HUKUMAN FISIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Pelaksanaan hukuman fisik mempunyai pesan yang tersirat dan tujuan tersendiri. Menurut Islam, eksekusi terhadap yang melaksanakan pelanggaran mempunyai tujuan pendidikan. Hal ini dinyatakan oleh Ibnu Hajar bahwa �Pemberian eksekusi dalam Islam yaitu sebagai tuntunan dan bimbingan dan bukan sebagai hardikan atau balas dendam�[1].
Dengan demikian sanggup dipahami bahwa tujuan pinjaman eksekusi fisik yaitu untuk tuntunan dan bimbingan supaya yang telah melaksanakan pelanggaran atau yang bersalah mau menyadari atau menginsafi perbuatan yang telah dikerjakannya. Dengan adanya suatu kesadaran tersebut akan tercipta proses mencar ilmu yang baik, apabila pinjaman eksekusi terhadap semua pelaku pelanggaran dan kejahatan telah dilaksanakan dengan baik.
Pemberian eksekusi bukanlah suatu balas dendam dari seorang pendidik kepada anak didiknya, tetapi pinjaman eksekusi dalam arti luas sanggup dipahami yaitu untuk memperbaiki dan sekaligus sebagai pendidikan bagi anak didik. Dengan ada nya pinjaman eksekusi terhadap anak didik di sekolah ataupun anak dalam lingkungan keluarga yang melaksanakan pelanggaran maka jiwanya akan terdidik untuk tidak lagi melaksanakan pelanggaran. Dan pendidik hendaknya bijaksana dalam memakai cara eksekusi yang sesuai, tidak bertentangan dengan tingkat kecerdasan anak, pendidikan, dan pembawaannya. Di samping itu, hendaknya ia tidak segera memakai hukuman, kecuali setelah memakai cara-cara lain. Hukuman yaitu cara yang paling akhir.
Secara umum pinjaman eksekusi yaitu untuk membersihkan kesalahan seseorang yang telah melaksanakan pelanggaran, serta menghambat orang lain, baik individu maupun kelompok untuk melaksanakan agresi pelanggaran dan kejahatan yang sanggup menimbulkan kerugian dipihak pelaku pelanggaran sendiri dan orang lain pada umumnya.
Di samping itu pinjaman eksekusi juga bertujuan untuk menjaga ketertiban umum dan mendidik masyarakat secara keseluruhan bahwa segala bentuk perbuatan yang merugikan orang atau pihak lain dan menyimpang dari norma-norma yang berlaku akan dikenakan suatu eksekusi yang setimpal.
A. Deskripsi Umum wacana Hukuman Fisik Dalam Islam
Dalam Islam ada beberapa jenis eksekusi fisik, dan pelaksanaan hukumannya juga berbeda antara satu dengan yang lainnya. Pelaksanaan eksekusi tersebut mempunyai cara tertentu dan tergantung pada keadaan baik pelaku maupun tingkat pelanggaran atau kejahatan yang dilakukannya.
Jenis-jenis eksekusi fisik tersebut antara lain yaitu hudud. Salah satu jenis eksekusi fisik yaitu hudud. Kata hudud bentuk jamak dari kata hadd. Adapun istilah berdasarkan syara� : �Hadd yaitu pinjaman eksekusi dalam rangka hak Allah�[2]. kesalahan-kesalahan yang dikenakan eksekusi hadd yaitu kesalahan-kesalahan yang terdiri dari �Berzina, menuduh, mencuri, mabuk, mengacau, murtad dan memberontak�[3].
Terhadap pelaku dalam problem ini dikenakan eksekusi fisik sebagaimana yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya :
1. Hukuman rajam.
Hukuman fisik jenis ini dikenakan bagi mereka yang melaksanakan zina jikalau keduanya yaitu janda dan duda, maka hukumannya yaitu rajam. Hal ini sebagaimana ketentuan aturan yang diterangkan dalam firman Allah SWT :
??????? ????? ??????? ?? ?????? ????????? ????? ????? ???? ??? ????? ???????? ?? ?????? ??? ??????? ????? ?? ???? ???? ??? ????? (?????? : 15)
Artinya:
"Dan (terhadap) para perempuan yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kau (yang menyaksikannya), kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, kurunglah mereka (wanita-wanita itu) hingga mereka menemui ajalnya, atau hingga Allah memberi jalan lain kepadanya". (An-Nisa' :15).[4]
Pada ayat lain Allah SWT, berfirman wacana eksekusi zina dan merupakan jawaban dari ayat di atas tadi, yaitu Allah menawarkan jalan lain kepada mereka yang berada dalam kurungan dan ayat tersebut yaitu :
??????? ??????? ??????? ?? ???? ????? ???? ???? ??? ?????? ???? ???? ?? ??? ???? ?? ???? ?????? ????? ?????? ????? ?????? ??????? ????? ?? ???????? (????? : 2)
Artinya:
"Perempuan yang berzina dan pria yang berzina, maka deralah tiap-tiap seseorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kau untuk (menjalankan) agama Allah jikalau kau beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan hendaklah (pelaksanaan) eksekusi mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman". (An-Nur : 2).[5]
Dengan demikian, Islam mengakui adanya eksekusi fisik dalam bentuk rajam, yang dikenakan bagi orang-orang yang melaksanakan hubungan luar nikah. Beratnya eksekusi fisik ini dimaksudkan untuk memberi pelajaran bagi pelakunya biar tidak lagi melaksanakan perbuatan zina.
