalam ketatanegaraan Indonesia sesudah perubahan UndangUndang Dasar 1945, yaitu:
- Kedaulatan di tangan rakyat dan dijalankan menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 1 ayat (2)).
- MPR merupakan forum bikameral, yakni berisikan anggota DPR dan anggota DPD (Pasal 2 ayat (1)).
- Presiden dan Wapres diseleksi eksklusif oleh rakyat (Pasal 6A ayat (1)).
- Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sanggup diseleksi kembali dalam jabatan yang serupa untuk satu kali masa jabatan (Pasal 7).
- Pencantuman hak asasi insan (Pasal 28A-28J).
- Penghapusan DPA selaku forum tinggi negara.
- Presiden bukan mandataris MPR.
- MPR tidak lagi menyusun GBHN.
- Pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY) (Pasal 24B dan 24C).
- Anggaran pendidikan minimal 20% (Pasal 31 ayat (4)).
- Negara kesatuan dilarang diubah (Pasal 37 ayat (5)).
- Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 dihapus.
0 Komentar untuk "Pkn Xii Kepingan 4 Dinamika Persatuan Dan Kesatuan Dalam Konteks Nkri"