2. Hukuman potong tangan.
Hukuman fisik jenis ini dikenakan terhadap pencuri. Adapun firman Allah wacana hal tersebut yaitu sebagai berikut :
??????? ???????? ??????? ??????? ???? ??? ???? ????? ?? ???? ????? ???? ???? (??????? : 38)
Artinya:
"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". (Al � Ma-idah : 38).[6]
Pada ayat lain Allah berfirman bahwa bagi orang yang membuat kerusakan di muka bumi di kenakan eksekusi mati atau disalib ataupun dipotong tangan atau kakinya secara silang atau diusir, firman allah SWT :
???? ???? ????? ??????? ???? ?????? ?????? ?? ????? ????? ?? ?????? ?? ?????? ?? ???? ?????? ??????? ?? ???? ?? ????? ?? ????? ??? ??? ??? ?? ?????? ???? ?? ?????? ???? ???? (??????? : 33)
Artinya:
"Sesungguhnya pembelaan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan dimuka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan atau kaki mereka dengan bertimpal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di alam abadi kelak mereka menerima siksaan yang besar". (Al-Ma-idah : 33).[7]
Adanya eksekusi fisik yang berat bagi pencuri dimaksudkan biar menyadarkan si pelaku biar tidak lagi mencuri, lantaran merugikan orang lain dan mengurangi semangat bekerja dan berusaha.
3. Hukuman dera.
Hukuman fisik jenis ini dikenakan bagi pemabuk berupa delapan puluh atau empat puluh pukulan. Hal ini seirama dengan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim yaitu sebagai berikut :
?? ??? ??? ???? ??? ??? : ??? ????? ??? ???? ???? ???? ??????, ???? ??? ??? ??????, ???? ??????, ??? ??? ???? ??? ??? (???? ????)
Artinya:
"Dari 'Ali, ra. : Rasulullah Saw : Rasulullah telah menghukum empat puluh kali pukulan, Abu Bakar juga empat puluh kali pukulan dan Umar delapan puluh kali pukulan, dan semua itu yaitu sunnah dan eksekusi ini (empat puluh kali pukulan) yaitu eksekusi yang lebih saya sukai". (HR. Muslim).[8]
4. Hukumuan Qisas
Hukuman fisik jenis qishash ini dimaksudkan untuk menyadarkan sipelaku biar tidak melaksanakan pembunuhan. Adapun dasar eksekusi qishash atau memberi amnesti yaitu bersumber dari firman Allah SWT bunyinya yaitu sebagai berikut :
?? ???? ????? ????? ??? ????? ?????? ?? ?????? ???? ????? ?????? ?????? ??????? ??????? ??? ??? ?? ?? ???? ??? ?????? ???????? ????? ???? ?????? ??? ????? ?? ???? ????? ??? ????? ??? ??? ??? ???? ???? (?????? : 178)
Artinya :
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kau qishash berkenaan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan perempuan dengan wanita, maka barang siapa yang sanggup suatu pemaafan dari saudaranya hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula. Yang demikian itu yaitu suatu dispensasi dari Tuhan kau dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas setelah itu, maka baginya siksa yang amat pedih". (Al-Baqarah : 178).[9]
Dari ayat di atas terang bahwa eksekusi qishash telah diwajibkan atas orang-orang yang beriman yang telah melaksanakan pembunuhan sesama dengan orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan perempuan dengan wanita, kecuali bagi barang siapa yang telah menerima ampunan dari saudaranya.
Selanjutnya dalam sabda Rasulullah SAW juga dijelaskan pula problem hak wali untuk membalas atau memberi eksekusi kepada orang yang telah membunuh saudaranya, adapun suara hadits tersebut yaitu sebagai berikut :
?? ??? ????? ??? ???? ??? ??? : ??? ??? ? ???? ??? ???? ???? ????: ?? ??? ?? ???? ??? ???? ??????? : ??? ?? ???? ???? ?? ???? (???? ?? ???)
Artinya:
"Dari Abi Hurairah, ra. Berkata : Bersabda Rasulullah SAW : �Barang siapa terbunuh saudaranya, maka ia boleh menentukan diantara salah satu di antara kedua alternatif, apakah ia meminta tebusan atau menuntut�. (HR. Turmuzi).[10]
Jadi sanggup diambil suatu kesimpulan bahwa yang memberi ampunan terhadap pelaku pembunuhan seseorang yaitu walinya (wali yang terbunuh).
5. Hukuman Ta�zir
Hukuman fisik jenis ta�zir merupakan tindakan edukatif terhadap pelaku perbuatan dosa yang tidak ada hukuman hadd dan kifaratnya. Hakim yang dimaksud di sini yaitu orang yang menerapkan hukum-hukum Islam, melaksanakan hukuman-hukuman haddnya dan mengikat dirinya dengan ajaran-ajaran Islam.
Adapun eksekusi ta�zir yaitu eksekusi dalam bentuk kurungan (penjara) terhadap pelaku tuduhan palsu. Ini yaitu eksekusi pada asal mula disyari�atkan eksekusi ta�zir, yang diterapkan oleh Nabi SAW. Akan tetapi eksekusi kurungan menyerupai yang dilakukan oleh Nabi SAW. Tadi yaitu sebagai tindakan preventif hingga kasus menjadi jelas.
B. Hukuman Fisik dan Pengaruhnya Terhadap Pendidikan Anak
Hukuman fisik sanggup juga disebut dengan kata iqab. Secara kata bahasa kata iqabberakar dari kata ??? � ???? yang terdiri dari abjad ?-?-? , yang artinya menggiring, menggantikan imbas dan bekas.[11] Kata ini mempunyai tendensi kepada siksaan atau azab menyerupai halnya kata 'uqubah dan mu'aqabah.[12].
Dengan memahami makna dasar dari kata eksekusi fisik atau 'iqab dan pemakaiannya dalam ayat al-Qur'an menyerupai pada surat Al-Hajj ayat 60 sanggup dipahami bahwa imbas yang diganti itu bisa jadi sama, ini berarti bahwa eksekusi dalam al-Qur'an ada yang bersifat telah ditentukan, niscaya dan mesti mengikuti apa yang telah di tetapkan. Hukuman menyerupai ini ditemukan dalam makna qisas pada surat al-Maidah ayat 33 sebagai berikut :
???? ???? ????? ??????? ???? ?????? ?????? ?? ????? ????? ?? ?????? ?? ?????? ?? ???? ?????? ??????? ?? ???? ?? ????? ?? ????? ??? ??? ??? ?? ?????? ???? ?? ?????? ???? ???? (??????? : 33)
Artinya:
"Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau di salib, atau di potong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya) yang demikian itu sebagai suatu penghinaan buat mereka didunia, dan diakhirat mereka beroleh siksaan yang besar" (QS. Al-Maidah : 33)[13].
Dapat dilihat bahwa eksekusi bagi orang yang menentang Rasul dan membuat kerusakan di bumi ini telah ditetapkan dan tidak boleh diganti kecuali hanya menentukan alternatif yang ada dalam ayat tersebut.
Adapun eksekusi dalam dunia pendidikan tergolong dalam jenis eksekusi yang bersifat tidak tentu atau pasti. Bentuknya sanggup dipilih atas dasar kebijaksanaan dan pertimbangan yang berhak melakukankannya, sebagaimana di jelaskan dalam surat ali-Imran ayat : 137 sebagai berikut :
?? ??? ?? ????? ??? ?????? ?? ????? ??????? ??? ??? ????? ???????? (?? ????? : 137)
Artinya :
"Sesungguhnya telah berlalu sebelum kau sunnah-sunnah Allah, lantaran itu berjalanlah kau di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana jawaban orang-orang yang mendustakan" (QS. Ali-Imran: 137).[14]
Dari ayat tersebut sanggup diperoleh suatu jenis eksekusi lain yang bersifat tidak niscaya dan tidak tentu, bentuknya sanggup dipilih.
Abdullah 'Ulwan[15]menyatakan bahwa pinjaman eksekusi dalam Islam bertujuan memelihara kebutuhan-kebutuhan asasi yang harus dipenuhi manusia, yaitu:
1. Memelihara agama.
2. Memelihara jiwa
3. Memelihara nama baik
4. Memelihara akal
5. Memelihara harta benda.
Dengan demikian, eksekusi fisik itu diberikan bukan atas dasar balas dendam dan emosional tetapi didasari oleh rasa kasih sayang yang nrimo dan penuh pengertian, sehingga anak menyadari kesalahannya. Prinsip tersebut mendapatkan perhatian dalam al-Qur'an sebagimana termaktub dalam surat An-Nahl ayat 126.
??? ?????? ??????? ???? ?? ?????? ?? ???? ????? ??? ??? ???????? (????? : 126)
Artinya :
"Jika kau memberi balasan, maka balaslah dengan jawaban yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepada kamu. Akan tetapi jikalau kau bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang bersabar". (QS. An-Nahl: 126)[16]
Al-Alusi [17] dalam tafsirnya menyatakan bahwa ayat di atas memperlihatkan adanya larangan melaksanakan pembalasan dalam menghukum seseorang. Bersikap sabar dalam hal ini lebih dianjurkan. Namun demikian, bersikap sabar disini bukan berarti pasrah dan mendapatkan begitu saja perlakuan seseorang melainkan bersikap hati-hati dan bijaksana serta penuh perhatian dan pemikiran dalam mengambil suatu keputusan. Hal ini sebagaimana diisyaratkan dalam QS. al-A'raf : 167
?? ??? ????? ?????? ???? ????? ???? (??????? : 167)
Artinya :
"Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaannya. Dan sesungguhnya Dia yaitu maha pengampun lagi maha penyayang". (QS.Al-A'raf : 167)[18]
Dari ayat tersebut sanggup dipahami bahwa eksistensi Tuhan sebagai penghukum dan pengampun yaitu sama. Ini memperlihatkan bahwa eksekusi fisik itu harus duluan diberikan kepada anak sebagai jawaban atas kesalahannya. Anak bisa diperbaiki tingkah lakunya dengan kasih sayang, dan itu sendiri dianjurkan oleh Rasulullah dalam sabdanya : [19]
????? ??????? ???? ??? ??? ????? ?? ???? ?????? ??? ?? ????? ?? ???? ??? ???? ?? ??? ?? ??? ????? ???? ?? ???? ?? ????? ?? ??? ???? ????? ??? ????? ??? ???? ???? ???? ???: ??? ??? ?? ?? ???? ?????? ????? ?????? ????? ?????? ?? ????? ?? ?????? ( ???? ????)
Artinya :
"Telah berkata kepada 'Abdullah, telah berkata kepada ku bapakku, telah berkata kepada 'Utsman bin Muhammad dan saya mendengarkan dari 'Utsman bin Muhammad telah berkata kepada Jarir bin Layts dan 'Abdul Mulk bin Sa'id bin Jubair dari ibn 'Akramah dari ibn 'Abbas yang dirafakan kepada Nabi Muhammad SAW bersabda: "Bukan dari golongan kami, barang siapa yang belum menghormati orang cendekia balig cukup akal dan tidak mencintai anak kecil, serta tidak menyuruh kepada kebaikan dan tidak mencegah kemungkaran"(HR. Ahmad).
Dalam konteks tersebut, Ibnu Sina sebagaimana dikutip oleh Ali al-Jumbulati[20]menyatakan bahwa kewajiban pertama bagi orang renta yaitu mendidik anak dengan sopan santun, membiasakan dengan perbuatan yang terpuji semenjak mulai di sapih, sebelum kebiasaan buruk mempengaruhinya. Selain itu, eksekusi fisik yang diberikan hendaklah dengan porsi yang cukup dan penuh kebijaksanaan, lantaran sikap yang demikian itu akan membuat tingkah laris anak yang baik.
Adapun tujuan lain dari pinjaman eksekusi fisik terhadap anak dalam pendidikan Islam sanggup merujuk pada ayat 10 dari surah Ar-Rum.
?? ??? ????? ????? ?????? ?????? ?? ????? ????? ???? ?????? ??? ???????? (????? : 10)
Artinya :
"Kemudian, jawaban orang-orang yang mengerjakan kejahatan yaitu (azab) yang lebih buruk, lantaran mereka mendustakan ayat-ayat Allah dan mereka selalu memperolok-oloknya".[21] (QS. Ar-Rum : 10)
Ayat ini secara implisit mengungkapkan bahwa pinjaman eksekusi dimaksudkan biar anak yang melaksanakan pelanggaran atau berbuat tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku, mencicipi betapa pedihnya eksekusi itu, sehingga mereka sadar dan patuh pada norma-norma tersebut. Ayat ini dipertegas kembali dengan firman-Nya dalam QS al-An'am : 42.
???? ?????? ??? ??? ?? ???? ???????? ???????? ??????? ????? ??????? (???????: 42)
Artinya :
"Dan sesungguhnya kami telah mengutus Rasul-rasul kepada umat-umat sebelum kamu, kemudian kami siksa mereka dengan menimpakan kesengsaraan dan kemelaratan supaya mereka merendahkan diri". (QS. Al-An'am : 42).[22]
Dari ayat tersebut, sanggup dipahami bahwa pinjaman eksekusi yang bertujuan biar anak sadar dan patuh terhadap norma-norma yang ditetapkan, gres sanggup dilaksanakan jikalau anak telah memperoleh penjelasan-penjelasan wacana norma-norma yang harus ia taati. Menurut Jhon Dewey sebagaimana yang dikutip oleh Ali Jumbulati [23], biar sikap patuh bisa bertahan, maka perlu adanya adaptasi melalui perbuatan yang berproses yang mengandung keutamaan-keutamaan sebagai teladan kongkrit yang telah diberikan oleh Rasulullah dalam adaptasi shalat bagi anak, sebagaimana sabdanya.
?? ???? ?? ????, ?? ????, ?? ??? ??? : ??? ???? ??? ??? ??? ???? ???? ??????????? ?????? ? ??? ????? ??? ????, ???????? ????? ??? ????? ???, ?????? ????? ?? ???????" (???? ????????)
Artinya :
"Dari Umar bin Syuaib, dari bapaknya, ia berkata Rasulullah saw, bersabda : "Suruhlah anak-anakmu shalat waktu berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka jikalau meningaglkannya di waktu berumur sepuluh tahun, dan pisahkan lah daerah tidur mereka." (HR. Abu Daud)[24]
Hadits di atas menjelaskan bahwa Rasul dalam membiasakan anak untuk rajin shalat melalui tiga tahapan :
1. Tahap pinjaman teladan dari orang tua, yaitu anak sebelum berusia tujuh tahun.
2. Tahap perintah untuk melaksanakan shalat, ketika ia berumur tujuh tahun.
3. Tahap pinjaman eksekusi bila ia melalaikannya, ketika ia berumur sepuluh tahun.
Dengan adanya sikap patuh dari anak terhadap norma-norma yang berlaku, lebih lanjut diperlukan anak tidak mau melanggar dan mengulangi lagi kesalahan-kesalahan yang pernah ia perbuat. Dalam QS. An-Nur : 17 dinyatakan :
????? ???? ?? ?????? ????? ???? ?? ???? ?????? (????? : 17)
Artinya :
"Allah memperingatkan kau biar (jangan) kembali memperbuat yang menyerupai itu selama lamanya jikalau kau orang-orang yang beriman" (QS. An-Nur : 17)[25]
Dalam persepsi Abdullah[26] anak yang sudah sadar atas kesalahan dan berakhlak baik menunjukan bahwa pinjaman eksekusi itu berhasil. Untuk itu menurutnya anak harus kembali diperlakukan dengan lemah lembut. Tujuan tersebut akan dicapai, bila orang renta dalam menawarkan eksekusi memperhatikan tiga hal berikut ini :
1. Hukuman harus dirasakan oleh yang diawali sebagai larangan, membahayakan dan tidak diinginkan.
2. Hukuman harus cukup aversif biar menghasilkan eliminasi/hilangnya prilaku yang tidak diinginkan.
3. Yang diawali masih terkunci dalam hubungan lantaran tergantung pada orang renta untuk menyediakan apa yang dibutuhkan.[27]
Penerapan eksekusi fisik terhadap anak sebagai perjuangan paedagogis dalam aplikasinya mempunyai efek terhadap pendidikan dan training kepribadian anak. Pembinaan tersebut menuntut orang renta biar memahami betul hukum-hukum dasar perkembangan anak, demi keberhasilan usahanya.
Perlunya mengaksentuasikan bahasan ini lantaran kepribadian yaitu milik seseorang yang paling berharga dan memberi ciri khas kepada dan menentukan keunikan setiap orang. Dalam kepribadian setiap orang tersembunyi potensi-potensi untuk dikembangkan dan dipakai dalam hidupnya. Kepribadian seseorang itu tidak hanya dibawa dari semenjak kecil, tetapi ia juga tumbuh dan berkembang dengan adanya faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Meskipun semua orang mempunyai kepribadian, akan tetapi tidak semuanya mempunyai tabiat atau karakter, yang terbentuk lantaran pembawaan dan efek lingkungan. Kepribadian itu bisa meliputi atas merangkum aspek temperamen dan tabiat seseorang.[28]Bagi All Port sebagaimana dikutip Alisuf [29]kepribadian itu yaitu "organisasi atau susunan yang dinamis dari pada sistim psikofisik dalam diri individu yang menentukan penyesuaian dirinya yang khas terhadap lingkungannya".
Hakikat kepribadian "jiwa yang tenang" sebagaimana kepribadian yang lain tidak statis tetapi dinamis. Untuk itu, biar kepribadian tersebut lebih lebih secara umum dikuasai dalam diri anak, orang renta dituntut senantiasa memperhatikan faktor ekstern, faktor lingkungan baik yang hidup maupun yang mati menyerupai sikap orang tua, suasana keluarga dan bentuk rumah, dan faktor intern, baik yang bersifat kejiwaan atau kebutuhan kejiwaaan berwujud pikiran, perasaan dan sebagainya. Keadaan jasmani berwujud susunan saraf, panjang dan pendeknya tubuh dan sebagainya. Perlunya perhatian tersebut lantaran kedua faktor itu mempunyai efek terhadap pertumbuhan dan perkembangan kepribadian anak pada masa selanjutnya.
Dalam psikologi perkembangan, belum disepakati faktor manakah yang lebih dominan. Kaum nativistik beropini bahwa kepribadian itu semata-mata ditentukan oleh unsur pembawaan. Berbeda dengan kaum empiristik beropini bahwa perkembangan kepribadian keseganan itu, kebanyakan orang mesti dipaksa, diawasi, diarahkan dan diancam atau dibujuk dengan eksekusi biar mereka mengeluarkan tenaga secukupnya untuk mau dan sanggup bertindak sesuai dengan yang berkehendaki.
Kepribadian sebagai salah satu goal dalam penerapan eksekusi dalam tipologi Carl Jung, seorang psikoanalisa dari Swiss, terbagi menjadi dua tipe, yaitu apa yang disebut Introvertion dan Exstroversion (dikenal juga TermatipeIntrovert dan Ekstrovert).[30]
Orang yang introvert lebih banyak dipengaruhi oleh dunia subjektif, yaitu dunia didalam dirinya sendiri, pikiran, perasaan dan tindakan-tindakannya sangat subjektif, sehingga penyesuaiannya dengan dunia luar kurang baik, jiwanya tertutup, sukar bergaul, sukar berafiliasi dan orang lain, kurang sanggup menggoda orang lain.
C. Bentuk Hukuman Fisik Dalam Pendidikan Islam
Bentuk eksekusi yang sanggup diterapkan dalam mendidik anak dalam berdasarkan al-Qur�an, akan diperoleh bentuk yang sangat bervariasi, menyerupai dera seratus kali bagi orang yang berzina, potong tangan bagi yang mencari, diasingkan dari kampungnya bagi penzina dan seterusnya. Bila bentuk yang majemuk itu diklasifikasikan akan diperoleh dua bentuk utama yaitu eksekusi jasmaniah dan eksekusi rohaniah. Contoh eksekusi jasmaniah menyerupai yang terdapat dalam QS. al-Maidah ayat 33. Sedangkan teladan eksekusi rohaniah menyerupai terdapat dalam QS. Al-Baqarah ayat 10.
Ditinjau dari masa atau kapan eksekusi itu diberikan, bagi Schaefer[31]ada tiga bentuk eksekusi yang sanggup dipergunakan setelah dilakukannya suatu perbuatan salah oleh si anak yaitu:
1. Membuat anak itu melaksanakan suatu perbuatan yang tidak menyenangkan.
2. Mencabut dari anak tersebut sesuatu kegemarannya atau sesuatu kesempatan yang menggembirakannya.
3. Menimpakan kesakitan berbentuk kejiwaan dan jasmani terhadap anak.
Disamping itu, peringatan atau teguran dan hal yang serupa merupakan bentuk eksekusi yang sanggup diterapkan sebelum terjadinya suatu kesalahan yang dilakukan anak. Ibnu Sina sebagaimana dikutip oleh Ali Jumbulati[32]menyatakan, jikalau terpaksa mendidik anak dengan kekerasan, sebaiknya diberi peringatan dan ancaman terlebih dahulu, jangan menindak anak dengan kekerasan tetapi dengan kehalusan hati, kemudian diberi motivasi dan kadang kala dengan muka masam.
Dari keterangan tersebut, sanggup dipahami bahwa secara general(umum), eksekusi berupa kata-kata teguran contohnya lebih baik dilakukan dari alternatif pilihan lainnya. Tetapi ini tidak bisa diartikan bahwa orang renta mempunyai kebebasan yang mutlak dalam memakai kata-kata. Dalam memberi peringatan atau teguran, orang renta tidak boleh memakai kata-kata yang mendiskriditkan anak, menyerupai kata �saya jijik melihatmu� kata-kata yang sedemikian itu akan menghilangkan paling tidak menjatuhkan harga diri anak dan ia akan kecewa. Al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Fathiyah[33]menyatakan bahwa orang renta hendaklah berhati-hati dalam memakai eksekusi sebagai metode pendidikan, ia tidak boleh berlaku berangasan dalam membina mental anak. Begitu juga tidak boleh menyebarluaskan kesalahan mereka, lantaran hal ini sanggup menjadikannya bersikap menentang ataupun mempertahankan dirinya.
Selanjutnya menerapkan bentuk eksekusi apa yang akan diberikan kepada anak, orang renta hendaknya harus memperhatikan dua prinsip berikut ini:
1. Hukuman profosional, maksudnya berat atau ringan eksekusi itu tergantung kepada bentuk perlanggaran dan frekuensinya. Makara seorang anak usia tujuh tahun yang memecahkan piring ketika makan, tidak boleh makan untuk satu hari yaitu suatu teladan eksekusi yang tidak proposional. Sebab, bertanya eksekusi tidak sesuai dengan pelanggaran yang dilakukannya. Bahkan Rasulullah sendiri dalam menyingkapi problem ini, ia lebih cenderung tidak memberi eksekusi apabila frekuensinya masih bisa ditolerir. Dengan alasan bahwa setiap benda itu mempunyai maut sebagaimana ajalnya manusia.[34]
2. Hukuman diberikan setelah ada penjelasan. Ini berarti menuntut orang renta biar menawarkan pendidikan mengenai problem syariat, sopan santun atau akhlak, sehingga anak mengerti alasan atau argumentasi orangtuanya ketika terpaksa menawarkan eksekusi atau jawaban kepadanya.[35]Hal itu juga telah dipertegas dalam QS. Al-Isra� ayat 15.
??? ??? ?????? ??? ???? ????? (??????? : 15)
Artinya:
"Dan sesungguhnya kami tidak akan mengazab sebelum kami mengutus seorang Rasul". (Q.S. al-Isra' : 15).
Perlunya klarifikasi sebelum pelaksanaan eksekusi biar anak lebih berhati-hati dalam bertindak sehingga terhindar dari kesalahan yang menimbulkan ia terhukum.
D. Urgensi Hukuman Fisik Dalam Pendidikan Islam.
Pelaksanaan eksekusi fisik mempunyai urgensi atau kepentingan tersendiri dalam pendidikan Islam. Urgensi eksekusi fisik dalam pendidikan Islam sanggup dilihat dari adanya syarat-syarat pelaksanaan hukuman. Para jago telah menentukan syarat eksekusi fisik sebagai berikut:
1. Sebelum berumur 10 tahun belum dewasa tidak boleh dipukul.
2. Pukulan tidak boleh lebih dari tiga kali, yang dimaksud dengan pukulan di sini yaitu lidi atau tongkat kecil bukanlah tongkat besar.
3. Diberikan kesempatan kepada belum dewasa untuk tobat dari apa yang ia lakukan dan memperbaiki kesalahannya tanpa perlu memakai pukulan atau merusak nama baiknya (menjadi malu).[36]
Dengan demikian, sanggup dipahami bahwa syarat pelaksanaan eksekusi terhadap anak adanya suatu batasan, baik dari segi umur yang bersalah maupun hukumannya atau pukulan yang dilaksanakannya. Di samping itu juga diberikan kesempatan kepada anak untuk melaksanakan tobat supaya pukulan sanggup ditiadakan.
Akibat urgensi eksekusi fisik dalam pendidikan Islam, Ramli Maha mengemukakan beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan eksekusi badan, di antaranya :
a. Sebelum melaksanakan hukuman, dipelajari terlebih dahulu dengan terang duduk kasus kesalahan si murid. Dalam hal ini hendaklah guru jangan cepat terpengaruh oleh laporan-laporan yang diterima.
b. Kalau telah terang anak bersalah, ditempuh cara-cara lain terlebih dahulu menyerupai teguran-teguran atau nasehat-nasehat, di samping menawarkan pengarahan atau bimbingan, jikalau memang mustahil ditempuh, jikalau telah terpaksa gunakanlah eksekusi sebagai alat terakhir.[37]
c. Apabila menjatuhkan hukuman, hukumlah secara adil dan bijaksana sehingga prinsip �individual difference� sanggup dilaksanakan dalam penerapan hukuman. Yang paling penting lagi, eksekusi fisik harus diimbangi dengan nasehat-nasehat sehingga perbaikan sanggup tercapai melalui hukuman.
d. Jangan melaksankan eksekusi jikalau guru murka atau sangat emosi, lantaran tindakan demikian biasanya merugikan bahkan sanggup menimbulkan korban di pihak murid.
e. Di samping itu hindarilah banyak sekali macam eksekusi yang tidak baik dilaksnakan, yaitu :
- Hukuman mekanis
- Hukuman badan
- Hukuman yang sanggup menggangu emosi
- Hukuman dengan nilai angka
- Hukuman yang motifnya balas dendam.
Akhirnya jikalau mungkin, jarang-jaranglah menghukum jikalau mustahil meniadakannya sama sekali. Berilah eksekusi seringan-ringannya, dan memberi maaf atas kesalahan murid kadang kala lebih efektif dari pada hukuman. Kesemuanya ini tergantung sekali kepada kebijaksanaan dan kepribadian guru.[38]
M. Ngalim Purwanto, mengemukakan syarat-syarat pelaksanaan eksekusi fisik dalam pendidikan sebagai berikut :
a. Tiap-tiap eksekusi hendaklah sanggup dipertanggung jawabkan. Ini berarti bahwa eksekusi itu tidak boleh dilakukan dengan sewenang-wenang, biarpun dalam hal ini seorang guru atau orang renta agak bebas memutuskan eksekusi mana yang akan diberikan kepada anak didiknya, tetapi dalam pada itu diikat oleh rasa kasih sayang kita kepada anak-anak, oleh peraturan-peraturan hukum, oleh batas-batas yang ditentukan oleh pendapat umum.
b. Hukuman fisik sedapat-dapatnya bersifat memperbaiki. Yang berarti ia harus mempunyai nilai mendidik (normatif) bagi si terhukum : memperbaiki moral dan kelakuan anak-anak.
c. Hukuman fisik tidak boleh bersifat ancaman atau balas dendam yang bersifat perorangan. Hukuman yang demikian tidak memungkinkan adanya hubungan antara pendidik dan yang dididik.
d. Jangan menghukum di waktu marah, sebab, jikalau demikian, kemungkinan besar eksekusi itu tidak adil, atau terlalu berat.
e. Tiap eksekusi harus diberikan secara sadar dan setelah diperhitungkan atau dipertimbangkan lebih dahulu.
f. Bagi si terhukum (anak), eksekusi itu hendaklah sanggup dirasakannya sendiri sebagai kedurhakaan atau penderitaanya yang sebenarnya. Karena eksekusi itu anak merasa menyesal dan merasa untuk sementara waktu ia kehilangan kasih sayang pendidiknya.[39]
Dengan demikian eksekusi fisik merupakan hal urgensi dalam proses pendidikan Islam, sehingga terdapat syarat-syarat pelaksanaan hukuman. Penerapan eksekusi fisik mempunyai syarat-syarat yang berafiliasi dengan pendidikan. Hal ini memperlihatkan eksekusi fisik merupakan hal yang urgen dalam pendidikan Islam.
E. Pro dan Kontra Tentang Adanya Hukuman Badan
Banyak pendapat mengenai eksistensi eksekusi fisik sebagai salah satu teknik pendidikan. Pendapat yang pro menyampaikan bahwa eksekusi fisik merupakan salah satu teknik yang efektif dalam pendidikan. Hukuman merupakan salah satu upaya untuk membuat si terhukum menjadi jera dan tidak lagi melaksanakan perbuatan melanggar hukum. Akan tetapi sebagian pendapat tidak mengakui atau kontra terhadap eksistensi eksekusi badan. Hukuman fisik tidak dianggap sebagai salah satu teknik pendidikan. Hukuman fisik lebih terfokus untuk penerapan hukum, tanpa mempunyai implikasi pendidikan. Hukuman yang diberikan terhadap anak didik yang bersalah atau yang melaksanakan pelanggaran bukanlah merupakan balas dendam, tetapi pinjaman eksekusi benar-benar bertujuan : �Untuk memperbaiki tabiat dan kepribadian anak didik, meskipun hasilnya belum tentu sanggup diharapkan�.[40]
Bagi kebanyakan jago pendidikan Islam, diantaranya Ibnu Sina, Al-Abdari dan Ibnu Khaldun melarang pendidik memakai metode eksekusi kecuali dalam keadaan sangat darurat. Dan hendaknya jangan melaksanakan pukulan, kecuali setelah mengeluarkan ancaman, peringatan, dan memerintah orang-orang yang disegani untuk mendekatinya, untuk bisa mengubah sikapnya.[41]
Ibnu Khaldun dalam muqaddimahnya memutuskan bahwa sikap keras yang berlebihan terhadap anak berarti membiasakan anak bersifat penakut, lemah dan lari dari tugas-tugas kehidupan. Antara lain Ibnu Khaldun berkata,[42]"pendidik yang bersifat keras, baik itu terhadap anak didik (murid), hamba sahaya, atau pembantu, maka pendidik itu telah menyempitkan jiwanya dalam hal perkembangan, menghilangkan semangat, menimbulkan malas, dan menyeretnya untuk brerdusta lantaran takut terhadap tangan-tangan keras dan kejam singgah dimukanya. Hal itu berarti telah mengajarkan anak untuk berbuat makar dan kecerdikan basi yang bermetamorfosis kebinasaannya. Dengan demikian rusaklah makna kemanusiaan yang ada padanya"
Sebagian ulama beropini bahwa eksekusi fisik merupakan satu alternatif pendidikan Islam. Imam Abu Hanifah sependapat dengan adanya eksekusi fisik berupa aturan rajam bagi penzina.[43]Dengan demikian, sebagian imam mazhab mengakui adanya eksekusi fisik sebagai upaya mendidik langsung muslim.
Pendapat di atas memperlihatkan pro terhadap eksekusi badan. Bahkan eksekusi fisik bisa dilakukan untuk memperbaiki kepribadian anak, lantaran dengan adanya hukuman, sikap dan kepribadian anak akan terbimbing kearah yang positif. Dengan demikian berarti sudah terang bahwa pinjaman eksekusi terhadap anak didik yaitu untuk mendidik, lantaran pinjaman eksekusi meliputi perbaikan tabiat dan kepribadian anak didik. Hukuman sebagai alat untuk mendidik bukanlah pekerjaan yang gampang dan ringan dikerjakan oleh pendidik, hal ini lantaran bisa menimbulkan beberapa jawaban menyerupai dikemukakan oleh beberapa jago wacana alhasil dari beberapa teori yang diterapkan, antara lain :
1. Menimbulkan perasaan dendam kepada si terhukum. Ini yaitu jawaban eksekusi yang absolut dan tanpa tanggung jawab. Akibat inilah yang harus dihindari oleh pendidik.
2. Menyebabkan anak menjadi lebih pintar menyembunyikan pelanggaran. Inipun jawaban yang tidak baik, bukan yang diperlukan oleh si pendidik. Memang biarpun eksekusi itu baik kadang kala bisa juga menimbulkan hal-hal yang tidak disukai.
3. Memperbaiki tingkah laris si pelanggar, contohnya suka bercakap-cakap di dalam kelas, lantaran menerima hukuman, mungkin pada akhirnya berubah juga kelakuannya.
4. Mengakibatkan si pelanggar menjadi kehilangan perasaan salah, oleh lantaran kesalahannya dianggap telah dibayar dengan eksekusi yang dideritanya.
5. Akibat lainnya ialah : Memperkuat kemauan si pelanggar untuk menjalankan kebaikannya��..[44]
Dari kutipan di atas terlihat beberapa jawaban dari penerapan teori hukuman, yang di antaranya ada jawaban positif dan negatif, menyerupai yang tertulis pada poin nomor dua yaitu menimbulkan anak menjadi lebih pintar menyembunyikan kesalahan, ini merupakan suatu jawaban yang terang tidak baik (negatif). Hal ini menimbulkan adanya pendapat yang pro dan yang kontra terhadap eksekusi badan.
Sebagian ulama bukannya tidak mengakui adanya eksekusi badan, akan tetapi tidak menganggap eksekusi fisik merupakan salah satu teknik pendidikan Islam. Pendapat ini terutama dipegang oleh ulama klasik menyerupai Abdul Qadir Jailani.
Tanpa adanya suatu hukuman eksekusi baik terhadap anak didik di sekolah maupun masyarakat yang telah melaksanakan kesalahan, maka akan menimbulkan suatu malapetaka yang sanggup merusak masa depan anak didik itu sendiri dan masyarakat pada umumnya, hal ini lantaran eksekusi itu merupakan pengontrol dan pengawas masyarakat dari banyak sekali pelanggaran dan kejahatan yang terjadi.
Secara panjang lebar, Ibnu Khaldun menjelaskan jawaban negative yang timbul dari sikap keras dan kejam terhadap anak. Ibnu Khaldun berkata, "Sesungguhnya siapa saja yang memperlakukan orang lain dengan kekerasan, ia telah menjadikan orang itu sebagai beban orang lain. Karena ia menjadi tidak bisa melindungi kehormatan dan keluarganya lantaran kekosongan semangat pada ketika ia berhenti mencari keutamaan sopan santun yang mulia. Dengan demikian, berbaliklah jiwa dari tujuan dan kadar kemanusiaannya."
Tidak adanya konsep khusus dalam pinjaman hukuman, tetapi tergantung kepada keadaan anak didik menyerupai tingkat usia dan pelanggaran yang telah dilakukannya. Setiap eksekusi yang diberikan harus adil, maka untuk itu seorang guru/pendidik harus memperhatikan dua hal utama sebagaimana tersebut dalam Didaktik/metodik yaitu : �Pertama sifat dan beratnya pelanggaran ketertiban contohnya pelanggaran lantaran kesilapan dan lantaran sengaja. Kedua keadaan si pelanggar itu, contohnya cara memarahi murid yang biasa berkelakuan baik akan berlainan dengan memarahi murid yang sering melaksanakan pelanggaran�.[45]
Dari kutipan di atas sanggup dipahami bahwa guru dituntut untuk sanggup memperhatikan sifat dan beratnya pelanggaran, serta cara memberi eksekusi yang tepat. Ini bertujuan yaitu untuk benar-benar sanggup membersihkan si pelanggar dari noda kesalahan yang dilakukan. Di samping itu juga sanggup mengontrol anak didik lainnya yang belum pernah melaksanakan pelanggaran dan sekaligus dengan pinjaman eksekusi tersebut kiranya sanggup dijadikan sebagai penghambat bagi teman-temannya yang ingin melaksanakan pelanggaran.
Dengan mengetahui keutamaan eksekusi fisik sebagai salah satu alternatif teknik pendidikan Islam, para guru yang melaksanakan upaya perbaikan dan peningkatan kualitas pendidikan agama lebih terfokus pada penerapan eksekusi fisik dalam menerapkan pendidikan kepada anak didik. Hal ini dimaksudkan untuk mengoptimalkan kegiatan pendidikan Islam melalui upaya perbaikan dengan penerapan eksekusi fisik.
[1]Ibnu Hajar, Sejarah Pendidikan Umum/Islam, (Darussalam Banda Aceh: Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry, 1988), hal. 67.
[2] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 9, Terjemahan: Moh. Nabhan Husain, Cet. I, (Bandung: Al-Ma�arif, 1984), hal. 13.
[3] Ibid, hal. 13
[4] Departemen Agama RI, Al-Qur�an dan Terjemahannya, (Semarang : Asy Syifa', 1999), hal. 118.
[5] Ibid, hal. 543.
[6] Ibid., hal. 165.
[7] Ibid, hal. 164.
[8]Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz II, (Bairut: Dar al-Fikr,1993), hal. 117.
[9]Departemen Agama RI., Al-Qur�an dan Terjemahannya, (Jakarta: Proyek Pembinaan Kitab Suci Al-Qur�an, 1986), hal. 43.
[10] Turmizi, Sunan Turmuzi, Juz II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), hal. 430.
[11]Hans Wehr, a Dictionary of Modern Written Arabic, (London: Mac Donald dan Evans LTD, 1980), hal. 108.
[12]Al-Raghib, al-Isfahani, Mu'jam Mufradat Al fadz al-Qur'an, (Beirut : Dar al-Fikr, tt), hal. 352.
[13] Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya, (Semarang : Asy Syifa', 1989), hal. 164.
[14]Ibid, hal. 98.
[15]Abdullah 'Ulwan, Tarbiyah al-Awlad fi al-Islam, (Beirut : Dar al-Salam, tt), hal. 753.
[16]Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya, (Semarang : Asy Syifa', 1989), hal. 421.
[17]Ali Alusi al-Badadi, Ruh al-Ma'ani, Jilid 10, (Beirut : Dar ihya wa al-Tirats al-'Arabiy, t.th), hal. 225.
[18]Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya, (Semarang : Asy Syifa', 1989), hal. 249.
[19]Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, Jilid I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), hal. 267.
[20]Ali al-Jumbulati, Dirasah Muqarah fi al-Tarbiyah al-Islamiyah atau Perbandingan Pendidikan Islam, Terjemahan M. Arifin, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal. 157.
[21]Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya, (Semarang : Asy Syifa', 1989), hal. 642.
[22]Ibid, hal. 193.
[23]Ali al-Jumbulati, Perbandingan�, hal. 158.
[24]Imam Abu Daud, Sunan Abu Daud, Juz I, (Bandung : Dahlan, tt), hal. 133.
[25]Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya, (Semarang : Asy Syifa', 1989), hal. 546.
[26]Abdullah 'Ulwan, Tarbiyah Al-Awlad fi al-Islam, (Beirut : Dar al-Salam, t.t), hal. 768.
[27]Tomas Gordon, Mengajar Anak Berdisiplin Diri di rumah dan di Sekolah, Terjemahan S. Suprayitna dan Amitya Kumara, (Jakarta: Gramedia, 1996), hal. 32.
[28]Detrus Sardjonoprijo , Psikologi Kepribadian , (Jakarta: Rajawali, 1995), hal. 89.
[29]M. Alisuf Basri , Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993), hal. 91.
[30]Ibid, hal. 98.
[31]Charles Schaefer, Bagaimana Membimbing, Mendidik dan Mendisiplinkan Anak Secara Efektif, terjemahan R. Turman Sirait, (Jakarta: Restu Agung, 1997), hal. 105.
[32]Ali al-Jumbulati, Perbandingan�, hal. 124.
[33]Fathiyah Hasan Sulayman, Madzahib al-Tarbiyah, Baths fi al-Madzahib al-tarbawiy 'inda al-Ghazali, (Mesir: Maktabah Nahdlah, 1994), hal.35
[34]Muhammad Fauzil Adhim, Bersikap Terhadap Anak, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996), hal. 111.
[35]Ibid, hal. 103.
[36]Mohd. �Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Terjemahan: H. Bustami A. Gani, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hal. 149
[37]Ramli Maha, Didaktik/Metodik, (Darussalam Banda Aceh: Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry, 1983), hal. 86-87.
[38]Ibid, hal. 87.
[39]M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis, Cet. XVI, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 191-192.
[40]Ibid, hal. 239.
[41]Abdullah Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, Terjemahan: Jamaludin Miri LC, (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), hal. 314.
[42]Ibid, hal. 314.
[43]Ibnu Rusyd, Tarjamah Bidayatul Mujtahid, (Semarang: Asy-Syifa�, 1995), hal. 620.
[44]Ibid, hal. 240.
[45]Team Pengajar Didaktik/Metodik, Didaktik Metodik, (Darussalam Banda Aceh: Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry, 1987), hal. 66.
0 Komentar untuk "Hukuman Fisik Dalam Pendidikan Islam"